Mengukur Realitas Mahram dalam Islam (Pandangan Ulama Madzhab dan Ulama Kontemporer)
Mengukur Realitas Mahram dalam Islam
(Pandangan Ulama Madzhab dan Ulama
Kontemporer)
Hikmatiar Harahap
Nim 4001213027
Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan
hikmatiarharahap@yahoo.com
Abstrak
Latar Belakang Masalah
Salah satu isu yang paling menarik
untuk ditelaah saat ini adalah terkait dengan isu gender, yaitu mahram, terutama
bagi perempuan yang beraktivitas di ruang publik. Perkembangan zaman menuntut
setiap orang, terutama perempuan, untuk bisa tampil di ruang publik untuk
mengekspresikan diri dalam kehidupan. Terlihat bahwa sebagian perempuan harus
bekerja di antara laki-laki yang bukan mahramnya, seperti di bank, kantor,
kampus, sekolah dan tempat umum lainnya. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan
ketika perempuan harus bekerja hingga larut malam atau memiliki jadwal aktivitas
di malam hari, sambil meninggalkan rumah tanpa mahram. Bahkan jika seandainya seorang
wanita harus membawa ayah atau saudara laki-lakinya, ke tempat kerja tentu
bukan perkara yang mudah mengingat mobilitas perempuan harus ada dan aktif di
ruang publik.[1]
Meskipun konteks mahram ini adalah
melarang laki-laki menikahi wanita yang menjadi mahramnya, hal itu memiliki
implikasi hukum bagi kehidupan sosial. Misalnya, kewajiban bagi setiap wanita
untuk menemani mahramnya ketika dia berada di tempat umum, baik dalam rangka
ibadah, seperti menunaikan haji, shalat berjamaah di masjid, pengajian atau
dalam rangka kegiatan dan muamalah. Satu sisi keadaan ini jelas dapat menciptakan
hambatan psikologis, teologis, sosiologis, dan budayanya sendiri ketika mereka
secara bersamaan berada di area publik. Tentunya, akan menimbulkan sikap tidak
nyaman seolah selalu diawasi kemana keberadaannya.
Perlu dicatat bahwa konteks kehidupan modern, khususnya bagi perempuan
terus berkembang setiap saat, terbukti dengan kenyataan bahwa di segala bidang
kehidupan, perempuan telah hadir diberbagai sendi kehidupan baik dalam politik
maupun bernegara. Bahkan dalam aktivitas sehari-hari, pertemuan antara laki-laki
dan perempuan sering terjadi dan memang sudah seharusnya, seperti mengendarai
sepeda motor (ojek online), angkutan umum seperti bus, kereta api dan stadion
sepak bola. Perkembangan ini tentunya harus dikaji secara serius agar kondisi
kehidupan tersebut dapat berjalan sesuai dengan syariat Islam. Sehingga ruang
publik dapat menampung siapa saja yang memiliki kebutuhan untuk bekerja tanpa
harus meminggirkan gender.
Dalam konteks kehidupan modern, perempuan
menghadapi tuntutan dan tantangan untuk berperan aktif tidak hanya dalam
kehidupan keluarga, tetapi juga untuk berpartisipasi dalam ruang publik. Alquran
merupakan sumber nilai-nilai tertinggi yang tentunya dapat memberikan aturan,
inspirasi dan motivasi bagi perempuan untuk tampil tenang dan bahagia di ruang
publik tanpa kehilangan harga diri dan kehormatannya. Untuk itu, perlu
dilakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat mahram, bukan mengubah ayat-ayat Alquran
sedikit banyak untuk menyanggahnya, melainkan meninjau kembali produk-produk
tafsir masa lalu, yang mungkin kurang hadir saat ini, serta faktor budaya yang
selalu mengalami perubahan dalam masyarakat sehingga dapat diaplikasikan untuk
saat ini.
Dalam masyarakat umum sering terdengar
istilah dengan ungkapan, bahwa dia sudah saya anggap sebagai family, saudara
sendiri dan sebagainya. Artinya, saking seringanya mereka melakukan interaksi
seolah-olah tanda ada lagi yang khawatirkan antara mereka. Akan tetapi, hal
yang mencekamkan ketika terjadi pemerkosaan terhadap wanita mahram (wathul
maharim). Tingkat pemerkosaan di
antara anggota keluarga menurun, Komnas Perempuan:
Banyak kasus pelecehan seksual yang tidak terdokumentasi. Secara keseluruhan,
Komnas Perempuan mencatat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia
selama pandemi 2020. Jumlah ini turun signifikan dari angka tahun 2019 sebanyak 431. 471 kasus.[2]
Metode
Penelitian
Tulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan kualitatif. Pembahasan yang disajikan
didasarkan pada dokumen-dokumen yang diperiksa melalui dalil-dalil Alquran, As-Sunnah, fiqh dan kitab-kitab tafsir. Dari buku tersebut dikutip berbagai pendapat dan argumentasi para
ulama beserta dalil-dalil yang mereka buat kemudian ditarik suatu kesimpulan yang dapat dipahami sebagaimana
tertuang dalam tulisan ini.
Pembahasan
Pengertian Realitas Mahram
Mahram adalah wanita yang dilarang untuk dinikahi, baik dalam konsep konservatif maupun modern.
Alasan pelarangan itu banyak, begitu pula dalam golongan mahram baik menurut suku, luas wilayah, pemikiran
baik di antara negara-negara terbelakang, sempit maupun di negara-negara maju.[3]
Makna larangan perkawinan dalam pembahasan ini adalah larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Secara umum mahram menurut Prof. Dr Abdul Rahman dalam bukunya yang berjudul Fiqih munakahat
adalah: haramnya pernikahan antara laki-laki dan perempuan menurut syariat. Dalam Alquran ada penjelasan tentang tiga belas kelompok orang yang tidak
boleh dinikahi (mahram)., dengan berapa alasan penyebabnya, dan ketiga belas
orang atau kelompok ini menjadi tiga kelompok.
Pertama; Pengelompokan berdasarkan kekerabatan, wilayah
(tempat lahir), garis keturunan atau asal; menurut hubungan silsilah, baik secara vertikal maupun horizontal. Kedua; Kelompok karena menyusui, atau saudara kandung yang menyusui atau menyusui. Ketiga;
Kelompok karena hubungan perkawinan.
Secara khusus kelompok-kelompok tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Ibu, yang dimaksud di sini
adalah seorang wanita yang memiliki hubungan darah, garis keturunan, milik
keluarga ayah dan ibu.
2.
Anak perempuan adalah anak
perempuan yang lurus, yaitu cucu perempuan dari laki-laki dan perempuan.
3.
Saudara perempuan, ibu atau
ayah, hanya ayah atau ibu.
4.
Saudara perempuan ayah di atas atau di bawah.
5.
Adik ibu naik atau turun.
6.
Anak perempuan dari saudara
kandung.
7.
Anak saudara perempuan
saya, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan.
8.
Seorang ibu yang menyusui
bayinya ketika dia masih kecil (ibu yang menyusui).
9.
Wanita yang sedang
menyusui, (payudara dan saudara perempuannya), yaitu mereka yang masih muda
dengan ibunya.
10. Anak tiri, asalkan memiliki hubungan darah dengan ibu
kandungnya, jika tidak, tidak dianggap sebagai anak tiri.
11. Istri dan anak-anak, menantu perempuan.
12. Adik perempuan, saudara perempuan atau laki-laki, bibi atau
uwak.
Batasan Mahram di Area Publik
Sedangkan dalam hal ini, penulis lebih memfokuskan
pada permasalahan yang berkaitan dengan batasan aurat laki-laki dan perempuan
bukan mahram. Batasan-batasan fiqh klasik dijelaskan oleh mayoritas ulama madzhab, seperti yang
dijelaskan Aini Aryani.
Menurut mayoritas ulama fiqih, aurat wanita yang tidak dapat dilihat oleh laki-laki non mahram adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak
tangan, yang hanya sebatas leher, tangannya. Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa kaki bukanlah bagian dari alat
kelamin wanita, hanya sebatas mata kaki. Sedangkan ulama mazhab Hambali juga sedikit berbeda dengan ulama
mayoritas, karena sebagian besar ulama mereka sepakat bahwa aurat wanita adalah seluruh
tubuhnya, kecuali wajah dan tangan. Bahkan kukunya telanjang.
Tetapi ketika wanita dalam ihram, mereka setuju bahwa wajah mereka harus dilihat dan dilihat, untuk alasan ini pengecualian hanya berlaku khusus untuk ibadah ihram.[4]
Ulama madzhab berbeda pendapat tentang batasan aurat bagi laki-laki dan perempuan. Pembagian dan perbedaan pendapat mengenai batas aurat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Melihat dengan Sengaja
Hanafi dan Hambali: orang yang warnet tidak boleh membuka auratnya di sebelah orang yang tidak boleh melihatnya, juga tidak ketika dia
sendirian, kecuali dalam keadaan darurat, karena dia telah buang air besar atau buang air kecil atau karena dia ingin mandi. Maliki dan Syafi'i: Tidak haram, hanya makruh kecuali darurat.[5]
b.
Wanita dan
Muhrim:
Hanafi
dan Syafi 'i dalam situasi seperti itu wajib untuk menutupi hanya antara pusar dan lutut. Maliki dan Hambali:
Jika berhubungan seks, tutuplah antara pusar dan lutut, sedangkan di hadapan
orang asing, laki-laki adalah seluruh tubuh kecuali untuk ekstremitas, seperti
kepala dan kedua tangan. Mahram adalah hubungan syar'i yang ditetapkan oleh Allah SWT antara laki-laki
dan perempuan dimana mereka dilarang menikah. Menurut ulama fiqih, ashram
adalah wanita yang dilarang untuk
menikah secara permanen, karena
kekerabatan, menyusui, atau seks.
c.
Wanita
dan Pria Lain (bukan orang asing)
Para
ulama sepakat bahwa seluruh tubuh mereka aurat kecuali wajah dan kedua telapak
tangan.
d.
Aurat
laki-laki
Hanafi
dan Hambali Bagi laki-laki, wajib menutup antara pusar dan lutut dan tidak di
depan istri dan dapat terlihat anggota lainnya, baik gay maupun non-biner, baik
muhrim maupun tidak muhrim, agar tidak untuk difitnah. Maliki dan Syafi'i:
memiliki dua alat kelamin laki-laki. Di hadapan seorang pria dan kenalan
wanitanya, hanya penutup antara pusar dan lutut yang diperlukan. Sedangkan di depan wanita lain (bukan muhrimnya),
seluruh tubuh pria itu aurat, dan haram
dilihat oleh wanita lain.[6]
[1] Abdul
Mustaqim,
Konsep
Mahram dalam Al-Quran (Implikasinya Bagi Mobilitas Kaum Permpuan di Ranah
Publik) (Jurnal: Musawa Vol. 9, No. 1, Januari
2010), h. 2.
[2]
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56297700,
di akses pada Kamis, 14 April 2022 Pukul 22:19 Wib.
[3]
Syahid Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil Qur’an di bawah naungan al-Qur’an
jilid 4 (Jakarta : Gema Insani press 2011), h. 168.
[4]
Aini Aryani, Batasan Aurat Wanita di Depan Mahramnya, (Jakarta: Rumah
Fiqih Publishing, 2018), h. 5-6.
[5]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, terj. Masykur dkk., (Jakarta:
Lentera, 2013), h. 80.
[6]
Ahmad Sarwat, Wanita Yang Haram Dinikahi, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih
Publishing, 2018), 8.
Komentar
Posting Komentar