MODERASI ISLAM; UNTUK PERADABAN DAN KEMANUSIAAN
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan
“Dan demikian Kami telah menjadikan kamu, ummatan wasathan agar
kamu menjadi saksi (patron) atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi (patron) atas (perbuatan) kamu”.
(QS. al-Baqarah [2] ayat 143).
Dalam ranah sosial, kompetisi merupakan salah satu karakter
utama antarmanusia yang tidak bisa diabaikan. Setiap manusia yang hidup dalam ranah
sosial harus berusaha menjauhkan perbedaan-perbedaan atau
perselisihan-perselisihan dan berupaya serta mendorong agar selalu bekerja
sama. Bagaimana kita dapat menumbuhkan sikap dan berprilaku yang saling menghargai
antar-manusia dalam kehidupan sebab, sejak awal manusia diciptakan dalam bentuk
perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang seharusnya mengarah kepada saling
memahami, saling menghargai terbuka
antar golongan, serta menghargai hasil kreatif setiap manusia bukannya mengarah
kepada keburukan yang sikapnya memecah-belah dan berbuat kerusakan di muka
bumi. Perbedaan-perbedaan tersebut seharusnya menjauhkan manusia dari
berselisih dan mendorong kita untuk saling berkolaborasi. Agar selanjutnya, perbedaan
itu akan menghasilkan gagasan-gagasan kreatif untuk mencari titik persamaan
untuk membangun peradaban manusia. Peradaban yang mempersatukan generasi
millennial, sehingga spirit sejati persamaan, saling menghargai akan terdapat
dimana-mana.
Moderasi (wasath) adalah jalan pertengahan atau suatu
ummat yang menempuh jalan pertengahan, menerima hidup di dalam kenyataannya.
Sedangkan menurut Ziauddin Sardar wasath (umat menengah), yang berarti
bagian tengah dari sesuatu. Ia merupakan titik yang jauh dari ujung lain,
bagian terbaik dari segala sesuatu. Sedangkan Menurut Yusuf Qardhawi, bahwa di
antara karakteristik ajaran Islam adalah washatiyyah (moderat), yakni sebuah keseimbangan di antara
dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan. Secara
sederhana dapat disimpulkan ummatan washathan adalah sebuah konsep yang menentukan arah dan mengevaluasi
bagaimana manusia di tata dan berkiprah. Konsep ini akan mengajarkan apakah
manusia berada di jalan yang benar, melakukan yang benar. Dengan demikian, ummah wasath adalah
kelompok orang yang adil, sejajar, seimbang, moderat, yang menjauhkan diri dari
berbagai bentuk ekstrimisme. Karena sifat moderatnya-lah ummat muslim harus
menjadi teladan, saksi bagi yang lain- seperti halnya Nabi Muhammad yang
menjadi teladan dengan sikap moderat dan jujur bagi kaum muslim. Ajaran
Islam merupakan jalan (pertengahan) moderat dan teladan sehingga dengan
demikian keberadaan komunitas Islam berada di posisi pertengahan. Posisi
pertengahan menjadikan Islam tidak memihak ke kiri dan ke kanan suatu hal di
mana dapat mengatur manusia berlaku adil. Posisi tengah dapat di lihat oleh
siapa pun dalam penjuru yang berbeda, dan ketika itu dapat menjadi teladan bagi
semua pihak.
Pada dasarnya ajaran moderasi Islam (umat menengah) merupakan alat untuk intropeksi (self reflectioan). Yang diterjemahkan sebagai sebuah gagasan luas yang mencakup semua aspek kehidupan, pemikiran dan perdaban, yang tidak boleh menjadi satu-satunya pasar bagi identitas kita, sebuah obsesi totalitarian yang merusak nilai-nilai kemanusiaan yang sama akhirnya akan menghancurkan diri sendiri dan peradaban. Dalam kenyataannya dapat kita melihat disekeliling muslim, bukan ingin menampilkan ‘umat jalan tengah’ melainkan menampilkan umat yang ekstrim, umat dengan penganut agama yang fanatik, dan kaum calvinis yang memandang benar diri sendiri, umat dengan penguasa tiran dan para demagog. Sehingga umat benar-benar di buat bingung; bagaimana menjadi muslim, bagaimana mengungkapkan dan menunaikan identitas keislaman di tengah ruwetnya dunia moderen. Bahkan sampai ketingkatan ada orang-orang yang menjajakkan kekersan sebagai obat mujarab, perbaikan instan melalui senjata dan bom, politik permusuhan yang panik, dan pemusnahan orang yang dianggap musuh, seakan-akan itulah jawaban bagi semakin sulitnya upaya untuk menjadikan dunia yang lebih baik, lebih damai, dan lebih sejahtera.
Pada dasarnya ajaran moderasi Islam (umat menengah) merupakan alat untuk intropeksi (self reflectioan). Yang diterjemahkan sebagai sebuah gagasan luas yang mencakup semua aspek kehidupan, pemikiran dan perdaban, yang tidak boleh menjadi satu-satunya pasar bagi identitas kita, sebuah obsesi totalitarian yang merusak nilai-nilai kemanusiaan yang sama akhirnya akan menghancurkan diri sendiri dan peradaban. Dalam kenyataannya dapat kita melihat disekeliling muslim, bukan ingin menampilkan ‘umat jalan tengah’ melainkan menampilkan umat yang ekstrim, umat dengan penganut agama yang fanatik, dan kaum calvinis yang memandang benar diri sendiri, umat dengan penguasa tiran dan para demagog. Sehingga umat benar-benar di buat bingung; bagaimana menjadi muslim, bagaimana mengungkapkan dan menunaikan identitas keislaman di tengah ruwetnya dunia moderen. Bahkan sampai ketingkatan ada orang-orang yang menjajakkan kekersan sebagai obat mujarab, perbaikan instan melalui senjata dan bom, politik permusuhan yang panik, dan pemusnahan orang yang dianggap musuh, seakan-akan itulah jawaban bagi semakin sulitnya upaya untuk menjadikan dunia yang lebih baik, lebih damai, dan lebih sejahtera.
Di sinilah, internalisasi paham keagamaan yang bersifat moderat,
toleran dan harmonis menjadi tugas yang tidak mudah bagi umat Islam, karena
seringkali yang digunakan sebagai pijakan dan cara pandang adalah paham-paham
yang tidak autentik yang membawa paham kebencian dan kekerasan. Seharusnya
sikap yang mengedepankan kasih sayang, bukan konflik atau kekerasan. Pada
hakikatnya, perbedaan merupakan karunia Tuhan yang sangat mulia dan indah.
Perbedaan itulah yang membuat manusia menjadi makhluk yang diharapkan mampu
mengatasi perbedaan dengan kehendak untuk hidup toleran serta saling memahami,
menghormati serta saling menghargai. Sebab perbedaan bukanlah ajang pemaksaan,
melainkan keniscayaan untuk saling berbagi rasa dan wawasan sehingga mampu
merajut kebersamaan dalam bingkai ketuhanan dan kemanusiaan.
Tak diragukan lagi bahwa inti sari peradaban Islam adalah
pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Yang memberi identitas peradaban Islam,
yang mengikat semua bagian-bagian, sehingga menjadikan mereka semua badan yang
integral dan organis yang kita sebut peradaban. Tingkat perubahan bervariasi,
dari yang ringan sampai radikal, bergantung pada bagaimana hubungan intisarinya
dengan unsur-unsur yang berbeda dan fungsi-fungsinya. Dalam pemikiran Isma’il
R. al-Faruqi bahwa tiga prinsip yang akan membangun peradaban Islam. Pertama;
unsur kesatuan, tak ada peradaban tanpa kesatuan. Jika unsur-unsur peradaban
tidak bersatu, berjalin, dan selaras satu dengan lainnya, maka unsur-unsur itu
bukan membentuk peradaban, melainkan campur aduk. Dengan demikian aktivitasnya
harus menunjukkan kesatuan pikiran dan kehendaknya, tujuan utama pengabdiannya.
Kedua, unsur rasionalisme; rasionalisme
membentuk intisari peradaban Islam. Rasionalisme terdiri dari tiga aturan.
Menolak semua yang tidak berkaitan dengan realitas; menafikan hal-hal yang
sangat bertentangan; terbuka terhadap bukti baru dan/ atau berlawanan. keterbukaan
terhadap bukti atau yang bertentangan, melindungi manusia dari literalisme,
fanatisme, dan konservatisme yang menyebabkan stagnasi. Ketiga: unsur
toleransi; Dalam hubungan ini, toleransi adalah kepastian bahwa semua manusia
dikarunia sensus communis, yang membuat manusia dapat mengetahui agama
yang benar, mengetahui kehendak dan perintah Tuhannya. Toleransi adalah
keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor
yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktu yang berbeda, prasangka,
keinginan, dan kepentingannya. Toleransi menuntut seorang manusia untuk
mempelajari sejarah-sejarah agama, tujuannya untuk menemukan di dalam setiap
agama karunia awal Tuhan.
Tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat dewasa ini
sangat berat. Tidak bisa dimungkiri membutuhkan alternatif-alterntif pemikiran
yang kreatif dan produktif. Kehidupan muslim kontemporer, dituntut memahami
agar lebih mudah menyayangi, menghormati orang yang terlihat, berbicara,
berfikir, bertindak dan berkeyakinan sama seperti kita. Situasi ini
diberlakukan untuk menciptakan peradaban dan kemanusian yang lebih baik masa
kini maupun masa akan datang. Alquran dengan jelas menuntun kita untuk
menerima, menghargai, dan belajar dari berbagai perbedaan identitas manusia
untuk menjamin eksistensi manusia agar terhindar dari pertikaian, mendominasi,
dan bahkan melenyapkan orang lain. Menciptakan peradaban yang manusiawi,
manusia harus terus berupaya menciptakan keadilan dan kesetaraan yang di dasari
pergaulan yang wajar, bermartabat, dan sikap menghormati semua orang, tak
peduli siapa mereka dan seberapa berbeda mereka.
Dari sinilah sesungguhnya paradigma kemanusiaan dapat di mulai.
Artinya, kebaikan dan kebenaran yang di usung Alquran merupakan sesuatu yang
mengarah kepada kepentingn manusia yang berlandaskan pada asas keadilan,
kesamaan, kedamaian dan kesejahteraan. Maka dari itu, nilai-nilai kemanusiaan
yang terkandung dalam khazanah Islam perlu diteguhkan kembali dalam rangka
menegaskan landasan ideal, teologis, filosofis, bahkan sosiologis. Pada tataran
ini, pandangan Muhammad Thahir bin ‘Asyur menjadi sangat penting, karena
mencoba melihat Alquran sebagai sumber untuk membumikn paradigma kebajikan
sosial dalam konteks peradaban dan keadaban Islam kontemporer.
Islam adalah agama yang
mempunyai semangat toleransi yang tinggi (al-samahah), Islam bersifat
moderat, adil, dan jalan tengah. Bahwa sifat moderat, tidak ekstrem kanan, dan
tidak pula ekstrem kiri, merupakan sifat mulia yang dianjurkan Islam. Dalam
membangun tata kehidupan yang harmonis, baik dalam ranah sosial, maupun intra
dan antaragama. Karena dengan cara itulah Islam akan mampu menjadi ummat yang
memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih mengedepankan cara-cara damai.
Ummatan wasathan adalah ajaran Islam yang
menjadikan serta menghantar manusia untuk berlaku adil, menghargai perbedaan,
serta saling memahami baik dalam konteks agama maupun kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam konteks keindonesia bahwa aktualisasi nilai-nilai etis kemanusian
telah mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan. Wawasan kosmopolitanisme
yang selalu berusaha untuk mencapai titik-temu (jalan tengah), dari segala
nilai-nilai kebangsaan yang terkristalisasi dalam dasar negara (pancasila), UUD
1945, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraaan
lainnya. Pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi keaneka ragam
perbedaan. Yang pada akhirnya peradaban dan kemanusian akan tercipta melalui
nilai-nilai kebenaran sikap dan perbuatan yang tidak memihak ke kiri, dan tidak
pula ke kanan. Sehingga tidak
menimbulkan perasaan memiliki hak untuk menilai ummat lain, labih baik lagi
memberikan peran konstruktif bagi semua ummat manusia untuk menangani persoaln
pelik manusia, untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi setiap
orang, terlepas dari apa pun agama mereka.
Mantap..!!
BalasHapusMantap..!!
BalasHapus