_Indahnya Mudik, Maka Bersiaplah_

 


_Indahnya Mudik, Maka Bersiaplah_

Oleh: Hikmatiar Harahap

yang datang akan pergi jua - yang pergi akan kembali pulang

manusia pulang kehadirat Pencipta - anak-anak pulang ke pangkuan ibu-bapak

kekasih pulang ke pelukkan kekasihnya - anak rantau pulang ke kampung halaman

pulang sangat mengasikkan - menyempurnakan kebisingan waktu

di saat pulang menjadi tujuan akhir - tuk pulang selama-lamanya

tak kunjung kembali lagi - pulanglah selagi matahari masih terbit

[H.H 3.4.2019]

Secara sederhana ingin mencoba menguraikan dan membagi beberapa sifat yang berkaitan dengan mudik, antaranya mudik bersifat sosiologis, spritualitas dan filosofis serta memiliki kaitan tersendiri dan setiap orang memiliki hak untuk menerjemahkannya sebagai identitas dalam meragakan kehidupan.

 Sama halnya seperti ungkapan Marcus Aurelius dalam buku Meditations “Buatlah untuk dirimu sendiri tentang defenisi atau deskripsi, sehingga engkau akan mudah untuk melihatnya secara jelas untuk lebih cepat memahaminya secara gamblang”.

 Pertama, mudik bersifat sosiologis. Moment mudik selalu menawarkan keindahan tersendiri, bahkan siapapun orangnya pasti merasakan atau memiliki makna tersendiri, sebab selalu memberikan keindahan. Mudik atau pulang ke kampung halaman moment yang ditunggu setiap orang terutama yang sedang berada di tanah perantauan. Sehingga, segala sesuatu akan dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, penuh teliti dengan perasaan bahagia dan ingin secepatnya menumpahkan kerinduan yang terpendam selama ini. Sehingga, moment mudik sesuatu yang istimewa dan sangat berharga. Moment ini sesungguhnya sangat tergambar jelas dari potongan lirik lagu Siti Nurhaliza “Air Mata Syawal” ‘Sayup, hati ini makin sayup - Rindu, terkenangkan desa permai - Wajah ayah bonda bermain di mata - Mengajakku pulang ke desa - Di hari bahgia hari raya’.

 Moment mudik yang demikian itu lebih bersifat sosiologis, artinya ada dorongan dalam hati untuk sementara waktu berada di tempat kelahiran. Hal ini sangat alamiah siapapun pasti merasakan dalam jiwanya. Dorongan sosiologis memunculkan sebuah memori (memoried) yang selama ini tidak ditemukan kecuali di tempat asal (kampung halaman). Sebuah kenangan yang dibangun dengan sangat sederhana, tapi menjadi kunci dalam mencapai kesuksesan, membangun dignity (harga diri) di kemudiaan hari, memang disadari bersifat sederhana tapi memiliki efek, kelebihan yang sangat mendasar. Kenangan-kenangan waktu kecil, saat bermain dengan kawan sebaya, merupakan sebuah kebahagian tersendiri. Dan, pastinya tidak akan terulang kembali. Kesederhaan inilah sesungguhnya yang dapat menciptakan kelihaian dengan seni dan jurus sehingga dapat menaklukkan berbagai rintangan.

 Memang harus diakui kehadiran fisik (diri), membiaskan pengalaman merupakan bentuk dari kesempurnaan mudik yang bersifat sosiologis. Dalam pandangan kacamata pribadi, bahwa dalam agama kita mengenal dengan istilah “durhaka terhadap orang tua”, begitu pun bila ada pribadi yang merasa berat (tidak peduli) untuk pulang ke tanah tempat kelahirannya, maka tanpa berlebihan pribadi yang durhaka terhadap kampung halaman. Untuk itu, berbuat untuk kampung halaman sesuai dengan kapasitas setiap insan. Sesungguhnya, harus mampu kita pahami istilah yang dipopulerkan oleh Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar “Marsipature Huta Na be”. Sederhananya, ada kepedulian yang lebih terhadap kampung tempat kita dibesarkan, baik berupa menuangkan pemikiran-pemikiran, memberikan konsep-konsep, serta berbagai pengalaman yang dapat memotivasi dan menginspirasi siapapun. Bias-bias inilah sesungguhnya yang harus dipancarkan kepada siapapun yang merupakan sebuah keniscayaan bagi pribadi yang berada di tanah perantauan. Mengingat dan membangun kampung kelahiran sesungguhnya makna tersendiri dari mudik yang bersifat sosiologis, dan maknanya adalah membangun dengan kekuatan kebersamaan. Dan, ini akan memberikan keindahan, kebahagian sehingga setiap saat kita akan selalu ingat kampung di mana kita di besarkan dan belajar dasar kehidupan. Bangunlah sebuah kesempatan untuk mewujudkan karya terbaik yang dipersembahkan kepada kampung halaman, untuk itu mudiklah, maka kamu akan bahagia dan meraih kemenangan.

 Kedua, mudik bersifat spiritual. Tentu harus dipahami dan dipisahkan berupa mudik (kembali kehadirat sang Maha Pencipta) dan mudik (kembali menuju kesadaran). Tentu, mudik yang akan kita uraikan adalah kembali menuju kesadaran.

 Dengan berakhirnya pelaksaan puasa ramadhan, maka setiap pribadi akan terbangun dalam dirinya sebuah kesadaran hidup atau dalam ungkapan Ziauddin Sardar adalah belajar mengendalikan diri. Bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa kesadaran merupakan sesuatu yang sangat baik sekali.

 Untuk itulah, mudik bersifat spritual akan menumbuhkan sosok pribadi yang ‘tathawwu’ yaitu pribadi yang memiliki kepekaan, respon, lihai, cepat, spontan dalam melakukan amal kebaikan. Bahkan kata itu juga memiliki arti melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Alhasil, baik individu atau komunitas masyarakat harus menancapkan nilai dan ajaran bahwa setiap usaha harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran dan sangat penting bagi pencapaian spiritual sejati.

 Ketiga, mudik bersifat filosofis. Hal ini merupakan hasil dari pemaknaan mendasar dari mudik bersifat sosiologis dan spritual tujuannya yaitu mewujudkan kebahagiaan, keindahan.

 Dalam hal ini sangat menarik ungkapan dari Syarif Yunus, bahwa ada empat (4) falsafat kehidupan manusia yang bisa diambil dari ritual mudik.  Antaranya, lebaran, luberan, leburan dan laburan.

 Dan intinya kembali atau pulang kemana pun harus diiringi rasa kebahagiaan. Makanya, bagi Sahrul Mauludi dalam bukunya ‘Happiness Here !’, setiap orang dapat mendidik pribadi yang positif, bermakna dan bahagia.

 Dengan demikian, mudik bersifat filosofis adalah perjuangan, kemenangan dan batas yang sesungguhnya akan memberikan sebuah nilai (value) dalam hidup. Dan, nilai itu yang akan mengarahkan menuju kesuksesan. Sangat menarik sekali ungkapan ErichFromm dalam bukunya “To Have or To Be’, bahwa tangga untuk mencapai kesuksesan adalah mengenali identitas diri (siapakah saya), nilai-nilai pribadi (apa yang saya butuhkan) dan visi hidup (untuk apa saya hidup).

 Oleh karena itu, mudiklah dan berikan keindahan sesuai dengan nilai, kesuksesan yang ada dalam diri kita dan tuangkan sesuai dengan kemampuan semestinya percaya bahwa akan ada yang ikut mengiringi dan membantu (doa dan material). []

 والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ

(Sekretaris Eksekutif Transitif Learning Society [TALAS] & Mahs. Pascasarjana UIN SU Medan & PB PPM PALUTA).


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer