KONSEP HADIS DALAM MENCEGAH HOAKS DAN RELEVANSINYA TERHADAP UU ITE DI INDONESIA

Hasil gambar untuk pemandang indah di bukit tinggi
Oleh: Hikmatiar Harahap
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, sebab kehidupan sosial adalah dinamis. Perubahan sosial merupakan bagian dari gejala kehidupan sosial, sehingga perubahan sosial merupakan gejala sosial yang normal. Perubahan sosial tidak dapat dipandang hanya dari satu sisi, sebab perubahan ini mengakibatkan perubahan disektor-sektor lain. Ini berarti perubahan sosial selalu menjalar ke berbagai bidang-bidang lainnya. Gejala perubahan itu dapat dilihat dari sistem nilai maupun norma yang pada suatu saat berlaku di saat lain tidak berlaku, atau suatu peradaban yang sudah tidak sesuai dengan peradaban pada masa kini.[1]
Secara garis besar, perubahan sosial dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri.  Diantara faktor yang berasal dari masyarakat seperti perubahan pada kondisi ekonomi, sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dewasa ini, kehidupan sosial disibukkan oleh persoalan-persoalan yang cukup sulit, seperti krisis multidimensional, terorisme global, penyebaran hoaks yang tentu saja akan berdampak multikompleks. Antara permasalahan satu dengan permasalahan lainnya tentunya terdapat hubungan yang saling terkait sebab pada dasarnya akar permasalahan sosial tersebut mengkerucut pada persoalan-persoalan pokok, yaitu ketidakpuasan sosial akibat tidak terpenuhinya tujuan kehidupan suatu kelompok atau kebutuhan hidup kelompok sosial.
Dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, ada sebuah fenomena yang menyebar luas dalam kehidupan sosial yakni fenomena hoaks. Fenomena hoaks merupakan prilaku atau keadaan yang menyimpang. Sehingga, titik permasalahannya berada pada perilaku menyimpang dengan menyebarkan isu hoaks. Adanya perilaku menyimpang adalah cara individu atau kelompok dalam mencapai tujuan. Motif untuk mencapai tujuan dengan caranya sendiri tanpa mengindahkan nilai dan norma masyarakat itulah yang menjadi faktor pendorong individu atau sekelompok orang melakukan penyimpangan sosial berupa penyebaran isu hoaks.
Sifat cara manusia untuk mencapai titik tujuan (kepuasan) tersebut digolongkan menjadi dua macam, yaitu; pertama, tindakan yang sesuai dengan norma-norma yang diterima masyarakat banyak atau norma umum. Tindakan ini disebut konformis. Kedua, tindakan yang berlawan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Tindakan yang pertama dianggap sebagai tindakan yang benar (konformis), sedangkan yang kedua disebut tindakan yang menyimpang dari pola-pola aturan atau prilaku menyimpang atau penyimpangan (delinqueen).[2]
Secara sederhana kita dapat mengatakan, bahwa seseorang berprilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal disuatu kelompok atau komunitas tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai atau norma sosial yang berlaku. Adapun menurut Robert M. Z. Lawang, perilaku menyimpang meliputi semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku tersebut. Sedangkan Paul B. Horton, penyimpangan adalah setiap prilaku yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.[3]
Adapun kaitannya bahwa hoaks merupakan bentuk penyimpangan-penyimpangan yang diantaranya dapat menimbulkan beberapa peristiwa seperti masyarakat umum akan  saling melempar opini yang bersifat provokatif, ujaran kebencian (hate speech), mendiskreditkan dan lain-lain.  Dan hal ini juga dipertegas juga bahwa bentuk penyimpangan yang di timbulkan hoaks berupa informasi yang menyesatkan, tindakan yang disengaja dan ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah sebagai kebenaran.[4]
Hoaks yang berasal dari “hocus Pocus” aslinya dari bahasa latin “hoc est corpus”, berarti berita bohong. Hoaks berasal dari bahasa Inggris (hoax) artinya olok-olok(an), cerita bohong memperdayakan.[5] Jadi secara terminologi hoaks merupakan sebuah pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berta yang disampaiakan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Berita bohong adalah cerita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya (materiele waarheid).[6] Jadi dapat disimpulkan bahwa hoaks adalah informasi, kata-kata yang kebenarannya masih diragukan. Sementara menurut Alexander Boese dalam bukunya, Museum of Hoaxes, mencatat hoaks pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swiff pada 1709.[7]
Sedangkan dalam Islam hoaks adalah pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan dan bahkan menistakan pihak lain. Pembuat hoaks digolongkan sebagai sebuah pihak yang merugikan orang lain dan hoaks yang dibuatnya dikategorikan sebagai haditsul ifki atau berita bohong.[8]
Hoaks merupakan bagian dari tindakan atau perilaku yang menyimpang karena nyata-nyata dapat mengancam ketentraman, ketertiban dan keamanan masyarakat. Penyimpangan-penyimpangan yang ditimbulkan dari hoaks diantaranya adu domba, ujaran kebencihan, propaganda, permusuhan, fitnah, berprasangka buruk dan sebagainya akan sangat mudah  terjadi dalam situasi yang demikian.[9]
Untuk itu bahwa hadis sangatlah berperang dalam mencegah penyebaran hoaks di tengah-tengah kehidupan manusia. Hal ini dipertegas dalam bunyi hadis Nabi Muhammad Saw., sebagai berikut:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. (حديث رواه  البخارى مسلم).
Artinya: “Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, sebab prasangka buruk adalah perkataan yang paling bohong”.[10]
Berdasarkan hadis tersebut dapat diambil kesimpulan dini bahwa hoaks merupakan bentuk kebohongan yang berasal dari bentuk prasangka buruk. Prasangka buruk merupakan bentuk kejahatan yang bisa berujung kepada kehancuran tatanan masyarakat. Untuk itu, hadis ini sangat berperan untuk meminimalisir penyebaran hoaks dalam masyarakat. Kemunculan hoaks bukan hanya bersumber dari bentuk prasangka-prasangka buruk.
Dijelaskan dalam hadis yang lain;
إِنَّ الصَدْقَ طُمَأُنِيْنَةِ، والْكَذِبَ رِيْبَةِ. (حديث رواه الترمذي).
Artinya: “Kejujuran itu dekat ketentraman, dan dusta itu dekat dalam keragu-raguan”.[11]
Dalam hadis tersebut memiliki muatan yang sangan mendasar sebagai sebuah solusi untuk mencegah penyebaran hoaks, antara lain:
Pertama, kejujuran harus ditanamakan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga kejujuran tersebut menjadi sebuah keinginan dn kebutuhan. Tindakan maupun perkataan harus mendasari kenytaaan yang terjadi atau yang dialami. Kedua, perkaataan dusta (hoaks), menimbulkan ketidakyakinan dalam bertindaka maupun dalam merencanakan keputusan-keputusan dalam kehidupan. Sehingga, hadis tersebut turut mengomentari bahwa dusta sangat dekat dalam menciptakan keragu-raguan.
Untuk itu kepedomanan hadis tersebut memberikan wacana maupun gambaran sebagai langkah untuk mengantisipasi penyebaran hoaks. Yang pada intinya kejujuran selalu ditampilkan dan dusta (hoaks) akan selalu menimbulkan ketidakyakinan (ragu-ragu) dalam bertindaka dan sebagainya.
Berdasarkan pemantauan mesin pengais konten Sub Direktorat Pengendalian Konten internet Direktorat Pengendalian Informatika Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo.[12] Hoaks paling dahsyat adalah hoaks  Ratna Sarumpaet. Pemberitaan penganiayaan Ratna Sarumpaet oleh sekelompok orang pertama kali beredar dalam Facebook pada Oktober 2018. Hoaks penculikan anak beredar di media sosial media seperti Facebook, Twitter dan WhatsApp. Hal itu meresahkan masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak-anak masih kecil. Di Twitter, hoaks yang beredar menyatakan pelaku penculikan anak tertangkap di Jalan Kran Kemayoran, Jakarta Pusat. Pada awal 2018 masyarakat Indonesia digegerkan dengan berita hoaks mengenai telur palsu atau telur plastik yang beredar di pasar tradisional dan supermarket. Berbagai foto dan video terkait proses pembuatan telur palsu banyak diunggah di YouTube dan media sosial. Bahkan beberapa mengatakan bahwa telur-telur itu diproduksi dari Cina. Hoaks tentang kebangkitan PKI sebenarnya bukanlah isu baru. Tapi isu ini menjadi makin viral pada 2018, seiring dengan dinamika politik Indonesia. Beberapa kejadian seolah dikaitkan dengan kebangkitan PKI. Pada awal 2018 terjadi kasus pemukulan terhadap seorang kyai atau tokoh agama. Setelah tertangkap pelakunya ternyata adalah orang gila.
Dalam kajian persepektif hukum Islam (hadis Ahkam) tindakan hoaks merupakan suatu hal yang haram atau dilarang untuk dilakukan oleh kaum muslimin. Hoaks disamakan dengan fitnah, kabar bohong atau sejenisnya. Penyebar berita hoaks walaupun bukan dia yang membuatnya dan dia hanya menyebarkannya saja tetaplah diancam oleh Nabi Muhammad SAW dan dicap oleh beliau bahwa dia adalah seorang pendusta. Islam muncul sebagai agama yang menyeru umat manusia untuk berbuat kebaikan, kebenaran, dan senantiasa meninggalkan kemungkaran. Oleh sebab itu Islam sebagai agama monotoisme juga merupakan agama yuridis, Islam senantiasa mengkostruksikan kerangka nilai dan norma tertentu pada umatnya, supaya selalu berperilaku berdasarkan pada tatanan hukum yang disepakati, Tata aturan hukum dalam Islam tersebut adalah ketentuanketentuan hukum yang didapat dari Alquran dan Hadis yang disebut dengan syar´i. Secara umum, tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuahan pokok (dharury) bagi manusia, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (hajiyyah) dan kebaikan kebaikan manusia (tahsiniyah).[13]
Pada tujuan akhirnya, target yang ingin di peroleh dari berbagai aturan tersebut adalah terciptanya tatanan kehidupan yang berkeadilan, aman, dan tenteram sesuai dengan konsep maqasid al-syari´ah. Oleh karena itu dalam Islam terdapat berbagai aturan hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan berupa sanksi tegas yang merupakan salah satu langkah represif dan preventif dalam mewujudkan tujuan syariat tersebut. Dengan adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar syara'. diharapkan seseorang tidak mudah dan tidak seenaknya berbuat jarimah. Harapan diterapkannya ancaman dan hukum bagi pelaku jarimah tersebut adalah demi terwujudnya kemaslahatan umat. Dengan demikian, tujuan hukum Islam ditegakkan untuk melindungi lima hal yang disebut dengan maslahah dharury, yaitu din (untuk perlindungan terhadap agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), ´aql (akal), dan mal (harta benda).[14]
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa pertanyaan penting perlu dikemukakan, antara lain:
1.      Bagaimana hukum hoaks dalam perspektif hadis ?
2.      Bagaimana respon dan tanggapan hadis terhadap hoaks ?
3.      Bagaimana urgensi dan efektivitas hadis dalam penyebaran hoaks?
C.     Tujuan Penelitian
Setiap penelitian mempunyai tujuan sebagai arah dan sasaran yang ingin dicapai, sesuai dengan rumusan masalah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Untuk mendeskripsikan situasi dan kondis perkembangan fenomena hoaks di Indonesia.
2.      Untuk mendeskripsikan penanganan penyebaran hoaks berdasarkan hadist ahkam.
3.      Untuk mendeskripsikan urgensi dan efektivitas hadis ahkan agar terhindar dari hoaks.
D.    Penegasan Batasan Penelitian
Konseptual
a.       Hukum adalah Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas. Undang-Undang atau peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.[15]
b.      Hoaks adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk membuat, percaya bahwa itu tidak benar, terutama tidak masuk akal: tipuan bom, panggilan tipuan.[16]
c.       Hadis adalah sabda dan perbuatan nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan atau cerita oleh sahabat-sahabatnya (untuk menjelaskan  atau menentukan hukum Islam), itu diriwayatkan oleh sahabat Nabi terdekat. Sumber ajaran agama Islam yang kedua setelh Alquran; untuk lebih mendalami agama Islam, ia sangat tekun membaca-Nabi Muhammad saw, disamping menghapal ayat-ayat Alquran.[17]
d.      Fenomena adalah hal-hal yang disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta di nilai secara ilmiah. Sesuatu yang luar biasa, keajaiban. Fakta, kenyataan peristiwa itu merupakan; sejarah yang tidak dapat diabaikan.[18]
e.       Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama:
E.     Kajian Terdahulu
Karya ilmiah yang mengangkat permasalahan mengenai hoax ada dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017. Ditulis oleh Vibriza Juliswara dengan judul “Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial”. Vibriza menulis karya tulis ini dengan menggunakan metode sosiologi yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan hoax yang tengah ramai mengguncang media sosial. Berdasarkan konsep sosiologi yang memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang menghasilkan kebudayaan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban masyarakat, dalam konteks merebaknya persebaran hoax, masyarakat dapat mengalami kemunduran moral yang dapat membahayakan peradaban khususnya bagi masa depan generasi muda.
Dalam penelitian Skripsi tentang Hoaks dalam pandangan Alquran yang di tulis oleh Salwa Sofia Wirdiyana pada tahun 2017 pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yagyakarta pada jurusan Ilmu Alquran dan hadist Fakulats Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Dimana dalam penelitian tersebut penulis mengungkapkan bagaimana konsep Alquran untuk mengangkal penyebaran hoaks, sehingga hasil dari penelitian tersebut adalah melakukan pembacaan atas ayat-ayat yang berkaitan dengan istilah tersebut, disimpulkan bahwa berita hoax dapat diminimalisir dengan cara berpikir kritis, memiliki kematangan emosi, melakukan tabayyun, dan memperluas wawasan. Selain itu, Alquran juga mengajarkan etika berkomunikasi yang baik, yaitu qaulan sadidan (tutur kata yang benar), qaulan baligan (perkataan baik yang membekas pada jiwa), qaulan maisuran (ucapan yang pantas), qaulan layyinan (kata-kata yang lemah lembut), qaulan kariman (perkataan yang mulia), dan qaulan ma‘rufan (perkataan yang baik). Sebagai Muslim yang baik hendaknya selektif dan kritis dalam menanggapi berita-berita yang tersebar di sosial media. Karena hal tersebut menentukan akan mendapat dampak positif atau dampak negatif. Apabila mendapat dampak positif, maka sosial media akan menjadi sangat berguna bagi penerima dan penikmat beritaberita yang beredar. Sebaliknya, apabila mendapat dampak negatif, maka sosial media hanya akan menjadi penipu bisu baginya, lantaran sosial media tidak bisa mengklarifikasi berita tanpa seseorang yang mencari kebenarannya sendiri.
Karya ilmiah seorang mahasiswa yang berupa Tesis, yakni yang berjudul Literasi Media Baru dan Penyebaran Informasi Hoax (Studi Fenomenologi Pada Pengguna Whatsapp Dalam Penyebaran Informasi Hoax Periode Januari-Maret 2015), yang ditulis pada tahun 2016. Tesis ini ditulis oleh Clara Novita A, yang bermaksud pada penelitiannya mengkaji hoax dalam aplikasi Whatsapp. Penelitian ini bertujuan melihat kemampuan literasi media baru mahasiswa penyebar informasi hoax, serta pengetahuan dan motivasi menyebarkan informs hoax tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomologi, karna dapat digunakan dalam menggali informasi mahasiswa dalam menerima dan menyebarkan informasi hoax itu. Faktor penyebab dalam penelitian ini adalah rendahnya pengetahuan informasi hoax, karena lemahnya pengetahuan mengenai kebenaran berita yang diterima.
F.      Kerangka Teori
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, keberadaan hadis, disamping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahan kajian yang menarik dan tiada henti-hentinya.[19] Keunikan hadis terdapat pada sisi penyelesaian problematika kehidupan manusia yang berkembang pada saat ini seperti fenomena hoaks.  
Hoaks sebagai bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Segala jenis pembohongan baik pembohongan yang ditujukan untuk individu maupun pembohongan terhadap lembaga, organisasi, atau terhadap sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk membentuk opini publik atau provokasi serta kepentingan politik adalah perbuatan terlarang dalam kajian Islam. Pembuatan hoaks dapat dikategorikan sebagai pihak yang merugikan orang lain dan hoaks yang dibuatnya di golongkan sebagai haditsul ifki atau berita bohong. Istilah hoaks atau berita bohong (dusta) dapat dijumpai dalam beberapa hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi;
عن عائسة رضي الله عنها قالَتْ تقْرَأُ: اِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ. وَتَقُوْلُ الْوَلَقُ الْكَذِبُ. قال ابن ابي مليكة وَكَانَتْ اَعْلَمْ مِنْ غيرها بذالك لانه نَزَلَ فِيْهَا. (رواه بخاري).
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra., bahwa ia pernah membaca ayatاِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ (ingatlah waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut [an-Nuur: 15]). ‘Aisyah berkata: arti kata al-walq (taliqu), ialah berdusta. Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ia lebih mengerti (arti ayat) itu dari pada yang lainnya, karena hal itu diturunkan tentang dirinya. (HR. Bukhari).[20]
عن هشامٍ عن ابيه قال سَبَبْتُ حسَّانَ، وَكان مما كَثَّرَ عليها. (رواه بخاري)
Artinya: “Dari Hisyam, Ayahnya berkata:  “Saya pernah mencerca Hasan, ia adalah termasuk orang-orang yang banyak memperbincangkan (berita bohong) atas ‘Aisyah”. (HR. Bukhari).[21]
Hoaks yang disebarkan oleh individu atau kelompok adalah bertujuan untuk membentuk opini publik dengan harapan apa yang menjadi keinginannya mudah dicapai. Membangun opini publik yang bersifat kemaslahatan masyarakat sangat di anjurkan dalam kajian hukum Islam seperti ta’muruna bil ma’ruf wa yanhauna anil munkar (menyuruh berbuat baik melarang kemungkaran).[22]
Dalam hadis Nabi Muhammad saw., di kemukakan awal terjadinya peristiwa hoaks dapat dilihat dari kisah (kejadian) yang di alami oleh istri Nabi Muhammad saw yaitu ‘Aisyah ra. Sehingga peristiwa ini adalah cikal bakal dari terjadinya peristiwa hoaks dalam Islam. Dalam sejarah Sirah Nabawiyyah dikenal dengan istilah hadis al-ifk (berita palsu). Orang yang pertama kali menyebarkan berita palsu ini bernama Ubay bin Salul, yang mencoba meyakinkan kaum muslimin bahwa ‘Aisyah melakukan perselingkuhan dengan Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami adz-Dzakwan. Padahal peristiwa ini hanya keterbelakangan ‘Aisyah dalam rombongan disebabkan sibuk mencari kalungnya yang tertinggal. Atas kejadian tersebut para munafik memfitnah ‘Aisyah dengan tuduhan melakukan perselingkuhan.[23]
Kalau diperhatikan dalam pendekatan Hadis tentang fenomena hoaks merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan. Penyebaran hoaks dalam masyarakat merupakan perbuatan yang digolongkan merugikan individu atau golongan secara umum. Sehingga dalam perspektif hadis hukuman yang pantas bagi pelaku penyebaran hoaks adalah dapat disamakan dengan pelaku al-qazf sebab dapat dikatakan al-iftira (membuat-buat berita) atau al-kazb (berdusta atau berbohong).[24]
G.    Metodologi Penelitian
Penelitian hukum merupakan satu langkah yang amat strategis untuk mengantipasi perkembangan hukum yang semakin global, juga dalam upaya meningkatkan kualitas para peneliti bidang hukum Islam. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian hukum untuk menunjang terlaksananya suatu penelitian hukum Islam yang baik. Metode penelitian hukum sangat terkait dengan konsep hukum. Untuk itu perlu dijelaskan konsep-konsep hukum dan metode penelitian yang terkait dengan konsep tersebut dan kaitannya dengan metode penelitian hukum Islam.[25]
1.      Sumber Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini bercorak penelitian kepustakaan (library research), yaitu semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis sekitar permasalahan yang dibahas. Karena menyangkut masalah hoaks perspektif Hadis, maka sumber utama dan primer adalah semua simpul berita bohong, membuat berita palsu dan dusta yang terdapat dalam hadis. Naskah hadis dijadikan bahan kajian ialah hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Untuk itu mendapatkan makna-makna kosa kata dari teks hadis yang dibahas dipergunakan beberapa rujukan diantaranya, Sahih Al-Bukhari, Sahih Al-Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmiziy, Sunan an-Nasaiy, Sunan Ibnu Majah, Muwatha' Imam Malik, Musnad Imam Ahmad dan sebagainya. Disamping itu juga untuk memperkaya dan memperluas makna dipergunakan juga kamus Besar bahasa Indonesia, kamus Besar Bahasa Arab dan kamus Bahasa Inggris.
2.      Pendekatan dan Metode
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif berupa hadis ahkam. Pendekatan normatif hadis ahkam adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memahami maksud yang terkandung dalam hadis sebagai sumber hukum Islam kedua yang langsung bersumber dari perbuatan, perilaku dan diri Nabi Muhammad saw. Penulis berupaya memahami makna hoaks dengan menggunakan hadis Nabi Muhammad saw sebagai kajian utama dan kitab-kitab hadis sebagai rujukan pendukung. Sehingga metode yang dilakukan melalui menganalisis hadis ahkam yang berkaitan dengan hoaks.
3.      Langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah untuk mendapatkan makna hoaks dalam perspektif Hadis. Pada langkah pertama pandangan hadis dibahas dalam kerangka respons terhadap fenomena hoaks yang terjadi di masyarakat. Melalui langkah ini diasumsikan, bahwa hadis berintegrasi dengan masyarakat yang telah mengalami pergeseran nilai, moral dan tanggungjwab, sehingga hadis menjawab problem untuk memperbaiki masyarakat. Langkah kedua membahas term-term (istilah) hoaks dalam hadis, dari kata-kata yang secara langsung membawa makna berita palsu dan bohong, yaitu; al-iftira, al-kazb, nifak, ghibah dan semua derivasinya. Perubahan bentuk kata dibahs sedemikian rupa, karena ia akan menawarkan dan membawa makna-makna yang akan memperkaya arti dari hoaks.
Langkah ketiga, mengkaji makna yang berlawanan dengan hoaks, yaitu berita asli. Langkah keempat, yang merupakan langkah terakhir memuat beberapa kesimpulan dari seluruh kajian dan penelitian, yang diharapkan akan memberikan jawaban terhadap permasalahan pokok. Pada kesimpulan ini terjawablah urgensi hadis untuk menanggulangi perkembangan dan penyebaran hoaks dimasyarakat.
4.      Teknik Penulisan
Dalam penulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, pedoman teknik penulisn yang digunakan adalah buku teks penuntun a Manual for Writers of Term Papers, Theses and Dissertations yang disusun oleh Kate L. Turabian.
Transliterasi yang digunakan untuk menyalin kata-kata atau ungkapan-ungkapan berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia berpedoman kepada keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987 tentang Pembakuan Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
5.      Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini di bagi kepada lima (5) bab yang mempunyai kaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama adalah pendahuluan yang mengantarkan pada pemabahasan pada bab-bab selanjutnya. Bab ini terdiri dari atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan batasan penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori dan Metodologi Penelitian.
Selanjutnya bab kedua membahas tentang signifikansi masyarakat dalam hadis yang terdiri dari atas subbab hoaks dan kesadaran masyarakat. Kemudian bab ketiga merupakan tema sentral penelitian, yaitu ragam simpul hoaks dalam persepektif hadis. Bab ini terdiri dari atas subbab simpul-simpul al-iftira, al-kazb, ghibah dan fitnah.
Pada bab keempat akan diteliti bagaimana konsep hadis ahkam dalam menanggulangi hoaks di masyarakat. Pada pembahasan ini akan diarahkan pada hukum Islam, hokum Indonesia, Adat, Pancasila dan UUD 1945.
Pada bab kelima penelitian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan temuan penelitian dan rekomendasi yang dianggap perlu.

BAB II
Landasan Teori
A.    Pengertian Hoaks
Menurut bahasa hoaks adalah olok-olok(an), cerita bohong, memperdayakan.[26] Dapat juga dijumpai dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Dijelaskan bahwa hoax an act intended to make, believe that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls. To trick by making them believe that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls.[27] hoaks adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk membuat, percaya bahwa itu tidak benar, terutama tidak masuk akal: tipuan bom, panggilan tipuan.
Hoaks yang berasal dari hocus pocus aslinya dari bahasa Latin hoc est corpus, berarti berita bohong. Hoaks juga berasal dari bahasa Inggris (hoax) artinya tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung.[28] Hoaks juga dikenal dalam Islam sering disebut sebagai haditsul ifki atau berita bohong (palsu). Sehingga dapat diidentifikasi kata al-ifki yang berarti keterbalikan (seperti gempa yang membalikkan negeri), tetapi yang dimaksud disini adalah sebuah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta. Sedangkan munculnya hoaks (sebuah kebohongan) disebabkan oleh orang-orang pembangkang.[29] Jadi kelompok pembangkan merupakan kelompok yang mengacaukan kondisi dan keadaan. Dalam kajian Islam sendiri pembangkan ini disebut bughat adalah bentuk jamak dari baghin orang yang melakukan pemberontakan.[30]
Secara sederhananya dijelaskan hoaks adalah pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan atau bahkan menistakan pihak lain. Dalam hal ini dapat kita lihat bagaimana sikap hadis terhadap penyebaran informasi dalam kehidupan bermasyarakat. Menyiarkan berita atau memberikan informasi merupakan hal yang penting.
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.
Artinya: “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim)
Di zaman Rasulullah dapat kita lihat bagaimana sikap sekelompok orang yang sengaja atau senang memberitakan sesuatu yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah saw. Niat seperti ini, meskipun tidak mengandung niatan yang buruk, pada hakikatnya adalah bersifat provokatif. Berita seperti itu tentu mengandung tujuan dan kepentingan tertentu. Gambaran orang-orang yang suka menyebarkan informasi yang tidak benar, adalah orang yang lemah iman serta munafik. Tentu maksud dan tujuan mereka adalah untuk mengacaukan keadaan. Hal ini mereka sampiakan dan disebarluaskan kepada masyarakat, agar informasi tersebut menjadi berita-berita provokasi sehingga masyarakat justru akan mudah menyerap dan terpengaruh dengan berita provokatif yang kebenarannya masih dipertanyakan. Bahkan Rasullah menegaskan kembali bahwa ada tiga (3) kelompok manusia yang harus di usir dari tempat kita salah satu diantaranya adalah orang-orang yang menyampaikan kabar bohong, apalagi yang sampai menyakiti perasaan dan keadaan.[31]
Jadi hoaks secara terminologis dapat disimpulkan pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita yang disampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Muatan berita bohong dan menyesatkan, muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan SARA.[32]
Ruang lingkup perubahan masyarakat itu terdiri dari dari unsur-unsur kebudayaan, baik yang bersifat immaterial maupun yang bersifat material. Perubahan masyarakat secara umum menyangkut perubahan-perubahan structural, fungsi budaya dan perilaku masyarakat. Perubahan berarti suatu proses yang mengakibatkan keadaan sekarang dengan keadaan yang sebelumnya berbeda dengan keadaan sebelumnya, perubahan bisa berup kemunduran dan bisa juga berupa kemajuan (progress).[33]
Kalau dikaji dari aspek sosiologi perkembangan hoaks merupakan salah satu bentuk perubahan yang terjadi di masyarakat. Sejak awal sejarah, manusia telah berupaya memikirkan penyebab utama kejadian, motor penggerak fenomena dan proses, kekuatan yang bertanggungjawab atas nasib mereka sendiri. Sehingga atas dasar inilah yang dimaksud di sini sebagai pencarian faktor yang melandasi dan mendorong dinamika sosial dan menyebabkan transformasi dalam masyarakat. Dalam evolusi panjang pemikiran manusia itu, konsep agen perubahan itu secara bertahap telah disekulerkan, dimanusiakan dan dimasyarakatkan.
Adapun pengertian perubahan sosial dari beberapa ahli diantaranya;[34] Gillin dan Gillin mengartikan perubahan sosial suatu “variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan karena perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanyadifusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakkat tersebut”. Sedangkan Selo Soemardjan menyatakan perubahan sosial adalah “segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola peri kelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Hans Garth dan C. Wright Mills mendefenisikan perubahan sosial adalah “apapun yang terjadi (kemunculan, perkembangan, dan kemunduran), dalam kurun waktu tertentu terhadap peran, lembaga atau tatanan yang meliputi tataran sosial”.
Perubahan sosial adalah merupakan perubahan dalam struktur masyarakat, terjadi sebagai akibat dari perubahan dalam norma-norma masa kini. Inti sari dari pendapat ini adalah bahwa kecenderungan-kecenderungan yang buruk masa kini seperti meningkatnya penyebaran isu hoaks adalah hasil dari kebobrokan moral dan hanya dapat diatasi melalui regenerasi moral (kelahiran kembali moral lama).[35]
Sosiolog Amerika cenderung didominasi oleh pandangan bahwa perubahan sosial sedikit banyak merupakan akibat dari perubahan-perubahan normatif. Menurut pandangan ini penyimpangan dalam bentuk penolkan terhadp norma-norma yang ada dan pembentukan norma-norma yang baru adalah kekuatan pendorong utama dari perubahan sosial.[36]
Dalam masyarakat modern telah diakui bahwa tidak semua perubahan sosial seperti halnya hoaks adalah diharapkan dan tidak semua bertindak dalam keadaan terisolasi. Gagasan perubahan yang direncanakan (diharapkan) dan konsep tindakan kolektif kelompok melengkapi citra tentang perubahan spontan yang dihasilkan individu. Dengan konsep ini agen perubahan akan menemukan wujud akhirnya dalam bentuk agen perubahan kolektif. Sebagai agen perubahan kolektif ini bertindak berdasarkan perintah dari atas melalui peraturan perundang-undangan. Kita telah merunut ulang petualangan pemikiran mengenai agen perubahan melalui labirin pemikiran sosial dan sosiologis. Dipintu masuknya, agen perubahan itu berwujud manusia super dan ekstrasosial. Di pintu keluarnya, agen itu berwujud manusia dan sosial dalam bentuk: actor individual dan agen kolektif. Teori sosiologi akhir-akhir ini memusatkan perhatianya pada keduanya, mencoba membongkar rahasia operasi dan mekanismenya melalui realitas sosial yang dihasilkannya.[37]
Hal yang terpenting diperhatikan dalam semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah kesadaran mengenai perubahan itu sendiri di pihak orang yang terlibat, terutama kesadaran mengenai hasil yang ditimbulkan oleh proses sosial itu. Dengan memasukkan faktor subjektif kedalam tiga tipologi. Pertama, proses sosial itu mungkin disadari, diduga dan diharapkan. Proses ini dapat juga disebut dengan proses kentara. Kedua, proses perubahan sosial itu mungkin tidak disadari, tidak diduga dan tidak diharapkan. Dapat disebut proses laten, dalam hal ini, perubahan ini sendiri dan hasilnya muncul secara mengagetkan dan tergantung pada penerimaan atau penolakannya. Ketiga, orang mungkin menyadari proses yang terjadi, menduga arahnya dan mengharapkan dampak khususnya, namun semua dugaan itu ternyata keliru sama sekali. Proses sosial justru berlawanan dengan harapan mereka dan menimbulkan hasil yang sama sekali berlainan atau berlawanan dengan dengan yang diharapkan semula.
Terlepas dari pertanyaan formal tentang letak hubungannya dengan proses susila, penyebab perubahan mungkin berbeda secara substansi dan kualitasnya, seperti alam, demografi, politik, ekonomi, kultur, agama, dan lain sebagainya. Sosiologi harus berupaya untuk menemukan faktor-faktor mana yang terpenting sebagai proses perubahan; apa yang menjadi pendorong utama dari proses sosial. Penganut determinisme sosial mengemukakan beberapa faktor penting. Ada dua kategori utama proses yang menonjol. Pertama, mencakup proses material yang ditimbulkan oleh tekanan keras dari teknologi, ekonomi, lingkungan, hokum, masyarakat dan sebagainya. Kedua, proses idealistis disini peran ideologi, agama, etos kerja dan lainnya sebagai pendorong utama perubahan. Belakangan ini ada kecenderungan untuk meninggalkan perbedaan semacam itu. Penyebab proses sosial dipandang sebagai sesuatu yang konkrit dan mencakup berbagai faktor yang saling berkaitan; seperti proses hukum dengan kondisi masyarakat, ekonomi, politik serta budaya.
Namun, dalam sosiologi modern tidak hanya menolak pemikiran tentang faktor tunggal penyebab poses perubahan sosial tetapi juga mengubahnya. Kini sudah diakui secara luas bahwa membicarakan ekonomi, teknologi, sosial, hukum, politik sebagai penyebab perubahan adalah menyesatkan karena selain semua kategori itu, yang menjadi kekuatan nyata penyebabnya adalah tindakan manusia. Masalah tindakan manusia ini adalah pusat perhatian sosiologi modern.
Jadi, dapat dipastikan juga bahwa perkembangan hoaks dan sejenisnya dalam kacamata sosiologi modern lebih mengarah pada kondisi moral (tindakan) manusia yang sedang berkembang saat ini. Dalam buku Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral karya  Burhanuddin Salam, dijelaskan secara lengkap defenisi moral. Secara bahasa moral berasala dari bahasa latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang artinya kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti mengenai kesusilaan. Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani: ethos dan ethikos yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan sesuatu perbuatan. [38]
Jadi perubahan terjadi dari sisi kajian filsafat lebih mengarah pada kondisi sifat/kelakuan manusia. Perkembangan fenomena hoaks dalam masyarakat lebih dipengaruhi kondisi moral masyarakat yang lebih dominan pada aspek keterbiasaan, kelakuan. Menurut psikologi apabila suatu sikap yang telah menjadi sifat/kelakuan, itu dibentuk oleh sedikitnya 4 jenis pengaruhnya;
1.            Kebiasaan, habit, custom
2.            Pendidikan
3.            Agama
4.            Kesadaran moral jiwa/internal consciousness[39]
Pertama, pengaruh kebiasaan. Suatu kebiasaan yang sudah mempola, dibentuk oleh lingkungan hidup, oleh kebutuhan (needs) atau kehendak meniru, kepatuhan mengikut, biasanya sukar diubah karena kebiasaan ini pun sudah menghilangkan pengaruh dari kewibawaan diri sendiri. Ke-dua, pengaruh pendidikan. Tidak dapat disangkal, bahwa pada prinsipnya pendidikan itu membawa dan membina mental seseorang itu semakin baik dalam arti menjadikan seseorang itu lebih cerdas, lebih bermoral, tegasnya lebih maju daripada sebelumnya  menerima pendidikan. Pendidikan yang baik tercermin pada sikap, cara berfikir, cara berbicara dan pada sikap yang baik. Ke-tiga, pengaruh agama. Beragama berarti bersedia hidup sesuai dengan ajaran dan tuntutan dari agama itu. Bila mengingkarinya, lebih baik jangan turut di dalamnya. Ke-empat, pengaruh kesadaran jiwa. Kesadaran jiwa itu timbulnya adalah sebagai akibat atau dari pengalaman, pertimbangan akal atau pikir, dan dikuatkan oleh kemauan. Seseorang yang selalu mau memeriksa dirinya, mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya akan memiliki kesadaran jiwa yang peka. Orang seperti ini tidak mungkin bersikap congkak, bertingkah laku sombong dan angkuh ataupun berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain merasa tersinggung atau sakit hati. Sedangkan dalam pandangan Jalaluddin Rahkmat, tentang sebab-musabab terjadinya perubahan sosial disebabkan karena ideas: pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai.[40]
B.     Pengertian Hadis Ahkam
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, keberadaan hadis, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya. Pada garis besarnya pengertian hadis dapat di lihat melalui dua pendekatan, yaitu penedekatan kebahsaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologis).[41] Kata hadis telah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia. Hadis adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa, yahdutsu, hadstan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam. Sedangkan, jamaknya al-ahadis, al-hidsan dan al-hudsan; dan memiliki banyak arti, yang diantaranya sebagai berikut,الجديد (sesuatu yang baru), sebagai lawan kata dari القديم  (sesuatu yang kuno atau klasik). Selanjutnya, kata hadis dapat pula berarti القريب (yang berarti menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat; yang belum lama lagi terjadi), seperti kata-kata هو الحديث العهد بالإسلام (dia orang yang baru memeluk agama Islam). [42] Kata hadis kemudian dapat pula berarti الخبر yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan dan di alihkan dari seseorang kepada orang lain[43] atau (berita/kabar), seperti yang dikemukakan oleh ayat-ayat Alquran sebagai berikut:
(#qè?ù'uù=sù ;]ƒÏpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. šúüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ
Artinya: maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya (Alquran), jika mereka orang-orang yang benar. (QS. ath-Thuur: 34).
Sedangkan menurut istilah (terminologis), hadis adalah
الحديث في الاصطلاح: ما يروى عن الرسول صلى الله عليه وسلم من قوله وفعله واقراره بعد النبوة.[44]
Artinya: “Hadis menurut istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya setelah beliau diangkat menjadi Nabi”.
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadis. Pertama, menurut Ulama Hadis, umumnya menyatakan bahwa hadis adalah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau”. Termasuk “segala keadaan beliau” adalah sejarah hidup beliau yakni, waktu kelahiran beliau, keadaan sebelum dan sesudah beliau dibangkit sebagai Rasul dan sebagainya. Kedua, Ulama Ushul menyatakan, bahwa hadis ialah segala perkataan, segala perbuatan dan taqrir Nabi, yang bersangkut paut dengan hukum.
Ketiga, sebahagian Ulama, antara lain at-Thiby menyatakan bahwa hadis ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi, para sahabatnya dan para Tabi’in. Dengan demikian, apa yang datang dari para sahabat Nabi dan para Tabi’in, termasuk kategori hadis.[45]
Di samping itu, Mahfuz al-Tarmasi memberi pengertian hadis secara istilah, yaitu apa yang berasal dari Nabi dan al-tabi’in. Kenyataan ini, telah dikenal dengan adanya istilah hadis marfu’(hadis yang disandarkan kepada Nabi), hadis mauquf (hadis yang disandarkan hanya kepada sahabat Nabi), dan hadis maq’tu (hadis yang disandarkan hanya kepada al-tabi’in. Pada umumnya ulama hadis memberi pengertian, bahwa yang dimaksud dengan hadis adalah semua sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam pengertian inilah, maka ulama hadis menyamakan hadis dengan istilah al-sunnah. Kecuali pengertian tersebut, ada pula ahli hadis yang berpendapat, bahwa kata hadis menunjukkan makna atau sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., baik berupa perbuatan, sabda, persetujuan (taqrir) beliau mengenai sahabat, atau deskripsi tentang sifat dan karakternya. Sifat ini menunjukkan kepada penampilan kepribadian beliau. Meskipun demikian, penampilan kepribadian Nabi, menurut umumnya ulama hadis, bahwa bentuk-bentuk hadis atau as-sunnah adalah segala berita (khabar) yang berkenaan dengan sabda; perbuatan; persetujuan; hal-ihwal Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang dimaksud hal-ihwal, adalah segala sifat dan pribadi.[46]
Ulama Hadis meninjaunya, bahwa pribadi Nabi itu adalah sebagai uswatun hasanah (ikatan utama), sehingga dengan demikian, segala apa yang berasal dari Nabi Saw., baik berupa biografi, akhlak, berita, perkataan dan perbuatannya, baik yang ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadis.
Sedang ulama Ushul meninjaunya, bahwa pribadi Nabi adalah sebagai pengatur Undang-Undang (di samping Alquran), yang menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya dan menjelaskan kepada ummat manusia tentang aturan hidup, yang oleh karena itu membatasi diri dengan hal-hal yang bersangkut paut dengan penetapan hukum saja.
Sehubungan dengan pengertian istilah yang telah dikemukakan oleh Ulama Hadis di atas, maka secara lebih mendetail, hal-hal yang termasuk kategori hadis, menurut Dr. Muhammad Abdul Rauf ialah:
a.       Sifat-sifat Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat.
b.      Perbuatan dan akhlak Nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat.
c.       Perbuatan para sahabat dihadapan Nabi yang dibiarkannya dan tidak juga dicegahnya, yang disebut taqrir.
d.      Timbulnya berbagai pendapat sahabat dihadapan Nabi, lalu beliau mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu pendapat sahabat itu.
e.       Sabda Nabi yang keluar dari lisan beliau.
f.       Firman Allah selain Alquran yang disampaikan oleh Nabi, yang dinamai hadis Qudsi.
g.      Surat-surat yang dikirimkan Nabi, baik yang dikirim kepada para sahabat yang bertugas di daerah, maupun yang dikirim kepada pihak-pihak di luar Islam.  
Pemastian defenisi hadis yang absah itu telah membuatnya menjadi hampir identik dengan sunnah. Sebagai kata yang berarti cerita, maka perkataan hadis pada hakekatnya bermakna laporan atau penuturan, dalam hal ini laporan atau penutupan tentang Nabi. Tapi sebagai istilah teknis penuturan (periwayatan, al-riwayah), yang sering dipandang sebagai pengimbang, karena itu juga diletakkan berhadap dengan al-ra’y.
Hadis merupakan sumber kedua bagi hukum Islam, dan hukum-hukum yang dibawa oleh hadis ada tiga (3) macam;[47]
a.       Sebagai penguat hukum yang dimuat dalam Alquran;
b.      Sebagai  penjelas (keterangan) terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh Alquran dengan berbagai macam-macam penjelasan, seperti pembatasan arti umum, mmerincikan persoalan-persoalan pokok, dan sebagainya;
c.       Sebagai pembawa hukum baru yang tidak disinggung oleh Alquran secara tersendiri dan merinci.
Umat Islam meyakini, semua ajaran Islam bersumber pada wahyu Allah, baik Alquran (al-wahyu al-matluw) maupun hadis Nabi Saw., (al-wahyu ghair matluw). Mayoritas ulama spakat, hadis Nabi Saw., merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah Alquran. Kedudukan hadis Nabi Saw., sebagai salah satu sumber ajaran Islam menunjukkan posisi yang sangat signifikan dalam menjelaskan kandungan Alquran.
Hadis Nabi Saw., menempati posisi yang sangat penting, karena ada ketentuan agama yang penjelasannya hanya dikemukakan hadis Nabi Saw. Selain itu banyak diketemukan ayat Alquran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan Rasulullah Saw., kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.[48]
C.     Pendekatan Hukum Terhadap Perilaku Masyarakat
Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan sesamanya dalam suatu wadah yag bernama masyarakat (negara). Dari pergaulan itu, secara sepintas lalu diapun mengetahui bahwa dalam pelbagai hal, dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia berbeda dengan mereka dan mempunyai sifat-sifat khas yag berlaku bagi dirinya sendiri. Adanya persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan ini, lama kelamaan menimbulkan kesadaraan pada diri manusia, bahwa dalam kehidupan masyarakat ia membutuhkan aturan-aturan yang oleh semua orang anggota masyarakat tersebut harus dipatuhi dan ditaati, sebagai pengangan atau pedoman yang mengatur hubungan-hubungan  antar manusia yang satu dengan yang lainnya, serta antara, manusia dengan masyarakat atau kelompoknya. Pedoman-pedoman itu biasanya diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah.[49]
Dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah ini, sosiologi sebagai ilmu yang membahas tentang masyarakat secara umum lebih mengalami kecenderungan untuk memperhatikan alat-alat pengendalian sosial yang informal di banding formal. Hal ini karena para sosiolog ingin membuktikan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa penerapan hukum harus selalu benar. Meskipun demikian, para sosiolog tetap mengakui bahwa pelaksanaan hukum yang efektif memerlukan dukungan yang luas. Artinya, hukum akan terlaksana secara efektif, apabila hukum itu dirumuskan dn ditetapkan sesuai denga kebutuhan sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum itu ditetapkan berdasarkan pada realitas empiris dan bukan didasarkan pada dunia ide semata.[50]
Selain itu, dalam kenyataan hidup bermasyarakat tidak ada satu masyarakat satupun yang warganya selalu taat dan patuh terhadap hukum dan kaidah-kaidah lainnya, karena setiap manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Apabila hukum yang berlaku dalam masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan serta kepentingan-kepentingannya, maka dia akan memcoba untuk menyimpang dari aturan-aturan yang ada, serta mencari jalan keluar dan atau pertimbangan-pertimbangan lain sebagai landasan konseptual yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingannya.[51]
Sebagai sarana social engeneering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perilakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam hal ini  adalah apabila hukum-hukum yang telah ditetapkan atau dirumuskan ternyata tidak dapat berjalan secara efektif, yakni tidak mampu mengubah perilakuan warga masyarakat yang sebagaimana tujuan yang diinginkan. Gejala-gejala semacam ini tidak serta merta muncul ke kepermukaan, tetapi tentu dilaksanakan adanya faktor-faktor penyebab yang menjadi penghalangnya. Faktor-faktor tersebut berasal dari pembentuk atau perumus hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, pelaku atau subyek hukum, maupun golongan-golongan lain yang ada di dalam masyarakat.[52]
Salah satu hal penting yang perlu mendapat perhatian tentang hukum sebagai pengatur perilaku masyarakat adalah perihal komunikasi hukum. Artinya, bahwa agar supaya hukum itu benar-benar dapat mempengaruhi perilakuan masyarakat, maka hukum tadi harus disebutkan seluas mungkin, sehingga melembaga dalam kehidupan masyarakat. Penyebara ini dapat dilakukan, baik secara formal, melalui cara-cara yang terorganisir secara resmi, maupun dengan cara informal melalui cara-cara lain yang mampu mengantarkan informasi hukum kepada masyarakat.
Masalah-masalah hukum, bagi suatu bangsa yang bertekad untuk membangun tata hukum yang sama sekali baru, tidak bisa dikaji secara terpisah dari konteks sosialnya. Bahkan bisa dikatakan, perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat akan memberikan bebannya sendiri terhadap hukum, sehingga hukum dituntut untuk mengembangkan kepekaannnya menghadapi keadaan tersebut.[53]
Apabila pengembangan kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat tersebut dilakukan , maka berarti ahli hukum telah mengikuti filsafat keterkaitan sistemik antara hukum dengan lingkungan serta basis sosialnya. Persoalan tentang perilaku sosial ini juga dapat dicermati dengan menggunakan teori konstruksi sosial, yang digagas oleh Berger dan Luckmann. Teori ini merupakan derivasi dari teori fenomenologi, yang lahir sevbagai teori tandingan terhadap teori-teori yang berada di dalam paradigm fakta sosial, terutama yang digagas oleh Email Durkheim.[54]
Masyarakat merupakan kenyaatan objektif dan sekaligus sebagai kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan objektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan kenyataan sebagai subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat ialah pembentuk individu. Kenyataan sosial itu bersifat ganda bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan subjektif. Kenyataan objektif ialah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan subjektif ialah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.[55]
C.     Efektifitas Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat
Hukum merupakan disiplin ilmu yang dewasa ini sudah sangat berkembang. Bahkan kebanyakan penelitian sekarang di Indonesia dilakukan dengan mengunakan metode yang berkaitan dengan sosiologi hukum dalam sejarah tercatat bahwa istilah “Sosiologi hukum pertama sekali digunatkan oleh seorang berkebangsaan Italia yang bernama Anzilloti pada tahun 1822 akan tetapi istilah sosiologi hukum tersebut bersama setelah munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound (1870 – 1964 ), Eugen Ehrlich ( 1862 – 1922 ), Max Weber ( 1864 – 1920 ), Karl Liewellyn (1893 – 1962), dan Emile Durkhim (1858 – 1917).
Pada prinsipnya sosiologi hukum (sociologi of law) merupakan cabang dari Ilmu sosiologi, bukan cabang dari dari Ilmu Hukum. Memang ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak di sebut sebagai sosiologi hukum melainkan disebut sebagai sociologi jurispurdence.[56] Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat.
Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut :
1.                  Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat.
2.                  Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal.
3.                  Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
Disamping itu, pesatnya perkembangan masyarakat, teknologi dan informasi pada abad kedua puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi antara sektor hukum dan masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan. Namun masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting dari efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara. Sering disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.[57] Artinya hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat. Disamping itu hukum yang baik adalah hukum yang baik sesuai dengan perasaan hukum manusia (pelarangan). Maksudnya sebenarnya sama, hanya jika kesadaran hukum di katakan dengan masyarakat, sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia.
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat.
Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.[58] Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya).
Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.[59]
Kita biasa mendengar bahwa hukum mencerminkan (atau tidak mencerminkan) opini publik. Ungkapan ini bisa agak membingungkan. Hukum tidak dihasilkan oleh opini mayoritas seperti halnya ketika seorang presiden dihasilkan oleh suara mayoritas. Naïf kiranya kalau kita membayangkan bahwa opini mayoritas dari orang-orang kebanyakan otomatis menjadi hukum. Opini publik yang di ukur oleh jajak pendapat Gallup tidak selalu menggambaran pengaruh kekuatan sosial yang sebenarnya terhadap hukum, bahkan dalam sebuah iklim demokrasi sempurna dengan orang-orang yang berpendapat setara. Salah satu studi yang terkenal yang dibuat oleh Julius Cohen, Reginald A. Robson dan Alan P. Bates. Mereka tertarik meneliti tentang pemahaman moral masyarakat.[60]
D.    Hukum Islam Dalam Masyarakat
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya. Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain.[61]
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum  tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda. Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya. Setiap individu dan kelompok sosial memiliki kepentingan. Namun demikan kepentingan itu tidak selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu mengandung potensi terjanya benturan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main. Agar kepentingan individu dapat dicapai secara adil, maka dibutuhkan penegakan aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebut dengan hukum Islam yang dan menjadi pedoman setiap pemeluknya.[62]
Dalam hal ini hukum Islam memiliki tiga orientasi, yaitu:
a.       Mendidik individu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
b.      Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
c.       Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Orientasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum-hukum untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Begitu juga yang berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri. Sedangkan fungsi hukum Islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1.      Fungsi Ibadah Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: "Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu". Maka dengan daalil ini fungsi ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2.      Fungsi Amar Makruf Naahi Munkar (perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum Islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
3.      Fungsi Zawajir (penjeraan) Adanya sanksi dalam hukum Islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga dengan ancaman siksa akhirat dimaksudkan agar manusia dapat jera dan takut melakukan kejahatan.
4.      Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat) Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat menjadi lebih baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering social.
Keempat fungsi hukum tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu tetapi satu dengan yang lain juga saling terkait. Kehidupan terdiri dari bermacam aspek, mulai dari yang berhubungan dengan individu, keluarga, hingga bermasyarakat, agar segalanya berjalan lancar, dibutuhkan aturan untuk membatasi setiap urusan atau perbuatan yang dilakukan seseorang. Aturan dapat berupa hukum negara, norma, adat istiadat, dan agama. Dalam Islam, dikenal adanya syariat atau hukum Islam, yaitu ketentuan berupa perintah, anjuran, dan larangan dari Allah yang bersumber dari Alquran dan hadist. Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 138 “Alquran adalah penjelasan bagi umat manusia, juga petunjuk dan nasehat bagi orang orang yang bertaqwa”. Dalam sebuah hadist juga disebutkan “Agama adalah nasihat bagi Allah, Rasul Nya, untuk para pemimpin, dan untuk para orang awam”. (HR Bukhari).
Hukum Islam adalah yang mengatur bagaimana kita bersikap dalam kehidupan sehari hari. Manfaat yang akan didapat secara umum ialah kita akan memiliki kehidupan yang teratur dan terarah. Dengan mengetahui hukum islam, kita akan memahami apa saja yang bermanfaat atau yang disukai oleh Allah dan yang sia sia atau dilarang oleh Allah. Diantaranya manfaatnya adalah :
1.      Lahan Ibadah : “Dan taatlah kepada Allah serta Rasul Nya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan amanat Allah dengan terang”. (QS At Taghabun : 12). Dengan mengetahui, memahami, dan melaksanakan hukum islam, setiap tindakan yang dilakukan akan bernilai ibadah di sisi Allah. Misalnya melaksanakan hukum Islam dalam hubungannya dengan pekerjaan, jenis pekerjaan apa saja kah yang termasuk halal dan haram, dan anda mengikutinya sesuai syariat Islam, maka pekerjaan anda menjadi lahan ibadah dan ladang pahala.
2.      Sarana Dakwah: Dakwah bertujuan untuk mengubah perilaku manusia sesuai hukum yang benar. Hukum Islam dalam kehidupan sehari hari dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan pengetahuan atau ilmu agar segala urusan dilaksanakan dengan tata cara yang sesuai.
E.     Penegakan Hukum Persfektif Islam
Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan  keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan.  Dalam Alquran Surah an-Nisaa ayat 58 yang  artinya “sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak  menerimanya dan menyuruh kamu apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu  menetapkan dengan adil”.
Tujuan bernegara Indonesia adalah terpenuhinya keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat diketahui baik dalam Pembukaan UUD 1945 maka negara yang hendak didirikan adalah negara Indonesia yang adil dan bertujuan menciptakan keadilan sosial. Al- qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut  dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan  juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh Al-qur’an dalam pengertian keadilan.
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau orang lain sesuai haknya atas kewajiban yang telah di lakukan. Tentang keadilan Allah SWT berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 8 yang artinya hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi  orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Jika keadilan disandingkan dengan supremasi hukum, maka keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Keadilan akan terwujud jika didukung dengan tegaknya supremasi hukum. Begitu pula, keadilan akan terpuruk jika supremasi hukum tidak ditegakkan. Islam mengajarkan agar keadilan dapat diejawantahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Tegaknya keadilan akan melahirkan konsekwensi logis berupa terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang harmonis. Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam itu dapat dilihat dari prinsip-prinsip ajaran yang dikandungnya. Salah satu prinsip yang menempati posisi penting dan menjadi diskursus dari waktu kewaktu adalah keadilan (al‘adalah). Keadilan secara sederhana diartikan sebagai sebuah upaya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.[63]
Karena itu sifat yang kemudian menjadi cirri hukum Islam dalam artian hukum yang mengatur kehidupan umat mansuai adalah pembedaan antara ajaran ideal dan praktek yang aktual.









BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HOAKS
A.    Defenisi Hoaks
Kata hoax dapat dijumpai dalam literatur bahasa Inggris  yang artinya adalah tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung. Sederhananya adalah berita yang muatan, substansi dan isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya baik yang secara langsung disaksikan, didengar oleh manusia. Jadi  kata hoax adalah ketidak benaran suatu informasi, keadaan, situasi dan kondisi yang sesungguhnya.[64]
Menurut bahasa hoaks adalah olok-olok(an), cerita bohong, memperdayakan.[65] Dapat juga dijumpai dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Dijelaskan bahwa hoax an act intended to make, believe that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls. To trick by making them believe that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls.[66] hoaks adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk membuat, percaya bahwa itu tidak benar, terutama tidak masuk akal: tipuan bom, panggilan tipuan.
Sedangkan hoaks yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hoaks diartikan dengan “berita bohong” tak sesederhana kelihatannya. Sebuah kebohongan bisa disebut hoaks apabila dibuat secara sengaja agar dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Tak hanya itu, kebohongan baru bisa disebut hoaks apabila keberadaannya memiliki tujuan tertentu, seperti misalnya untuk memengaruhi opini publik.[67]
Jadi hoaks secara terminologis dapat disimpulkan pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita yang disampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Muatan berita bohong dan menyesatkan, muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan SARA.[68]

B.     Sejarah Hoaks
Hoaks merupakan fenomena baru yang berkembang di Indonesia, sebuah fenomena yang menjadi bahan diskusi oleh semua kalangan baik mahasiswa, pejabat, politikus dan masyarakat. Kemunculan hoaks ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan bermasyarakat memperpanjang daftar tentang adanya konsep dan perubahan yang selalu terjadi kepada manusia di abad 21. Perkembangan-perkembangan ilmu teknologi dan informasi turut memperlancar sekaligus menfasilitasi perubahan-perubahan dalam masyarakat termasuk di dalamnya hoaks.
Namun, kalau rujukannya berdasarkan pendapat Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science, bahwa kata hoax merupakan sebuah istilah yang terdapat dalam kosa kata bahasa Inggris yang telah ada sejak zaman era industri. Dan diperkirakan muncul kepermukaan pertama kali tersentuh pada tahun 1808. Sedangkan pendapat Alexander Boese dalam bukunya, Museum of Hoaxes, menuliskan hoax bahwa pertama dipublikasikan atau ditemukan terdapat pada almanak atau penanggalan palsu yang sengaja dibuat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709. Karena pada saat itu, ia sedang meramalkan kematian seorang astrolog John Partridge. Untuk meyakinkan semua masyarakat, ia membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya. Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata publik. Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga 6 tahun setelah hoax beredar.[69]
Hal ini dapat juga dijumpai dalam kisah yang di alami oleh Benjamin Franklin yang terjadi pada tahun 1745 yang di publikasikan lewat harian Pennsylvania Gazette yang mengungkap bahwa ada sebuah benda bernama “Batu China” yang kabarnya dapat menyembuhkan penyakit seperti rabies, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Sayangnya, nama Benjamin Franklin saat itu menjadikan standar verifikasi ilmu kedokteran tidak dilakukan sebagaimana standar semestinya. Namun  demikian, ternyata batu yang dimaksud adalah tanduk rusa biasa yang tidak memiliki fungsi dan kegunaan medis sama sekali.
Namun pada akhirnya keadaan media itu di ketahui salah seorang pembaca pada harian Pennsylvania Gazette dengan membuktikan tulisan Benjamin Franklin tersebut. Dengan sebab pernyataan itulah, sehingga dalam masyarakat menyeba luaslah kata hoaks.
Meskipun demikian, istilah hoaks digunakan dalam penyebutan kehidupan sehari-hari sekitar tahun 1808. Kata tersebut dipercaya datang dari hocus yang berarti untuk mengelabui. Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam pertunjukan mereka di panggung.
Hingga kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Dari kabar palsu seperti entitas raksasa seperti Loch Ness, tembok China yang terlihat dari luar angkasa, hingga ribuan hoaks yang bertebaran mengikuti dinamika dan perkembangan kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, sebelum berkembangan alat informasi yang canggih seperti saat ini, bahwa informasi palsu (hoaks) sudah alami umat manusia jaman dahulu. Dalam hal ini bisa dilihat dalam Alquran yang dialami oleh Nabi Yusuf AS. Suata saudara-saudaranya menginformasikan kepada Ayahnya Nabi Ya’qub As, bahwa Yusuf anaknya diterkam binatang buas sembari mereka menyerahkan pakaian Yusuf yang sengaja dilumuri darah. Dari kisah ini dapat dilihat bahwa informasi bohong bukan perkara baru dalam peradaban manusia. Hanya saja bentuk dan keadaan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan begitu juga dengan motif-motifnya.[70]

C.     Fakta Hoaks dalam Masyarakat
Kemajuan dan perkembangan alat komunikasi yang mengikuti kemajuan zaman saat ini, menciptakan manusia menjadi masyarakat yang maju, serta cepat dalam mengetahui berbagai informasi yang berkembang di belahan negara. Hal ini dapat juga mempengaruhi gaya kehidupan manusia baik secara pribadi, kelompok. Dengan kemajuan informasi kebutuhan hidup semakin mudah, hal ini dapat dilihat dari bagaimana pribadi manusia selalu menggantungkan hidupnya terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi, mulai dari makanan, belajar, waktu ibadah, kenderaan semuanya memakai aplikasi kemajuan teknologi itu.[71]
Akhir-akhir ini kasus hoaks di Indonesia tidak hanya menyisir perkembangan politik melainkan juga semua sendi-sendi kehidupan masyarakat sudah di masuki informasi bohong. Berita-berita ini cepat menyeber melalui media massa online seperti facebook, whatsapp, twitter, instagram, line atau cerita-cerita yang beredar dari mulut kemulut. Sehingga tidak jarang yang dirugikan semua pihak, bukan hanya masyarakat biasa melainkan seluruh elemen bangsa.


D.    Dampak Hoaks dalam Kehidupan Masyarakat
Pemanfaatan alat-alat komunikasi dan perkembangannya di Indonesia sangat pesat. Meski demikian, kemajuan dan perkembangan alat teknologi informasi dalam kehidupan nyata tidak selalu sesuai dengan kehidupan dalam dunia maya. Penggunaan media sosial saat ini lebih cenderung dipenuhi sisi-sisi negative seperti, penyebaran berita bohong (hoaks), provokasi, fitnah, propaganda, sikap intoleran dan anti pancasila.
Meski baru mengambil peran utama dalam panggung diskusi publik Indonesia di beberapa dekade terakhir ini, hoaks sebetulnya punya akar sejarah yang panjang. Sungguh pun demikian dalam kurun waktu yang relatif singkat namun dampaknya sudah sangat meresahkan, sebab ini berbicara tentang masalah sosial yang tentunya timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri kehidupan manusia yang bersumber dari sebab-sebab ekonomis, biologis, biopsikologis, dan kebudayaan masyarakat.[72]
Bahkan sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh sosiolog Soerjono Soekanto dalam bukunya  Sosiologi suatu Pengantar bahwa suatu kejadian yang merupakan masalah sosial belum tentu mendapat perhatian yang sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapat sorotan masyarakat belum tentu merupakan masalah sosial. Suatu masalah yang merupakan menisfest social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan. Lain halnya dengan latent social problem yang sulit diatasi karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, masyarakat tidak berdaya mengatasinya. Di dalam mengatasi masalah tersebut, sosiologi seharusnya berpegang pada kedua macam masalah tersebut yang didasarkan pada sistem nilai-nilai masyarakat.[73] Sehingga, dampak hoaks merupakan bentuk masalah sosial yang terdapat pada  latent social problem, dalam masyarakat. Sehingga, masyarakat secara umum tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan perkembangan hoaks, sehingga dengan dihadapkannya hadis sebagai sebuah alternatif dalam mencegah penyebaran hoaks akan lebih terjamin secara konteks sebagai sebuah ajaran agama untuk saling menjaga hubungan dalam kehidupan berbangsa.
Kondisi sosial yang menyuburkan konflik, sehingga sangat berdampak dalam kehidupan manusia. Kecenderungan disintegrasi yang muncul belakangan ini bukan hanya disebabkan faktor perbedaan ideologi dan keyakinan beragama. Namun, faktor ini lebih di dorong persoalan yang lebih kompleks, yaitu masalah ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, sosial, agama, budaya dan hukum.[74] Dalam menyuburkan konflik berdasarkan hoaks sangat mudah di jumpai kasusnya belakangan ini, seperti kasus kerusuhan Wamena Papua, yang berawal dari informasi-informasi yang tidak jelas. Sehingga, yang dirugikan sesungguhnya adalah masyarakat juga.
Dari hal tersebut hoaks tentunya akan menimbulkan berbagai sifat seperti olok-olokan, berita bohong, memperdaya, menyebarkan kebencian, yang kesemuannya akan di bahas satu persatu sebagai berikut.
E.     Menyebarkan Kebencian
Memang tanpa di sadari sesungguhnya, bahwa media sosial sangat memberikan bentuk kebebasan yang seluas-luasnya bagi manusia, sebagai bentuk kemerdekaan dalam mengekspresikan pribadi, keadaan, gaya hidup, pemikiran atau opini, bahkan hanya sekedar iseng-iseng belaka. Satu sisi, keprihatinan pasti menyelimuti atas kemajuan-kemajaun yang di raih manusia yang mengarah pada bentuk-bentuk ketidak sesuaian nilai budaya masyarakat bangsa.
Dalam tataran sosial, sesuatu yang tidak bisa dihindari adalah munculnya paham dan sikap monistik, yaitu paham dan sikap yang menganggap dirinya yang benar, sedangkan orang lain salah. Bukan hanya itu, kadang kala sifat itu berkembang menjadi penolakan terhadap keberagaman. Sikap tersebut bisa dilahirkan dari rahim individu dan rahim institusi. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah munculnya sikap yang merasa menang sendiri sembari menafikan keberadaan yang lain, terutama melalui penghinaan dan sikap yang tidak manusiawi. Dalam masyarakat muslim, upaya mendiskreditkan kelompok lain dengan ungkapan yang tidak pantas merupakan fenomena mutakhir seperti ungkapan hoaks. Seolah-olah ajaran keislaman hanya berbicara tentang hal-hal yang bersifat hitam-putih. Tapi hal-hal yang berkaitan dengan etika seringkali kurang mendapat perhatian.[75]
Sejatinya dalam ranah sosial harus terbangun keharmonisan sosial, antara satu agama dengan agama yang lain; antara satu kelompok dengan kelompok yang lain; antara satu mazhab dengan mazhab lainnya. Dalam hal ini, teladan para ulama fikih terhadap khazanah yang patut didendangkan terus-menerus agar keragaman dirayakan dalam membangun kebersamaan dan toleransi.
Perbedaan pendapat amat dijunjung tinggi. Tapi perbedaan pendapat yang dibangun di atas kebencian bisa menjurus pada konflik. Karena itu, perbedaan semacam itu sama sekali tidak dianjurkan Alquran dan Hadis. Disini, sekali peran etika sosial amat penting untuk membangun masyarakat yang setara. Sehingga setiap unsur manusia harus memperhatikan dimensi sosial-kemasyarakatan. Sehingga, perintah untuk tidak menyebarkan informasi, membenci atau mengolok-olok kaum lain, karena bisa jadi kaum yang dihina atau dibenci tersebut lebih baik dari pada kaum yang menghina atau membenci.
Pesan ini berangkat dari kisah dizaman Rasulullah saw., seseorang yang bernama Tsabit bin Qays bin Syammas adalah seorang yang tuli. Setiap kali ia menghadiri majelis Rasulullah saw., ia senantiasa duduk di tempat yang paling dekat dengan beliau sehingga dapat mendengarkan dan menangkap pesan dengan baik. Suatu hari ia datang terlambat, sedang majelis sudah dipenuhi para pengunjung lain. Lalu ia meminta untuk diberi jalan untuk mencari tempat yang lebih dekat dengan Rasulullah saw., pada akhirnya ia pun mendapat tempat duduk. Tapi tiba-tiba ada seorang yang menyindir dan menghina seorang Tsabit. Sehingga turunlah satu ayat sebagai larangan untuk memfitnah, membenci dan menyindir kaum lain.[76]
Menurut Imam ar-Razi kebencian (al-sukhriyyah) adalah perbuatan seseorang yang didalamnya terdapat unsur yang meremehkan orang lain, tidak peduli merendahan derajtnya, kendatipun tidak sampai mebuka aib-aibnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebencian adalah kebencian yang bersifat minimal.[77] Menebar kebencian saja di larang Allah swt, apalagi dengan tindakan yang didalamnya terdapat unsur kekerasan. Karenanya, setiap muslim harus memedomani batasan-batasa minimal seperti ini agar tidak melakukan tindakan kekerasan yang bersifat yang lebih besar dampak negatifnya.
F.      Menyuburkan Konflik
Sudah terbukti bahwa dampak dari hoaks akan menciptakan suasana konflik atau permusuhan. Dampak ini sudah terjadi dalam kehidupan manusia, sehingga kejadian-kejadian yang di timbulkannya seperti permusuhan, perselisihan, pertikaian sering terjadi dalam masyarakat. Kasus-kasus sosial yang terjadi belakangan, seperti kasus Wamena Papua merupakan bentuk dari informasi yang kurang jelas, sehingga terjadi kekacauan antar masyarakat. Inilah bukti dari bentuk menjamurnya konflik di tengah-tengah masyarakat. Namun, seharusnya dalam kehidupan modern yang harus di tonjolkan itu adalah sikap kasih sayang, saling memahami dan saling memberi pengertian dan penjelasan. Jika seseorang telah memiliki rasa kasih sayang terhadap sesuatu, maka ia akan melakukan apa saja yang bisa diperbuat untuk menunjukkan rasa kecintaannya itu. Persoalannya adalah bagaimana menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta pada setiap orang.[78]
Bila mana konflik dan kerusuhan terus menjadi-jadi dan tanpa berkesudahan maka ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan untuk meredamnya. Dalam hal ini dapat di jumpai dalam buku Said Agil Husin al-Munawar yang berjudul Fikih Hubungan Antar Agama.[79] Pertama, adanya tindakan untuk meredam dan membatasi konflik, sehingga tidak mengeras dalam intensitasnya dan tidak meluas secara territorial, artinya untuk mencegah eskalasi konflik yang terdapat berkembang sampai pada tahap tidak dapat lagi di hentikan. Kedua, adanya bantuan cepat untuk menolong orang-orang yang menderita karena kekerasan dan pengrusakan. Hal ini perlu dilakukan untuk agar para korban segera di selamatkan sehingga tidak terjadi keresahan dan sumber konflik yang baru.
Ketiga, adanya tindakan mengawasi dan membekukan para aktor yang sengaja membuat situasi menjadi panas, meniup-niup ketidakpuasan yang ada dan mendorong orang, untuk terlibat konflik dengan konflik sosial lainnya. Keempat, adanya usaha nyata untuk memulihkan sarana dan prasarana yang rusak. Kelima, adanya usaha pengembangan dan perberdayaan masyarakat yang terlibat konflik, adanya pembangunan yang lebih berwawasan keadilan dan persamaan, serta tersedianya pendidikan dan pelatihan yang dapat mengangkat sekelompok orang keluar dari keterbelangan dan kemiskinan.  
Dengan demikian, manusia modren pun berada dalam kondisi yang serba problematis. Jika ilmu pengetahuan dan teknologi modern dibiarkan berkembang secara bebas dan tanpa kontrol dan pengarahan, maka akan menyebabkan terjadinya kehancuran dan malapetaka yang mengancam kelangsungan hidupnya dan  peradaban manusia itu sendiri.[80] Perkembangan hoaks merupakan salah satunya dimotori dari kemajuan dan perkembangan teknologi modren yang kurang difungsikan manusia secara maksimal.
Dari bentuk kemajuan dari capaian manusia saat ini, merupakan bentuk apresiasi yang sesungguhnya, namun di balik dari keberhasilan manusia menciptakan berbagai bidang kemajuan dalam kehidupan, ternyata menyisakan rasa gelisah, khawatir, takut, tidak aman dan sebagainya. Mereka memikirkan situasi di mana kekuatan-kekuatan fisik serta pengetahuan ilmu dan kebudayaan manusia berada dalam keadaan kontras dengan kegagalan pemerintah dan kepentingan individu untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan dari segi intelektual dan moral.
G.    Ujaran kebencian
Defenisi hate speech (ucapan penghinaan/atau kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.[81]
Orientasi dari ujaran kebencian berawal dari penggunaan media sosial. Media sosial adalah media yang berbasis internet yang bermadsuk memberikan tempat dan ruang interaksi virtual oleh alat-alat teknologi multimedia. Dalam penggunaan media sosial tentu dampak negatif dan positif akan silih berganti menghampiri. Namun, yang sering muncul dampak negatifnya, yaitu fenomena haters. Haters secara harfiah berasal dari bahasa Inggris yang artinya a person who hate (pembenci atau orang yang di benci). Dari pemaknaan hate speech akan muncul makna yang lebih luas yang sering di artikan sebagai bentuk ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk merugikan berdasarkan target yang diidentifikasi dengan kelompok sosial.[82]
Ujaran kebencian merupakan bentuk tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti agama, kewarganegaraan, cacat, gender, etnis, warna kulit, ras dan golongan. Istilah ujaran kebencian ialah bentuk ekspresi yang selalu menginginkan agar hasutan dapat merugikan orang lain berdasarkan target dan tujuan yang sudah di tentukan sejak awal.
Sedangkan defenisi oleh Council of Eurofe hatespeech dimaknai sebagai seluruh keadaan ekspresi yang menyebar, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia, anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi, termasuk intoleransi nasionalisme agresif dan etnosentrisme, diskrriminasi dan permusuhan terhadap kelompok minoritas, migrant dan orang-orang asal migran.[83]
Sedangkan menurut R. Susilo menyatakan bahwa yang dikatakan dari menghina bentuk dari adanya menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang terkena dampak dari ujaran kebencian biasa merasa malu. Menurutnya penghinaan terhadap satu individu ada 6 (enam) macam yaitu;
1.      Menista secara lisan,
2.      Menista dengan surat/tertulis,
3.      Memfitnah,
4.      Penghinaan ringan,
5.      Mengadu secar memfitnah,
6.      Tuduhan secara fitnah.
Ujaran kebencian selalu mengiringi manusia dalam mengajukan kebebasan berpendapat di media sosial. Kondisi inilah yang membuat masyarakat bahkan negara semakin tidak kondusif oleh penyalah gunaan media sosial dalam memberikan informasi bohong (hoaks) yang dampaknya akan menumbuhkan sikap perselisihan, permusuahn, konflik yang tentunya tudak sesuai dengan niali-nilai budaya yang selama ini diamalkan oleh rakyat Indonesia.
Keadaan ini pada dasarnya memberikan dampak yang serius dan lebih sering dialokasikan pada hal-hal yang bersifat negative sehingga menjadi sebuah tantangan atau ancaman yang mangarah pada munculnya perpecahan atau disintegritas bangsa. Sebagaimana yang sering terjadi pada akhir-akhir ini, dari ucapan penyebaran kebencian seolah-olah masyarakat dan bangsa sedang menyimpan malapetaka yang dahsyat.[84]
Dalam penelitian dari Binus University, menyatakan bahwa bentuk ujaran kebencian digambarkan layaknya suatu perkataan yang sengaja dilancarkan dengan maksud untuk membeci, melanggar, mendiskriminasikan, dengan cara atau bentuk singgungan, ancaman, dan menghina kelompok berdasarkan agama, golongan, suku, etnis-budaya. Sehingga, kalau di lihat dari segi bentuk perbuatan, bahwa ujaran kebencian ini merupakan bentuk perbuatan yang didalamnya terdapat unsure-unsur yang menyudutkan atas nama perbedaan dan keyakinan.
Sementara dalam hukum Islam ujaran kebencian bentuk katanya adalah ihtiqar  yang maknanya adalah meremehkan, maksudnya adanya bentuk-bentuk penghinaan terhadap orang lain, yang berasal dari perkataan, gaya, atau bentuk gambar-gambar yang hina untuk membuat oaring lain merasa malu. Untuk itu ujaran kebencian juga, dapat ditemukan dalam hukum Islam dengan berbagai macam bentuk-bentuk, antara lain sebagai berikut:[85]
Sementara dalam pandangan Abdul Rahman Al-Maliki, salah satu pakar hukum Islam terkemuka menyatakan bahwa ujaran kebencian yang muatannya adan unsur penghinaan dibagi menjadi tiga (3), bentuk:[86]
a.       Al-Dzamm, bentuk penisbahan satu perkara tertentu yang di tujukan kpada orang lain, bisa saja bentuk sindiran secara halus, yang bertujuan untuk menybabakan kemarahan, permusuhan, kebencian satu sama lain.
b.      Al-Qadh, sesuatu bentuk hubungan yang berkaitan dengan reputasi dan harga diri tanpa menisbahkan sesuatu hal tertentu, dan
c.       Al-Tahqir, ialah bentuk perkataan yang disengaja dan di dalamnya terdapat unsur dan sikap yang bersifat celaan atau indikasi pelecehan, tidak menghargai hak dasar manusia.
Dalam aspek ajaran agama, bahwa ujaran kebencian sangat diperhatikan sebagai sebuah bnetuk tatanan untuk saling meneguhkan atas dasar aspek etika dan prilaku sesama manusia. Secara mendasar bahwa ajaran Islam sangat memberikan perhatian dan petunjuk yang sangat serius untuk menjamin tegaknya masyarakat yang damai, adil, tentram sehingga terbebas dari segala bentuk penindasan dan penzaliman. Keterbukaan hukum Islam sesungguhnya ketika hukum Islam itu tidak hanya berbicara tentang ibadah vertikal kepada Allah Swt., melainkan ikut andil dan memberikan perhatian dan masukkan terhadap kondisi dan problematikan yang di hadapi umat manusia. Inilah peran utama mendasar dari fungsi ajaran agama itu. Setiap manusia yang selalu mengamalkan ajaran agamanya akan membentuk hubungan yang sesama manusia sehingga terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai tentram.[87]
Untuk itu andil yang cukup besar itu, bahwa hukum Islam memiliki cara atau jalan untuk menciptakan tatanan hidup yang lebih harmonis. Dan sesungguhnya, bahwa hukum Islam itu merupakan motor penggerak untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, produktivitas, perkembanagn, perikemanusiaan, spritual, kebersiahan, persatuan, keramahan, dan masyarakat demokratis.[88]
Dalam menciptakan tatanan kehidupan bahwa penerapan hukum Islam harus sesuai dengan tujuan-tujaun dari hukum itu di turunkan, atau biasanya disebut dengan maqsid syar’iah. Dan juga maqsid syar’iah ini diklasifikasikan menjadi tiga (3) tingkatan yaitu daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.
Dalam daruriyyat terdapat lima (5) hal yang harus di jaga, yaitu:[89]
a.       Ḥifẓ ad-dīn (menjaga agama). Menjaga agama merupakan urutan pertama dalam lingkup hukum Islam. Karena secara keseluruhan bahwa agama bertujuan untuk mengarahkan manusia untuk berbuat baik sesuai ajaran syari’at Islam.
b.      Ḥifẓ an-nafs (menjaga jiwa). Untuk dapat melaksanakan ketentuan syariat, hanya orang yang berjiwa sehat jasmani dan rohani yang dapat melaksanakannya, maka dianjurkan untuk memelihara jiwa.
c.       Ḥifẓ al-`aql (menjaga akal). Sesungguhnya teks syariat mendidik manusia untuk memelihara akalnya agar senantiasa sehat dan berpikiran jernih. Hanya pikiran yang sehat dan jernih yang dapat memenuhi tuntutan syariat untuk memahami ayat-ayat Allah.
d.      Ḥifẓ an-nasab (menjaga keturunan). Kemaslahatan duniawi dan ukhrawi ini bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dari generasi ke generasi. Syariat juga mengatur pemeliharaan keturunan, baik membangun keluarga dan masyarakat.
e.       Hifẓ al-māl (menjaga harta). Syariat dapat terlaksana dengan baik jika manusia mempunyai kehidupan sejahtera yang sekaligus menjadi tujuan syariat. Pemeliharaan harta menjadi salah satu tujuan syariat, dalam arti mendorong manusia untuk memperolehnya dan mengatur pemanfaatannya Syari’at Islam telah menentukan dan menciptakan tujuannya untuk menjaga dan mententramkan masyarakat, dan mencegah perbuatan yang yang dapat menimbulkan kerugian terhadap jiwa, akal, harta, maupun kehormatan.[90]
Perbuatan ujaran kebencian ini masuk ke dalam golongan memelihara jiwa (ifan-nasf). Karena di dalamya memiliki muatan penghinaan, yaitu menjatuhkan harga diri atau jiwa seseorang.
Islam mendorong manusia untuk memelihara kehormatan walaupun dalam keadaan kebebasan dalam berbicara. Menolong seseorang yang terkena musibah dan memuliakan tamu juga termasuk memelihara kehormatan. Islam juga menganjurkan untuk memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman berat bagi siapa saja yang menganggu keamanan masyarakat. Syari’at Islam telah mengatur keamanan untuk seluruh umatnya Dengan demikian kehormatan penting untuk dijaga bagi setiap manusia dari segi golongan manapun.
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw., di jelaskan tentang larangan ujaran kebencian:
عن ابي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.[91] (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah RA., bahwasanya Rasulullah Saw., bersabda: barang siapa yang hendak beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama memaknai ḥadīṡ ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik dan benar, ia diberi pahala. Jika tidak, hendaklah ia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh atau mubah.” Dalam hal perkataan yang mubah dianjurkan untuk dijauhi atau bahkan diperintahkan untuk ditinggalkan, karena khawatir terjerumus pada yang haram atau makruh dan seringkali hal seperti inilah yang banyak terjadi pada manusia. Karena orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah akan takut kepada ancaman ażab-Nya, mengarapkan pahala-Nya, dan melaksanakan semua perintah dan meninggalkan semua larangan-Nya.[92]











BAB IV
Hasil Penelitian
A.    Perkembangan Hoaks
Perkembangan kehidupan di dunia ini tentunya tidak akan pernah henti-hentinya dalam segala lini kehidupan  seperti teknologi, sains, pendidikan, politik, kebudayaan dan sebagainya. Perkembangan ini tentunya mewujudkan problematika baru yang belum pernah terjadi pada masa lampau atau pernah terjadi masa silam dan muncul kembali dalam wajah yang lebih rumit.
Sebagai seorang muslim yang berpedoman teguh kepada Alquran dan Hadis Nabi Saw., maka wajiblah ia menimbang, mendiskusikan masalah yang dihadapi dengan pendekatan sumber hukum Islam tersebut. Merujuk, dan menfokuskan kepada untuk menetapkan segala hukum sehingga tidak menimbulkan kekacauan atau tidak tersesat dalam memahami hukum-hukum Allah. Namun juga, sangat menarik bila mana kasus terseebut secara konkrit tidak langsunh tertuju penyelesaiannya berdasarkan Alquran melainkan mencari solusinya dari sisi pendekatan hadis Nabi Saw.[93]
Perkembangan alat teknologi dan komunikasi di era modern menjadikan kehidupan semakin komplek dan rumit. Bahwa perkembangan dan kemajuan tidak diimbangi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, budaya dan sosial sehingga menimbulkan keresahan dan problem seperti penyebaran hoaks yang mengakibatkan muncul kebencian, konflik dan sebagainya. Berita-berita yang beredar sudah menyentuh seluruh lapisan masyarakat baik tentang ekonomi, hukum, politik sosial-budaya, bahkan pendidikan.[94]
Dalam konteks keindonesian UU IT telah merespon bahkan sudah merekomendasikan gagasan dan batasan terhadap sistem informasi. Hal ini dapat dilihat dalam UU IT pasal 28 ayat (1) Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyatakan, “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian keonsumen dalam transaksi Elektronik.” Terkait dengan adanya rumusan UU ITE tersebut, dapat ditafsirkan pemaknaannya “menyebarkan berita bohong”, namun sesungguhnya ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan rumusan yang berlainan dengan ungkapan “menyiarkan berita bohong”Hal ini menjadi acuan dan dasar bahkan batasan yang harus dipedomani ketika menyampaikan pendapat, opini, dan gagasan di depan umum. Dengan adanya UU IT, sesungguhnya menjadi pagar untuk pemerintah agar masyarakat memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam mengajukan pendapatnya di depan publik.[95]
Sedangkan, dalam konteks keislaman, hoaks merupakan kejahatan kemanusian bahkan diperkirakan muncul seusia peradaban umat manusia. Kejahatan kemanusian dalam bentuknya terdapat unsur penzaliman dan kemungkaran yang dapat merugikan orang lain. Sebagai seorang muslim yang taat terhadap ajaran agamanya yang bersumber dari Alquran dan Hadis yang memberikan pemahaman untuk mengatur tingkah laku dan sifat manusia dalam menjalani kehidupannya sehingga untuk memunculkan benar salahnya suatu perbuatan itu. Hoaks dalam konteks ini lebih menekankan pada konsep tentang akhlak atau moral. Untuk itu, kecenderungan manusia untuk selalu berbuat buat baik terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman. Perbedaan jika terjadi terletak pada bentuk, penerapan, konsep moral, yang disebut dalam bahasa hukum Islam adalah ma’ruf, sehingga tidak ada peradaban yang menganggap baik hoaks.[96]
Sehingga menurut penulis ada beberapa hal yang harus dikemukakan sebagai konsep untuk mencegah perkembangan dan penyebaran hoaks dalam kehidupan, hal ini ditinjau dalam perspektif Hadis, Pancasila, serta UU ITE.
B.     Konsep Hadis dalam Mencegah Hoaks
Umat Islam meyakini, semua ajaran Islam bersumber pada wahyu Allah, baik Alquran (al-wahyu al-mutluw) maupun Hadis Nabi Muhammad Saw., (al-wahyu ghair matluw). Mayoritas ulama sepakat, hadis Nabi Muhammad Saw., merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah Alquran. Kedudukan hadis Nabi Muhammad Saw., sebagai salah satu sumber ajaran Islam menunjukkan posisi yang sangat signifikan dalam menjelaskan kandungan Alquran.[97] Sebagai mana dinyatakan Allah Swt;
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ.
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
Sehingga, posisi hadis sangat sentral dalam merumuskan sebuah hukum Islam. Bahwa tidak dapat dipungkiri, bahwa hadis telah mengajarkan kepada umat Islam untuk patuh kepada ajaran-ajaran nabi Muhammad Saw. Bila ditelaah secara mendalam, hal ini dipahami (walaupun tidak harus diterima). Dasar yang baku dan pasti hanyalah Alquran. Adapun lainnya sangat dipengaruhi oleh konteks, dalam kondisi tertentu, sebagian orang menerima hadis dengan terpaksa. Karena penerimaannya tersebut tidak mencerminkan keimanannya.
Peran penting dari hadis nabi Muhammad Saw., dalam menjelaskan ajaran hadis dengan seksama dalam memahami perkembangan dinamika kehidupan sosial. Hal ini menjadi tugas yang berat karena belum terbiasa dengan hal-hal yang aktual seperti hoaks, yang merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran hadis.
Oleh karena itu, hoaks dapat disebut merupakan sebuah kejahatan kriminalitas dalam Islam yang pada akhirnya dapat membuat kekacauan dalam masyarakat. Dalam posisi kejahatan kriminalitas tentu hadis akan memberikan sebuah pemahaman baru dalam mencegahnya. Sebab dari awal dijelaskan bahwa tujuan dari hukum Islam untuk mengeluarkan manusia dari kebodohan menuju pengetahuan dan kebebasan. Oleh karena itu, perbaikan dalam masyarakat membutuhkan aturan yang jelas, maka ditetapkanlah hukuman atau hukum pidana bagi mereka yang menentang aturan yang ada. Sehingga masyarakat dapat menjalankan sesuai dengan aturan yang ada untuk menciptakan yang namanya perbaikan.[98]
C.     Hukum dan Dampak Hoaks Perspektif Hadis
Islam adalah agama dan jalan hidup yang berdasarkan pada Alqurn dan Hadis Nabi Saw., yang menuntut setiap orang untuk berkewajiban untuk bertingkah laku dalam seluruh hidupnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Alquran dan Hadis Nabi Saw. Oleh karena itu, setiap orang hendaknya harus memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan antara yang benar (halal) dan yang salah (haram). Prinsip-prinsip ini adalah kebutuhan dan kepentingan pengenalannya dengan korpus hukum Islam (syariah). Oleh karena itu, membedah hoaks dalam perspektif hadis merupakan kebijakan-kebijakan untuk memandang sebuah problem yang sedang aktual dalam masyarakat.[99]
Sebagaimana kita ketahui bahwa hoaks merupakan fenomena yang melanda masyarakat umum terkini. Bila didekatkan dalam pemahaman hadis, tentu hal ini akan membicarakan tentang hukumnya dan hal ini akan dapat diketahui bila mana dapat dikumpulkan dalam pembahasan hadis ahkam. Dengan demikian, akan dapat di uraikan tentang hukum hoaks dalam Islam.
Hoaks sebagai bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Segala jenis pembohongan baik pembohongan yang ditujukan untuk individu maupun pembohongan terhadap lembaga, organisasi, atau terhadap sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk membentuk opini publik atau provokasi serta kepentingan politik adalah perbuatan terlarang dalam kajian Islam. Pembuatan hoaks dapat dikategorikan sebagai pihak yang merugikan orang lain dan hoaks yang dibuatnya di golongkan sebagai haditsul ifki atau berita bohong. Istilah hoaks atau berita bohong (dusta) dapat dijumpai dalam beberapa hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi;
عن عائسة رضي الله عنها قالَتْ تقْرَأُ: اِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ. وَتَقُوْلُ الْوَلَقُ الْكَذِبُ. قال ابن ابي مليكة وَكَانَتْ اَعْلَمْ مِنْ غيرها بذالك لانه نَزَلَ فِيْهَا. (رواه بخاري).
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra., bahwa ia pernah membaca ayatاِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ (ingatlah waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut [an-Nuur: 15]). ‘Aisyah berkata: arti kata al-walq (taliqu), ialah berdusta. Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ia lebih mengerti (arti ayat) itu dari pada yang lainnya, karena hal itu diturunkan tentang dirinya”. (HR. Bukhari).[100]
Sehingga, hoaks selalu berkaitan tentang pembohongan publik yang bertujuan untuk menciptakan kekacauan, keributan, kejahatan, fitnahan dan sebagainya yang perbuatan tersebut bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa dan harta orang lain.
Sehingga, dalam rumusan lain bahwa hoaks dalam makna yang konotasinya adalah segala bentuk perbuatan jahat. Dalam rumusan hukum Islam ini dapat dijumpai sebagai bentuk jinayah yang berkaitan tentang perbuatan dosa besar atau kejahatan (kriminal).  Abu Muhammad Mahmud dalam kitabnya al-Binayah fi-Syarh al-Hidayah  mendefinisikan jinayah, setiap perbuatan yang bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa dan harta orang lain.[101] Menurut Abdul Qodir Audah, jinayat  secara etimologis adalah nama sebutan bagi seseorang yang berbuat tindak pidana (delik) atau orang yang berbuat kejahatan.
Kalau dicermati secara mendalam dan mendasar tampaknya jinayah dapat menjangkau atau sejalan dalam bentuk perbuatan kejahatan (hoaks). Sehingga dalam hadis, hoaks adalah kejahatan kemanusiaan yang didalamnya terdapat unsur yang dapat merugikan jiwa (nafs).
Namun, bila berbicara dalam konteks keindonesiaan hoaks tidak hanya di tinjau dalam prspektif hukum Islam namun juga harus dilihat dari bentuk muatannya dalam hukum positif (hukum pidana konvensional). Dalam hal ini penulis menemukan celah perbedaaan antara hukum jinayah dengan hukum positif Indonesia.[102]
Pertama, Jinayah Islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur, sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak akan selalu dicela dan diancam dengan hukum Islam. Sedangkan hukum positif hanya berorientasi kepada apa yang menyebabkan kerugian secara langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat, dan tidak mengarah kepada budi pekerti. Sehingga jika tidak menimbulkan kerugian secara langsung, bagi pihak lain, walaupun bertentangan dengan akhlak tidak diangggap tindak pidana.
Kedua, hukum positif (undang-undang) merupakan produk nalar manusia, sedangkan jinayah Islam bersumber dari nash Alquran dan hadis. Selain itu, ada ketentuan hukum yang diserahkan kepada pemerintah (ulil amri), yaitu jarimah ta’zir yang dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada nash Alquran dan Hadis.
1.      Hukum Hoaks dari bentuk Jinayat Islam
Materi dan muatan hoaks dari bentuk jinayat adalah bentuk penetapan keharaman keberadaan hoaks. Sebab semangat jinayat dalam konteks hoaks adalah menjaga harga diri (hidz nafs). Bahkan dalam hadis sekalipun dijelaskan bahwa perbuatan yang mengarah pada kerusakan diri maupun orang banyak maka harus disingkirkan. Hadis Nabi Saw.,:
لاضرر ولا ضرر.
Artinya: “Tidak boleh ada kemudharatan dan memudharatkan”.
Hubungan dalam fenomena hoaks adalah bentuk kemaslahatan umum, hal ini senada dalam pandangan Abu Zahrah mengatakan bahwa kemaslahatan yang diperhitungkan adalah kemaslahatan yang hakiki, salah satunya adalah hidz an-nafs (menjaga jiwa), hal ini merupakan tiang kehidupan yang mana manusia tidak bisa hidup selayaknya tanpa lima hal tersebut.
Sehingga, dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa fenomena hoaks merupakan sebuah akibat yang dapat membuat kejahatan dalam masyarakat umum. Hal ini dipertegas kembali bahwa setiap manusia tentu dilarang agar tidak membuat kemudharatan baik untuk diri sendiri maupun untuk publik. Sehingga, fenomena hoaks lebih mengarah pada aspek adanya potensi kemudharatan yang muncul ditengah kehidupan. Dengan semangat untuk menhindari bentuk kemudharatan, maka dari sisi inilah dapat dipahami bahwa hoaks merupakan dilarang dalam Islam. Artinya, apabila keadaan itu dapat menimbulkan kemudharatan maka hal itu harus ditinggalkan. Sebab, potensi yang ditimbulkan hoaks antaranya munculnya ketidaksaling percaya, permusuhan, fitnah, perpecahan, ujaran kebencian dan sebagainya.
Sehingga langkah alternatifnya adalah bahwa hoaks sama sekali tidak memiliki unsur yang membawa pada bentuk kemaslahatan. Dan seharusnya harus diupayakan agar setiap tindakan itu mengarah pada kemaslahatan bersama. Sehingga dalam pemaknaan dapat disimpulkan bahwa maslahat merupakan dasar dari semua unsur perbuatan. Hal ini senada dalam pendapat Ibnu al-Qayyim mengatakan, kontruks dan dasar syariat adalah hukum dan kemaslahatan makhluk, baik di dunia dan akhirat. Abu Zahrah juga mengatakan, bahwa kemanfaatan atau kemaslahatan dapat dijadikan ukuran perintah atau larangan agama.[103]
Bentuk perbuatan hoaks merupakan bentuk kejahatan kriminal sebab terdapat unsur yang dapat merugikan orang lain. Dalam kaitan ini, hukum Islam menelusuri tentang tindak kriminalitas yang disebabkan oleh hoaks. Tentu untuk memahami pidana Islam dengan baik, mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu pandangan Islam terhadap tindakan kriminal dan hukumannya. Pandangan Islam ini sangat berbeda dengan undang-undang (UU) positif tentang hukum pidana.
Oleh karenanya, dapat dikatakan hukum Islam mengarahkan pada aspek penekanan tentang hati dan nurani masyarakat agar sadar untuk mengubah pandangan hidupnya dan terbebas dari hoaks. Sehingga masyarakat betul-betul dapat merubah cara pandangan sehingga masyarakat tidak lagi mencuri walaupun dalam keadaan terpaksa atau tidak menyebarkan hoaks walaupun dalam keadaan terpaksa. Inilah tujuan mulia dari hukum Islam, sehingga hukum islam itu tidak hanya berbicara tentang iming-iming siksa dan pahala melainkan mewujudkan atau menciptakan tatanan, bangunan dan konsep masyarakat yang perbuatannya baik dan harmoni.[104]
Oleh karenanya perbaikan dalam masyarakat membutuhkan aturan, konsep yang jelas, sehingga ditetapkan hukuman dan hukum pidana bagi mereka yang menentang aturan yang ada. Hingga masyarakat dapat berjalan sesuai dengan aturan yang ada untuk menciptakan perbaikan masyarakat.
Seorang hakim, asy-Syahid ‘Abdul Qadir ‘Audah; memahami dengan baik dualitas ini, hingga ia mengatakan dalam bukunya at-Taysri al-Jina’I al-Islami Muqarinan bi al-Qanun al-Wadh’i. “Pandangan syariat terhadap kriminalitas berpijak pada dua dasar, yang satu fokus pada bentuk kriminalitasnya dan mengeyampingkan pelakunya, sementara yang satu fokus pada pelakunya dan mengeyampingkan bentuk kriminalitasnya. Tujuan dari yang fokus pada bentuk kriminalitas adalah untuk melindungi masyarakat. Sementara pada dasar yang fokus pada pelakunya adalah untuk memperbaikinya”.
Inti dari hukum Islam adalah aturan yang melindungi masyarakat, prinsip dan kondisinya sehingga terciptanya perbaikan secara individual untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat secara menyeluruh. Oleh karenanya, salah seorang uskup agung York William Temple dalam sebuah khutbahnya tentang etika penerapan hukuman pidana Ethics of Penal Action, mengatakan bila kita mengatakan upaya memperbaiki masyarakat tidak cukup dengan UU parlemen, ini sangat membahayakan.[105]
Tentu dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran hukum belum tentu efektif memberikan kesadaran dan efek jera bilamana pendekatakannya mengarah pada penegakan UU semata. Pencegahan hoaks semata-mata harus dilibatkan konsep hadis sebagai ajuan dan dasar untuk membasmi dan menanggulangi perkembangannya.
2.      Dampak Hoaks Perspektif Hadis
Secara nyatanya bahwa perkembangan fenomena hoaks memberikan dampak yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Hukum, ekonomi, politik, sosial, kebudayaan dan sebagainya tanpa terkecuali merasakan dampak atau akibat yang ditimbulkan hoaks tersebut. Bila diperhatikan belakangan ini keberadaan hoaks memang meresahkan masyarakat secara keselurahan. Dalam hal ekonomi misalnya, masih segar dalam ingatan kita tentang telur ayam palsu yang beredar di pasaran. Tentu ini berdampak pada daya jual, yang akhirnya masyarakat pun semakin enggang untuk membeli yang dampak akibatnya tentu para penjual ayam akan merasa rugi dan dirugikan.
Namun, bila dilihat dalam perspektif hadis dampak yang ditimbulkan hoaks adalah akan muncul bentuk perbuatan yang didalam terdapat unsure pemberontakan atau pembangkangan (al-baghyu). Hadis Nabi Saw., yang berbunyi:
عن ابي هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم: اَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفارَقَ الْجماعَةَ فَماتَ ماتَ مِيْتَةً جاهليةً.
Artinya: “Barang siapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, matinya adalah mati jahiliyah”.
Dalam kaitannya bahwa hoaks lebih mengarah atau mengaju pada munculnya sebuah gerakan yaitu pemberontakan yang secara bahasa berarti melampaui batas, aniaya, atau zalim. Secara etimologis pemberontakan adalah seseorang keluarnya dari ketaatan kepada penguasa yang sah karena perbedaan persepsi (takwil). Pemberontakan merupakan upaya untuk merongrong kekekuasaan pemerintah yang legal dan selalu berkaraktek merusak.[106]
Dengan perkembangnya pemberontkan hal ini akan menimbulkan bentuk persepsi dalam masyarakat yang mengarahkan pada bentuk penipuan publik. Prosedur ini sengaja dibuat untuk mempengaruhi atau menarik simpati masyakarakat tentang hal-hal yang sedang aktual.
D.    Respon dan Tanggapan Hadis terhadap Hoaks
Tidak diragukan lagi, kesediaan berbuat baik merupakan suatu kebaikan yang ideal asalkan ia tidak membuka jalan untuk menggoda dan merangsang tersebarnya kerusuhan di dunia. Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, keberadaan hadis, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada henti-hentinya, selain berkedudukan sebagai sumber, ia juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alquran. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami hadis memiliki kedudukan yang strategis dalam mencegah perkembangan dan penyebaran hoaks dalam dinamika kehidupan manusia.[107]
Untuk itu berbagai kajian dan pengkajian hukum Islam dalam konteks dan bentuk apapun, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian mendeskripsikan serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam sebagai bagian dari kehidupan manusia yang dapat digali dari berbagai sumber yang mudah ditemukan.[108]
Langkah strategis yang akan ditempuh untuk memahami substansi hadis Nabi Saw., berawal dari pemahaman dan penjelasan terhadap fenomena yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini tentu menangggapi tentang isu-isu hoaks sehingga ingin melihat respon dan tanggapan hadis. Sehingga hal ini lebih mengarah pada fungsi hadis dalam kehidupan umat manusia.
Hadis merupakan mengambil peran sebagai penetapan hukum atau aturan yang ditemui dalam Alquran. Dalam hubungan ini misalnya; “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapak)nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)nya.”.
Hal yang sudah semestinya hadis harus dikembangkan, dihidupkan fungsinya dalam mengarungi kehidupan umat manusia. Bahwa hadis tidak hanya berkaitan tentang penetapan hukum yang tidak termuat dalam Alquran yang secara nyata atau riil. Sehingga keberadaan hadis sanga penting untuk memberikan respon dan tangggapan terhadap problematikan yang dihadapi seperti fenomena hoaks.
E.     Urgensi dan Efektivitas Hadis terhadap Hoaks
Islam adalah ajaran dan jalan hidup yang berdasarkan pada sumber hukum Islam yang termaktub dalam Alquran dan hadis. Sehingga setiap manusia dalam bertingkah laku dalam seluruh hidupnya haruslah sesuai yang dengan ketentuan-ketentuannya. Oleh karena itu, setiap manusia hendaklah memperhatikan setiap langkah dan tindakan agar dapat membedakan antara benar (halal) dan salah haram.
Sebagaimana telah diketahui secara umum, bahwa hadis merupakan pelengkap Alquran. Agar senantiasa manusia dapat memperoleh bimbingan, jawaban solusi atau jalan keluar atas semua problematika kehidupan. Untuk itu keurgensian hadis dalam mencegah penyebaran hoaks merupakan muatan utama dalam mengembangkan dan menghidupkan kembali fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam kedua. Sebagaimana dalam hadis Nabi Saw., yang berbunyi:
الاوانى قد إوتيت القرآن ومثله معه. (حديث رواه البخارى).
Artinya: “Sungguh aku telah diberi Alquran dan yang serupa itu (yaitu al-sunnah) bersamanya”.
Melihat perkembangan hoaks, hadis harus mendesak seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, aparat penegak hukum untuk melihat pentinganya merumuskan kembali aturan-aturan untuk mencegah pergerakan hoaks dalam masyarakat. Sehingga, akan terbangun sebuah keadaan yang sangat pentingnya agar hadis dapat dirasakan secara sungguh-sungguh dapat memberikan solusi dalam kehidupan baik secara pribadi dan publik sehingga hadis menjadi sebuah petunjuk dalam seluruh aspek kehidupan.[109]
Untuk itu, mengontrol segala bentuk kejahatan-kejahatan terkini memang sangat sulit, melihat perkembangan dan kecangggihan alat-alat teknologi, informasi dan komunikasi. Memang sejak awal, hoaks memainkan dan mengandalkan teknologi sebagai jalan utama untuk memuluskan kejahatan yang dilakukan oleh segilintir orang.
Untuk itu ajaran Islam sangat menjungjung tinggi ketentraman hidup makhluk. Hadis merupakan kitab al-hidayah petunjuk yang sempurnabagi seluruh aspek kehidupan manusia. Tatanan hidup yang Islami merupakan suatu keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara bai jasmani maupun rohani umat manusia, mengangkat dan memperbaikinya.
Oleh karena itu, tatanan moral hadis harus di ikuti dengan ketat guna menciptakan kehidupan manusia di bumi ini yang layak dan damai. Sebagai umat manusia yang kreatif, kaum muslimin harus berjuang bagi masyarakat didasarkan pada ekonomi dan keadilan sosial. Untuk itu hoaks bukan hanya sebuah pelanggaran terhadap manusia dan masyarakat, melainkan suatu keadaan yang dapat mengakibatkan munculnya kekacauan, kekalutan, bahkan hilangnya rasa aman.[110]
F.      Konsep Pancasila dalam Mencegah Hoaks
Pada saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah yang telah menyebabkan terjadinya krisis yang sangat luas. Nilai-nilai agama dan nilai-nilia budaya bangsa belum sepenuhnya dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu kemudian melahirkan krisis akhak dan moral berupa pelanggaran hukum seperti hoaks. Dalam kerangka itu, diperlukan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, serta perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia. Nilai-nilai pancasila harus di upayakan setiap elemen agar selalu berpihak kepada kebenaran dan kemanusiaan.
Hoaks sejak kemunculannya selalu memberikan dampak negatif, berupa konflik sosial budaya, seperti kasus yang terjadi di Wamena Papua serta daerah-daerah lain di Indonesia. Perkembangan kemajuan teknologi, globalisasi dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai dapat member dampak negative terhadap kehidupan berbangsa. Dalam kerangka itu, di perlukan adanya sumber daya manusia yang  berkualitas dan mampu bekerja sama serta berdaya saing untuk memperoleh mamfaat positif dari kemajuan dengan tetap berwawasan pada perstuan dan kesatuan nasional.[111]
Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia yang keberadaannya atau cita-citanya yang berfungsi sebagai kalimatun sawa diantara sesame warga masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kesapakatan pertama dalam menyangga konstitusionalisme menunjukkan Pancasila sebagi idiologi terbuka. Bahwa pancasila menjadi pedoman bagi kehidupan kenegaraan. Sehingga dalam pancasila semangat itu hidup dan bersifat dinamis yang senantiasa mewujudkan nilai-nilai pancasila di dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.[112]
 Dengan adanya dampak hoask dalam kehidupan bangsa menjadi sebuah penghalang dalam pembangunan. Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat berbangsa, hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat martabatnya. Tujuan Negara tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang rinciannya adalah sebagai berikut: “melindungi segenap bangsa dan tanah seluruh tumpah darah Indonesia”. Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.[113] Untuk itu konsep pancasila dalam menghentikan isu hoask dalam masyarakat dapat ditinjau dari pemahaman bahwa pancasila merupakan sebuah cita-cita hidup yang akan mengantarkan kehidupan manusia. Sebuah kehidupan yang dibangun atas dasar kesadaran akan nilai-nilai, pedoman yang terkandung dalam pancasila. Oleh karena itu, pancasila merupakan benteng paling depan untuk menghalau setiap hal-hal yang dapat mengajaukan kehidupan.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam dia mengatakan bahwa pancasila harus di masyarakatkan sebagai common denominator (rujukan bersama) semua golongan agama, ras, suku, dan kelompok kepentingan.[114]


G.    Analisis
Fenomena hoaks sudah sangat mengkhawatirkan baik perkembangan, efek yang ditimbulkan serta akibat-akibat yang dirasakan masyarakat. Untuk itu, penulis melihat konsep hadis sangatlah berperan dalam mencegah, menghentikan perkembangan maupun penyebaran hoaks. Hal ini harus dapat pula dikolaborasikan antara hadis sebagai sumber hukum Islam dengan Undang-Undang Positif yang berlaku di Indonesia dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal ini harus dilihat dari letak efektivitas hadis dan UU dalam merespon dan mengarahkan masyarakat untuk menuju perubahan diri. Oleh karena itu, peran hadis sangatlah signifikan untuk mencegah penyebaran hoaks. Ajaran hadis adalah untuk memperbaiki dan menciptakan keamanan, hukum ditengah masyarakat (hidz an-nafs).
Sehingga, konsep hadis yang ditawarkan adalah agar setiap tingkah laku dan proses kehidupan harus mengedepankan aspek kemaslahatan bersama. Bila benar-benar ingin mencegah penyebaran hoaks dalam masyarakat dan negara maka hukum Islam dan Undang-Undang harus tegas dan berpihak pada masyarakat dan penegakkan hukum yang adil dan bijaksana.

BAB V
Penutup
A.    Kesimpulan
Hoaks merupakan fenomena yang melanda masyarakat yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pembohongan publik, ujuran kebencian, fitnah, propaganda bahkan pembangkangan atau pembenrontakan terhadap negara. Bahkan masyarakat sering terkecoh tentang pemberitaan atau informasi yang beredar untuk menentukan kebenarannya. Hal ini sangat merugikan masyarakat yang tentunya akan menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan sosial, negara.
Hoaks juga dikenal dalam Islam sering disebut sebagai haditsul ifki atau berita bohong (palsu). Sehingga dapat diidentifikasi kata al-ifki yang berarti keterbalikan (seperti gempa yang membalikkan negeri), tetapi yang dimaksud disini adalah sebuah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta. Sedangkan munculnya hoaks (sebuah kebohongan) disebabkan oleh orang-orang pembangkang. Jadi kelompok pembangkan merupakan kelompok yang mengacaukan kondisi dan keadaan. Dalam kajian Islam sendiri pembangkan ini disebut bughat adalah bentuk jamak dari baghin orang yang melakukan pemberontakan.
1.      Hoaks lebih mengarahkan pada sisi kemudharatan, artinya informasi atau berita-berita yang disebarkan hanya semata-mata untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar terciptanya ketidakondusifannya masyarakat. Dengan hal tersebut dalam perspektif hukum Islam (hadis) bahwa hoaks merupakan perbuatan yang terlarang dan termasuk golongan orang-orang munafik.
2.      Langkah strategis yang akan ditempuh untuk memahami substansi hadis Nabi Saw., berawal dari pemahaman dan penjelasan terhadap fenomena yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini tentu menangggapi tentang isu-isu hoaks sehingga ingin melihat respon dan tanggapan hadis. Sehingga hal ini lebih mengarah pada fungsi hadis dalam kehidupan umat manusia.
3.      Untuk itu ajaran Islam sangat menjungjung tinggi ketentraman hidup makhluk. Hadis merupakan kitab al-hidayah petunjuk yang sempurnabagi seluruh aspek kehidupan manusia. Tatanan hidup yang Islami merupakan suatu keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara bai jasmani maupun rohani umat manusia, mengangkat dan memperbaikinya. Oleh karena itu, tatanan moral hadis harus di ikuti dengan ketat guna menciptakan kehidupan manusia di bumi ini yang layak dan damai. Sebagai umat manusia yang kreatif, kaum muslimin harus berjuang bagi masyarakat didasarkan pada ekonomi dan keadilan sosial.
B.     Kritik dan Saran



[1] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta: Prenadamedia Group 2011), h. 609.
[2] J. Dwi Narwoko-Bangong Suyanto (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan ((Jakarta: Prenadamedia Group 2004), h. 98.
[3] Idianto M, Sosiologi untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Erlangga 2004), h. 147.
[4] Siti Thohiroh,  Hoaks: Wujud Nihilisme Mentalitas Yang Bermoral (Rekonstruksi Batasan Hak Kebebasan Berpendapat Menurut Perspektif Quran), (Pekan Baru, UIN Sultan Syarif Kasim), h. 1.
[5] John M. Echals dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[6] Chazawi Adami dan ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[7] Yudo Triartanto, Kredibilitas Teks Hoax di Media Siber, Jurnal Komunikasi volume VI no 2 (Jakarta: Akademi Komunikasi BSI, 2015), h. 34.
[8] Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah Salam, Jurnal Sosial & Budaya Syar-i FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. V No. 3 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2018), h. 291.
[9] Nurul H. Maarif, Menjadi Mukmin Kualitas Unggul Cara Praktis Dan Efektif Meraih Kebahagiaan Sejati, (Jakarta: Alifia Books 2018), h. 286.
[10] Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Beirut: Dar al-Fikr 1998), h. 614.
[11] Chatib Saefullah, Kompilasi Hadis Dakwah (Bandung: Simbiosa Rekatama Media 2018), h. 145.
[13] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang : Dina Utama, 1994), h. 310.
[14] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), h. 5.
[15] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka 1990), h. 359.
[16] Oxford Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[17] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Kedua…. h. 333.
[18] Ibid., h. 275.
[19] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2014), h. 233.
[20] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi Shahih Bukhari, (Riyadh: Darul A’lam Kutub 1996), h. 134.
[21] Ahmad Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa 1993), h. 425.
[22] Muhammad Arsad Nasution, Hoaks sebagai Bentuk Hudud menurut Hukum Islam, Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, h. 16.
[23] Abu Hasan Ali al-Hasny al-Nadwy, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Makkah: Dar al-Syuruq 1989), h. 267.
[24] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Mesir: Dar al-Fikr 1985), h. 70.
[25] Burhan as-Shofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta 1996), h. 10-11.
[26] John M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[27] Oxford Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[28] Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 5 No. 3 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2018), h. 229.
[29] M. Quraish Shihab Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran IX (Jakarta: Lentera Hati 2002), h. 296.
[30] Budhy Munawar Rahman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Mizn 2006), h. 380.
[31] Tim Baitul Kilmiah Jogjakarta, Ensiklopedia Pengetahua Alquran dan Hadis (Jakarta: Kamil Pustaka 2013), h. 158-159.
[32] Chawazi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[33] Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat (Bandar Lampung: Dunia Pustaka Jaya 1995), h. 83.
[34] Elly M. Setiadi Usman Kolip,Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahan (Jakarta: Prenadamedia group 2011), h. 610.
[35] David Berry,The Principles of Sociology terj. Paulus Wirutomo (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2003), h. 70.
[36] Robert K. Merton, Social Theory and Social Structure (New York: Free Press 1968), h. VI.
[37] Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change terj. Alimandan (Jakarta: Kencana 2017), h. 213-214.
[38] Burhanuddin Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: PT Rineka Cipta 2000), h. 1-2.
[39] Ibid, h. 17-20.
[40] Jalaluddin Rahkmat, Rekayasa Sosial Reformasi atau Revolusi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 1999), h. 47.
[41] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2014), h. 234.
[42] Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pesantren Krapyak t.th), h. 261.
[43] A. Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1982), h. 5.
[44] Muhammad Ajjaj Khatib, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuha wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr 1989), h. 27.
[45] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa 1993), h. 2.
[46] Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset 1996), h. 4.
[47] Mardani, Hadis Ahkam (Jakarta: Rajawali Press 2012), h. 3.
[48] H. Fuad Thohari, Hadis Ahkam Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash dan Ta’zir), (Yogyakarta: Deepublish 2016), h. 1.
[49] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2001), h. 1-2.
[50] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Meode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: ELSAM dan HUMA 2002), V.
[51] Ibid., h. 8.
[52] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, h. 118.
[53] Satjipto Raharjdo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih (Yogyakarta: Genta Publishing 2010), 18.
[54] Nus Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara 2005), h. 34.
[55] Peter L. Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan Terj. Hasan Basari (Jakarta: LP3ES 1990), h. 66&185.
[56] Paul Johnson Doyle, Teori Sosiologi Klasik dan Modern terj. Robert M.Z. Lawang, (Jakarta: Gramedia 1986), h. 78.
[57] Indrianto Senoadji, Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum (Jakarta: Kompas 2009), h. 89-90.
[58] Achmad Ali, Pengadilan dan Masyarakat (Ujung Pandang: Hasanudin University Press 1999), h. 57-59.
[59] Achmad Ali dan Wiwie Herayani, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan (Jakarta: Kencana 2004), h. 98.
[60] Lawrence M. Friedman, The Legal System A Social Science Perspective terj. M. Khozim (Bandung: Nusa Media 2009), h. 213.
[61] Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta, Gema Insani Press, 1994), h. 56-57.
[62] Pujiono, Hukum Islam Dinamika Perkembangan Masyarakat Menguak Pergeseran Perilaku Kaum Santri (Yogyakarta: Mitra Pustaka 2012), h.
[63] Ahmad Syafii Maarif, Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan (Jakarta: PSAP 2004), h. 173.
[64] Chazawi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan, (Jakarta : PT Rajagrafindo persada,2016), h.  236.
[65] John M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[66] Oxford Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[67]Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Kedua…. h. 333.
[68] Chawazi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[69] Yudo Triartanto, Kredibilitas Teks Hoax Di Media Siber. Jurnal komunikasi volume VI No. 2 (Jakarta: Akademi Komunikasi BSI, 2015), h. 34.
[70] Ilham Syaifullah, Fenomena Hoax di Media Sosial Dalam Pandangan hermeneutika
Skripsi Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Jurusan Pemikiran Islam Prodi Aqidah Dan Filsafat Islam, (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel 2018), h. 23.
[71] Arief Budiman, dkk., Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah Bunga Rampai
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), hal. 77.
[72] Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press 2015), h. 314.
[73] Ibid., h. 318-819.
[74] Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat: PT. Ciputat Press 2005), h. vii.
[75] Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil ‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis 2010), h. 291-292.
[76] Imam Abu Hasan ‘Ali bin Ahmad al-wahidi, Asbab al-Nuzul (kairo: Dar al-Hadis 1998), h. 310.
[77] Imam al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mawatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr 1993), h. 132.
[78] Imam Suprayogo, Spirit Islam Menuju Perubahan dan Kemajuan (Malang: UIN-Maliki Press 2012), h. 79.
[79] Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press 2005), h. 145-146.
[80] Muahaimin. Dkk, Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan (Jakarta: Kencana 2012), h.6.
[82] Sri Mawarti, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2018, Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian, (20018), h. 85.
[83] Ibid,. h. 87.
[84] Vibriza Juliswara, Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial,  Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017, (Jogjakarta: 2017), h. 142-143.
[85] Marsum, Jarimah Ta’zir, Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1989), h. 29.
[86] Abdul Rahman Al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, terj. Samsudin, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 12.
[87] Ashgar Ali Engineer, “Islam Masa Kini”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 243.
[88] Jasser Auda, Reformasi Hukum Islam Berdasarkan Filsafat Makasid Syariah Pendekatan Sistem, terj. Rosidin dan Ali Abd el-Mun’in (Fakultas Syariah IAIN-SU dan La Tansa Press 2014), h. Xiii.
[89] Ibid., h. 4.
[90] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 255.
[91] Abdul Aziz Sa’ad Al-Utaiby, Riyadush Shalihin, terj. Abu Ihsan, (Solo: At-Tibyan, tt), h. 152.
49 Ibnu Daqiq Al-‘Ied, Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, terj. Muhammad Thalib, Cet. 2, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2001), h.83-85.
[93] Muhibbuthabary, Masail Fiqhiyah al-Haditsah Penyelesaian Kasus-kasus Kekinian (Bandung: Citaputaka Media Perintis 2011), h. xi.
[94] Thamrin Dahlan, Bukan Hoax (Jakarta: Peniti Media, 2016), h. 11.
[95] Ilham Syaifullah, Fenomena Hoaks di Media Sosial dalam Pandangan Hermeneutika Skripsi (Surabaya: UIN Sunan Ampel 2018), h. 31.
[96] M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka 1996), h. 255.
[97] Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash dan Ta’zir (Yogyakarta: Deepublish 2016), h. 1.
[98] Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma Fiqih Moderat terj. Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrawi (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy 1997), h. 106.
[99] A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah) (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2002), h. V.
[100] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi Shahih Bukhari, (Riyadh: Darul A’lam Kutub 1996), h. 134.
[101] Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghitani al-Hanafi Badr al-Din al-‘Aini, al-Binayah Syarh al-Hidayah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2000), h. 84.
[102] Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash, dan Ta’zir),......................h. 13.
[103] Jamal al-Banna, Nahwa Fiqh Jadid 3, ..........., h. 62.
[104] Ibid., h. 105.
[105] Clark Hall Lectures, The Stanhop Press, h. 26.
[106]Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash, dan Ta’zir),...................., h. 140.
[107] Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Medan: PP2-IK 2003), h. 1.
[108] Mahmud Yunus Daulay dan Nadlrah Naimi, Studi Islam II (Medan: Penerbit Ratu Raya 2012), h. 2.
[109] A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), ..............,h. 71.
[110] Ibid., h. 329.
[111] Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Pancasila Sebagai Dasar dan Idiologi Negara UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR NKRI sebagai bentuk Negara Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara I (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI 2016 ), h. 18.
[112] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: Rajawali Press 2014), h. 366-367.
[113] Kaelan, M. S, Pendidikan Pancasila Proses Reformasi UUD Negara Amandemen 2002 Pancasila sebagai Sistem Filsafat Pancasila sebagi Etika Politik Paradigma Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Yogyakarta: Paradigma 2004), h. 227-228.
[114]Kuntowijoyo,  Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSod 2018), h. 110.

Komentar

Postingan Populer