“Pandangan Anggota Majelis Ulama Indonesia (Mui) Kabupaten Padanglawas Utara Tentang Penyembelihan Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia (Studi Kasus Di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara”
oleh: Hikmatiar Harahap
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Takziah
biasanya dilakukan dengan mendatangi orang yang sedang menghadapi musibah.
Kehadiran orang tersebut ditempat orang yang sedang ditimpa musibah merupakan
indikasi keprihatinannya terhadap musibah yang dialami oleh seseorang walaupun
kadang-kadang dia tidak perlu mengucapkannya
dalam kata-kata.
Takziah
bertujuan menyabarkan hati dan menghibur keluarga ahli musibah. Setelah itu
semua pergi menunaikan tugas dan keperluan masing-masing. Aktivitas-aktivitas yang
dilaksanakan orang-orang masa kini ketika bertakziah adalah mendirikan tenda,
duduk berkumpul-kumpul dan membaca ayat-ayat suci. Pada saat ini memberi
nasehat kepada keluarga biasanya dilakukan penyembelihan hewan ternak berupa
kambing, lembu atau kerbau.
Aktivitas-aktivitas
yang dilakukan saat ini banyak tidak sesuai
dengan amalan ulama salaf. Bahkan tak jarang pula bertentangan dengan
tuntutan kitab suci dan menyalahi ajaran sunnah-sunnah Rasulullah Saw. Misalnya membaca
(menyanyikan) ayat-ayat al-Qur’an tanpa mengindahkan norma dan tata tertib
qiraat, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya sebagian dari yang hadir malah asyik
bersenda gurau dan merokok.
Dalam
ajaran Islam ketika seorang
muslim meninggal dunia, orang
yang hidup harus melaksanakan fardhu kifayah terhadap si mayyit yakni memandikan, mengkafani,
menshalatkan dan menguburkannya. Tidak
ada suruhan untuk memberi makanan kepada penziarah apalagi anjuran untuk
memotong hewan ternak. Bahkan suruhan itu dibebankan kepada anggota keluarga yang tidak sedang
ditimpa musibah agar memberikan berupa makanan kepada ahli
musibah untuk meringankan beban yang dihadapi. Nabi Muhammad Saw., telah menyuruh kaum
muslimin disaat meninggalnya Ja’far untuk memberi makanan kepada keluarga Ja’far. Dalil yang menyatakan agar kita menghibur ahli musibah
yang sedang ditimpa musibah dan kesusahan adalah hadits Nabi Muhammad Saw.,
yang berbunyi:
حدثنا احمد بن منيع وعلي بن حجر قال: اخبرنا سفيان ابن
عيينة عن جعفر بن خالد عن ابيه عن عبدالله بن جعفر قال: لما جاء نعي جعفر حين قتل،
قال النبي صلي الله عليه وسلم: اصنعوا لأل جعفر طعاما، فقد جاءهم مايشغلهم. قال
ابوا عيسى: هذا حديث حسن اوقد كان بغض اهل العلم يستجب ان توجه الي اهل الميت بشئ
لشعلهم بالمصيبة. وهو قول السافعى وجعفر بن خالد هو ابن سارة وهو ثقة روا عنه ابن
جريج. (رواه ابوا داود والترمذي).[1]
Artinya: Ahmad bin Manie’ dan Ali bin Hajr
menceritakan kepada kami, mereka berkata; Sofyan bin ‘Ainah memberitahukan
kepada kami dari Ja’far bin Khalid dari ayahnya
dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata ketika datang kabar kematian
Ja’far, Nabi Muhammad Saw., bersabda: Buatkanlah oleh kamu makanan untuk
keluarga Ja’far karena keluarganya baru dalam kesibukan (tertimpa kemalangan). Abu Isa
berkata: Hadist ini hasan shahih. Sebagian ahli ilmu menganggap sunat untuk
pergi kepada keluarga mayit dengan membawa sesuatu, karena kesibukannya dengan musibah. Pendapat
inilah pendapat Syafi’i.
Ja’far bin Khalid dia adalah Ibnu Sarah dapat dipercaya Ibnu Juraij telah meriwayatkan hadits darinya. (HR. Abu
Daud dan At-Tarmidzi).
Maksud perkataan “Buatkanlah makanan untuk keluarga
Ja’far; ini menunjukkan disyariatkannya membuatkan makanan yang dibutuhkan
keluarga si mayat, karena mereka sedang sibuk dengan musibah yang menimpa
mereka sampai mereka melupakan diri mereka sendiri. Berkumpul di rumah keluarga
si mayit sesudah dikuburkannya mayat itu dan makan-makanan di situ adalah
termasuk meratap, karena demikian itu mengandung perbuatan yang memberatkan
keluarga si mayat tadi dan menambah kesusahan mereka yang telah ditinggali mati
salah seorang keluarganya. Disamping itu, perbuatan tersebut menyalahi sunnah
Nabi Muhammad Saw., sebab mereka diperintahkan agar membuatkan makanan untuk
keluarga si mayat, tetapi mereka bahkan membebani keluarga tersebut supaya
membuatkan makanan untuk mereka”.
Bahkan Imam Syafi’i seorang mujtahid besar melarang para
pentakziah untuk memakan makanan orang yang ditimpa musibah. Tapi,
sudah menjadi tradisi (kebiasaan nenek moyang) lama dalam masyarakat Indonesia
menyediakan makanan bagi orang-orang yang berta’ziah. Bahkan di sebagian daerah
tidak afdhol
rasanya jika kepergian orang tercinta menghadap Ilahi tidak disertai dengan
penyembelihan hewan ternak untuk disuguhkan bagi para pentakziah menjelang pemberangkatan terakhir atau
sesaat setelah mayit dikuburkan. Jika mereka tidak melakukan hal itu maka akan
digunjing oleh para tetangga dan dikatakan tidak berbakti kepada orang
tercinta.
Tradisi
semacam diatas juga terdapat di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas
Utara. Masyarakat yang mayoritas muslim ini juga menjalankan kebiasaan (adat) penyembelihan hewan ternak untuk disuguhkan kepada orang-orang yang bertakziah.
Berangkat
dari kenyataan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat di Kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara dalam hal apabila ada orang yang meninggal
dunia, maka anggota keluarganya akan mempersiapkan ternak untuk disembelih untuk memberi makan para penziarah walaupun sebahagian
dari biaya-biaya tersebut didapatkan dari bantuan STMK (serikat tolong menolong
kematian) atau dari para penziarah sendiri. Untuk menelusuri secara mendalam
praktek yang berlaku pada masyarakat mempersiapkan ternak sembelihan oleh keluarga yang meninggal dunia untuk
diberikan kepada para penziarah. Penulis akan membahas masalah ini dalam
skripsi yang berjudul “PANDANGAN ANGGOTA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KABUPATEN
PADANGLAWAS UTARA TENTANG PENYEMBELIHAN TERNAK KERBAU SAAT ANGGOTA KELUARGA
MENINGGAL DUNIA (STUDI KASUS DI KECAMATAN
HALONGONAN KABUPATEN PADANGLAWAS UTARA”.
A.
Pembatasan
Masalah
Agar
pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap
pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan penulisan skripsi ini
hanya berkisar pada bagaimana
praktek penyembelihan hewan ternak di kalangan masyarakat
menurut anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Padanglawas Utara saat anggota keluarga
meninggal dunia. Dengan harapan agar dalam pembahasan skripsi ini menjadi lebih terarah, tersusun secara lebih sistematis sesuai dengan tema
yang menjadi titik fokus skripsi ini.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pandangan masyarakat tentang pemotongan ternak
kerbau saat anggota keluarga
meningga dunia yang dilaksanakan di kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara?
2.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi
masyarakat di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara melaksanakan
pemotongan kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia?
3.
Bagaimana pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Padanglawas Utara tentang pemotongan kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia di
kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara saat anggota keluarga
meninggal dunia?
C.
Tujuan
Penelitian
Terdapat
beberapa objek kajian yang terdapat dalam kajian ini. Diantara objek tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang praktek penyembelihan ternak kerbau yang dilaksanakan
masyarakat di kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara.
2.
Untuk mengetahui Faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara
melaksanakan pemotongan kerbau.
3.
Untuk mengetahui pendapat anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), tokoh
adat dan masyarakat umum tentang
pemotongan kerbau di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara.
D.
Kegunaan
Penelitian
1.
Untuk menambah pengetahuan masyarakat
tentang persepsi pemotongan hewan ternak yang sesuai dengan hukum Islam.
2.
Untuk memenuhi sebahagian dari persyaratan
dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
(SH.I) pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negari Sumatera Utara Medan.
F. Kerangka
Teori
Kematian
adalah suatu hal yang pasti terjadi dan akan dialami oleh setiap yang bernyawa. Kapan dan dimana seseorang akan mati
tidaklah ada yang mengetahui, kecuali Allah Swt. Apabila ada keluarga yang
tertimpah musibah
tugas orang yang hidup adalah menghibur orang tersebut, sebab sesuai dengan
fitrahnya manusia sangat berduka dan bersedih karena ditinggal orang tercinta
untuk selamanya.
Menasihati
keluarga yang ditimpa musibah untuk tetap bersabar dan tabah adalah kewajiban
kaum kaum kerabatnya. Inilah yang sepantasnya kita laksanakan agar ahli
musibah memahami makna dari kehidupan.
Bahwa hidup di dunia ibarat berjalan untuk mengumpulkan bekal di hari
akhir.
Kata-kata
ta’ziah yang kita sampaikan adalah dengan maksud untuk meringankan penderitaan
lahir-bathin ahli musibah[1]. Maka disamping itu Rasulullah Saw., menuntun
kita sebagai ummat agar membantu meringankan beban kehidupan mereka
sehari-hari, sebab musibah yang menimpa itu bukan sebuah harapan dan kemauan
tapi sudah menjadi takdir Ilahi. Inilah bukti kebersaman sesama muslim agar
tetap istiqomah dan saling membantu satu sama lain[2].
Imam Syafi’i berkata: “saya menyukai makanan untuk ahli
mayit pada hari meninggalnya dan malamnya yang dapat mengenyangkan mereka.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah sunnah dan zikir yang mulia, juga merupakan
perbuatan yang baik yang diperbuat oleh ahli-ahli kebaikan sebelum dan sesudah
kita. Berkumpul-kumpul (dirumah orang
yang keluarganya meninggal dunia) walaupun tidak ada tangisan”.[3]
Berkumpul biasanya tidak sekedar berkumpul, tetapi
sebagian pentakziah ingin minum atau bahkan ingin menguyah makanan. Realitas
yang terjadi di sebagian besar masyarakat kita ketika menghadiri takziah
adalah, malah ahli musibah yang sibuk membuatkan makanan untuk para pentakziah.
Hal
yang demikian sangatlah menyusahkan dan merepotkan ahli mayit, juga menghendaki
biaya yang besar yang harus dikeluarkan ahli
mayit.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali Rahimullah berkata, “Adapun taziyah yang
dianjurkan Islam adalah hendaknya seorang muslim datang seperlunya dan bagi
keluarga sedang berduka tidak diperkenankan untuk menyediakan sesuatu apa pun
untuknya; termasuk menyediakan tempat untuk berkumpul dalam satu tempat”[4].
Kenyataan yang terjadi pada ummat Islam dewasa ini adalah
sangat memilukan, seolah-olah wajib bagi keluarga menyediakan makanan bagi
pentakziah. Padahal, anjuran Nabi
Muhammad Saw,
justru mengharuskan kita membantu, menghibur dimana keluarga ahli musibah
sedang dirundung kesedihan karena ditinggal orang tercinta.
Hal
ini juga dapat mengakibatkan dampak yang buruk, apabila kebiasaan menyediakan
hidangan (makanan dan minuman pada saat ada yang meninggal). Ketika keluarga kurang mampu terkena musibah, keluarga tersebut merasa malu kalau
tidak menghidangkan makanan dan minuman, dikarenakan hal tersebut telah menjadi
adat kebiasaan masyarakat. Walaupun terkadang ahli musibah dari keluarga kurang
mampu, sehingga mereka terpaksa harus mencari tempat berhutang.
Ada sebagian masyarakat menganggap bahwa untuk memuliakan
si mayyit atau menghormatinya, mereka perlu mengadakan upacara dalam bentuk
“menyediakan makanan (penyembelihan hewan ternak). Upacara yang demikian disamping
tidak terdapat dalam ajaran Islam, juga sangat merepotkan para keluarga yang sedang ditimpa musibah. Hadits Nabi Muhammad Saw., menyatakan sebagai berikut:
وعن أنس ان النبي صلي الله عليه وسلم: قال لاعقر في اسلام.
رواه احمد وابو داود. وقال: قال عبد الرزاق كانوا يعقرون عند القبر بقرة أو شاة فى
الجاهلية[5].
Artinya: diceritakan dari Anas bahwa Nabi Muhammad
Saw., bersabda: “Tidak ada penyembelihan (hewan) di dalam Islam”. (HR. Ahmad
dan Abu Dawud). Dan Abu Dawud berkata: “Abdurrazaq berkata’ pada masa
jahiliyyah, mereka biasa menyembelih sapi atau kambing di perkuburan”.
Para ahli fikih menyatakan bahwa makanan yang disajikan
oleh keluarga duka kepada para pentakziah yang berkumpul di sana adalah makruh,
karena itu sama artinya dengan membantu terjadinya bid’ah. Menyembelih hewan
ternak lalu dibagi-bagikan merupakan perbuatan mungkar, yang tidak termasuk
dalam tuntunan Nabi Muhammad Saw., maupun
para sahabat. Oleh karena itu
perbuatan itu harus dicegah dan dijauhi. Adapun celaan orang-orang kepada
keluarga si mayit bila tidak melakukannya, yaitu ucapan mereka bahwa keluarga
tersebut tidak menyukai mayit tersebut[6].
G.
Metode, Jenis Dan Teknik Penelitian
1.
Pendekatan Masalah
Adapun metode pendekatan masalah dalam skripsi melalui Pendekatan
yuridis normatif yang didukung dengan
argumentasi-argumentasi. Yakni menganalisis pendapat anggota Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara. Sehingga akan diambil kesimpulan secara objektif,
logis, konsisten dan sistematis.
2.
Jenis Data
Data
yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, yaitu:
a.
Data primer
Yaitu melakukan wawancara dengan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten
Padanglawas Utara (Bapak Mukti Ali, Tomuan Harahap, Awwaludin Siregar).
Wawancara dengan masyarakat umum (H. Bangus Siregar Parluhutan dll), wawancara dengan tokoh Adat ( Bapak Sutan Nalobi, Timbul Harahap, Baginda Sinjoman).
b.
Data sekunder
Data sekunder
adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang
dimaksud adalah (Al-qur’an,
Hadist Nabi Muhammad Saw, catatan
pribadi, dan fhoto copy berkas), buku-buku karangan ilmiah antara lain (Islam Abangan, Bid’ah-bid’ah di Indonesia,
buku pintar sunnah & bid’ah dll).
3.
Teknik penelitian
Untuk
mendapatkan hasil penelitian yang tepat maka penulis menggunakan dengan cara:
a.
Pengumpulan data
Penulisan
terlebih dahulu mempersiapkan berbagai keperluan seperti
(buku catatan, alat tulis, alat rekaman, daftar wawancara dll).
b.
Wawancara
Yaitu mencari data
dengan bertatap muka secara langsung terhadap responden yang dipilih sebelumnya
yaitu anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara, tokoh
adat dan masyarakat umum.
4.
Teknik Analisis Data
Setelah
data dikumpulkan, selanjutnya data tersebut akan diinventarisasi dengan
cara diklasifikasikan, disistematisasikan dan selanjutnya di interpretasikan
sesuai dengan topik yang sedang dikaji.
5.
Teknik
Penulisan
Teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang
diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara Medan.
H.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Agar
penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah maka penulisan skripsi ini
disusun dalam lima (5) bab setiap bab terdiri dari sub bab yaitu :
Bab I
dimulai dengan pendahuluan yang terdiri dari atas latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka teoritis, metode jenis dan teknik penelitian, sistematika penelitian.
Kemudian
dilanjutkan dengan bab II merupakan kajian teoritis yang membahas tentang menyembelih hewan ternak dan
permasalahannya, pengertian menyembelih ternak dan dasar hukumnya, hukum melaksanakan penyembelihan,
syarat-syarat penyembelih dan hikmah penyembelihan dalam Islam.
Selanjutnya
pada bab III, merupakan kajian lapangan yang membahas aspek geografis, aspek
demografis, aspek pendidikan dan agama, aspek sosial dan budaya.
Kemudian
pada bab IV, merupakan hasil penelitian yang membahas praktek masyarakat dalam
melakukan penyembelihan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia,
pandangan masyarakat Kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara tentang menyembelih hewan ternak saat anggota
keluarga meninggal dunia, Pandangan tokoh Adat Kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota
keluarga meninggal dunia, Pandangan Hukum Islam tentang menyembelih ternak
kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia, Pandangan
Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara Kecamatan
Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara Tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat
Anggota Keluarga Meninggal Dunia, dan analisa penulis.
Pada bab V, merupakan bagian
akhir dalam penulisan skripsi ini, yang merupakan
kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
MENYEMBELIH TERNAK DAN PERMASALAHANNYA
A. Pengertian Menyembelih Ternak Dan
Dasar Hukumnya
Pembahasan
ini terdiri dari defenisi penyembelihan, dasar hukum penyembelihan.
Salah
satu ajaran Islam adalah berkaitan
dengan penyembelihan hewan ternak agar halal dikonsumsi. Kata “penyembelihan” sendiri berasal dari bahasa Indonesia yaitu “sembelih” berarti menggorok leher
(binatang); memotong binatang; membantai[7].
Sedangkan dalam bahasa ‘Arab berasal dari akar kata ذبح berarti
menghilangkan nyawa binatang dengan istilah Az-Zakat
berarti At-Tathayyub, misalnya kata; Raihatun zakiyyatun artinya bau yang
sedap. Az-Zabhu; dinamai dengan kata
ini (az-zakat); karena pembolehan
secara hukum syara’ membuatnya menjadi tayyib
(baik, harum, sedap). Dan dikatakan pula az-zakatu bermakna at-Tatmin (penyempurnaan). Dikatakan: Fulanun zakiyun, artinya: pemahamannya, yang dimadsuk dengan kata ini
adalah: penyembelihan hewan atau memotongnya dengan jalan memotong
tenggorokkannya, atau organ untuk perjalanan makanan dan minumannya[8].
Adapun
pengertian sembelih secara etimologis berarti memotong, membelah, atau membunuh
suatu hewan. Sedangkan menurut syara’ adalah menghilangkan nyawa binatang yang
halal dimakan dengan menggunakan alat yang tajam selain kuku, gigi, dan tulang agar halal
dimakan oleh orang Islam[9].
Sementara
secara terminologis, terdapat perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab fiqh, sesuai
dengan perbedaan mereka tentang bagian yang wajib dipotong dalam penyembelihan
tersebut. Menurut Hanafi dan Maliki: penyembelihan adalah tindakan memotong
urat-urat kehidupan yang ada pada hewan itu, yaitu empat buah urat: tenggorokan
(al-hulquum), kerongkongan (al-mar’i), dan dua urat besar yang
terletak disamping leher (al-wadjaan).
Lokasi penyembelihan itu sendiri adalah bagian diantara labbah (bagian bawah leher) dengan lahyain (tempat tumbuhnya jenggot, yaitu tulang rahang bawah).
Sedang
disebut penyembelihan dalam pandangan Syafi’i
adalah tindakan menyembelih hewan tertentu yang boleh dimakan dengan cara
memotong tenggorokan dan kerongkongannya. Adapun posisi dan lokasi pemotongan
itu bisa di bagian atas leher (al-halq)
atau dibagian bawah leher (labbah)[10]. Imam Syafi’i menjelaskan lebih detail agar sempurnanya
suatu penyembelihan adalah dengan memutuskan 4 (empat) hal, yaitu tenggorokan
(jalan makanan), kerongkongan (jalan udara), dan dua urat leher[11]. Adapun yang dimaksud dengan tenggorokan
adalah tempat masuknya makanan dan minuman yang dimakan dan yang diminum oleh
seluruh makhluk yang berupa manusia dan binatang (ternak).
Sedangkan
yang dimadsuk dengan kerongkongan adalah tempat keluar masuknya udara. Apabila
suatu penyembelihan berhasil memutuskan kerongkongan dan dua urat leher tapi belum memutus tenggorokan, maka
penyembelihan itu tidak sah, karena dalam keadaan seperti ini kadang-kadang binatang
(ternak) masih bisa hidup untuk beberapa lama. Begitu juga apabila suatu
penyembelihan telah berhasil memutuskan tenggorokan dan dua urat leher
tetapi belum memutuskan kerongkongan,
maka penyembelihan tersebut tidak sah.
Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa binatang yang halal dimakan
belumlah halal sepenuhnya, kecuali disembelih terlebih dahulu dengan peraturan
yang telah ditetapkan oleh syara’. Sebagaimana firman Allah swt:
حرمت
عليكم الميتة ولحم الخنزير ومآ أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية
والنطيحة ومآ اكل السبع الا ما ذكيتم وما ذبح علي النصب...(سورة المائدة اية ٣)[12]
Artinya: “diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah (daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya...(Q.S Al-Maidah[5]:3).
B. Hukum Melaksanakan Penyembelihan
Penyembelihan adalah syarat halalnya memakan
hewan darat yang boleh dimakan. Artinya, tidak halal memakan hewan apapun yang
boleh dimakan tanpa dilakukan penyembelihan yang sesuai aturan syariat. Hal itu
didasarkan pada Firman Allah swt, :
حرمت
عليكم الميتة ولحم الخنزير ومآ أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية
والنطيحة ومآ اكل السبع الا ما ذكيتم وما ذبح علي النصب...(سورة المائدة اية ٣)[13]
Artinya “ Diharamkan
bagi kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
bukan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. . . . (Q.S. al-Ma’idah [5]: 3).
Terlihat
bahwa dalam ayat ini Allah swt, mengaitkan kehalalan memakan hewan-hewan
tersebut dengan penyembelihan. Lebih lanjut, Nabi Muhammad Saw, juga bersabda:,
عن أبيه عن جده رافع
بن خديج قال: قلت: يا رسول الله صلي عليه وسلم: إنا نلقى العدو غدا وليس معنا مدي،
قال رسول الله صلي عليه وسلم: ما أنهر الدم وذكر آسم الله عز وجل فكلوا مالم يكن
سنا او ظفرا وسأحدثكم عن ذلك، اما السن فعظم وأماالظفر فمدى الحبشة[14].
Artinya: “Dari Bapaknya dari kakeknya Rafi’ bin Khodij
ia berkata: Rasulullah Saw., bersabda: Selama darah suatu hewan telah dialirkan
dan ketika itu disebut nama Allah, maka makanlah, kecuali bagian sinn dan zhufr. Saya
akan menjelaskan pada kalian bahwa yang dimaksud dengan sinn adalah tulang,
sementara zhufr adalah (bagian tubuh) yang biasa digunakan sebagai pisau oleh
orang-orang Habsyah”.
C. Syarat-Syarat Penyembelih
Orang
yang melakukan penyembelihan dapat dibedakan menjadi tiga golongan: yang haram
sembelihannya berdasarkan kesepakatan ulama, yang boleh sembelihannya
berdasarkan ksepakatan ulama, dan golongan yang kebolehan sembelihannya masih
diperdebatkan. Sementara itu, sembelihan yang disepakati oleh seluruh ulama
kehalalan memakannya adalah sembelihan seorang muslim yang baligh dan berakal.
Sedangkan sembelihan yang diperselisihkan para ulama tentang kebolehan
memakannya adalah, sembelihan yang dilakukan seorang Ahlul Kitab, yang
dilakukan anak-anak, orang gila, orang mabuk dan disengaja[15].
Penjelasan secara lebih rinci tentang hal ini adalah sebagai berikut:
1.
Sembelihan Islam
Para ulama tidak ada yang berselisih paham terhadap
sembelihan seorang muslim sehingga halal untuk dimakan.
2.
Sembelihan Ahlul kitab
Secara
prinsip, seluruh ulama sepakat tentang bolehnya memakan sembelihan ahlul kitab. Berdasarkan Firman Allah Swt., sebagai berikut:
Artinya: “Makanan (sembelihan) Ahlul Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi
mereka...” (QS al-Maidah(3)
[5]).
Sedangkan binatang yang
disembelih oleh orang musyrik/kafir hukumnya tidak sah dan dagingnya haram
dimakan. berdasarkan firman Allah Swt., sebagai berikut:
Artinya“
Diharamkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih bukan atas nama selain Allah...” (Q.S. Al-Maidah( 3) [5]).
3.
Sembelihan Perempuan dan Anak-Anak
Dihalalkan
memakan sembelihan seorang prempuan, sekalipun tengah haidh. Sembelihan anak
kecil yang sudah mumayyiz (dapat
membedakan antara hal baik dan buruk). Kaum prempuan juga memiliki kemampuan
yang sempurna dalam melakukan penyembelihan. Walaupun, memang dianjurkan agar
kaum laki-lakilah yang melakukannya, karena
mereka lebih kuat tenaganya dalam menyembelih ketimbang kaum prempuan.
Dibolehkannya anak-anak dalam penyembelihan, dikarenakan ia sudah memiliki
tujuan yang lurus ketika melakukan suatu aktivitas, sehinga statusnya mirip
dengan orang yang baligh. Adapun anak yang belum mumayyiz hukumnya makruh menurut madzhab Syafi’i.
4.
Sembelihan Orang Gila Dan Mabuk
Tidak
sah sembelihan kedua golongan ini, sebab mereka tidak menyadari apa yang mereka
kerjakan, seperti halnya anak kecil yang belum mumayyiz.
5.
Dengan Sengaja
Kalau
salah seorang memengang pisau, tiba-tiba ada ayam meloncat dan tepat mengenai
lehernya, lalu mati yang bukan disengaja disembelih, maka binatang itu mati
sebagai bangkai.
6.
Tidak Dalam Keadaan Ihram Haji
Orang
yang berada ditanah haram ketika melaksanakan ihram haji dilarang melakukan
aktifitas menyembelih binatang walaupun binatang tersebut binatang yang halal
dikonsumsi.
D. Tata Cara Penyembelihan
Dalam
pembahasan ini terdapat empat topik:
a.
Jumlah yang Terpotong
Hadits
Nabi Muhammad Saw., yang berbunyi;
Artinya: “Potonglah urat-urat leher
dengan apapun yang engkau inginkan”. (HR Imam an-Nasa’i, Abu Daud dan Ibn Majah).
Kata al-Audaaj dalam hadits tersebut artinya
urat-urat leher. Dalam urat-urat leher yang dimaksud minimal ada tiga yang harus dipotong saat menyembelih
hewan. Ada pun urat leher yang dimaksud minimal urat tenggorokan, urat makanan,
dan salah satu dari dua urat leher harus terpotong. Karena, tiap urat dalam
leher tersebut memang harus dipotong, dan fungsi masing-masing urat tersebut
juga berbeda-beda. Tenggorokan fungsinya untuk jalan makanan, sedangkan urat
leher untuk jalan darah.
b.
Tempat Bagian yang Dipotong dari Hewan
Sembelihan
Yang
harus dipotong adalah jakun (bagian
atas kerongkongan) dibagian tengahnya, dan sebagaian keluar ke arah badan, dan
sebagian lagi ke bagian kepala, maka sembelihannya tetap halal. Jika jakun
tidak dipotong pada bagian tengahnya, dan sebagian jakun itu keluar ke arah
badan, maka sembelihannya tidak boleh dimakan.
c.
Menyembelih Hewan dari Tengkuknya
Bahwa
hewan yang disembelih dari tengkuknya tidak boleh dimakan, tidak juga hewan
yang disembelih dari sisi leher, meskipun hal itu sampai memotong sesuatu yang
wajib dalam penyembelihan. Karena, penyembelihan dari tengkuknya tidak akan
sempurna kecuali setelah memotong urat saraf dalam punggung yang termasuk inti
kehidupannya, sehingga penyembelih itu terjadi pada hewan yang sudah terbunuh.
Sembelihan hewan secara cepat dan pisaunya tepat mengenai pada bagian yang
memang seharusnya disembelih. Agar tidak termasuk kedalam penyiksaan terhadap
hewan.
d.
Memotong Nakha’
Jika
penyembelihan hewan hingga memotong nakha’
atau sampai lehernya terputus, maka
sembelihan itu termasuk hal yang harus ditinggalkan sebab bisa menambah
kesakitan terhadap hewan. Akan tetapi hal itu tidak dilarang, tetapi jangan
melewati batas sembelihan.
E. Hikmah Penyembelihan Dalam Islam
Penyembelihan
setiap hewan yang halal dimakan oleh orang-orang Islam dapat memberikan nilai
positif pada diri seorang muslim dari segi mental, fisik, sikap, atau
kepribadian. Selain itu, penyembelihan secara halal juga dapat memberikan beberapa
kebaikan atau hikmah yaitu:
1.
Penyembelihan adalah melindungi kesehatan
manusia secara umum, dan agar terhindar tubuh dari kemudharatan dengan cara
memisahkan darah dari danging dan mensucikannya dari cairan merah tersebut.
2.
Penyembelihan secara halal menunjukkan
perbedaan yang nyata antara cara orang Islam dan orang kafir dalam menyembelih
hewan.
3.
Penyembelihan hewan secara halal
menunjukkan perbedaan daging yang halal dan yang haram dimakan oleh orang
Islam.
4.
Hewan sembelihan dapat dipastikan tidak
tersakiti dan tersiksa ketika disembelih,
kecuali dalam waktu yang singkat.
5.
Darah hewan yang sembelih dapat mengalir
dengan cepat sehingga dapat menghindarkan daging dari kuman dan bakteri yang
mungkin ada dalam darah hewann tersebut. Mengonsumsi darah yang mengalir
hukumnya haram, sebab membahayakan kesehatan tubuh manusia dikarenakan ketika
itu darah menjadi tempat bersemayamnya berbagai kuman dan mikroba berbahaya.
Selain itu, masing-masing orang memiliki golongan darah tertentu, sehingga
larangan mengkomsumsinya adalah untuk mencegah
terjadinya percampuran anatara berbagai golongan darah.
6.
Niat
yang dilapalkan sebelum menyembelih merupakan bentuk permohonan izin kepada
Allah swt, karena hewan sembelihan adalah makhluk-Nya yang bernyawa.
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Aspek Geografis
Geografi
(geographie) berasal dari bahasa Yunani “Ge” berarti bumi dan “grapoo” berarti
menulis atau dikenal dengan ilmu bumi. Geografi dapat diartikan dengan nama
suatu kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala fisik cultural
dan aspek bumi seperti permukaan beserta segala kehidupan mahkluk hidup di atas bumi.
Pada
penjelasan ini penulis mengemukakan (menjelaskan) secara global keberadaan
lokasi yang dijadikan tempat penelitian penulis. Adapun lokasi penelitian ini
adalah berada di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Secara
geografis Kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara terletak
pada :
0131’29”
– 0144’48” LU
9935’36”
– 9958’46” BT
Secara
birokrasi pemerintahan Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara dikepalai oleh seorang Camat yang letak
kantor pemerintahannya tepat di desa Hutaimbaru I jalan Gunung Tua – Langga
Payung km 12.
Secara geografis Kecamatan Halongonan Kabupaten
Padanglawas Utara berbatasan dengan daerah-daerah lainnya:
a.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan
Dolok dan Kabupaten Labuhan Batu.
b.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan
Padang Bolak dan Huristak Kabupaten
Padang Lawas.
c.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan
Simangambat dan Kabupaten Labuhan Batu.
d.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan
Padang Bolak.
Dengan
data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan Kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara merupakan sebuah daerah yang memiliki geografis
yang sangat strategis, sehingga keberadaannya sangat memungkinkan untuk
mengadakan pembangunan dari segi infrastruktur dan non infrastruktur. Secara
geografis dapat dikemukakan bahwa Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas
Utara mempunyai luas wilayahnya 55.923Ha. Dengan demikian keberadaan Kecamatan
Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara adalah termasuk daerah yang wilayahnya
sangat luas karena
ukurannya sampai
55.923Ha. Untuk mengetahui jarak tempuh
dari Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara dengan daerah lainnya
dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel
I
Waktu dan Jarak Tempuh di kecamatan
Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara Berdasarkan Jauh Wilayahnya
No.
|
Orbitasi
dan Jarak Tempuh
|
Frekuensi
|
Ket
|
1
2
3
|
Jarak ke ibukota kapubaten/kotamadya
Jarak ke ibukota provinsi
Waktu tempuh ke ibukota kabupaten
|
14 Km
300 Km
15
menit
|
Sumber: Data Statistik Kantor Camat Kecamatan
Halongonan Tahun 2009
Pada
penjelasan berikutnya dapat diterangkan keadaan geografis Kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara melalui penggunaan tanah yang selama ini digunakan
masyarakat luas, berdasarkan keperluannya, seperti untuk perumahan penduduk,
bangunan-bangunan penduduk serta areal
kepentingan lainnya seperti lahan
pertanian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak kekurangan tanah untuk
dipergunakan tempat tinggal ataupun untuk keperluannya lainnya.
Dengan
demikian masyarakat diberikan wewenang mutlak untuk mengelola tanah yang mereka
miliki untukk sejumlah kepentingan seperti untuk
pemukiman, bangunan lainnya atau untuk areal perkebunan yang mereka inginkan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.
Praktek Masyarakat Dalam Melakukan Penyembelihan Ternak
Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Pada
pembahasan ini dikemukakan seluk
beluk singkat praktek yang dilaksanakan masyarakat dalam prosesi penyembelihan
hewan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia.
Dalam hal ini, biaya yang digunakan untuk menyediakan
ternak adalah biaya sendiri oleh ahli musibah. Kerbau merupakan hewan yang
tangguh, kuat dibandingkan diantara hewan yang dipelihara masyarakat secara
umum. Kerbau yang akan disembelih harus memiliki kriteria antara lain, cukup
umur yakni kisaran 3-4 tahun. Sementara dalam hal jenis kelamin (jantan atau
betina) tidak ditentukan, yang terpenting sehat, kuat, tidak cacat.
Prosesi penyembelihan hewan ternak dilaksanakan tepat di
hari pertama, sebelum mayyit dikebumikan. Sanak keluarga akan menyaksikan
prosesi penyembelihan hewan ternak, dan selanjutnya memberikan sepenuhnya
kepada tokoh adat yang bertindak sebagai penyembelih.
B.
Pandangan
Masyarakat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tentang Menyembelih
Hewan ternak saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Mayoritas masyarakat Kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara bermazhab
Syafi’i. Ini dapat dilihat dari pengamalan keagamaan sehari-hari mereka seperti
dalam praktek pernikahan serta lainnya. Salah satu hal yang penting untuk dikaji
di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara mengenai praktek
menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Penelitian ini
dijelaskan berdasarkan tabel berikut:
Tabel VII
Pemahaman Masyarakat Tentang Menyembelih Ternak
Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
1
|
Tahu
|
45
|
45
|
2
|
Tidak Tahu
|
35
|
35
|
3
|
Diam
|
20
|
20
|
Jumlah
|
100
|
100
|
Dari tabel ini dapat dilihat bahwa kebanyakan masyarakat
kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tahu tentang tradisi
menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia yaitu 45%,
sedangkan yang tidak tahu berjumlah 35%, dan yang ragu-ragu 20%. Kemudian
apakah mereka sering melakukan menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga
meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel VIII
Seberapa
Sering Masyarakat Melaksanakan Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase(%)
|
1
|
Sering
|
25
|
70
|
2
|
Jarang
|
8
|
22
|
3
|
Tidak Pernah
|
3
|
8
|
Jumlah
|
36
|
100
|
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa masyarakat
Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara sering melakukan penyembelihan
hewan ternak saat anggota keluarga meninggal dunia dengan persentase 70%,
dibandingkan jawaban lain, yaitu masyarakat yang mengatakan jarang melakukan
dengan persentase 22%, sedangkan 8% mengatakan tidak pernah.
Demikian
setelah diketahui tentang seberapa sering masyarakat melakukan tradisi penyembelihan ternak
kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Maka perlu diketahui bagaimana
perasaan masyarakata ketika melaksanakan menyembelih ternak kerbau saat anggota
keluarga meninggal dunia.
Tabel IX
Perasaan
Masyarakat Ketika Melaksanakan Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
1
|
Senang
|
0
|
0
|
2
|
Sulit
|
15
|
68
|
3
|
Biasa Saja
|
7
|
32
|
Jumlah
|
22
|
100
|
Dari
tabel diatas dapat diketahui bagaimana perasaan masyarakat ketika melaksanakan
penyembelihan ternak ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia.
Adapun yang menyatakan perasaan sulit dengan persentase 68%, sedangkan biasa saja dengan jumlah 32%. Sementara perasaan senang 0%.
Ketika penulis mewawancarai masyarakat umum, tentang
penyembelihan hewan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia ada
tiga (3) hal yang menarik dari hasil wawancara tersebut. Diantaranya sebagai
berikut:
Pertama: Masyarakat umum melihat bahwa praktek penyembelihan
ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia bentuk haholongan (penghormatan
tertinggi) terhadap si mayyit sebab hal itulah aktivitas terakhir yang bisa
diperlakukan terhadap si mayyit[19]. Kedua,
ternak kerbau yang disembelih keluarga, di suguhkan kepada kaum kerabat
sebagai sedekah terakhir dari si mayyit, dengan harapan agar si mayyit terbebas
dari siksa alam kubur[20]. Ketiga,
disebabkan oleh kesukuan, yakni apabila meninggal dunia urat ni tano
(orang yang pertama mendiami desa).[21]
C.
Pandangan
Tokoh Adat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tentang Menyembelih
Ternak Kerbau saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Tabel X
Bagaimana Pandangan Adat tentang Menyembelih
Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
|
Jawaban Alternatif
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
1.
|
Harus dilaksanakan
|
15
|
71
|
2.
|
Boleh
|
6
|
29
|
3.
|
Tidak Tahu
|
0
|
0
|
Jumlah
|
21
|
100
|
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa 71% yang menyatakan harus dilaksanakan tradisi
menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Sedangkan ada 29% yang menyatakan boleh dilaksanakan. Kemudian
setelah mengetahui tentang pandangan tokoh adat, maka selanjutnya yang harus
diketahui apa faktor yang melatarbelakangi sehingga tradisi masih dilaksanakan
di dalam masyarakat. Hal ini dapat kita lihat pada tabel dibawah ini.
Tabel XI
Faktor yang Melatarbelakangi Tokoh Adat Agar
Menyembelih Ternak Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase(%)
|
1
|
Faktor Adat
|
12
|
80
|
2
|
Faktor keturunan
|
3
|
20
|
3
|
Tidak Tahu
|
0
|
0
|
Jumlah
|
15
|
100
|
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa yang faktor
yang melatarbelakangi disebabkan karena
faktor adat dengan persentase 80%, sedangkan faktor keturunan hanya berjumlah
20%.
Prosesi penyembellihan
ternak kerbau yang diselenggarakan termasuk upacara adat sebagai bentuk
perhargaan. Dalam kebiasaan masyarakat tentang menyembelih ternak kerbau
saat anggota keluarga meninggal tersebut, ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Sehingga kebiasaan
tersebut
masih tetap hidup dan dilaksanakan terkhusus
orang-orang yang kuat adatnya (paradat). Sebab,
ini kebangggaan
sendiri bagi orang yang kuat adatnya apabila hal itu dilaksanakan[22].
Istilah
Hatoban erat sekali kaitannya dengan raja didalam adat tersebut, Hatoban adalah
pangkat yang dianugrahkan kepada seorang raja (pemimpin). Bukti bahwa segala
perintnhnya harus dituruti dan dihormati oleh semua kaumnya (rakyat). Adapun
kaitan Hatoban dengan ternak kerbau terletak pada sebuah keadaan yakni, ketika
sang raja wafat.
Biasanya
apabila ada yang meninggal dunia, binatang babi yang menjadi makanan untuk para
pelayat. Berhubung dalam Islam babi
adalah hewan yang diharamkan. Sehingga ternak kerbau dalam pandangan mereka
adalah binatang yang kebal, tahan dan istimewa. Sehingga muncul harapan agar
nantinya mayit tersebut berupa dengan sifat kerbau. Sedangkan sapi disembelih
pada waktu ada perayaan pesta perkawinan.
Adapun
beberapa faktor pendukung antara lain sebagai berikut:
Pertama, tradisi menyembelih ternak
kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia termasuk kewajiban yang harus
dilakukan oleh keluarga ahli musibah khususnya bagi masyarakat suku Mandailing
yang menetap di Tapanuli Selatan. Seandainya hal tersebut tidak dilaksanakan,
menurut pandangan adat berarti mayat tersebut belum dimakamkan[23].
Kedua, kalau tidak menyembelih
ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia maka, anak dan cucu
nantinya tidak boleh melakukan pesta perkawinan (manor-tor). Dan terlebih
dahulu harus diselesaikan secara adat agar pesta tersebut terlaksana[24].
Ketiga,
bentuk penghargaan yang sedalam-dalamnya oleh anggota keluarga
terhadap si mayit.[25]
Keempat, bukti bahwa keluarga yang
ditinggalkan, tabah dan sabar atas musibah yang mereka hadapi. Dengan
menyembelih ternak (kerbau) berarti merelakan kepergiannya selama-lamanya.
D.
Pandangan
Hukum Islam Tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal
Dunia
Pada
pembahasan ini dijelaskan pandangan
hukum
Islam. Berbagai analisis para ulama salaf, tentang bagaimana mereka melihat
praktek menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Oleh
karena itu, dalam hukum positif
manusia tidak mengakui
adanya kebiasaan yang bertentangan dengan hukum dasar atau aturan umum. Hanya
saja, sebuah adat harus ditinjau dari sudut pandang yang lain; apakah termasuk
darurat atau kebutuhan manusia. kebiasaan ini tentu bersifat sosiologis yang
dikaitkan dengan kebiasaan (adat) dalam pandangan hukum Islam.
‘Izzuddin
bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id
al-Ahkam fi Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah itu adalah
maslahat, baik dengan cara menolak mafsadah atau dengan meraih maslahat. Kerja
manusia itu ada yang membawa kepada maslahat, ada pula yang menyebabkan mafsadah.
Seluruh yang maslahat diperintahkan syariah dan seluruh yang mafsadah
dilarang oleh syariah[26].
Sebelum
Nabi Muhammad Saw., diutus, adat
kebiasaan sudah berlaku dan berjalan di dunia Arab, begitu juga yang terjadi di
Indonesia sendiri. Adat kebiasaan suatu
masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat
tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan
atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Ketika
Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan
di masyarakat. Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai Islam meskipun
aspsek filosofisnya berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan
nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam.
Dalam
kajian qawaid al-fiqh yang
berbunyi:
“adat kebiasaan dapat
dijadikan pertimbangan) hukum”
Secara bahasa, al-‘adah
diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah (المعاودة) yang artinya berulang
(التكرار)
Para
ulama mengartikan al-‘adah sebagai
berikut:
“Urf
adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangi dalam ucapannya dan perbuatannya
sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.
Adat:
himpunan kaidah sosial dalam masyarakat luas, tidak termasuk hukum syara’.
Kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, seeolah
kehendak/peraturan warisan nenek moyang mereka, bahkan seolah suatu keharusan
yang bersumber dari Tuhan[29].
Praktek
yang selama ini terjadi dalam masyarakat yakni menyembelih ternak kerbau saat
anggota keluarga meninggal dunia untuk disuguhkan kepada para penziarah memang
tidak pernah dipraktekkan para ulama salaf.
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Ja’far, dia Nabi
Muhammad Saw., bersabda:
حدثنا احمد بن منيع وعلي بن حجر قال: اخبرنا سفيان ابن
عيينة عن جعفر بن خالد عن ابيه عن عبدالله بن جعفر قال: لما جاء نعي جعفر حين قتل،
قال النبي صلي الله عليه وسلم: اصنعوا لأل جعفر طعاما، فقد جاءهم مايشغلهم. قال
ابوا عيسى: هذا حديث حسن اوقد كان بغض اهل العلم يستجب ان توجه الي اهل الميت بشئ
لشعلهم بالمصيبة. وهو قول السافعى وجعفر بن خالد هو ابن سارة وهو ثقة روا عنه ابن
جريج. (رواه ابوا داود والترمذي).[30]
Artinya: Ahmad bin Manie’ dan Ali bin Hajr
menceritakan kepada kami, mereka berkata; Sofyan bin ‘Ainah memberitahukan
kepada kami dari Ja’far bin Khalid dari ayahnya
dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata ketika datang kabar kematian
Ja’far, Nabi Muhammad Saw., bersabda: Buatkanlah oleh kamu makanan untuk
keluarga Ja’far karena keluarganya baru dalam kesibukan (tertimpa kemalangan). Abu Isa
berkata: Hadist ini hasan shahih. Sebagian ahli ilmu menganggap sunat untuk
pergi kepada keluarga mayit dengan membawa sesuatu, karena kesibukannya dengan musibah. Pendapat
inilah pendapat Syafi’i.
Ja’far bin Khalid dia adalah Ibnu Sarah dapat dipercaya Ibnu Juraij telah meriwayatkan hadits darinya. (HR.
Abu Daud dan At-Tarmidzi).
Dari
hadits diatas sudah jelas madsuk dan tujuan bahwa tidak ada kewajiban ahli
musibah untuk menyediakan makanan apalagi berupa sembelihan. Malah yang dititik
beratkan kepada tetangga agar menghibur mereka yang sedang ditimpa kesedihan.
Pikiran yang menyusahkan malah ditambah lagi agar menyediakan sembelihan tentu
akan melipatgandakan kesedihan berikutnya.
Para ulama sepakat bahwa makruh hukumnya jika
ahli mayyit membuat makanan untuk orang-orang yang berkumpul di rumah ahli
mayyit. Sebab hal itu menambah musibah dan kasibukan bagi dan mirip dengan tradisi
jahiliyyah. Nabi Muhammad Saw .,
bersabda :
وعن جريرة بن عبد الله البخلى قال: قال رسول الله عليه وسلم: كنا نرى الاجتماع الي اهل الميت وصنعة الطعام من النحاحة ).رواه احمد([31]
Artinya: “Dari Jarir bin
Abdullah al-Bajuli berkata, Nabi Muhammad Saw., bersabda: Dahulu mengangagap
berkumpul di tempat keluarga mayat, dan membuatkan makanan kepada orang yang
datang termasuk perbuatan nihahah.” (HR Ahmad).
Menurut Ibnu Qudamah perbuatan orang-orang yang
membuatkan makanan apalagi menyembelih ternak kerbau ketika ada yang meninggal
dunia untuk disuguhkan adalah perbuatan haram dan harus ditinggalkan, karena
itu mirip sekali dengan sifat nihahah (meratapi). Sehingga
keluarga simayit tidak dibenarkan membuat makanan untuk orang-orang yang
datang, karena itu akan menambah atas musibah mereka.
E.
Pandangan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Padanglawas Utara Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara
Tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Pada
pembahasan ini dikemukakan pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kabupaten Padanglawas Utara tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota
keluarga meninggal dunia di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Suatu konsep dalam hukum Islam sangat menrik untuk
diteliti dalam praktek di masyarakat, sehingga dapat dipastikan sesuai atau
tidak keadaan yang terjadi di masyarakat khususnya di kecamatan Halongonan
Kabupaten Padanglawas Utara mengenai praktek menyembelihan ternak kerbau saat
anggota keluarga meninggal dunia.
Untuk
itu penulis memaparkan hasil
penelitian yang dijelaskan berdasarkan tabel berikut ini:
Tabel XII
Bagaimana
Pandangan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara
terhadap Tradisi Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal
Dunia
No.
|
Alternatif Jawaban
|
Frekuensi
|
Persentase (%)
|
1.
|
Boleh
|
10
|
50
|
2.
|
Tidak Boleh
|
6
|
30
|
3.
|
Ragu-ragu
|
4
|
20
|
Jumlah
|
20
|
100
|
Dari
tabel di atas dapat dilihat bahwa kebanyakan dari anggota Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara membolehkan tradisi menyembelih
ternak yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Halongonan yaitu dengan jumlah
persentase 50%.
Sedangkan yang menyatakan tidak boleh dengan jumlah persentase 30%, sedang yang ragu-ragu dengan jumlah
persentase 20%.
Di dalam buku yang berjudul Hangtuah[32]
disebutkan bahwa sejarah yang menceritakan praktek tersebut berawal dari
seorang raja yang sangat dikagumi dan dicintai semua rakyatnya. Suatu hari raja
tersebut wafat, sedangkan adat yang berlaku ketika itu, apabila meninggal dunia
seseorang lantas dangingnya akan dimakan. Akan tetapi rakyatnya, merasa kasihan
kalau tubuh sang raja dijadikan santapan.
Sehingga
para pembesar kerajaan mengadakan rapat untuk membahas permasalahan agar
tubuhnya tidak dijadikan santapan, sebab mereka merasa kasihan. Akhirnya rapat
tersebut selesai diadakan, dan para pembesar kerajaan sepakat tubuh sang raja
tidak dijadikan bahan santapan. Akhirnya, sebagai bahan hidangan untuk
disuguhkan adalah danging babi. Karena babi adalah hewan peliharaan masyarakat,
sedangkan tubuh sang raja dimakamkan dengan baik. Namum dalam ajaran Islam danging babi diharamkan, maka
jalan terakhirnya diambillah ternak kerbau sebagai gantinya untuk disuguhkan
dan dimakan bersama[33].
Anggota
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara mengambil kesimpulan bahwa faktor yang melatarbelakangi terjadinya
praktek menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga
meninggal dunia, antara lain sebagai berikut: Pertama, dengan
ternak yang disembelih diperuntuhkan sebagai sedekah terakhir dari keluarga
ahli musibah, sehingga menurut kepercayaan masyarakat bertujuan untuk
menyelamatkan jiwa orang yang sudah meninggal dunia dari siksa alam kubur.
Kedua, dahulunya yang disembelih adalah babi, karena dalam ajaran Islam hewan tersebut
haram untuk dikomsumsi. Ketika ajaran Islam datang
lama kelamaan binatang babi yang biasa disembelih berangsur-angsur ditinggalkan
masyarakat dan mereka pun menggantinya dengan ternak kerbau.
Ketiga, kebiasaan lama
(menyembelih ternak saat anggota keluarga meninggal dunia) yang dilakukan nenek
moyang dan masih tetap dilaksanakan masyarakat.[34]
F.
Analisa
Penulis
Pada pembahasan ini dapat dikemukakan analisa penulis, menurut pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia
Kabupaten Padanglawas Utara sebagai berikut:
Pertama, Anggota Majelis Ulama
Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara sendiri menyadari bahwa praktek
yang dilakukan masyarakat Kecamatan Halongonan sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Karena tradisi tersebut bersifat sosiologis, sehingga
dalam pandangannya tradisi menyembelih ternak kerbau boleh dilakukan sebab
masyarakat tidak merasa merugi dan terzhalimi.
Kedua, Penulis
menganalisa bahwa tradisi yang terjadi di
Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas
Utara tentang
menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia dalam pandangan
anggota Majelis Ulama Indonesia, antara lain: Boleh dilakukan selama tidak menghambur-hamburkan dan
memperlihatkan harta benda kepada para pentakziah.
Ketiga, penyembelihan ternak kerbau
saat anggota keluarga meninggal dunia. Dalam pandangan anggota Majelis Ulama
Indonesia, selama tidak menimbulkan hal negatif bagi anggota keluarga yang
ditinggakan boleh dilaksanakan. Penulis melihat hal negatif yang dimaksudkan
adalah masyarakat harus menjual tanah (kebun) untuk melunasi utang-utang yang
digunakan selama proses acara. Sehingga menimbulkan hilangnya mata pencaharian
sehari-hari.
Keempat, kebiasaan menyembelih ternak kerbau saat anggoota
keluarga meninggal dunia di Kecamatan Halongonan menunjukkan kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw.,
sehingga diharapkan kepada tokoh Agama supaya lebih intensif memberikan
pencerahan pemahaman sekaligus penerangan kepada semua lapisan masyarakat baik
tokoh Adat maupun masyarakat umum.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
semua uraian terdahulu dapat dikemukakan suatu kesimpulan yaitu sebagai
berikut:
Dalam
ajaran Islam ditegaskan
bahwa tidak ada dalil yang membahas tentang menyembelih
ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Oleh karena itu jika masyarakat masih tetap menjalankan
aktifitas itu maka perbuatan tersebut melenceng dari ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad Saw. Perbuatan yang harus dilaksanakan mestilah sesuai dengan tuntunan
Nabi Muhammad Saw.
Ketentuan hukum Islam dalam hal ini berbeda
dengan ketentuan adat (kebiasaan) yang
dilakukan masyarakat khususnya di Kecamatan Halongonan Kabupaten
Padanglawas Utara. Mereka berpandangan bahwa menyembelih ternak kerbau
saat anggota keluarga meninggal dunia adalah wajib dilaksanakan, sebagai bukti
penghargaan terhadap si mayyit.
Tradisi menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga
meninggal dunia sudah lama berlaku di masyarakat khusunya di Kecamatan
Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Jadi sangat mudah menjumpai orang-orang
yang pernah melakukannya. Masyarakat memang memiliki pandangan yang bervariasi
mengenai hal ini. Sebagian besar berpendapat wajib penyembelihan ternak saat
anggota keluarga meninggal dunia.
Walaupun sebagian masyarakat tetap melakukannya diharap tradisi ini tetap
berada pada jalurnya sehingga tidak ada masyarakat yang merasa terbebani
malaksanakannya. Memang tradisi tersebur
sarat dengan aspek sosiologis, artinya sebuah tradisi lama yang dianut
masyarakat sehingga sulit untuk menjauhinya.
B. Saran-saran
Berdasarkan
uraian terdahulu dapat dikemukakan
saran-saran yaitu:
1.
Diharapakan
kepada tokoh agama, khususnya kepada Majelis
Ulama Indonesia agar lebih intensif dan proaktif memberikan pemahaman
kepada semua masyarakat dalam hal adat (tradisi) yang berkembang dalam
masyarakat yang tidak ada anjuran dalam ajaran Sunnah Nabi Muhammad Saw.
2.
Diharapkan
kepada anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara dan
tokoh Adat, membentuk satu wadah diskusi yang membahas masalah-masalah adat
yang masih dilakukan masyarakat.
3.
Masyarakat
Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara diharapkan untuk lebih
memperdalam pengetahuan dan pengamalan ajaran Islam agar aktifitas mereka
sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad Saw., dan amalan ulama Salaf agar tercipta
masyarakat yang lebih religius.
4.
Ketika
menghadiri takziah diharapkan kesadaran semua anggota masyarakat, untuk
memberikan santunan (sedekah) melebihi nilai dari makanan yang kita makan.
[1] Rachmat Djatnika, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah, dan Akhlak
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 200.
[2] Lathief Rousydy, Sunnah Rasulullah Saw., tentang Sakit, Pengobatan dan
Janazah (Medan: Firma Rimbow, 1987), h. 224.
[3] Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Mukhtashar Kitab al-Umm, terj.
Mohd.Yasin, jilid I (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), h. 758.
[4] Imam al-Ghazali, Ihya’
Ulumiddin, jilid IV (Libanon: Darul Kitab Amaliyah, t.th), h. 495.
[5] Imam Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min
Ahadits Sayyid al-Ahkyar, terj. Adib Bisri Musthafa, jilid IV (Semarang:
Asy-Syifa, 1994), h. 242.
[8]
Sayiq Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid
II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1973), h. 122.
[9]
Ahmad Taswin, Kurban dan Akikah
(Bogor: Kencana, 2003), h. 1.
[11]
Ibid.
[12]
Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahannya al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: J-Art, 2004), h. 107.
[14]
Hafiz Jalaluddin as-Syayuti, Sunan
Nasai, jilid VII (Beirut: Darul Ma’rifat, 1991), h. 260.
[15] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa
Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie
al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 306-309.
[20] Bapak Parubahan Harahap, Masyarakat Umum, Wawancara Pribadi, Desa
Batupulut, 02 September 2015.
[26] ‘Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih al-Anam (Beirut:
Dar al-Jail, 1980), h. 11.
[27] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam cet XI,
(Kuwait: Darul Qalam, 1977), h. 117.
[28] H. A. Djzuali, Kaidah-kaidah Fiqh Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2011), h. 80.
[32] Bapak Mukti Ali, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara,
Wawancara Pribadi, Desa Sosopan, 18 Agustus 2015.
Komentar
Posting Komentar