“Pandangan Anggota Majelis Ulama Indonesia (Mui) Kabupaten Padanglawas Utara Tentang Penyembelihan Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia (Studi Kasus Di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara”

Hasil gambar untuk tradisi islam di padang bolak
oleh: Hikmatiar Harahap
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Takziah biasanya dilakukan dengan mendatangi orang yang sedang menghadapi musibah. Kehadiran orang tersebut ditempat orang yang sedang ditimpa musibah merupakan indikasi keprihatinannya terhadap musibah yang dialami oleh seseorang walaupun kadang-kadang dia tidak perlu mengucapkannya dalam kata-kata.
Takziah bertujuan menyabarkan hati dan menghibur keluarga ahli musibah. Setelah itu semua pergi menunaikan tugas dan keperluan masing-masing. Aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan orang-orang masa kini ketika bertakziah adalah mendirikan tenda, duduk berkumpul-kumpul dan membaca ayat-ayat suci. Pada saat ini memberi nasehat kepada keluarga biasanya dilakukan penyembelihan hewan ternak berupa kambing, lembu atau kerbau.
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan saat ini banyak tidak sesuai  dengan amalan ulama salaf. Bahkan tak jarang pula bertentangan dengan tuntutan kitab suci dan menyalahi ajaran sunnah-sunnah Rasulullah Saw. Misalnya membaca (menyanyikan) ayat-ayat al-Qur’an tanpa mengindahkan norma dan tata tertib qiraat, tanpa menyimak dan berdiam diri, sebaliknya sebagian dari yang hadir malah asyik bersenda gurau dan merokok. 
Dalam ajaran Islam ketika seorang muslim meninggal dunia, orang yang hidup harus melaksanakan fardhu kifayah terhadap si mayyit yakni memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkannya. Tidak ada suruhan untuk memberi makanan kepada penziarah apalagi anjuran untuk memotong hewan ternak. Bahkan suruhan itu dibebankan kepada anggota keluarga  yang tidak sedang ditimpa musibah agar memberikan berupa makanan kepada ahli musibah untuk meringankan beban yang dihadapi. Nabi Muhammad Saw., telah menyuruh kaum muslimin disaat meninggalnya Ja’far untuk memberi makanan kepada keluarga Ja’far. Dalil yang menyatakan agar kita menghibur ahli musibah yang sedang ditimpa musibah dan kesusahan adalah hadits Nabi Muhammad Saw., yang berbunyi:
حدثنا احمد بن منيع وعلي بن حجر قال: اخبرنا سفيان ابن عيينة عن جعفر بن خالد عن ابيه عن عبدالله بن جعفر قال: لما جاء نعي جعفر حين قتل، قال النبي صلي الله عليه وسلم: اصنعوا لأل جعفر طعاما، فقد جاءهم مايشغلهم. قال ابوا عيسى: هذا حديث حسن اوقد كان بغض اهل العلم يستجب ان توجه الي اهل الميت بشئ لشعلهم بالمصيبة. وهو قول السافعى وجعفر بن خالد هو ابن سارة وهو ثقة روا عنه ابن جريج. (رواه ابوا داود والترمذي).[1]
Artinya: Ahmad bin Manie’ dan Ali bin Hajr menceritakan kepada kami, mereka berkata; Sofyan bin ‘Ainah memberitahukan kepada kami dari Ja’far bin Khalid dari ayahnya  dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata ketika datang kabar kematian Ja’far, Nabi Muhammad Saw., bersabda: Buatkanlah oleh kamu makanan untuk keluarga Ja’far karena keluarganya baru dalam kesibukan (tertimpa kemalangan). Abu Isa berkata: Hadist ini hasan shahih. Sebagian ahli ilmu menganggap sunat untuk pergi kepada keluarga mayit dengan membawa sesuatu, karena kesibukannya dengan musibah. Pendapat inilah pendapat Syafi’i. Ja’far bin Khalid dia adalah Ibnu Sarah dapat dipercaya Ibnu Juraij  telah meriwayatkan hadits darinya. (HR. Abu Daud dan At-Tarmidzi).

Maksud perkataan “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far; ini menunjukkan disyariatkannya membuatkan makanan yang dibutuhkan keluarga si mayat, karena mereka sedang sibuk dengan musibah yang menimpa mereka sampai mereka melupakan diri mereka sendiri. Berkumpul di rumah keluarga si mayit sesudah dikuburkannya mayat itu dan makan-makanan di situ adalah termasuk meratap, karena demikian itu mengandung perbuatan yang memberatkan keluarga si mayat tadi dan menambah kesusahan mereka yang telah ditinggali mati salah seorang keluarganya. Disamping itu, perbuatan tersebut menyalahi sunnah Nabi Muhammad Saw., sebab mereka diperintahkan agar membuatkan makanan untuk keluarga si mayat, tetapi mereka bahkan membebani keluarga tersebut supaya membuatkan makanan untuk mereka”.
Bahkan Imam Syafi’i seorang mujtahid besar melarang para pentakziah untuk memakan makanan orang yang ditimpa musibah. Tapi, sudah menjadi tradisi (kebiasaan nenek moyang) lama dalam masyarakat Indonesia menyediakan makanan bagi orang-orang yang berta’ziah. Bahkan di sebagian daerah tidak afdhol rasanya jika kepergian orang tercinta menghadap Ilahi tidak disertai dengan penyembelihan hewan ternak untuk disuguhkan bagi para pentakziah menjelang pemberangkatan terakhir atau sesaat setelah mayit dikuburkan. Jika mereka tidak melakukan hal itu maka akan digunjing oleh para tetangga dan dikatakan tidak berbakti kepada orang tercinta.
Tradisi semacam diatas juga terdapat di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Masyarakat yang mayoritas muslim ini juga menjalankan kebiasaan (adat) penyembelihan hewan ternak untuk disuguhkan kepada orang-orang yang bertakziah.
Berangkat dari kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di Kecamatan Halongonan  Kabupaten Padanglawas Utara dalam hal apabila ada orang yang meninggal dunia, maka anggota keluarganya akan mempersiapkan ternak untuk disembelih untuk memberi makan para penziarah walaupun sebahagian dari biaya-biaya tersebut didapatkan dari bantuan STMK (serikat tolong menolong kematian) atau dari para penziarah sendiri. Untuk menelusuri secara mendalam praktek yang berlaku pada masyarakat mempersiapkan ternak sembelihan oleh keluarga yang meninggal dunia untuk diberikan kepada para penziarah. Penulis akan membahas masalah ini dalam skripsi yang berjudul “PANDANGAN ANGGOTA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) KABUPATEN PADANGLAWAS UTARA TENTANG PENYEMBELIHAN TERNAK KERBAU SAAT ANGGOTA KELUARGA MENINGGAL DUNIA (STUDI KASUS DI KECAMATAN HALONGONAN KABUPATEN PADANGLAWAS UTARA”.
A.    Pembatasan Masalah
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan penulisan skripsi ini hanya berkisar pada bagaimana praktek penyembelihan hewan ternak di kalangan masyarakat menurut anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara  saat anggota keluarga meninggal dunia. Dengan harapan agar dalam pembahasan skripsi ini menjadi lebih terarah, tersusun secara lebih sistematis sesuai dengan tema yang menjadi titik fokus skripsi ini.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan masyarakat tentang pemotongan ternak kerbau saat anggota keluarga meningga dunia yang dilaksanakan di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara?
2.      Faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara melaksanakan pemotongan kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia?
3.      Bagaimana pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara tentang pemotongan kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara saat anggota keluarga meninggal dunia?
C.    Tujuan Penelitian
Terdapat beberapa objek kajian yang terdapat dalam kajian ini. Diantara objek tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui lebih mendalam tentang praktek penyembelihan ternak kerbau yang dilaksanakan masyarakat di  kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara.
2.      Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara melaksanakan pemotongan kerbau.
3.      Untuk mengetahui pendapat anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), tokoh adat dan masyarakat umum tentang pemotongan kerbau di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara.
D.    Kegunaan Penelitian
1.      Untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang persepsi pemotongan hewan ternak yang sesuai dengan hukum Islam.
2.      Untuk memenuhi sebahagian dari persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I) pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negari Sumatera Utara Medan.

Hasil gambar untuk tradisi islam di padang bolak



 F.  Kerangka Teori
Kematian adalah suatu hal yang pasti terjadi dan akan dialami oleh setiap yang bernyawa. Kapan dan dimana seseorang akan mati tidaklah ada yang mengetahui, kecuali Allah Swt. Apabila ada keluarga yang tertimpah musibah tugas orang yang hidup adalah menghibur orang tersebut, sebab sesuai dengan fitrahnya manusia sangat berduka dan bersedih karena ditinggal orang tercinta untuk selamanya.
Menasihati keluarga yang ditimpa musibah untuk tetap bersabar dan tabah adalah kewajiban kaum kaum kerabatnya. Inilah yang sepantasnya kita laksanakan agar ahli musibah  memahami makna dari kehidupan. Bahwa hidup di dunia ibarat berjalan untuk mengumpulkan bekal di hari akhir. 
Kata-kata ta’ziah yang kita sampaikan adalah dengan maksud untuk meringankan penderitaan lahir-bathin ahli musibah[1].  Maka disamping itu Rasulullah Saw., menuntun kita sebagai ummat agar membantu meringankan beban kehidupan mereka sehari-hari, sebab musibah yang menimpa itu bukan sebuah harapan dan kemauan tapi sudah menjadi takdir Ilahi. Inilah bukti kebersaman sesama muslim agar tetap istiqomah dan saling membantu satu sama lain[2].
Imam Syafi’i berkata: “saya menyukai makanan untuk ahli mayit pada hari meninggalnya dan malamnya yang dapat mengenyangkan mereka. Sesungguhnya yang demikian itu adalah sunnah dan zikir yang mulia, juga merupakan perbuatan yang baik yang diperbuat oleh ahli-ahli kebaikan sebelum dan sesudah kita. Berkumpul-kumpul  (dirumah orang yang keluarganya meninggal dunia) walaupun tidak ada tangisan”.[3]
Berkumpul biasanya tidak sekedar berkumpul, tetapi sebagian pentakziah ingin minum atau bahkan ingin menguyah makanan. Realitas yang terjadi di sebagian besar masyarakat kita ketika menghadiri takziah adalah, malah ahli musibah yang sibuk membuatkan makanan untuk para pentakziah. Hal yang demikian sangatlah menyusahkan dan merepotkan ahli mayit, juga menghendaki biaya yang besar yang harus dikeluarkan ahli mayit.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali Rahimullah  berkata, “Adapun taziyah yang dianjurkan Islam adalah hendaknya seorang muslim datang seperlunya dan bagi keluarga sedang berduka tidak diperkenankan untuk menyediakan sesuatu apa pun untuknya; termasuk menyediakan tempat untuk berkumpul dalam satu tempat”[4].
Kenyataan yang terjadi pada ummat Islam dewasa ini adalah sangat memilukan, seolah-olah wajib bagi keluarga menyediakan makanan bagi pentakziah. Padahal, anjuran Nabi Muhammad Saw, justru mengharuskan kita membantu, menghibur dimana keluarga ahli musibah sedang dirundung kesedihan karena ditinggal orang tercinta.
Hal ini juga dapat mengakibatkan dampak yang buruk, apabila kebiasaan menyediakan hidangan (makanan dan minuman pada saat ada yang meninggal). Ketika keluarga kurang mampu terkena  musibah, keluarga tersebut merasa malu kalau tidak menghidangkan makanan dan minuman, dikarenakan hal tersebut telah menjadi adat kebiasaan masyarakat. Walaupun terkadang ahli musibah dari keluarga kurang mampu, sehingga mereka terpaksa harus mencari tempat berhutang.
Ada sebagian masyarakat menganggap bahwa untuk memuliakan si mayyit atau menghormatinya, mereka perlu mengadakan upacara dalam bentuk “menyediakan makanan (penyembelihan hewan ternak). Upacara yang demikian disamping tidak terdapat dalam ajaran Islam, juga sangat merepotkan para keluarga yang sedang ditimpa musibah. Hadits Nabi Muhammad Saw., menyatakan sebagai berikut:
وعن أنس ان النبي صلي الله عليه وسلم: قال لاعقر في اسلام. رواه احمد وابو داود. وقال: قال عبد الرزاق كانوا يعقرون عند القبر بقرة أو شاة فى الجاهلية[5].    
Artinya: diceritakan dari Anas bahwa Nabi Muhammad Saw., bersabda: “Tidak ada penyembelihan (hewan) di dalam Islam”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Dan Abu Dawud berkata: “Abdurrazaq berkata’ pada masa jahiliyyah, mereka biasa menyembelih sapi atau kambing di perkuburan”.
Para ahli fikih menyatakan bahwa makanan yang disajikan oleh keluarga duka kepada para pentakziah yang berkumpul di sana adalah makruh, karena itu sama artinya dengan membantu terjadinya bid’ah. Menyembelih hewan ternak lalu dibagi-bagikan merupakan perbuatan mungkar, yang tidak termasuk dalam tuntunan Nabi Muhammad Saw., maupun  para  sahabat. Oleh karena itu perbuatan itu harus dicegah dan dijauhi. Adapun celaan orang-orang kepada keluarga si mayit bila tidak melakukannya, yaitu ucapan mereka bahwa keluarga tersebut tidak menyukai mayit tersebut[6].
G.      Metode, Jenis Dan Teknik Penelitian
1.      Pendekatan Masalah
Adapun metode pendekatan masalah dalam skripsi melalui Pendekatan yuridis normatif yang didukung dengan argumentasi-argumentasi. Yakni menganalisis pendapat anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara. Sehingga akan diambil kesimpulan secara objektif, logis, konsisten dan sistematis.
2.      Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, yaitu:
a.       Data primer
Yaitu melakukan wawancara dengan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara (Bapak Mukti Ali, Tomuan Harahap, Awwaludin Siregar). Wawancara dengan masyarakat umum (H. Bangus Siregar Parluhutan dll), wawancara dengan tokoh Adat ( Bapak Sutan Nalobi, Timbul Harahap, Baginda Sinjoman).
b.      Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah (Al-qur’an, Hadist Nabi Muhammad Saw, catatan pribadi, dan fhoto copy berkas), buku-buku karangan ilmiah antara lain (Islam Abangan, Bid’ah-bid’ah di Indonesia, buku pintar sunnah & bid’ah dll).
3.      Teknik penelitian
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang tepat maka penulis menggunakan dengan cara:
a.       Pengumpulan data
Penulisan terlebih dahulu mempersiapkan berbagai keperluan seperti (buku catatan, alat tulis, alat rekaman, daftar wawancara dll).
b.      Wawancara
 Yaitu mencari data dengan bertatap muka secara langsung terhadap responden yang dipilih sebelumnya yaitu anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara, tokoh adat dan masyarakat umum.
4.      Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, selanjutnya data tersebut akan diinventarisasi dengan cara diklasifikasikan, disistematisasikan dan selanjutnya di interpretasikan sesuai dengan topik yang sedang dikaji.
5.      Teknik Penulisan
Teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
H.     SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima (5) bab setiap bab terdiri dari sub bab yaitu :
Bab I dimulai dengan pendahuluan yang terdiri dari atas latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritis, metode jenis dan teknik penelitian, sistematika penelitian.
Kemudian dilanjutkan dengan bab II merupakan kajian teoritis yang  membahas tentang menyembelih hewan ternak dan permasalahannya, pengertian menyembelih ternak dan dasar  hukumnya, hukum melaksanakan penyembelihan, syarat-syarat penyembelih dan hikmah penyembelihan dalam Islam.
Selanjutnya pada bab III, merupakan kajian lapangan yang membahas aspek geografis, aspek demografis, aspek pendidikan dan agama, aspek sosial dan budaya.
Kemudian pada bab IV, merupakan hasil penelitian yang membahas praktek masyarakat dalam melakukan penyembelihan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia, pandangan masyarakat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tentang menyembelih hewan ternak saat anggota keluarga meninggal dunia, Pandangan tokoh Adat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia, Pandangan Hukum Islam tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia, Pandangan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara Tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia, dan analisa penulis.
Pada bab V, merupakan bagian akhir dalam penulisan skripsi ini, yang merupakan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
MENYEMBELIH TERNAK DAN PERMASALAHANNYA
A.    Pengertian Menyembelih Ternak Dan Dasar  Hukumnya
Pembahasan ini terdiri dari defenisi penyembelihan, dasar hukum penyembelihan.
Salah satu ajaran Islam adalah berkaitan dengan penyembelihan hewan ternak agar halal dikonsumsi. Kata “penyembelihan” sendiri berasal dari bahasa Indonesia yaitu “sembelih” berarti menggorok leher (binatang); memotong binatang; membantai[7]. Sedangkan dalam bahasa ‘Arab berasal dari akar kata ذبح berarti menghilangkan nyawa binatang dengan istilah Az-Zakat berarti At-Tathayyub, misalnya kata; Raihatun zakiyyatun artinya bau yang sedap. Az-Zabhu; dinamai dengan kata ini (az-zakat); karena pembolehan secara hukum syara’ membuatnya menjadi tayyib (baik, harum, sedap). Dan dikatakan pula az-zakatu bermakna at-Tatmin (penyempurnaan). Dikatakan: Fulanun zakiyun, artinya: pemahamannya, yang dimadsuk dengan kata ini adalah: penyembelihan hewan atau memotongnya dengan jalan memotong tenggorokkannya, atau organ untuk perjalanan makanan dan minumannya[8].
Adapun pengertian sembelih secara etimologis berarti memotong, membelah, atau membunuh suatu hewan. Sedangkan menurut syara’ adalah menghilangkan nyawa binatang yang halal dimakan dengan menggunakan alat yang tajam  selain kuku, gigi, dan tulang agar halal dimakan oleh orang Islam[9].
Sementara secara terminologis, terdapat perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab fiqh, sesuai dengan perbedaan mereka tentang bagian yang wajib dipotong dalam penyembelihan tersebut. Menurut Hanafi dan Maliki: penyembelihan adalah tindakan memotong urat-urat kehidupan yang ada pada hewan itu, yaitu empat buah urat: tenggorokan (al-hulquum), kerongkongan (al-mar’i), dan dua urat besar yang terletak disamping leher (al-wadjaan). Lokasi penyembelihan itu sendiri adalah bagian diantara labbah (bagian bawah leher) dengan lahyain (tempat tumbuhnya jenggot, yaitu tulang rahang bawah).
Sedang disebut penyembelihan dalam pandangan Syafi’i adalah tindakan menyembelih hewan tertentu yang boleh dimakan dengan cara memotong tenggorokan dan kerongkongannya. Adapun posisi dan lokasi pemotongan itu bisa di bagian atas leher (al-halq) atau dibagian bawah leher (labbah)[10]. Imam Syafi’i menjelaskan lebih detail agar sempurnanya suatu penyembelihan adalah dengan memutuskan 4 (empat) hal, yaitu tenggorokan (jalan makanan), kerongkongan (jalan udara), dan dua urat leher[11]. Adapun yang dimaksud dengan tenggorokan adalah tempat masuknya makanan dan minuman yang dimakan dan yang diminum oleh seluruh makhluk yang berupa manusia dan binatang (ternak).
Sedangkan yang dimadsuk dengan kerongkongan adalah tempat keluar masuknya udara. Apabila suatu penyembelihan berhasil memutuskan kerongkongan dan dua urat leher  tapi belum memutus tenggorokan, maka penyembelihan itu tidak sah, karena dalam keadaan seperti ini kadang-kadang binatang (ternak) masih bisa hidup untuk beberapa lama. Begitu juga apabila suatu penyembelihan telah berhasil memutuskan tenggorokan dan dua urat leher tetapi  belum memutuskan kerongkongan, maka penyembelihan tersebut tidak sah.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa binatang yang halal dimakan belumlah halal sepenuhnya, kecuali disembelih terlebih dahulu dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh syara’. Sebagaimana firman Allah swt:                      
 حرمت عليكم الميتة ولحم الخنزير ومآ أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة ومآ اكل السبع الا ما ذكيتم وما ذبح علي النصب...(سورة المائدة اية ٣)[12]
Artinya: diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah (daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya...(Q.S Al-Maidah[5]:3).
B.     Hukum Melaksanakan Penyembelihan
Penyembelihan adalah syarat halalnya memakan hewan darat yang boleh dimakan. Artinya, tidak halal memakan hewan apapun yang boleh dimakan tanpa dilakukan penyembelihan yang sesuai aturan syariat. Hal itu didasarkan pada Firman Allah  swt, :               
حرمت عليكم الميتة ولحم الخنزير ومآ أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة ومآ اكل السبع الا ما ذكيتم وما ذبح علي النصب...(سورة المائدة اية ٣)[13]
Artinya Diharamkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih bukan atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. . . . (Q.S. al-Ma’idah [5]: 3).
Terlihat bahwa dalam ayat ini Allah swt, mengaitkan kehalalan memakan hewan-hewan tersebut dengan penyembelihan. Lebih lanjut, Nabi Muhammad Saw, juga bersabda:,
عن أبيه عن جده رافع بن خديج قال: قلت: يا رسول الله صلي عليه وسلم: إنا نلقى العدو غدا وليس معنا مدي، قال رسول الله صلي عليه وسلم: ما أنهر الدم وذكر آسم الله عز وجل فكلوا مالم يكن سنا او ظفرا وسأحدثكم عن ذلك، اما السن فعظم وأماالظفر فمدى الحبشة[14].
Artinya: “Dari Bapaknya dari kakeknya Rafi’ bin Khodij ia berkata: Rasulullah Saw., bersabda: Selama darah suatu hewan telah dialirkan dan ketika itu disebut nama Allah, maka makanlah, kecuali bagian sinn dan zhufr. Saya akan menjelaskan pada kalian bahwa yang dimaksud dengan sinn adalah tulang, sementara zhufr adalah (bagian tubuh) yang biasa digunakan sebagai pisau oleh orang-orang Habsyah”. 
C.    Syarat-Syarat Penyembelih
Orang yang melakukan penyembelihan dapat dibedakan menjadi tiga golongan: yang haram sembelihannya berdasarkan kesepakatan ulama, yang boleh sembelihannya berdasarkan ksepakatan ulama, dan golongan yang kebolehan sembelihannya masih diperdebatkan. Sementara itu, sembelihan yang disepakati oleh seluruh ulama kehalalan memakannya adalah sembelihan seorang muslim yang baligh dan berakal. Sedangkan sembelihan yang diperselisihkan para ulama tentang kebolehan memakannya adalah, sembelihan yang dilakukan seorang Ahlul Kitab, yang dilakukan anak-anak, orang gila, orang mabuk dan disengaja[15]. Penjelasan secara lebih rinci tentang hal ini adalah sebagai berikut:
1.      Sembelihan Islam 
Para ulama tidak ada yang berselisih paham terhadap sembelihan seorang muslim sehingga halal untuk dimakan.
2.      Sembelihan Ahlul kitab
Secara prinsip, seluruh ulama sepakat tentang bolehnya memakan sembelihan ahlul kitab. Berdasarkan Firman Allah Swt., sebagai berikut:
...وطعام الذين اوتوالكتاب حل لكم وطعام حل لكم...( سورة المائدة اية٣([16]
Artinya:Makanan (sembelihan) Ahlul Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka...” (QS al-Maidah(3) [5]).
Sedangkan binatang yang disembelih oleh orang musyrik/kafir hukumnya tidak sah dan dagingnya haram dimakan. berdasarkan firman Allah Swt., sebagai berikut:      
حرمت عليكم الميتة ولحم الخنزير ومآ أهل لغير الله...(سورة المائدة اية ٣) [17]
Artinya“ Diharamkan bagi kamu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih bukan atas nama selain Allah...” (Q.S. Al-Maidah( 3) [5]).
3.      Sembelihan Perempuan dan Anak-Anak
Dihalalkan memakan sembelihan seorang prempuan, sekalipun tengah haidh. Sembelihan anak kecil yang sudah mumayyiz (dapat membedakan antara hal baik dan buruk). Kaum prempuan juga memiliki kemampuan yang sempurna dalam melakukan penyembelihan. Walaupun, memang dianjurkan agar kaum laki-lakilah yang melakukannya, karena  mereka lebih kuat tenaganya dalam menyembelih ketimbang kaum prempuan. Dibolehkannya anak-anak dalam penyembelihan, dikarenakan ia sudah memiliki tujuan yang lurus ketika melakukan suatu aktivitas, sehinga statusnya mirip dengan orang yang baligh. Adapun anak yang belum mumayyiz  hukumnya makruh menurut madzhab Syafi’i.
4.      Sembelihan Orang  Gila Dan Mabuk
Tidak sah sembelihan kedua golongan ini, sebab mereka tidak menyadari apa yang mereka kerjakan, seperti halnya anak kecil yang belum mumayyiz.
5.      Dengan Sengaja
Kalau salah seorang memengang pisau, tiba-tiba ada ayam meloncat dan tepat mengenai lehernya, lalu mati yang bukan disengaja disembelih, maka binatang itu mati sebagai bangkai.
6.      Tidak Dalam Keadaan Ihram Haji
Orang yang berada ditanah haram ketika melaksanakan ihram haji dilarang melakukan aktifitas menyembelih binatang walaupun binatang tersebut binatang yang halal dikonsumsi.
D.    Tata Cara Penyembelihan
Dalam pembahasan ini terdapat empat topik:
a.       Jumlah yang Terpotong
Hadits Nabi Muhammad Saw., yang berbunyi;
افر الأوداج بما شئت.)رواه امام النساء, ابو دواد وابن ماجه([18]
Artinya: “Potonglah urat-urat leher dengan apapun yang engkau inginkan”. (HR Imam an-Nasa’i, Abu Daud dan Ibn Majah).
Kata al-Audaaj dalam hadits tersebut artinya urat-urat leher. Dalam urat-urat leher yang dimaksud minimal ada  tiga yang harus dipotong saat menyembelih hewan. Ada pun urat leher yang dimaksud minimal urat tenggorokan, urat makanan, dan salah satu dari dua urat leher harus terpotong. Karena, tiap urat dalam leher tersebut memang harus dipotong, dan fungsi masing-masing urat tersebut juga berbeda-beda. Tenggorokan fungsinya untuk jalan makanan, sedangkan urat leher untuk jalan darah.
b.      Tempat Bagian yang Dipotong dari Hewan Sembelihan
Yang harus dipotong adalah jakun (bagian atas kerongkongan) dibagian tengahnya, dan sebagaian keluar ke arah badan, dan sebagian lagi ke bagian kepala, maka sembelihannya tetap halal. Jika jakun tidak dipotong pada bagian tengahnya, dan sebagian jakun itu keluar ke arah badan, maka sembelihannya tidak boleh dimakan.
c.       Menyembelih Hewan dari Tengkuknya
Bahwa hewan yang disembelih dari tengkuknya tidak boleh dimakan, tidak juga hewan yang disembelih dari sisi leher, meskipun hal itu sampai memotong sesuatu yang wajib dalam penyembelihan. Karena, penyembelihan dari tengkuknya tidak akan sempurna kecuali setelah memotong urat saraf dalam punggung yang termasuk inti kehidupannya, sehingga penyembelih itu terjadi pada hewan yang sudah terbunuh. Sembelihan hewan secara cepat dan pisaunya tepat mengenai pada bagian yang memang seharusnya disembelih. Agar tidak termasuk kedalam penyiksaan terhadap hewan.
d.      Memotong Nakha’
Jika penyembelihan hewan hingga memotong nakha’  atau sampai lehernya terputus, maka sembelihan itu termasuk hal yang harus ditinggalkan sebab bisa menambah kesakitan terhadap hewan. Akan tetapi hal itu tidak dilarang, tetapi jangan melewati batas sembelihan.
E.     Hikmah Penyembelihan Dalam Islam
Penyembelihan setiap hewan yang halal dimakan oleh orang-orang Islam dapat memberikan nilai positif pada diri seorang muslim dari segi mental, fisik, sikap, atau kepribadian. Selain itu, penyembelihan secara halal juga dapat memberikan beberapa kebaikan atau hikmah yaitu:
1.      Penyembelihan adalah melindungi kesehatan manusia secara umum, dan agar terhindar tubuh dari kemudharatan dengan cara memisahkan darah dari danging dan mensucikannya dari cairan merah tersebut.
2.      Penyembelihan secara halal menunjukkan perbedaan yang nyata antara cara orang Islam dan orang kafir dalam menyembelih hewan.
3.      Penyembelihan hewan secara halal menunjukkan perbedaan daging yang halal dan yang haram dimakan oleh orang Islam.
4.      Hewan sembelihan dapat dipastikan tidak tersakiti dan tersiksa ketika disembelih,  kecuali dalam waktu yang singkat.
5.      Darah hewan yang sembelih dapat mengalir dengan cepat sehingga dapat menghindarkan daging dari kuman dan bakteri yang mungkin ada dalam darah hewann tersebut. Mengonsumsi darah yang mengalir hukumnya haram, sebab membahayakan kesehatan tubuh manusia dikarenakan ketika itu darah menjadi tempat bersemayamnya berbagai kuman dan mikroba berbahaya. Selain itu, masing-masing orang memiliki golongan darah tertentu, sehingga larangan mengkomsumsinya adalah untuk mencegah  terjadinya percampuran anatara berbagai golongan darah.
6.      Niat yang dilapalkan sebelum menyembelih merupakan bentuk permohonan izin kepada Allah swt, karena hewan sembelihan adalah makhluk-Nya yang bernyawa.


Hasil gambar untuk tradisi islam di padang bolak
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A.    Aspek Geografis
Geografi (geographie) berasal dari bahasa Yunani “Ge” berarti bumi dan “grapoo” berarti menulis atau dikenal dengan ilmu bumi. Geografi dapat diartikan dengan nama suatu kelompok ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala fisik cultural dan aspek bumi seperti permukaan beserta segala kehidupan mahkluk hidup di atas bumi.
Pada penjelasan ini penulis mengemukakan (menjelaskan) secara global keberadaan lokasi yang dijadikan tempat penelitian penulis. Adapun lokasi penelitian ini adalah berada di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Secara geografis Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara terletak  pada :
0131’29” – 0144’48” LU
9935’36” – 9958’46” BT
Secara birokrasi pemerintahan Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara  dikepalai oleh seorang Camat yang letak kantor pemerintahannya tepat di desa Hutaimbaru I jalan Gunung Tua – Langga Payung km 12.
Secara geografis Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara berbatasan dengan daerah-daerah lainnya:
a.    Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dolok dan Kabupaten Labuhan Batu.
b.   Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Padang Bolak  dan Huristak Kabupaten Padang Lawas.
c.    Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Simangambat dan Kabupaten Labuhan Batu.
d.   Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Padang Bolak.
Dengan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara merupakan sebuah daerah yang memiliki geografis yang sangat strategis, sehingga keberadaannya sangat memungkinkan untuk mengadakan pembangunan dari segi infrastruktur dan non infrastruktur. Secara geografis dapat dikemukakan bahwa Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara mempunyai luas wilayahnya 55.923Ha. Dengan demikian keberadaan Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara adalah termasuk daerah yang wilayahnya sangat luas karena ukurannya sampai 55.923Ha. Untuk mengetahui jarak tempuh dari Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara dengan daerah lainnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. 
Tabel I
Waktu dan Jarak Tempuh di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara Berdasarkan Jauh Wilayahnya
No.
Orbitasi dan Jarak Tempuh
Frekuensi
Ket
1
2
3
Jarak ke ibukota kapubaten/kotamadya
Jarak ke ibukota provinsi
Waktu tempuh ke ibukota kabupaten
14 Km
300 Km
15 menit

Sumber: Data Statistik Kantor Camat Kecamatan Halongonan Tahun 2009
Pada penjelasan berikutnya dapat diterangkan keadaan geografis Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara melalui penggunaan tanah yang selama ini digunakan masyarakat luas, berdasarkan keperluannya, seperti untuk perumahan penduduk, bangunan-bangunan  penduduk serta areal kepentingan lainnya seperti lahan pertanian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak kekurangan tanah untuk dipergunakan tempat tinggal ataupun untuk keperluannya lainnya.
Dengan demikian masyarakat diberikan wewenang mutlak untuk mengelola tanah yang mereka miliki untukk sejumlah kepentingan seperti untuk pemukiman, bangunan lainnya atau untuk areal perkebunan yang mereka inginkan.


BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.    Praktek Masyarakat Dalam Melakukan Penyembelihan Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Pada pembahasan ini dikemukakan seluk beluk singkat praktek yang dilaksanakan masyarakat dalam prosesi penyembelihan hewan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia.
Dalam hal ini, biaya yang digunakan untuk menyediakan ternak adalah biaya sendiri oleh ahli musibah. Kerbau merupakan hewan yang tangguh, kuat dibandingkan diantara hewan yang dipelihara masyarakat secara umum. Kerbau yang akan disembelih harus memiliki kriteria antara lain, cukup umur yakni kisaran 3-4 tahun. Sementara dalam hal jenis kelamin (jantan atau betina) tidak ditentukan, yang terpenting sehat, kuat, tidak cacat.
Prosesi penyembelihan hewan ternak dilaksanakan tepat di hari pertama, sebelum mayyit dikebumikan. Sanak keluarga akan menyaksikan prosesi penyembelihan hewan ternak, dan selanjutnya memberikan sepenuhnya kepada tokoh adat yang bertindak sebagai penyembelih.
B.     Pandangan Masyarakat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tentang Menyembelih Hewan ternak saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Mayoritas masyarakat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara  bermazhab Syafi’i. Ini dapat dilihat dari pengamalan keagamaan sehari-hari mereka seperti dalam praktek pernikahan serta lainnya. Salah satu hal yang penting untuk dikaji di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara mengenai praktek menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Penelitian ini dijelaskan berdasarkan tabel berikut:
Tabel VII
Pemahaman Masyarakat Tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
Alternatif Jawaban
Frekuensi
Persentase (%)
1
Tahu
45
45
2
Tidak Tahu
35
35
3
Diam
20
20

Jumlah
100
100
Dari tabel ini dapat dilihat bahwa kebanyakan masyarakat kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tahu tentang tradisi menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia yaitu 45%, sedangkan yang tidak tahu berjumlah 35%, dan yang ragu-ragu 20%. Kemudian apakah mereka sering melakukan menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel VIII
Seberapa Sering Masyarakat Melaksanakan Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
Alternatif Jawaban
Frekuensi
Persentase(%)
1
Sering
25
70
2
Jarang
8
22
3
Tidak Pernah
3
8

Jumlah
36
100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa masyarakat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara sering melakukan penyembelihan hewan ternak saat anggota keluarga meninggal dunia dengan persentase 70%, dibandingkan jawaban lain, yaitu masyarakat yang mengatakan jarang melakukan dengan persentase 22%, sedangkan 8% mengatakan tidak pernah.
Demikian setelah diketahui tentang seberapa sering masyarakat melakukan tradisi penyembelihan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Maka perlu diketahui bagaimana perasaan masyarakata ketika melaksanakan menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia.
Tabel IX
Perasaan Masyarakat Ketika Melaksanakan Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
Alternatif Jawaban
Frekuensi
Persentase (%)
1
Senang
0
0
2
Sulit
15
68
3
Biasa Saja
7
32

Jumlah
22
100
Dari tabel diatas dapat diketahui bagaimana perasaan masyarakat ketika melaksanakan penyembelihan ternak ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Adapun yang menyatakan perasaan sulit dengan persentase 68%, sedangkan biasa saja dengan jumlah 32%. Sementara perasaan senang 0%.
Ketika penulis mewawancarai masyarakat umum, tentang penyembelihan hewan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia ada tiga (3) hal yang menarik dari hasil wawancara tersebut. Diantaranya sebagai berikut:
Pertama: Masyarakat umum melihat bahwa praktek penyembelihan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia bentuk haholongan (penghormatan tertinggi) terhadap si mayyit sebab hal itulah aktivitas terakhir yang bisa diperlakukan terhadap si mayyit[19]. Kedua, ternak kerbau yang disembelih keluarga, di suguhkan kepada kaum kerabat sebagai sedekah terakhir dari si mayyit, dengan harapan agar si mayyit terbebas dari siksa alam kubur[20]. Ketiga, disebabkan oleh kesukuan, yakni apabila meninggal dunia urat ni tano (orang yang pertama mendiami desa).[21]
C.    Pandangan Tokoh Adat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tentang Menyembelih Ternak Kerbau saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Tabel X
Bagaimana Pandangan Adat tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
Jawaban Alternatif
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Harus dilaksanakan
15
71
2.
Boleh
6
29
3.
Tidak Tahu
0
0

Jumlah
21
100

 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa 71% yang menyatakan harus dilaksanakan tradisi menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Sedangkan ada 29% yang menyatakan boleh dilaksanakan. Kemudian setelah mengetahui tentang pandangan tokoh adat, maka selanjutnya yang harus diketahui apa faktor yang melatarbelakangi sehingga tradisi masih dilaksanakan di dalam masyarakat. Hal ini dapat kita lihat pada tabel dibawah ini.

Tabel XI
Faktor yang Melatarbelakangi Tokoh Adat Agar Menyembelih Ternak Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No. 
Alternatif Jawaban
Frekuensi
Persentase(%)
1
Faktor Adat
12
80
2
Faktor keturunan
3
20
3
Tidak Tahu
0
0

Jumlah
15
100
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa yang faktor yang melatarbelakangi  disebabkan karena faktor adat dengan persentase 80%, sedangkan faktor keturunan hanya berjumlah 20%.
Prosesi penyembellihan  ternak kerbau yang diselenggarakan termasuk upacara adat sebagai bentuk perhargaan. Dalam kebiasaan masyarakat tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal tersebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Sehingga kebiasaan tersebut masih tetap hidup dan dilaksanakan terkhusus orang-orang yang kuat adatnya (paradat). Sebab, ini kebangggaan sendiri bagi orang yang kuat adatnya apabila hal itu dilaksanakan[22].
Istilah Hatoban erat sekali kaitannya dengan raja didalam adat tersebut, Hatoban adalah pangkat yang dianugrahkan kepada seorang raja (pemimpin). Bukti bahwa segala perintnhnya harus dituruti dan dihormati oleh semua kaumnya (rakyat). Adapun kaitan Hatoban dengan ternak kerbau terletak pada sebuah keadaan yakni, ketika sang raja wafat.
Biasanya apabila ada yang meninggal dunia, binatang babi yang menjadi makanan untuk para pelayat.  Berhubung dalam Islam babi adalah hewan yang diharamkan. Sehingga ternak kerbau dalam pandangan mereka adalah binatang yang kebal, tahan dan istimewa. Sehingga muncul harapan agar nantinya mayit tersebut berupa dengan sifat kerbau. Sedangkan sapi disembelih pada waktu ada perayaan pesta perkawinan.
Adapun beberapa faktor pendukung antara lain sebagai berikut:
Pertama, tradisi menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia termasuk kewajiban yang harus dilakukan oleh keluarga ahli musibah khususnya bagi masyarakat suku Mandailing yang menetap di Tapanuli Selatan. Seandainya hal tersebut tidak dilaksanakan, menurut pandangan adat berarti mayat tersebut belum dimakamkan[23].
Kedua, kalau tidak menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia maka, anak dan cucu nantinya tidak boleh melakukan pesta perkawinan (manor-tor). Dan terlebih dahulu harus diselesaikan secara adat agar pesta tersebut terlaksana[24].
Ketiga,  bentuk penghargaan yang sedalam-dalamnya oleh anggota keluarga terhadap si mayit.[25]
Keempat, bukti bahwa keluarga yang ditinggalkan, tabah dan sabar atas musibah yang mereka hadapi. Dengan menyembelih ternak (kerbau) berarti merelakan kepergiannya selama-lamanya.
D.    Pandangan Hukum Islam Tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Pada pembahasan ini dijelaskan pandangan hukum Islam. Berbagai analisis para ulama salaf, tentang bagaimana mereka melihat praktek menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam hukum positif manusia tidak mengakui adanya kebiasaan yang bertentangan dengan hukum dasar atau aturan umum. Hanya saja, sebuah adat harus ditinjau dari sudut pandang yang lain; apakah termasuk darurat atau kebutuhan manusia. kebiasaan ini tentu bersifat sosiologis yang dikaitkan dengan kebiasaan (adat) dalam pandangan hukum Islam.
‘Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak mafsadah atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada maslahat, ada pula yang menyebabkan mafsadah. Seluruh yang maslahat diperintahkan syariah dan seluruh yang mafsadah dilarang oleh syariah[26].
Sebelum Nabi Muhammad Saw.,  diutus, adat kebiasaan sudah berlaku dan berjalan di dunia Arab, begitu juga yang terjadi di Indonesia sendiri. Adat kebiasaan suatu  masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. 
Ketika Islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat. Diantaranya ada yang sesuai dengan nilai-nilai Islam meskipun aspsek filosofisnya berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam.
Dalam kajian qawaid al-fiqh yang berbunyi:
العادة محكمة[27]
adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan) hukum
Secara bahasa, al-‘adah diambil dari kata al-‘aud (العود) atau al-mu’awadah (المعاودة) yang artinya berulang  (التكرار)
Para ulama mengartikan al-‘adah sebagai berikut:
العدة هو ما تعارف عليه الناس واعتاده في أقوالهم وأفعالهم حتى صارذالك مطردا أو غا لبا[28].
Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ulangi dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.
Adat: himpunan kaidah sosial dalam masyarakat luas, tidak termasuk hukum syara’. Kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, seeolah kehendak/peraturan warisan nenek moyang mereka, bahkan seolah suatu keharusan yang bersumber dari Tuhan[29].
Praktek yang selama ini terjadi dalam masyarakat yakni menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia untuk disuguhkan kepada para penziarah memang tidak pernah dipraktekkan para ulama salaf.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far, dia Nabi Muhammad Saw., bersabda:
حدثنا احمد بن منيع وعلي بن حجر قال: اخبرنا سفيان ابن عيينة عن جعفر بن خالد عن ابيه عن عبدالله بن جعفر قال: لما جاء نعي جعفر حين قتل، قال النبي صلي الله عليه وسلم: اصنعوا لأل جعفر طعاما، فقد جاءهم مايشغلهم. قال ابوا عيسى: هذا حديث حسن اوقد كان بغض اهل العلم يستجب ان توجه الي اهل الميت بشئ لشعلهم بالمصيبة. وهو قول السافعى وجعفر بن خالد هو ابن سارة وهو ثقة روا عنه ابن جريج. (رواه ابوا داود والترمذي).[30]
Artinya: Ahmad bin Manie’ dan Ali bin Hajr menceritakan kepada kami, mereka berkata; Sofyan bin ‘Ainah memberitahukan kepada kami dari Ja’far bin Khalid dari ayahnya  dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata ketika datang kabar kematian Ja’far, Nabi Muhammad Saw., bersabda: Buatkanlah oleh kamu makanan untuk keluarga Ja’far karena keluarganya baru dalam kesibukan (tertimpa kemalangan). Abu Isa berkata: Hadist ini hasan shahih. Sebagian ahli ilmu menganggap sunat untuk pergi kepada keluarga mayit dengan membawa sesuatu, karena kesibukannya dengan musibah. Pendapat inilah pendapat Syafi’i. Ja’far bin Khalid dia adalah Ibnu Sarah dapat dipercaya Ibnu Juraij  telah meriwayatkan hadits darinya. (HR. Abu Daud dan At-Tarmidzi).
Dari hadits diatas sudah jelas madsuk dan tujuan bahwa tidak ada kewajiban ahli musibah untuk menyediakan makanan apalagi berupa sembelihan. Malah yang dititik beratkan kepada tetangga agar menghibur mereka yang sedang ditimpa kesedihan. Pikiran yang menyusahkan malah ditambah lagi agar menyediakan sembelihan tentu akan melipatgandakan kesedihan berikutnya.
  Para ulama sepakat bahwa makruh hukumnya jika ahli mayyit membuat makanan untuk orang-orang yang berkumpul di rumah ahli mayyit. Sebab hal itu menambah musibah dan kasibukan bagi dan mirip dengan tradisi jahiliyyah. Nabi Muhammad Saw ., bersabda :
وعن جريرة بن عبد الله البخلى قال: قال رسول الله عليه وسلم: كنا نرى الاجتماع الي اهل الميت وصنعة الطعام من النحاحة ).رواه احمد([31]
Artinya: Dari  Jarir bin Abdullah al-Bajuli berkata, Nabi Muhammad Saw., bersabda: Dahulu mengangagap berkumpul di tempat keluarga mayat, dan membuatkan makanan kepada orang yang datang termasuk perbuatan nihahah.” (HR Ahmad).
Menurut Ibnu Qudamah perbuatan orang-orang yang membuatkan makanan apalagi menyembelih ternak kerbau ketika ada yang meninggal dunia untuk disuguhkan adalah perbuatan haram dan harus ditinggalkan, karena itu mirip sekali dengan sifat nihahah (meratapi). Sehingga keluarga simayit tidak dibenarkan membuat makanan untuk orang-orang yang datang, karena itu akan menambah atas musibah mereka.

E.     Pandangan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara Tentang Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
Pada pembahasan ini dikemukakan pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Suatu konsep dalam hukum Islam sangat menrik untuk diteliti dalam praktek di masyarakat, sehingga dapat dipastikan sesuai atau tidak keadaan yang terjadi di masyarakat khususnya di kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara mengenai praktek menyembelihan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia.
Untuk itu penulis memaparkan hasil penelitian yang dijelaskan berdasarkan tabel berikut ini:

Tabel XII
Bagaimana Pandangan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara terhadap Tradisi Menyembelih Ternak Kerbau Saat Anggota Keluarga Meninggal Dunia
No.
Alternatif Jawaban
Frekuensi
Persentase (%)
1.
Boleh
10
50
2.
Tidak Boleh
6
30
3.
Ragu-ragu
4
20

Jumlah
20
100

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kebanyakan dari anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara membolehkan tradisi menyembelih ternak yang dilakukan masyarakat di Kecamatan Halongonan yaitu dengan jumlah persentase 50%. Sedangkan yang menyatakan tidak boleh dengan jumlah persentase 30%, sedang yang ragu-ragu dengan jumlah persentase 20%.
Di dalam buku yang berjudul Hangtuah[32] disebutkan bahwa sejarah yang menceritakan praktek tersebut berawal dari seorang raja yang sangat dikagumi dan dicintai semua rakyatnya. Suatu hari raja tersebut wafat, sedangkan adat yang berlaku ketika itu, apabila meninggal dunia seseorang lantas dangingnya akan dimakan. Akan tetapi rakyatnya, merasa kasihan kalau tubuh sang raja dijadikan santapan.
Sehingga para pembesar kerajaan mengadakan rapat untuk membahas permasalahan agar tubuhnya tidak dijadikan santapan, sebab mereka merasa kasihan. Akhirnya rapat tersebut selesai diadakan, dan para pembesar kerajaan sepakat tubuh sang raja tidak dijadikan bahan santapan. Akhirnya, sebagai bahan hidangan untuk disuguhkan adalah danging babi. Karena babi adalah hewan peliharaan masyarakat, sedangkan tubuh sang raja dimakamkan dengan baik. Namum dalam ajaran Islam danging babi diharamkan, maka jalan terakhirnya diambillah ternak kerbau sebagai gantinya untuk disuguhkan dan dimakan bersama[33].
Anggota Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara mengambil kesimpulan bahwa faktor yang melatarbelakangi terjadinya praktek menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia, antara lain sebagai berikut: Pertama, dengan ternak yang disembelih diperuntuhkan sebagai sedekah terakhir dari keluarga ahli musibah, sehingga menurut kepercayaan masyarakat bertujuan untuk menyelamatkan jiwa orang yang sudah meninggal dunia dari siksa alam kubur.
 Kedua, dahulunya yang disembelih adalah babi, karena dalam ajaran Islam hewan tersebut haram untuk dikomsumsi. Ketika ajaran Islam datang lama kelamaan binatang babi yang biasa disembelih berangsur-angsur ditinggalkan masyarakat dan mereka pun menggantinya dengan ternak kerbau.
Ketiga, kebiasaan lama (menyembelih ternak saat anggota keluarga meninggal dunia) yang dilakukan nenek moyang dan masih tetap dilaksanakan masyarakat.[34]
F.     Analisa Penulis
Pada pembahasan ini dapat dikemukakan analisa penulis, menurut pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara sebagai berikut:
Pertama, Anggota Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara sendiri menyadari bahwa praktek yang dilakukan masyarakat Kecamatan Halongonan sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Karena tradisi tersebut bersifat sosiologis, sehingga dalam pandangannya tradisi menyembelih ternak kerbau boleh dilakukan sebab masyarakat tidak merasa merugi dan terzhalimi. 
Kedua, Penulis menganalisa bahwa tradisi yang terjadi di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia dalam pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia, antara lain: Boleh dilakukan selama tidak menghambur-hamburkan dan memperlihatkan harta benda kepada para pentakziah.
Ketiga, penyembelihan ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Dalam pandangan anggota Majelis Ulama Indonesia, selama tidak menimbulkan hal negatif bagi anggota keluarga yang ditinggakan boleh dilaksanakan. Penulis melihat hal negatif yang dimaksudkan adalah masyarakat harus menjual tanah (kebun) untuk melunasi utang-utang yang digunakan selama proses acara. Sehingga menimbulkan hilangnya mata pencaharian sehari-hari. 
Keempat, kebiasaan menyembelih ternak kerbau saat anggoota keluarga meninggal dunia di Kecamatan Halongonan menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw., sehingga diharapkan kepada tokoh Agama supaya lebih intensif memberikan pencerahan pemahaman sekaligus penerangan kepada semua lapisan masyarakat baik tokoh Adat maupun masyarakat umum.

Hasil gambar untuk candi portibi
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan semua uraian terdahulu dapat dikemukakan suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut:
Dalam ajaran Islam ditegaskan bahwa tidak ada dalil yang membahas tentang menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia. Oleh karena itu jika masyarakat masih tetap menjalankan aktifitas itu maka perbuatan tersebut melenceng dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Perbuatan yang harus dilaksanakan mestilah sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Saw.
Ketentuan hukum Islam dalam hal ini berbeda dengan ketentuan adat (kebiasaan) yang dilakukan masyarakat khususnya di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Mereka  berpandangan bahwa menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia adalah wajib dilaksanakan, sebagai bukti penghargaan terhadap si mayyit.
Tradisi menyembelih ternak kerbau saat anggota keluarga meninggal dunia sudah lama berlaku di masyarakat khusunya di Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara. Jadi sangat mudah menjumpai orang-orang yang pernah melakukannya. Masyarakat memang memiliki pandangan yang bervariasi mengenai hal ini. Sebagian besar berpendapat wajib penyembelihan ternak saat anggota keluarga meninggal  dunia. Walaupun sebagian masyarakat tetap melakukannya diharap tradisi ini tetap berada pada jalurnya sehingga tidak ada masyarakat yang merasa terbebani malaksanakannya. Memang tradisi  tersebur sarat dengan aspek sosiologis, artinya sebuah tradisi lama yang dianut masyarakat sehingga sulit untuk menjauhinya.
B.     Saran-saran
Berdasarkan uraian terdahulu dapat dikemukakan saran-saran yaitu:
1.      Diharapakan kepada tokoh agama, khususnya kepada Majelis  Ulama Indonesia agar lebih intensif dan proaktif memberikan pemahaman kepada semua masyarakat dalam hal adat (tradisi) yang berkembang dalam masyarakat yang tidak ada anjuran dalam ajaran Sunnah Nabi Muhammad Saw.
2.      Diharapkan kepada anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Padanglawas Utara dan tokoh Adat, membentuk satu wadah diskusi yang membahas masalah-masalah adat yang masih dilakukan masyarakat.
3.      Masyarakat Kecamatan Halongonan Kabupaten Padanglawas Utara diharapkan untuk lebih memperdalam pengetahuan dan pengamalan ajaran Islam agar aktifitas mereka sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad Saw., dan amalan ulama Salaf agar tercipta masyarakat yang lebih religius.
4.      Ketika menghadiri takziah diharapkan kesadaran semua anggota masyarakat, untuk memberikan santunan (sedekah) melebihi nilai dari makanan yang kita makan.



[1] Rachmat Djatnika, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah, dan Akhlak (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1997), h. 200.
[2] Lathief Rousydy, Sunnah Rasulullah Saw., tentang Sakit, Pengobatan dan Janazah (Medan: Firma Rimbow, 1987), h. 224.
[3] Imam Syafi’i Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Mukhtashar Kitab al-Umm, terj. Mohd.Yasin, jilid I (Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), h. 758.
[4] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, jilid IV (Libanon: Darul Kitab Amaliyah, t.th), h. 495.
[5] Imam Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Ahkyar, terj. Adib Bisri Musthafa, jilid IV (Semarang: Asy-Syifa, 1994), h. 242.
[6] Amir Hamzah Fahcrudin, Ensiklopedia Bid’ah (Jakarta: Darul Haq, 2012), h. 265.
[7] KBBI, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 309.
[8] Sayiq Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1973), h. 122.
[9] Ahmad Taswin, Kurban dan Akikah (Bogor: Kencana, 2003), h. 1.
[10] Ibid., h. 122.
[11] Ibid.
[12] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya al-Jumanatul ‘Ali (Bandung: J-Art, 2004), h. 107.
[13] Ibid.
[14] Hafiz Jalaluddin as-Syayuti, Sunan Nasai, jilid VII (Beirut: Darul Ma’rifat, 1991), h. 260.
[15] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul  Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 306-309.
[16] Ibid., 107.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h. 209.
[19] Bapak Parluhutan, Masyarakat Umum, Wawancara Pribadi, Desa Pasir Bara, 31 Agustus 2015.
[20] Bapak Parubahan Harahap, Masyarakat Umum, Wawancara Pribadi, Desa Batupulut, 02 September 2015.
[21]  Bapak Ruddin, Masyarakat Umum, Wawancara Pribadi, desa Sirikki Julu, 01 September 2015.
[22] Bapak Timbul, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Desa Rondaman Jae, 18 Agustus 2015.
[23] Bapak Sutan Nalobi Harahap, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Desa Ujung Padang, 19 Agustus 2015.
[24] Bapak Timbul, Tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Desa Rondaman Jae, 20 Agustud 2015.
[25] Bapak Toguan, tokoh Adat, Wawancara Pribadi, Simpang Barumun, 20 Agustus 2015.
[26] ‘Izzuddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih al-Anam (Beirut: Dar al-Jail, 1980), h. 11.
[27] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam cet XI, (Kuwait: Darul Qalam, 1977), h. 117.
[28] H. A. Djzuali, Kaidah-kaidah Fiqh Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana, 2011), h. 80.
[29] M. Abdul Mujieb. Dkk, Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), h. 3.
[30] Ibid., h. 323.
[31] Ibid., h. 24.
[32] Bapak Mukti Ali, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara, Wawancara Pribadi, Desa Sosopan, 18 Agustus 2015.
[33]. Ibid.
[34] Bapak Tomuan Harahap, Anggota Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Padanglawas Utara,  Wawancara Pribadi, Desa Sipaho, 18 Agustus 2015.[1] Imam al-Hafizh Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah at-Tarmizdi, Sunan at-Tarmizdi, terj. Moh. Zuhri (Semarang: Asy-Syifa, 1992), h. 323.

Komentar

Postingan Populer