JALAN MENUJU KETAATAN



Hikmatiar Harahap





Thaqah hayawiyyah adalah sebuah potensi  yang selalu mendorong manusia dalam melakukan aktivitasnya dan dituntut untuk dipenuhi secara sadar dan berpengetahuan. Kehidupan yang ditandai dengan berbagai kegiatan yang dilakukan menandakan bahwa manusia masih berproses dan menunjukkan eksistensinya sebagai makhluk yang paling mulia. Memunculkan sebuah ide, gagasan, asumsi bahkan hal yang dianggap paling baik adalah membuktikan bahwa manusia masih berada di muka bumi serta memberikan sebuah harapan untuk sesama ciptaan Tuhan.
            Potensi manusia adanya unsur kehidupan yang menghasilkan kehidupan  untuk manusia yang dimanifestasikan dalam dua keadaan. Pertama, yang ditandai melalui hidup yang harus dipenuhi secara pasti, dan jika tidak dapat diakomodir kehidupan akan berhenti dan manusia akan mati dan binasa.  Inilah disebut kebutuhan jasman (hajah ‘udhuwiyyah). Kedua, menuntut untuk dipenuhi, tetapi jika tidak dipenuhi belum tentu membinasakan kehidupan, sampai kebutuhan itu dapat terpenuhi, inilah yang disebut naluri (gharizah).
            Dorongan naluri menyebabkan lahirnya perasaan yang menuntut untuk dipenuhi, dapat berupa pemikiran tentang sesuatu yang dapat mempengaruhi perasaan, atau fakta yang dapat diindera yang mendorong perasaan untuk dipenuhi. Salah satunya naluri dalam beragama yang muncul disebabkan ada stimulus pemikiran mengenai ayat-ayat (tanda kebesaran) Allah. Naluri beragama tidak dapat dipisahkan dalam diri manusia. Manusia yang taat beragama akan mendorong  perasaan untuk mengenal Dzat yang Maha Pencipta, Dzat yang Maha Kuasa yang mangaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut. Naluri ini merupakan fitrah yang selalu ada, selama dia masih menjadi manusia, baik dia beriman kepada sang Khaliq-Nya, atau  mengingkari-Nya. Maka manifestasi perasaan ini tetap berada dalam diri manusia secara pasti yang lahir akibat bagian dari proses penciptaannya sebagai manusia. Dan sampai kapan pun tidak akan terlepas dan dihilangkan dari diri manusia.
            Agama yang dimaksimalkan merupakan sebuah tanda bahwa manusia itu, berada dalam lingkaran ketaatan kepada sang Khaliq-Nya. Agama bagi manusia kerangka kebutuhan yang memiliki peran dan fungsi dalam memenuhi hajat hidup. Agama sebagai kebutuhan berfungsi dalam dua hal, yakni fungsi maknawi dan fungsi identitas. Agama yang memaparkan wawasan dunia atau cosmos yang penuh segala ketidakadilan,  penderitaan dan kematian dapat dipandang sebagai sebuah penuh makna yang terdapat didalamnya ide, konsep, tuntutan, kewajiban yang tidak tertuju pada emosi manusia secara mendalam, karena itu kurang mendorongan manusia untuk menyadari bahwa mereka dikuasai sistem kepercayaan, tetapi agama melalui konsep ritual menjalin dimensi efektif dan kognitif dan jawaban agama senantiasa berurusan dengan nilai. Nilai yang ditawarkan itu mengandung sebuah kebenaran yang diakui dan diyakini akan membuka arah perjalan hidup menuju jalan keselamatan.
            Sedangkan agama dalam bentuk identitas berhubungan dengan perasaan dan mendorong perilaku tertentu sesuai dengan identitas yang berada dalam diri, sehingga melahirkan kesadaran, kebangggan dan tanggung jawab. Agama dalam fungsi identitas lebih mengarahkan pada konsep melahirkan sebuah perilaku yang memiliki ciri tersendiri dalam mengembangkan naluri beragama. Identitas bukan makna yang lahir secara zahir, tetapi titik penekanannya memberi sebuah konsep agar para penganut agama yang taat memiliki sebuah nilai yang dapat melahirkan gagasan manusia dalam bentuk budaya dan agama yang lahir dari wahyu. Tentu hal ini, mengandung nilai yang akan mengarahkan manusia lebih pada penyerahan diri pada Tuhan dan mentaati aturan-aturan-nya sebagai suatu hal yang esensial.
Etika agama hadir dan hidup ketika sedang-terjadi merebak dari keyakinan dasar akan kemampuan manusia. Perilaku yang secara moral benar adalah perilaku yang mampu mengembangkan nilai-nilai kemanusian, yang memberi kemungkinan untuk pengungkapan diri kemerdekaan, kesamaan, kesatuan, cinta, pengertian dan kepercayaan. Sebaliknya, perilaku manusia yang berlawan dengan moral adalah sebuah perilaku yang akan menghambat kemajuan, kreativitas, ide-ide cemerlang dan merusak ability manusia. Manusia bukanlah mahkluk yang telah jatuh, yang kebaikannya dipulihkan lewat ketaatan, tetapi ciptaan Tuhan  yang hakikatnya perlu ditemukan. Tugas etis manusia adalah memanfaatkan seluruh diri, termasuk nafsu dan dorongan, untuk menanjak naik menjadi manusia yang memiliki berkemampuan (ability) penuh. Manusia pada dasarnya suci dan dapat diselamatkan sejauh hakekatnya dapat dinyatakan dan diteguhkan. Pandangan ini jelas berlawanan dengan pandangan bahwa manusia itu penuh kekurangan dan terjerat dalam hakekat kedosaannya, sehingga harapannya hanya terdapat pada campur tangan dari atas. Tetapi karena terlalu menekankan kedudukan manusia, kadang-kadang etika agama yang sedang-menjadi merosot menjadi  hedonisme yang memanjakan diri, yang melihat kesenangan sebagai nilai moral yang paling tinggi.
Ciri pertama, agama yang sedang menjadi adalah penekanannya pada tanggung jawab pribadi dan bersama-sama. Dampak agama pada hidup pribadi haruslah bersifat etis. Jika tidak, agama itu menjadi tidak berharga. Kekuasaan dan kebenaran agama harus dinilai, bukan pada lembaga di mana orang bergabung atau pada kepercayaan yang diakui, tetapi pada diri orang dan apa yang disumbangkannya dalam kehidupan.
Ciri kedua, agama yang sedang menjadi yang condong ke etika humanistis tak terbatas pada lingkup pribadi atas dasar pemahaman yang terlalu individualistis tentang manusia. Tanggung jawab itu juga merambah ke lingkup sosial kemasyarakatan. Sikap itu oleh Irving Taylor disebut dengan istilah (“transactualization”), yaitu suatu sistem pribadi lingkungan di mana orang mengubah lingkungan (daripada diubah olehnya) sesuai dengan kekuatan yang mengaktualisasi diri. Dalam transaktualisasi lembaga dan organisiasi kemasyarakatan diarahkan untuk merangsang sistem internal  orang agar menjadi kreatif daripada mengenakan kontrol dari luar. Pendeknya, manusia dipandang sebagai pencipta lingkungan daripada sebagai penontonnya. Masyarakat yang baik merupakan perluasan nilai kemanusiaan. Tanggung jawab sosial kemasyarakat bertujuan mempertahankan keadaan dan susunan masyarakat yang paling mencerminkan kemanusiaan. Karena agama yang sedang terjadi menekankan individualitas manusia, agama itu memandang serius kejahatan sosial yang menghambat pemenuhan diri, dan etiknya mencakup sikap dan kemauan kerja yang sungguh-sungguh untuk menciptakan masyarakat yang secara benar mengembangkan kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Ciri ketiga, perhatian agama yang sedang menjadi pada pentingnya individu manusia lewat usaha perbaikan masyarakat menjadi perhatian kaum agamawan humanistis lain. Dalam praktik agama, mereka peka terhadap penderitaan umat manusia. Mereka ikut menderita bila orang lain menderita, di mana pun. Mereka bersedia dan berani berkorban demi pelayanan.
Agama itu mencari kekuatan yang menggerakkan (motivational power), bukan melulu pada Tuhan yang berbicara dari luar atau sabda-Nya yang termuat dalam buku, atau pada dogma dan ajaran saja, tetapi juga dan terutama pada keadaan sezaman yang menyatakan kebutuhan manusia. Penekanan pada manusia itu dapat sedemikian kuat sampai Tuhan terasa tak diperlukan, dan bila diperlukan, Tuhan itu harus ditemukan ditengah-tengah, manusia. Agama yang sedang menjadi menegaskan manusia secara individual, nilai pribadi dan melihat kebutuhan masyarakat sebagai perluasan nilai itu. Unsur dinamis, pusat kekuatan manusia terletak pada pengakuan atas kemampuannya. Dalam agama yang sedang menjadi orang yang benar terhadap diri sendiri juga benar terhadap sesama Tuhan.
Agama dan Nilai Humanistik
Ketaatan terhadap agama dasar segala kebaikan dan pintu segala keberhasilan yang memiliki hati yang tulus dan dengan maksud yang baik. Kecenderungan ini berperan sebagai upaya untuk menangkap pesan-pesan Ilahi dan mematuhi aturan-aturan dengan hati yang bersih dan suci.  Sebab, semua agama memproklamirkan dirinya sebagai pembela nilai-nilai kemanusian seperti kebajikan, kedamaian, cinta, kasih sayang, solidaritas, egeliter, keadilan dan sebagainya. Beragama yang humanis, secara ideal dan normatif meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ide-ide humanistik sakral untuk menjunjung tinggi nilai-nilai sosial.
Islam sejatinya agama kemanusian, untuk menandai suatu agama cukup memandang serta menilai sejauh mana penghargaan terhadap manusia, seperti pembelaannya terhadap manusia. Islam adalah agama manusia, manusia memiliki sifat dasar kesucian yang disebut hanifiyah, yang cenderung memihak kepada yang benar dan baik. Sebagai makhluk yang hanif, manusia akan terus menerus memiliki dorongan naluri kearah kebaikan dan kebenaran.
Manusia secara taken for granted diberi kemampuan berpikir secara logis dan dilengkapi dengan potensi untuk mengenali nilai-nilai kebenaran (agama). Agama merupakan kelanjutan fitrah manusia yang selalu mengarah dan menginginkan kebenaran dan kesucian. Agama juga disebut sebagai fitrah yang diwahyukan (fitrah munazaalah) untuk menguatkan fitrah yang sudah ada pada manusia secara alami (fitrah majbulah). Dari sudut pandang lain, itu berarti bahwa agama adalah kelanjutan “kodrah alamiah” manusia sendiri, merupakan wujud nyata dari kecenderungan alaminya. Karena itu, sebagai nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan, demikian pula nilai keagamaan mustahil berlawanan dengan kemanusiaan.  Agama dibuat bukan untuk penghalang bagi kemanusiaan, maka sesuatu yang sejalan kemanusiaan (bermanfaat untuk manusia) tentu akan bertahan dibumi, sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna bagi manusia, muspra atau sia-sia bagaikan buih) tentu akan sirna. 
Agama tidak bisa dipaksakan dan diperkosakan dalam diri manusia. Agama telah built in, terpatri dalam diri manusia. Tugas kita adalah mendorong, mendialogkan, dan mengomunikasikan kepada manusia untuk menemukan agama, cara dan penghayatan agama yang membuat merdeka secara rohani. Tugas kita mengomunikasikan cara beragama yang membebaskan kita dari belenggu-belenggu diri kita dari tirani-tirani kehidupan manusia umumnya. Penting bagi kita mendorong manusia melepaskan diri dari kepasrahan dan ketundukan kepada sesamanya, membuat dirinya terasa terasing (alienasi), baik dari dirinya maupun masyarakatnya. Kewajiban kita mendorong manusia beragama yang membebaskan dan beragama yang memerdekakan diri dan sosialnya dari segala bentuk “imperialisme dan kolonialisme” kehidupan. Kita butuh agama yang tidak mengerdilkan potensi intelektual dan spiritual kita.
Karena tujuan beragama tegaknya keadilan dan kemanusian, tentu dalam menyikapi keragaman agama dan upaya-upaya penyebaran agama diperlukan landasan etis yang kuat, yang tidak mempertentangkan antara yang satu agama dengan agama yang lain. Nilai humanistik yang dapat dikembangkan bahwa tegakknya keadilan yang berdasarkan tanpa ada paksaan maupun tekanan dalam agama. Penegasan maknanya tidak seorang pun manusia dapat memaksakan manusia lain untuk mengikuti suatu keyakinan, keimanan, atau agama. Menghadapi semua perbedaan itu kita berkomitmen sepenuh hati untuk mengupayakan terciptanya keadilan dan kesetaraan serta menepatkan diri kita di jalan yang benar.
Penutup
Sehingga, tingkatan menuju ketaatan dalam beragama, mampu memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada manusia. Penghargaan itu lahir dari keberagaman identitas manusia serta kontribusi positif yang diberikan keberagaman bagi eksistensi manusi. Kita harus terus menerus menciptakan keadilan dan kesetaraan yang didasari pergaulan yang wajar, bermartabat, dan sikap menghormati semua orang tak peduli siapa mereka. Identitas nasional, kultur bahkan agama, tradisi tempat kita dibesarkan bukanlah tujuan yang harus diupayakan. Identitas kita adalah sarana untuk mengenal Tuhan. Bertakwa kepada Tuhan bukan sepasang sepatu dengan satu ukuran yang pas untuk semuanya. Namun, bagaimana menghormati segala perbedaan tata cara untuk mencapai keadilan dan kesetaraan yang sama bagi semua dengan tingkah laku, pola pikir dan jati diri yang berbeda-beda.
Tingkatan selanjutnya mengarah pada memunculkan sebuah perasaan agama adalah munculnya perasaan taqdis (penyucian) kepada Dzat yang Maha Pengatur seisi jagat raya. Taqdis adalah bentuk penghormatan dengan setulus hatiyang paling tinggi, yaitu sebuah penghormatan yang bukan berasal dari rasa takut, tetapi berasal dari perasaan dari tadyyun (agama).
Namun dalam dunia sufi khauf (takut) merupakan sikap mental dalam hal ini perasaan takut kepada Allah. Pada umumnya orang yang takut kepada sesuatu, pasti akan menghidar dari sesuatu itu, tetapi orang yang takut kepada Allah disebabkan kurang sempurnanya pengabdiannya kepada Sang Khaliq.
Inilah tingkatan terakhir yang akan menempah manusia menuju ketaatan dalam beragama, yang diliputi adanya perasaan takut kepada Allah melalui taqdis. Penghormatan kepada Allah hadir bukan sebab adanya timbul rasa takut, tapi lebih kepada perasaan taat beragama. Wallahu a’lam
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri SUMUT  Medan

Komentar

Postingan Populer