JALAN MENUJU KETAATAN
Thaqah hayawiyyah adalah sebuah potensi yang selalu mendorong manusia dalam melakukan
aktivitasnya dan dituntut untuk dipenuhi secara sadar dan berpengetahuan.
Kehidupan yang ditandai dengan berbagai kegiatan yang dilakukan menandakan bahwa
manusia masih berproses dan menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang
paling mulia. Memunculkan sebuah ide, gagasan, asumsi bahkan hal yang dianggap
paling baik adalah membuktikan bahwa manusia masih berada di muka bumi serta memberikan
sebuah harapan untuk sesama ciptaan Tuhan.
Potensi
manusia adanya unsur kehidupan yang menghasilkan kehidupan untuk manusia yang dimanifestasikan dalam dua
keadaan. Pertama, yang ditandai melalui hidup yang harus dipenuhi secara
pasti, dan jika tidak dapat diakomodir kehidupan akan berhenti dan manusia akan
mati dan binasa. Inilah disebut
kebutuhan jasman (hajah ‘udhuwiyyah). Kedua, menuntut untuk
dipenuhi, tetapi jika tidak dipenuhi belum tentu membinasakan kehidupan, sampai
kebutuhan itu dapat terpenuhi, inilah yang disebut naluri (gharizah).
Dorongan
naluri menyebabkan lahirnya perasaan yang menuntut untuk dipenuhi, dapat berupa
pemikiran tentang sesuatu yang dapat mempengaruhi perasaan, atau fakta yang
dapat diindera yang mendorong perasaan untuk dipenuhi. Salah satunya naluri
dalam beragama yang muncul disebabkan ada stimulus pemikiran mengenai ayat-ayat
(tanda kebesaran) Allah. Naluri beragama tidak dapat dipisahkan dalam diri
manusia. Manusia yang taat beragama akan mendorong perasaan untuk mengenal Dzat yang Maha
Pencipta, Dzat yang Maha Kuasa yang mangaturnya, tanpa memandang siapa yang
dianggap Sang Pencipta tersebut. Naluri ini merupakan fitrah yang selalu ada,
selama dia masih menjadi manusia, baik dia beriman kepada sang Khaliq-Nya, atau
mengingkari-Nya. Maka manifestasi
perasaan ini tetap berada dalam diri manusia secara pasti yang lahir akibat
bagian dari proses penciptaannya sebagai manusia. Dan sampai kapan pun tidak
akan terlepas dan dihilangkan dari diri manusia.
Agama
yang dimaksimalkan merupakan sebuah tanda bahwa manusia itu, berada dalam
lingkaran ketaatan kepada sang Khaliq-Nya. Agama bagi manusia kerangka
kebutuhan yang memiliki peran dan fungsi dalam memenuhi hajat hidup. Agama
sebagai kebutuhan berfungsi dalam dua hal, yakni fungsi maknawi dan fungsi
identitas. Agama yang memaparkan wawasan dunia atau cosmos yang penuh segala
ketidakadilan, penderitaan dan kematian
dapat dipandang sebagai sebuah penuh makna yang terdapat didalamnya ide,
konsep, tuntutan, kewajiban yang tidak tertuju pada emosi manusia secara
mendalam, karena itu kurang mendorongan manusia untuk menyadari bahwa mereka
dikuasai sistem kepercayaan, tetapi agama melalui konsep ritual menjalin
dimensi efektif dan kognitif dan jawaban agama senantiasa berurusan dengan
nilai. Nilai yang ditawarkan itu mengandung sebuah kebenaran yang diakui dan
diyakini akan membuka arah perjalan hidup menuju jalan keselamatan.
Sedangkan
agama dalam bentuk identitas berhubungan dengan perasaan dan mendorong perilaku
tertentu sesuai dengan identitas yang berada dalam diri, sehingga melahirkan
kesadaran, kebangggan dan tanggung jawab. Agama dalam fungsi identitas lebih
mengarahkan pada konsep melahirkan sebuah perilaku yang memiliki ciri
tersendiri dalam mengembangkan naluri beragama. Identitas bukan makna yang
lahir secara zahir, tetapi titik penekanannya memberi sebuah konsep agar para
penganut agama yang taat memiliki sebuah nilai yang dapat melahirkan gagasan
manusia dalam bentuk budaya dan agama yang lahir dari wahyu. Tentu hal ini,
mengandung nilai yang akan mengarahkan manusia lebih pada penyerahan diri pada
Tuhan dan mentaati aturan-aturan-nya sebagai suatu hal yang esensial.
Etika agama hadir dan hidup ketika
sedang-terjadi merebak dari keyakinan dasar akan kemampuan manusia. Perilaku
yang secara moral benar adalah perilaku yang mampu mengembangkan nilai-nilai
kemanusian, yang memberi kemungkinan untuk pengungkapan diri kemerdekaan,
kesamaan, kesatuan, cinta, pengertian dan kepercayaan. Sebaliknya, perilaku
manusia yang berlawan dengan moral adalah sebuah perilaku yang akan menghambat
kemajuan, kreativitas, ide-ide cemerlang dan merusak ability manusia.
Manusia bukanlah mahkluk yang telah jatuh, yang kebaikannya dipulihkan lewat
ketaatan, tetapi ciptaan Tuhan yang
hakikatnya perlu ditemukan. Tugas etis manusia adalah memanfaatkan seluruh
diri, termasuk nafsu dan dorongan, untuk menanjak naik menjadi manusia yang
memiliki berkemampuan (ability) penuh. Manusia pada dasarnya suci dan
dapat diselamatkan sejauh hakekatnya dapat dinyatakan dan diteguhkan. Pandangan
ini jelas berlawanan dengan pandangan bahwa manusia itu penuh kekurangan dan
terjerat dalam hakekat kedosaannya, sehingga harapannya hanya terdapat pada
campur tangan dari atas. Tetapi karena terlalu menekankan kedudukan manusia,
kadang-kadang etika agama yang sedang-menjadi merosot menjadi hedonisme yang memanjakan diri, yang melihat
kesenangan sebagai nilai moral yang paling tinggi.
Ciri pertama, agama yang sedang
menjadi adalah penekanannya pada tanggung jawab pribadi dan bersama-sama.
Dampak agama pada hidup pribadi haruslah bersifat etis. Jika tidak, agama itu
menjadi tidak berharga. Kekuasaan dan kebenaran agama harus dinilai, bukan pada
lembaga di mana orang bergabung atau pada kepercayaan yang diakui, tetapi pada
diri orang dan apa yang disumbangkannya dalam kehidupan.
Ciri kedua, agama yang sedang
menjadi yang condong ke etika humanistis tak terbatas pada lingkup pribadi atas
dasar pemahaman yang terlalu individualistis tentang manusia. Tanggung jawab
itu juga merambah ke lingkup sosial kemasyarakatan. Sikap itu oleh Irving
Taylor disebut dengan istilah (“transactualization”), yaitu suatu sistem
pribadi lingkungan di mana orang mengubah lingkungan (daripada diubah olehnya)
sesuai dengan kekuatan yang mengaktualisasi diri. Dalam transaktualisasi
lembaga dan organisiasi kemasyarakatan diarahkan untuk merangsang sistem
internal orang agar menjadi kreatif
daripada mengenakan kontrol dari luar. Pendeknya, manusia dipandang sebagai
pencipta lingkungan daripada sebagai penontonnya. Masyarakat yang baik
merupakan perluasan nilai kemanusiaan. Tanggung jawab sosial kemasyarakat
bertujuan mempertahankan keadaan dan susunan masyarakat yang paling
mencerminkan kemanusiaan. Karena agama yang sedang terjadi menekankan
individualitas manusia, agama itu memandang serius kejahatan sosial yang
menghambat pemenuhan diri, dan etiknya mencakup sikap dan kemauan kerja yang
sungguh-sungguh untuk menciptakan masyarakat yang secara benar mengembangkan
kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Ciri ketiga, perhatian agama
yang sedang menjadi pada pentingnya individu manusia lewat usaha perbaikan
masyarakat menjadi perhatian kaum agamawan humanistis lain. Dalam praktik
agama, mereka peka terhadap penderitaan umat manusia. Mereka ikut menderita
bila orang lain menderita, di mana pun. Mereka bersedia dan berani berkorban
demi pelayanan.
Agama itu mencari kekuatan yang
menggerakkan (motivational power), bukan melulu pada Tuhan yang
berbicara dari luar atau sabda-Nya yang termuat dalam buku, atau pada dogma dan
ajaran saja, tetapi juga dan terutama pada keadaan sezaman yang menyatakan
kebutuhan manusia. Penekanan pada manusia itu dapat sedemikian kuat sampai Tuhan
terasa tak diperlukan, dan bila diperlukan, Tuhan itu harus ditemukan
ditengah-tengah, manusia. Agama yang sedang menjadi menegaskan manusia secara
individual, nilai pribadi dan melihat kebutuhan masyarakat sebagai perluasan
nilai itu. Unsur dinamis, pusat kekuatan manusia terletak pada pengakuan atas
kemampuannya. Dalam agama yang sedang menjadi orang yang benar terhadap diri
sendiri juga benar terhadap sesama Tuhan.
Agama dan Nilai Humanistik
Ketaatan terhadap agama dasar segala
kebaikan dan pintu segala keberhasilan yang memiliki hati yang tulus dan dengan
maksud yang baik. Kecenderungan ini berperan sebagai upaya untuk menangkap
pesan-pesan Ilahi dan mematuhi aturan-aturan dengan hati yang bersih dan
suci. Sebab, semua agama memproklamirkan
dirinya sebagai pembela nilai-nilai kemanusian seperti kebajikan, kedamaian,
cinta, kasih sayang, solidaritas, egeliter, keadilan dan sebagainya. Beragama
yang humanis, secara ideal dan normatif meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Ide-ide humanistik sakral untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sosial.
Islam sejatinya agama kemanusian,
untuk menandai suatu agama cukup memandang serta menilai sejauh mana
penghargaan terhadap manusia, seperti pembelaannya terhadap manusia. Islam
adalah agama manusia, manusia memiliki sifat dasar kesucian yang disebut hanifiyah,
yang cenderung memihak kepada yang benar dan baik. Sebagai makhluk yang
hanif, manusia akan terus menerus memiliki dorongan naluri kearah kebaikan dan
kebenaran.
Manusia
secara taken for granted diberi kemampuan berpikir secara logis dan
dilengkapi dengan potensi untuk mengenali nilai-nilai kebenaran (agama). Agama
merupakan kelanjutan fitrah manusia yang selalu mengarah dan menginginkan
kebenaran dan kesucian. Agama juga disebut sebagai fitrah yang
diwahyukan (fitrah munazaalah) untuk menguatkan fitrah yang sudah ada
pada manusia secara alami (fitrah majbulah). Dari sudut pandang lain,
itu berarti bahwa agama adalah kelanjutan “kodrah alamiah” manusia sendiri,
merupakan wujud nyata dari kecenderungan alaminya. Karena itu, sebagai nilai
kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan, demikian pula
nilai keagamaan mustahil berlawanan dengan kemanusiaan. Agama dibuat bukan untuk penghalang bagi kemanusiaan,
maka sesuatu yang sejalan kemanusiaan (bermanfaat untuk manusia) tentu akan
bertahan dibumi, sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna bagi manusia, muspra
atau sia-sia bagaikan buih) tentu akan sirna.
Agama tidak bisa dipaksakan dan
diperkosakan dalam diri manusia. Agama telah built in, terpatri dalam
diri manusia. Tugas kita adalah mendorong, mendialogkan, dan mengomunikasikan
kepada manusia untuk menemukan agama, cara dan penghayatan agama yang membuat
merdeka secara rohani. Tugas kita mengomunikasikan cara beragama yang membebaskan
kita dari belenggu-belenggu diri kita dari tirani-tirani kehidupan manusia
umumnya. Penting bagi kita mendorong manusia melepaskan diri dari kepasrahan
dan ketundukan kepada sesamanya, membuat dirinya terasa terasing (alienasi),
baik dari dirinya maupun masyarakatnya. Kewajiban kita mendorong manusia
beragama yang membebaskan dan beragama yang memerdekakan diri dan sosialnya
dari segala bentuk “imperialisme dan kolonialisme” kehidupan. Kita butuh agama
yang tidak mengerdilkan potensi intelektual dan spiritual kita.
Karena tujuan beragama tegaknya
keadilan dan kemanusian, tentu dalam menyikapi keragaman agama dan upaya-upaya
penyebaran agama diperlukan landasan etis yang kuat, yang tidak
mempertentangkan antara yang satu agama dengan agama yang lain. Nilai
humanistik yang dapat dikembangkan bahwa tegakknya keadilan yang berdasarkan
tanpa ada paksaan maupun tekanan dalam agama. Penegasan maknanya tidak seorang
pun manusia dapat memaksakan manusia lain untuk mengikuti suatu keyakinan,
keimanan, atau agama. Menghadapi semua perbedaan itu kita berkomitmen sepenuh
hati untuk mengupayakan terciptanya keadilan dan kesetaraan serta menepatkan
diri kita di jalan yang benar.
Penutup
Sehingga, tingkatan menuju ketaatan
dalam beragama, mampu memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada manusia.
Penghargaan itu lahir dari keberagaman identitas manusia serta kontribusi
positif yang diberikan keberagaman bagi eksistensi manusi. Kita harus terus
menerus menciptakan keadilan dan kesetaraan yang didasari pergaulan yang wajar,
bermartabat, dan sikap menghormati semua orang tak peduli siapa mereka.
Identitas nasional, kultur bahkan agama, tradisi tempat kita dibesarkan
bukanlah tujuan yang harus diupayakan. Identitas kita adalah sarana untuk
mengenal Tuhan. Bertakwa kepada Tuhan bukan sepasang sepatu dengan satu ukuran
yang pas untuk semuanya. Namun, bagaimana menghormati segala perbedaan tata
cara untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang sama bagi semua dengan tingkah
laku, pola pikir dan jati diri yang berbeda-beda.
Tingkatan selanjutnya mengarah pada
memunculkan sebuah perasaan agama adalah munculnya perasaan taqdis (penyucian)
kepada Dzat yang Maha Pengatur seisi jagat raya. Taqdis adalah bentuk
penghormatan dengan setulus hatiyang paling tinggi, yaitu sebuah penghormatan yang
bukan berasal dari rasa takut, tetapi berasal dari perasaan dari tadyyun (agama).
Namun dalam dunia sufi khauf (takut)
merupakan sikap mental dalam hal ini perasaan takut kepada Allah. Pada umumnya
orang yang takut kepada sesuatu, pasti akan menghidar dari sesuatu itu, tetapi
orang yang takut kepada Allah disebabkan kurang sempurnanya pengabdiannya
kepada Sang Khaliq.
Inilah tingkatan terakhir yang akan
menempah manusia menuju ketaatan dalam beragama, yang diliputi adanya perasaan
takut kepada Allah melalui taqdis. Penghormatan kepada Allah hadir bukan sebab
adanya timbul rasa takut, tapi lebih kepada perasaan taat beragama. Wallahu
a’lam
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri SUMUT Medan
Thaqah hayawiyyah adalah sebuah potensi yang selalu mendorong manusia dalam melakukan
aktivitasnya dan dituntut untuk dipenuhi secara sadar dan berpengetahuan.
Kehidupan yang ditandai dengan berbagai kegiatan yang dilakukan menandakan bahwa
manusia masih berproses dan menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang
paling mulia. Memunculkan sebuah ide, gagasan, asumsi bahkan hal yang dianggap
paling baik adalah membuktikan bahwa manusia masih berada di muka bumi serta memberikan
sebuah harapan untuk sesama ciptaan Tuhan.
Potensi
manusia adanya unsur kehidupan yang menghasilkan kehidupan untuk manusia yang dimanifestasikan dalam dua
keadaan. Pertama, yang ditandai melalui hidup yang harus dipenuhi secara
pasti, dan jika tidak dapat diakomodir kehidupan akan berhenti dan manusia akan
mati dan binasa. Inilah disebut
kebutuhan jasman (hajah ‘udhuwiyyah). Kedua, menuntut untuk
dipenuhi, tetapi jika tidak dipenuhi belum tentu membinasakan kehidupan, sampai
kebutuhan itu dapat terpenuhi, inilah yang disebut naluri (gharizah).
Dorongan
naluri menyebabkan lahirnya perasaan yang menuntut untuk dipenuhi, dapat berupa
pemikiran tentang sesuatu yang dapat mempengaruhi perasaan, atau fakta yang
dapat diindera yang mendorong perasaan untuk dipenuhi. Salah satunya naluri
dalam beragama yang muncul disebabkan ada stimulus pemikiran mengenai ayat-ayat
(tanda kebesaran) Allah. Naluri beragama tidak dapat dipisahkan dalam diri
manusia. Manusia yang taat beragama akan mendorong perasaan untuk mengenal Dzat yang Maha
Pencipta, Dzat yang Maha Kuasa yang mangaturnya, tanpa memandang siapa yang
dianggap Sang Pencipta tersebut. Naluri ini merupakan fitrah yang selalu ada,
selama dia masih menjadi manusia, baik dia beriman kepada sang Khaliq-Nya, atau
mengingkari-Nya. Maka manifestasi
perasaan ini tetap berada dalam diri manusia secara pasti yang lahir akibat
bagian dari proses penciptaannya sebagai manusia. Dan sampai kapan pun tidak
akan terlepas dan dihilangkan dari diri manusia.
Agama
yang dimaksimalkan merupakan sebuah tanda bahwa manusia itu, berada dalam
lingkaran ketaatan kepada sang Khaliq-Nya. Agama bagi manusia kerangka
kebutuhan yang memiliki peran dan fungsi dalam memenuhi hajat hidup. Agama
sebagai kebutuhan berfungsi dalam dua hal, yakni fungsi maknawi dan fungsi
identitas. Agama yang memaparkan wawasan dunia atau cosmos yang penuh segala
ketidakadilan, penderitaan dan kematian
dapat dipandang sebagai sebuah penuh makna yang terdapat didalamnya ide,
konsep, tuntutan, kewajiban yang tidak tertuju pada emosi manusia secara
mendalam, karena itu kurang mendorongan manusia untuk menyadari bahwa mereka
dikuasai sistem kepercayaan, tetapi agama melalui konsep ritual menjalin
dimensi efektif dan kognitif dan jawaban agama senantiasa berurusan dengan
nilai. Nilai yang ditawarkan itu mengandung sebuah kebenaran yang diakui dan
diyakini akan membuka arah perjalan hidup menuju jalan keselamatan.
Sedangkan
agama dalam bentuk identitas berhubungan dengan perasaan dan mendorong perilaku
tertentu sesuai dengan identitas yang berada dalam diri, sehingga melahirkan
kesadaran, kebangggan dan tanggung jawab. Agama dalam fungsi identitas lebih
mengarahkan pada konsep melahirkan sebuah perilaku yang memiliki ciri
tersendiri dalam mengembangkan naluri beragama. Identitas bukan makna yang
lahir secara zahir, tetapi titik penekanannya memberi sebuah konsep agar para
penganut agama yang taat memiliki sebuah nilai yang dapat melahirkan gagasan
manusia dalam bentuk budaya dan agama yang lahir dari wahyu. Tentu hal ini,
mengandung nilai yang akan mengarahkan manusia lebih pada penyerahan diri pada
Tuhan dan mentaati aturan-aturan-nya sebagai suatu hal yang esensial.
Etika agama hadir dan hidup ketika
sedang-terjadi merebak dari keyakinan dasar akan kemampuan manusia. Perilaku
yang secara moral benar adalah perilaku yang mampu mengembangkan nilai-nilai
kemanusian, yang memberi kemungkinan untuk pengungkapan diri kemerdekaan,
kesamaan, kesatuan, cinta, pengertian dan kepercayaan. Sebaliknya, perilaku
manusia yang berlawan dengan moral adalah sebuah perilaku yang akan menghambat
kemajuan, kreativitas, ide-ide cemerlang dan merusak ability manusia.
Manusia bukanlah mahkluk yang telah jatuh, yang kebaikannya dipulihkan lewat
ketaatan, tetapi ciptaan Tuhan yang
hakikatnya perlu ditemukan. Tugas etis manusia adalah memanfaatkan seluruh
diri, termasuk nafsu dan dorongan, untuk menanjak naik menjadi manusia yang
memiliki berkemampuan (ability) penuh. Manusia pada dasarnya suci dan
dapat diselamatkan sejauh hakekatnya dapat dinyatakan dan diteguhkan. Pandangan
ini jelas berlawanan dengan pandangan bahwa manusia itu penuh kekurangan dan
terjerat dalam hakekat kedosaannya, sehingga harapannya hanya terdapat pada
campur tangan dari atas. Tetapi karena terlalu menekankan kedudukan manusia,
kadang-kadang etika agama yang sedang-menjadi merosot menjadi hedonisme yang memanjakan diri, yang melihat
kesenangan sebagai nilai moral yang paling tinggi.
Ciri pertama, agama yang sedang
menjadi adalah penekanannya pada tanggung jawab pribadi dan bersama-sama.
Dampak agama pada hidup pribadi haruslah bersifat etis. Jika tidak, agama itu
menjadi tidak berharga. Kekuasaan dan kebenaran agama harus dinilai, bukan pada
lembaga di mana orang bergabung atau pada kepercayaan yang diakui, tetapi pada
diri orang dan apa yang disumbangkannya dalam kehidupan.
Ciri kedua, agama yang sedang
menjadi yang condong ke etika humanistis tak terbatas pada lingkup pribadi atas
dasar pemahaman yang terlalu individualistis tentang manusia. Tanggung jawab
itu juga merambah ke lingkup sosial kemasyarakatan. Sikap itu oleh Irving
Taylor disebut dengan istilah (“transactualization”), yaitu suatu sistem
pribadi lingkungan di mana orang mengubah lingkungan (daripada diubah olehnya)
sesuai dengan kekuatan yang mengaktualisasi diri. Dalam transaktualisasi
lembaga dan organisiasi kemasyarakatan diarahkan untuk merangsang sistem
internal orang agar menjadi kreatif
daripada mengenakan kontrol dari luar. Pendeknya, manusia dipandang sebagai
pencipta lingkungan daripada sebagai penontonnya. Masyarakat yang baik
merupakan perluasan nilai kemanusiaan. Tanggung jawab sosial kemasyarakat
bertujuan mempertahankan keadaan dan susunan masyarakat yang paling
mencerminkan kemanusiaan. Karena agama yang sedang terjadi menekankan
individualitas manusia, agama itu memandang serius kejahatan sosial yang
menghambat pemenuhan diri, dan etiknya mencakup sikap dan kemauan kerja yang
sungguh-sungguh untuk menciptakan masyarakat yang secara benar mengembangkan
kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Ciri ketiga, perhatian agama
yang sedang menjadi pada pentingnya individu manusia lewat usaha perbaikan
masyarakat menjadi perhatian kaum agamawan humanistis lain. Dalam praktik
agama, mereka peka terhadap penderitaan umat manusia. Mereka ikut menderita
bila orang lain menderita, di mana pun. Mereka bersedia dan berani berkorban
demi pelayanan.
Agama itu mencari kekuatan yang
menggerakkan (motivational power), bukan melulu pada Tuhan yang
berbicara dari luar atau sabda-Nya yang termuat dalam buku, atau pada dogma dan
ajaran saja, tetapi juga dan terutama pada keadaan sezaman yang menyatakan
kebutuhan manusia. Penekanan pada manusia itu dapat sedemikian kuat sampai Tuhan
terasa tak diperlukan, dan bila diperlukan, Tuhan itu harus ditemukan
ditengah-tengah, manusia. Agama yang sedang menjadi menegaskan manusia secara
individual, nilai pribadi dan melihat kebutuhan masyarakat sebagai perluasan
nilai itu. Unsur dinamis, pusat kekuatan manusia terletak pada pengakuan atas
kemampuannya. Dalam agama yang sedang menjadi orang yang benar terhadap diri
sendiri juga benar terhadap sesama Tuhan.
Agama dan Nilai Humanistik
Ketaatan terhadap agama dasar segala
kebaikan dan pintu segala keberhasilan yang memiliki hati yang tulus dan dengan
maksud yang baik. Kecenderungan ini berperan sebagai upaya untuk menangkap
pesan-pesan Ilahi dan mematuhi aturan-aturan dengan hati yang bersih dan
suci. Sebab, semua agama memproklamirkan
dirinya sebagai pembela nilai-nilai kemanusian seperti kebajikan, kedamaian,
cinta, kasih sayang, solidaritas, egeliter, keadilan dan sebagainya. Beragama
yang humanis, secara ideal dan normatif meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Ide-ide humanistik sakral untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sosial.
Islam sejatinya agama kemanusian,
untuk menandai suatu agama cukup memandang serta menilai sejauh mana
penghargaan terhadap manusia, seperti pembelaannya terhadap manusia. Islam
adalah agama manusia, manusia memiliki sifat dasar kesucian yang disebut hanifiyah,
yang cenderung memihak kepada yang benar dan baik. Sebagai makhluk yang
hanif, manusia akan terus menerus memiliki dorongan naluri kearah kebaikan dan
kebenaran.
Manusia
secara taken for granted diberi kemampuan berpikir secara logis dan
dilengkapi dengan potensi untuk mengenali nilai-nilai kebenaran (agama). Agama
merupakan kelanjutan fitrah manusia yang selalu mengarah dan menginginkan
kebenaran dan kesucian. Agama juga disebut sebagai fitrah yang
diwahyukan (fitrah munazaalah) untuk menguatkan fitrah yang sudah ada
pada manusia secara alami (fitrah majbulah). Dari sudut pandang lain,
itu berarti bahwa agama adalah kelanjutan “kodrah alamiah” manusia sendiri,
merupakan wujud nyata dari kecenderungan alaminya. Karena itu, sebagai nilai
kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan, demikian pula
nilai keagamaan mustahil berlawanan dengan kemanusiaan. Agama dibuat bukan untuk penghalang bagi kemanusiaan,
maka sesuatu yang sejalan kemanusiaan (bermanfaat untuk manusia) tentu akan
bertahan dibumi, sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna bagi manusia, muspra
atau sia-sia bagaikan buih) tentu akan sirna.
Agama tidak bisa dipaksakan dan
diperkosakan dalam diri manusia. Agama telah built in, terpatri dalam
diri manusia. Tugas kita adalah mendorong, mendialogkan, dan mengomunikasikan
kepada manusia untuk menemukan agama, cara dan penghayatan agama yang membuat
merdeka secara rohani. Tugas kita mengomunikasikan cara beragama yang membebaskan
kita dari belenggu-belenggu diri kita dari tirani-tirani kehidupan manusia
umumnya. Penting bagi kita mendorong manusia melepaskan diri dari kepasrahan
dan ketundukan kepada sesamanya, membuat dirinya terasa terasing (alienasi),
baik dari dirinya maupun masyarakatnya. Kewajiban kita mendorong manusia
beragama yang membebaskan dan beragama yang memerdekakan diri dan sosialnya
dari segala bentuk “imperialisme dan kolonialisme” kehidupan. Kita butuh agama
yang tidak mengerdilkan potensi intelektual dan spiritual kita.
Karena tujuan beragama tegaknya
keadilan dan kemanusian, tentu dalam menyikapi keragaman agama dan upaya-upaya
penyebaran agama diperlukan landasan etis yang kuat, yang tidak
mempertentangkan antara yang satu agama dengan agama yang lain. Nilai
humanistik yang dapat dikembangkan bahwa tegakknya keadilan yang berdasarkan
tanpa ada paksaan maupun tekanan dalam agama. Penegasan maknanya tidak seorang
pun manusia dapat memaksakan manusia lain untuk mengikuti suatu keyakinan,
keimanan, atau agama. Menghadapi semua perbedaan itu kita berkomitmen sepenuh
hati untuk mengupayakan terciptanya keadilan dan kesetaraan serta menepatkan
diri kita di jalan yang benar.
Penutup
Sehingga, tingkatan menuju ketaatan
dalam beragama, mampu memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada manusia.
Penghargaan itu lahir dari keberagaman identitas manusia serta kontribusi
positif yang diberikan keberagaman bagi eksistensi manusi. Kita harus terus
menerus menciptakan keadilan dan kesetaraan yang didasari pergaulan yang wajar,
bermartabat, dan sikap menghormati semua orang tak peduli siapa mereka.
Identitas nasional, kultur bahkan agama, tradisi tempat kita dibesarkan
bukanlah tujuan yang harus diupayakan. Identitas kita adalah sarana untuk
mengenal Tuhan. Bertakwa kepada Tuhan bukan sepasang sepatu dengan satu ukuran
yang pas untuk semuanya. Namun, bagaimana menghormati segala perbedaan tata
cara untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang sama bagi semua dengan tingkah
laku, pola pikir dan jati diri yang berbeda-beda.
Tingkatan selanjutnya mengarah pada
memunculkan sebuah perasaan agama adalah munculnya perasaan taqdis (penyucian)
kepada Dzat yang Maha Pengatur seisi jagat raya. Taqdis adalah bentuk
penghormatan dengan setulus hatiyang paling tinggi, yaitu sebuah penghormatan yang
bukan berasal dari rasa takut, tetapi berasal dari perasaan dari tadyyun (agama).
Namun dalam dunia sufi khauf (takut)
merupakan sikap mental dalam hal ini perasaan takut kepada Allah. Pada umumnya
orang yang takut kepada sesuatu, pasti akan menghidar dari sesuatu itu, tetapi
orang yang takut kepada Allah disebabkan kurang sempurnanya pengabdiannya
kepada Sang Khaliq.
Inilah tingkatan terakhir yang akan
menempah manusia menuju ketaatan dalam beragama, yang diliputi adanya perasaan
takut kepada Allah melalui taqdis. Penghormatan kepada Allah hadir bukan sebab
adanya timbul rasa takut, tapi lebih kepada perasaan taat beragama. Wallahu
a’lam
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri SUMUT Medan
Komentar
Posting Komentar