MANTAN KORUPTOR vs IBADAH SOSIAL
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri SUMUT Medan
Masyarakat
Indonesia digemparkan oleh keluarnya putusan Mahkamah Agung RI yang mengabulkan
permohonan/gugatan judicial reviuw terhadap PKPU N0 20/2018 tentang
Pencalonan Anggota DPR/DPRD yang akhirnya memutuskan mantan koruptor boleh
menjadi calon anggota legislatif pada pemilu tahun 2019. Asumsinya bahwa ini
merupakan ada pihak-pihak yang menginginkan agar tradisi korupsi tetap tumbuh
subur di Indonesia. Terlepas dari prasangka yang dialamat kepada mantan
koruptor beserta putusan Mahkamah Agung RI, sebagai masyarakat Indonesia yang
religius tentu kita lebih mengedepankan sisi nilai-nilai ibadah sesama manusia.
Para mantan koruptor adalah masyarakat Indonesia, yang perlu dikawani dan
dinasehati bahwa keinginan mereka kembali hadir ditengah-tengah masyarakat
tentu haknya dan ingin mempersembahkan yang terbaik untuk pembangunan manusia
Indonesia. Dalam hal ini, sebagai masyarakat dituntut agar selalu berpikir
positif thinking terhadap tindakan dan aktivitas yang diperankan oleh
para mantan koruptor tersebut. Kenapa tidak, dalam kajian sosial, bahwa setiap
para pelaku yang dicap sebagai pelanggar hukum (mantan koruptor), namun sudah
terbebas, dan memiliki hasrat untuk kembali hadir dan ingin eksis
ditengah-tengah masyarakat menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan lingkungannya
membawa kepada kepulihan moral dan akhlaknya.
Tentu sangat menarik untuk didiskusikan
oleh semua kalangan, ketika para mantan koruptor yang kembali mencalonkan diri
untuk pemilu 2019 terlebih dahulu mengumumkannya agar diketahui khalayak orang
banyak. Hal yang menarik disini adalah mentalitas seorang pelanggar hukum yang
bersedia terbuka dan jujur mengumumkan bahwa dirinya adalah mantan koruptor.
Jelas dapat dimaklumi, ketika masyarakat menandai siapa saja yang terlibat
kasus pelanggaran hukum, asumsi yang akan muncul akan mengklaim bahwa mereka
akan melakukan perbuatan yang melanggar hukum kedepannya. Menvonis langsung
seorang manusia tentu bukan semangat dari demokrasi yang dianut bangsa ini.
Bahwa putusan MA atas PKPU N0. 20/2018, untuk masyarakat yang anti korupsi tentu
tidak menerima dan kecewa, namun kita sebagai anak bangsa tentu harus menyikapi
persoalan ini dengan lapang dada dengan mengedepankan hati yang bersih dan
pikiran yang jernih, serta berupaya agar selalu mematuhi hukum yang berlaku
dinegara ini.
Masalah besar hidup manusia dalam
kecemasan yang disebabkan kurang memahami produk hukum tertentu, sehingga apa
yang selama ini salah menurut pandangannya sampaikan kapan pun itu tetap
menjadi sebuah pelanggaran hukum, namun seharusnya didekati dengan pemaknaan “hidup sebagai masyarakat aktif”. Maknanya adalah
ketimbang membuat lebih banyak Undang-undang dan hukuman, sejatinya masyarakat
yang paham dan patuh terhadap hukum serta nilai religius lebih baik merenung,
investasi pemikiran yang kreatif, dan perencanaan tentang bagaimana memperbaiki
kehidupan manusia.
Ini bukanlah soal membuat pelaku
pelanggaran hukum tidak bertanggung jawab atas kejahatan. Melainkan menghargai
niat baik distributif dan peluang untuk memperbaiki diri sebagai sarana untuk
menumbuhkan reformasi dan rehabilitasi yang merupakan bukti sejati adanya
taubat. Tentu opsi yang paling berat dan butuh perjuangan adalah memperbaiki
moral dan mentalitas manusia sehingga pelanggran hukum yang dilakukannya terbebas dari hukum masyarakat. Pembentukan
moral sangat berkaitan dengan habl min al-nas dalam konteksnya tentu
akan menyimpan aksi-aksi kebenaran, kejujuran, keadilan, dan pengabdian untuk
mengevaluasi pribadi.Tanpa berlebihan penulis berasumsi, bahwa disini ada gerakan moral yang menyadarkan semua pihak yaitu“taubat berjamaah”yang diinisiator atas putusan MA RI. Dalam al-Qur’an Allah swt berfirman sebagai berikut,“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka akan diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya”(QS. al-Furqan[25], ayat 70-71).
Tentu kemunculan
mereka ditengah-tengah masyarakat pastinya ingin mengabdikan diri dengan
melakukan berbagai aktivitas yang menumbuhkan nilai-nilai religius dan
amal-amal kebajikan yang berdampak pada masyarakat. Dengan keyakinan yang
tangguh mereka akan berupaya dengan tulus untuk mengasah, mengasuh, dan
mengembangkan potensi positif yang pada akhirnya, akan terdorong untuk
melakukan amal-amal kebaikan“ibadah sosial”. Kenangan perbuatan yang melanggar hukum akan mengingatkan pada kebajikan, serta
mengembangkan kebaikan dan mengukuhkan amalnya yang akan mengokohkan dirinya
agar selalu taat dan patuh pada nilai-nilai kemanusian.
Bentuk ibadah sosial yang paling
konkret untuk dikembangkan dalam komunitas masyarakat yakni mengembangkana
potensi positif yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Inilah makna “taubat berjamaah”sebuah cita-cita
yang ingin mengembalikan dan menyadarkan manusia agar siap membela kepentingan
masyarakat, menegakkan keadilan, mematuhi supremasi hukum dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan
yang mereka tuangkan harus bernilai “ibadah sosial”sebagai kelanjutan untuk keberlangsungan kehidupan ummat manusia
yang terbebas dari kezaliman, penindasan, ketidakstabilan hukum dan keamanan,
serta terjaminnya hak-hak dasar manusia. Kerangka inilah yang mesti diwujudkan
sebagai landasan utama untuk menggugurkan dosa dan menebus kesalahan terhadap
pelanggaran hukum tersebut.
Harus dimaknai secara sederhana“taubat”dalam aplikasi
membangun peradaban manusia mestinya para mantan koruptor yang tampil dimuka
publik harus mampu melenyapkan “mental tirani”, sebab bila hal ini masih melekat dalam dirinya tentu akan
mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok yang akan membawa pada kerusakan
sebab telah hilang kendali dari mengupayakan dan mengedepankan kepentingan
manusia. Semangat membangun peradaban manusia merupakan orientasi untuk
memperjuangkan cita-cita kesejahteraan manusia untuk menciptakan kebaikan dalam
hidup dan kehidupan.
Taubat yang harus dimaknai dalam “ibadah sosial”ada beberapa
poin: Pertama; dalam perbaikan diri, disamping itu juga senantiasa
mengajak komunitas masyarakat pada kebaikan dan menjahui kemungkaran,
pelanggaran hukum. Bahwa salah satu ciri manusia terbaik adalah manusia yang
memerintahkan pada kebaikan dan melarang atas tindakan kejahatan dan kezaliman.
Artinya, ketika tampil dimuka publik, baik saat interaksi, spirit yang
diusung adalah membumikan ajaran tentang kebaikan dengan sikap yang lemah
lembut yang tidak melakukan tindakan kezaliman dan penindasan terhadap sesama
mahkluk Allah swt.
Kedua; berupaya agar
senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan dan kebajikan. Akselerasi perbuatan
baik agar tidak hilang ditelan masa atau agar tidak terasa berat melakukannya.
Pesan ini mempunyai momentum strategis saat ini, sebab banyak sekali kalangan
yang belakangan ini mempunyai militansi untuk melakukan hal-hal yang menbar
kebencian dan kekerasan. Disinilah, upaya mengajarkankan kebaikan kepada
masyarakat dalam momentum yang tepat agar kebaikan itu dilakukan dengan cara
yang tepat pula. Kebaikan berupa menebar arti kasih sayang yang bisa membawa
kemaslahatan pada mahkluk secara umum.
Ketiga; Orang yang bertaubat
diidentik adalah orang yang shaleh, inilah puncak penghargaan yang diberikan
Allah swt kepada manusia yang telah memperbaharui kehidupannya. Orang-orang
yang shaleh dijadikan sebagai teladan sebab yang mereka lakukan semata-mata untuk
kemaslahtan yang bernuansa kebajikan dan kebaikan. Dalam upaya menebar kebaikan
dan kebajikan sangat diperlukan konsistensi dan militansi.
Dalam langkah strategis menuju
manusia yang dapat memperbaharui diri dengan konsep menebarkan kebaikan “ibadah sosial”, maka langkah
strategis tersebut harus diupayakan agar dapat dikomsumsi publik yang lebih
luas sehingga mampu disemai dengan baik. Dengan demikian, kebangkitan peradaban
manusia sesungguhnya terletak sejauh mana manusia ditengah komunitas dapat
berlomba-lomba untuk melakukan kebajikan, bukan berlomba-lomba untuk menebar
kebencian dan kekerasan. Wallahu a’lam..
Komentar
Posting Komentar