KONSEP HADIS DALAM MENCEGAH HOAKS DAN RELEVANSINYA TERHADAP UU ITE DI INDONESIA
Oleh: Hikmatiar Harahap
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak ada masyarakat yang tidak
mengalami perubahan, sebab kehidupan sosial adalah dinamis. Perubahan sosial
merupakan bagian dari gejala kehidupan sosial, sehingga perubahan sosial
merupakan gejala sosial yang normal. Perubahan sosial tidak dapat dipandang
hanya dari satu sisi, sebab perubahan ini mengakibatkan perubahan
disektor-sektor lain. Ini berarti perubahan sosial selalu menjalar ke berbagai
bidang-bidang lainnya. Gejala perubahan itu dapat dilihat dari sistem nilai
maupun norma yang pada suatu saat berlaku di saat lain tidak berlaku, atau
suatu peradaban yang sudah tidak sesuai dengan peradaban pada masa kini.[1]
Secara garis besar, perubahan
sosial dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu
sendiri. Diantara faktor yang berasal
dari masyarakat seperti perubahan pada kondisi ekonomi, sosial, dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dewasa ini, kehidupan sosial
disibukkan oleh persoalan-persoalan yang cukup sulit, seperti krisis
multidimensional, terorisme global, penyebaran hoaks yang tentu saja akan
berdampak multikompleks. Antara permasalahan satu dengan permasalahan lainnya
tentunya terdapat hubungan yang saling terkait sebab pada dasarnya akar
permasalahan sosial tersebut mengkerucut pada persoalan-persoalan pokok, yaitu
ketidakpuasan sosial akibat tidak terpenuhinya tujuan kehidupan suatu kelompok
atau kebutuhan hidup kelompok sosial.
Dalam masyarakat Indonesia
akhir-akhir ini, ada sebuah fenomena yang menyebar luas dalam kehidupan sosial
yakni fenomena hoaks. Fenomena hoaks merupakan prilaku atau keadaan yang
menyimpang. Sehingga, titik permasalahannya berada pada perilaku menyimpang
dengan menyebarkan isu hoaks. Adanya perilaku menyimpang adalah cara individu
atau kelompok dalam mencapai tujuan. Motif untuk mencapai tujuan dengan caranya
sendiri tanpa mengindahkan nilai dan norma masyarakat itulah yang menjadi faktor
pendorong individu atau sekelompok orang melakukan penyimpangan sosial berupa
penyebaran isu hoaks.
Sifat cara manusia untuk mencapai
titik tujuan (kepuasan) tersebut digolongkan menjadi dua macam, yaitu; pertama,
tindakan yang sesuai dengan norma-norma yang diterima masyarakat banyak atau
norma umum. Tindakan ini disebut konformis. Kedua, tindakan yang
berlawan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Tindakan yang
pertama dianggap sebagai tindakan yang benar (konformis), sedangkan yang kedua
disebut tindakan yang menyimpang dari pola-pola aturan atau prilaku menyimpang
atau penyimpangan (delinqueen).[2]
Secara sederhana kita dapat mengatakan, bahwa seseorang berprilaku
menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal disuatu
kelompok atau komunitas tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar
kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai atau norma sosial yang berlaku. Adapun
menurut Robert M. Z. Lawang, perilaku menyimpang meliputi semua tindakan yang
menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan
menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki
perilaku tersebut. Sedangkan Paul B. Horton, penyimpangan adalah setiap prilaku
yang dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau
masyarakat.[3]
Adapun kaitannya bahwa hoaks merupakan bentuk penyimpangan-penyimpangan
yang diantaranya dapat menimbulkan beberapa peristiwa seperti masyarakat umum
akan saling melempar opini yang bersifat
provokatif, ujaran kebencian (hate speech), mendiskreditkan dan
lain-lain. Dan hal ini juga dipertegas juga
bahwa bentuk penyimpangan yang di timbulkan hoaks berupa informasi
yang menyesatkan, tindakan yang disengaja dan ketidakbenaran yang ditampilkan
seolah-olah sebagai kebenaran.[4]
Hoaks yang berasal dari “hocus
Pocus” aslinya dari bahasa latin “hoc est corpus”, berarti berita
bohong. Hoaks berasal dari bahasa Inggris (hoax) artinya olok-olok(an),
cerita bohong memperdayakan.[5] Jadi
secara terminologi hoaks merupakan sebuah pemberitaan palsu dalam usaha untuk
menipu atau mempengaruhi pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu,
padahal sumber berta yang disampaiakan adalah palsu tidak berdasar sama sekali.
Berita bohong adalah cerita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran yang
sesungguhnya (materiele waarheid).[6] Jadi dapat
disimpulkan bahwa hoaks adalah informasi, kata-kata yang kebenarannya masih
diragukan. Sementara menurut Alexander Boese dalam bukunya, Museum of
Hoaxes, mencatat hoaks pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau
penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swiff pada 1709.[7]
Sedangkan dalam Islam hoaks adalah
pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan dan bahkan
menistakan pihak lain. Pembuat hoaks digolongkan sebagai sebuah pihak yang
merugikan orang lain dan hoaks yang dibuatnya dikategorikan sebagai haditsul
ifki atau berita bohong.[8]
Hoaks merupakan bagian dari
tindakan atau perilaku yang menyimpang karena nyata-nyata dapat mengancam
ketentraman, ketertiban dan keamanan masyarakat. Penyimpangan-penyimpangan yang
ditimbulkan dari hoaks diantaranya adu domba, ujaran kebencihan, propaganda, permusuhan,
fitnah, berprasangka buruk dan sebagainya akan sangat mudah terjadi dalam situasi yang demikian.[9]
Untuk itu bahwa hadis sangatlah
berperang dalam mencegah penyebaran hoaks di tengah-tengah kehidupan manusia.
Hal ini dipertegas dalam bunyi hadis Nabi Muhammad Saw., sebagai berikut:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. (حديث رواه البخارى
مسلم).
Artinya: “Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, sebab prasangka buruk
adalah perkataan yang paling bohong”.[10]
Berdasarkan hadis tersebut dapat diambil kesimpulan dini bahwa hoaks
merupakan bentuk kebohongan yang berasal dari bentuk prasangka buruk. Prasangka
buruk merupakan bentuk kejahatan yang bisa berujung kepada kehancuran tatanan
masyarakat. Untuk itu, hadis ini sangat berperan untuk meminimalisir penyebaran
hoaks dalam masyarakat. Kemunculan hoaks bukan hanya bersumber dari bentuk
prasangka-prasangka buruk.
Dijelaskan dalam hadis yang lain;
إِنَّ الصَدْقَ طُمَأُنِيْنَةِ، والْكَذِبَ
رِيْبَةِ. (حديث رواه الترمذي).
Artinya: “Kejujuran itu dekat ketentraman, dan dusta itu dekat dalam
keragu-raguan”.[11]
Dalam hadis tersebut memiliki muatan yang sangan mendasar sebagai sebuah
solusi untuk mencegah penyebaran hoaks, antara lain:
Pertama, kejujuran harus ditanamakan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga
kejujuran tersebut menjadi sebuah keinginan dn kebutuhan. Tindakan maupun
perkataan harus mendasari kenytaaan yang terjadi atau yang dialami. Kedua,
perkaataan dusta (hoaks), menimbulkan ketidakyakinan dalam bertindaka maupun
dalam merencanakan keputusan-keputusan dalam kehidupan. Sehingga, hadis
tersebut turut mengomentari bahwa dusta sangat dekat dalam menciptakan
keragu-raguan.
Untuk itu kepedomanan hadis tersebut memberikan wacana maupun gambaran
sebagai langkah untuk mengantisipasi penyebaran hoaks. Yang pada intinya
kejujuran selalu ditampilkan dan dusta (hoaks) akan selalu menimbulkan
ketidakyakinan (ragu-ragu) dalam bertindaka dan sebagainya.
Berdasarkan pemantauan mesin pengais konten Sub Direktorat Pengendalian
Konten internet Direktorat Pengendalian Informatika Ditjen Aplikasi Informatika
Kementerian Kominfo.[12]
Hoaks paling dahsyat adalah hoaks Ratna Sarumpaet. Pemberitaan
penganiayaan Ratna Sarumpaet oleh sekelompok orang pertama kali beredar dalam
Facebook pada Oktober 2018. Hoaks penculikan anak beredar di media
sosial media seperti Facebook, Twitter dan WhatsApp. Hal itu meresahkan
masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak-anak masih kecil. Di
Twitter, hoaks yang beredar menyatakan pelaku penculikan anak
tertangkap di Jalan Kran Kemayoran, Jakarta Pusat. Pada awal 2018
masyarakat Indonesia digegerkan dengan berita hoaks mengenai telur palsu
atau telur plastik yang beredar di pasar tradisional dan supermarket. Berbagai
foto dan video terkait proses pembuatan telur palsu banyak diunggah di YouTube
dan media sosial. Bahkan beberapa mengatakan bahwa telur-telur itu diproduksi
dari Cina. Hoaks tentang kebangkitan PKI sebenarnya bukanlah isu
baru. Tapi isu ini menjadi makin viral pada 2018, seiring dengan dinamika
politik Indonesia. Beberapa kejadian seolah dikaitkan dengan kebangkitan PKI.
Pada awal 2018 terjadi kasus pemukulan terhadap seorang kyai atau tokoh agama.
Setelah tertangkap pelakunya ternyata adalah orang gila.
Dalam kajian persepektif hukum Islam (hadis Ahkam) tindakan hoaks
merupakan suatu hal yang haram atau dilarang untuk dilakukan oleh kaum
muslimin. Hoaks disamakan dengan fitnah, kabar bohong atau sejenisnya. Penyebar
berita hoaks walaupun bukan dia yang membuatnya dan dia hanya menyebarkannya
saja tetaplah diancam oleh Nabi Muhammad SAW dan dicap oleh beliau bahwa dia
adalah seorang pendusta. Islam muncul sebagai agama yang menyeru umat manusia
untuk berbuat kebaikan, kebenaran, dan senantiasa meninggalkan kemungkaran.
Oleh sebab itu Islam sebagai agama monotoisme juga merupakan agama yuridis,
Islam senantiasa mengkostruksikan kerangka nilai dan norma tertentu pada
umatnya, supaya selalu berperilaku berdasarkan pada tatanan hukum yang
disepakati, Tata aturan hukum dalam Islam tersebut adalah ketentuanketentuan
hukum yang didapat dari Alquran dan Hadis yang disebut dengan syar´i. Secara
umum, tujuan syar’i dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuahan pokok (dharury) bagi
manusia, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (hajiyyah) dan kebaikan kebaikan
manusia (tahsiniyah).[13]
Pada tujuan akhirnya, target yang
ingin di peroleh dari berbagai aturan tersebut adalah terciptanya tatanan
kehidupan yang berkeadilan, aman, dan tenteram sesuai dengan konsep maqasid
al-syari´ah. Oleh karena itu dalam Islam terdapat berbagai aturan hukum
yang mengatur seluruh aspek kehidupan berupa sanksi tegas yang merupakan salah
satu langkah represif dan preventif dalam mewujudkan tujuan syariat tersebut.
Dengan adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar syara'. diharapkan seseorang
tidak mudah dan tidak seenaknya berbuat jarimah. Harapan diterapkannya ancaman
dan hukum bagi pelaku jarimah tersebut adalah demi terwujudnya kemaslahatan
umat. Dengan demikian, tujuan hukum Islam ditegakkan untuk melindungi lima hal
yang disebut dengan maslahah dharury, yaitu din (untuk
perlindungan terhadap agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), ´aql
(akal), dan mal (harta benda).[14]
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat beberapa
pertanyaan penting perlu dikemukakan, antara lain:
1. Bagaimana hukum hoaks dalam perspektif hadis ?
2. Bagaimana respon dan tanggapan hadis terhadap hoaks ?
3. Bagaimana
urgensi dan efektivitas hadis dalam
penyebaran hoaks?
C. Tujuan
Penelitian
Setiap penelitian mempunyai tujuan sebagai arah dan sasaran yang ingin
dicapai, sesuai dengan rumusan masalah dikemukakan diatas, maka tujuan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan
situasi dan kondis perkembangan fenomena hoaks di Indonesia.
2. Untuk
mendeskripsikan penanganan penyebaran hoaks berdasarkan hadist ahkam.
3. Untuk
mendeskripsikan urgensi dan efektivitas hadis ahkan agar terhindar dari hoaks.
D. Penegasan
Batasan Penelitian
Konseptual
a. Hukum adalah
Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah atau otoritas. Undang-Undang atau peraturan untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat.[15]
b. Hoaks adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk
membuat, percaya bahwa itu tidak benar, terutama tidak masuk akal: tipuan bom,
panggilan tipuan.[16]
c. Hadis adalah sabda
dan perbuatan nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan atau cerita oleh sahabat-sahabatnya
(untuk menjelaskan atau menentukan hukum
Islam), itu diriwayatkan oleh sahabat Nabi terdekat. Sumber ajaran agama Islam
yang kedua setelh Alquran; untuk lebih mendalami agama Islam, ia sangat tekun
membaca-Nabi Muhammad saw, disamping menghapal ayat-ayat Alquran.[17]
d. Fenomena adalah
hal-hal yang disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta di nilai
secara ilmiah. Sesuatu yang luar biasa, keajaiban. Fakta, kenyataan peristiwa
itu merupakan; sejarah yang tidak dapat diabaikan.[18]
e. Masyarakat
adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama:
E. Kajian
Terdahulu
Karya ilmiah yang
mengangkat permasalahan mengenai hoax ada dalam Jurnal Pemikiran Sosiologi
Volume 4 No. 2 , Agustus 2017. Ditulis oleh Vibriza Juliswara dengan judul
“Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis
Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial”. Vibriza menulis karya tulis ini
dengan menggunakan metode sosiologi yang digunakan untuk mengidentifikasi
permasalahan hoax yang tengah ramai mengguncang media sosial. Berdasarkan
konsep sosiologi yang memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang
menghasilkan kebudayaan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban
masyarakat, dalam konteks merebaknya persebaran hoax, masyarakat dapat
mengalami kemunduran moral yang dapat membahayakan peradaban khususnya bagi
masa depan generasi muda.
Dalam penelitian
Skripsi tentang Hoaks dalam pandangan Alquran yang di tulis oleh Salwa Sofia
Wirdiyana pada tahun 2017 pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yagyakarta pada jurusan Ilmu Alquran dan hadist Fakulats Ushuluddin dan
Pemikiran Islam. Dimana dalam penelitian tersebut penulis mengungkapkan
bagaimana konsep Alquran untuk mengangkal penyebaran hoaks, sehingga hasil dari
penelitian tersebut adalah melakukan pembacaan atas ayat-ayat yang
berkaitan dengan istilah tersebut, disimpulkan bahwa berita hoax dapat
diminimalisir dengan cara berpikir kritis, memiliki kematangan emosi, melakukan
tabayyun, dan memperluas wawasan. Selain itu, Alquran juga mengajarkan etika
berkomunikasi yang baik, yaitu qaulan sadidan (tutur kata yang benar), qaulan
baligan (perkataan baik yang membekas pada jiwa), qaulan maisuran
(ucapan yang pantas), qaulan layyinan (kata-kata yang lemah lembut), qaulan
kariman (perkataan yang mulia), dan qaulan ma‘rufan (perkataan yang
baik). Sebagai Muslim yang baik hendaknya selektif dan kritis dalam menanggapi
berita-berita yang tersebar di sosial media. Karena hal tersebut menentukan
akan mendapat dampak positif atau dampak negatif. Apabila mendapat dampak
positif, maka sosial media akan menjadi sangat berguna bagi penerima dan
penikmat beritaberita yang beredar. Sebaliknya, apabila mendapat dampak
negatif, maka sosial media hanya akan menjadi penipu bisu baginya, lantaran
sosial media tidak bisa mengklarifikasi berita tanpa seseorang yang mencari
kebenarannya sendiri.
Karya ilmiah seorang
mahasiswa yang berupa Tesis, yakni yang berjudul Literasi Media Baru dan
Penyebaran Informasi Hoax (Studi Fenomenologi Pada Pengguna Whatsapp Dalam
Penyebaran Informasi Hoax Periode Januari-Maret 2015), yang ditulis pada tahun
2016. Tesis ini ditulis oleh Clara Novita A, yang bermaksud pada penelitiannya
mengkaji hoax dalam aplikasi Whatsapp. Penelitian ini bertujuan melihat
kemampuan literasi media baru mahasiswa penyebar informasi hoax, serta
pengetahuan dan motivasi menyebarkan informs hoax tersebut. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah fenomologi, karna dapat digunakan dalam
menggali informasi mahasiswa dalam menerima dan menyebarkan informasi hoax itu.
Faktor penyebab dalam penelitian ini adalah rendahnya pengetahuan informasi
hoax, karena lemahnya pengetahuan mengenai kebenaran berita yang diterima.
F. Kerangka Teori
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, keberadaan
hadis, disamping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya,
juga telah menjadi bahan kajian yang menarik dan tiada henti-hentinya.[19]
Keunikan hadis terdapat pada sisi penyelesaian problematika kehidupan manusia
yang berkembang pada saat ini seperti fenomena hoaks.
Hoaks sebagai bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan
yang tidak dibenarkan dalam Islam. Segala jenis pembohongan baik pembohongan
yang ditujukan untuk individu maupun pembohongan terhadap lembaga, organisasi,
atau terhadap sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk membentuk opini publik
atau provokasi serta kepentingan politik adalah perbuatan terlarang dalam
kajian Islam. Pembuatan hoaks dapat dikategorikan sebagai pihak yang merugikan
orang lain dan hoaks yang dibuatnya di golongkan sebagai haditsul ifki
atau berita bohong. Istilah hoaks atau berita bohong (dusta) dapat dijumpai
dalam beberapa hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi;
عن عائسة
رضي الله عنها قالَتْ تقْرَأُ: اِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ. وَتَقُوْلُ
الْوَلَقُ الْكَذِبُ. قال ابن ابي مليكة وَكَانَتْ اَعْلَمْ مِنْ غيرها بذالك لانه
نَزَلَ فِيْهَا. (رواه بخاري).
Artinya: “Dari
‘Aisyah ra., bahwa ia pernah membaca ayat “اِذْ
تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ (ingatlah waktu kamu menerima berita bohong
itu dari mulut ke mulut
[an-Nuur: 15]). ‘Aisyah berkata: arti kata al-walq (taliqu), ialah berdusta.
Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ia lebih mengerti (arti ayat) itu dari pada yang
lainnya, karena hal itu diturunkan tentang dirinya. (HR. Bukhari).[20]
عن هشامٍ
عن ابيه قال سَبَبْتُ حسَّانَ، وَكان مما كَثَّرَ عليها. (رواه بخاري)
Artinya: “Dari Hisyam, Ayahnya berkata: “Saya pernah mencerca Hasan, ia adalah
termasuk orang-orang yang banyak memperbincangkan (berita bohong) atas
‘Aisyah”. (HR. Bukhari).[21]
Hoaks yang disebarkan oleh individu atau kelompok adalah bertujuan untuk
membentuk opini publik dengan harapan apa yang menjadi keinginannya mudah
dicapai. Membangun opini publik yang bersifat kemaslahatan masyarakat sangat di
anjurkan dalam kajian hukum Islam seperti ta’muruna bil ma’ruf wa yanhauna
anil munkar (menyuruh berbuat baik melarang kemungkaran).[22]
Dalam hadis Nabi Muhammad saw., di kemukakan awal terjadinya peristiwa
hoaks dapat dilihat dari kisah (kejadian) yang di alami oleh istri Nabi
Muhammad saw yaitu ‘Aisyah ra. Sehingga peristiwa ini adalah cikal bakal dari
terjadinya peristiwa hoaks dalam Islam. Dalam sejarah Sirah Nabawiyyah
dikenal dengan istilah hadis al-ifk (berita palsu). Orang yang pertama
kali menyebarkan berita palsu ini bernama Ubay bin Salul, yang mencoba
meyakinkan kaum muslimin bahwa ‘Aisyah melakukan perselingkuhan dengan Shafwan
bin al-Mu’aththal as-Sulami adz-Dzakwan. Padahal peristiwa ini hanya
keterbelakangan ‘Aisyah dalam rombongan disebabkan sibuk mencari kalungnya yang
tertinggal. Atas kejadian tersebut para munafik memfitnah ‘Aisyah dengan
tuduhan melakukan perselingkuhan.[23]
Kalau diperhatikan dalam pendekatan Hadis tentang fenomena hoaks
merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan. Penyebaran hoaks dalam masyarakat
merupakan perbuatan yang digolongkan merugikan individu atau golongan secara
umum. Sehingga dalam perspektif hadis hukuman yang pantas bagi pelaku
penyebaran hoaks adalah dapat disamakan dengan pelaku al-qazf sebab
dapat dikatakan al-iftira (membuat-buat berita) atau al-kazb (berdusta
atau berbohong).[24]
G. Metodologi
Penelitian
Penelitian hukum merupakan satu langkah yang amat strategis untuk mengantipasi
perkembangan hukum yang semakin global, juga dalam upaya meningkatkan kualitas
para peneliti bidang hukum Islam. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian
hukum untuk menunjang terlaksananya suatu penelitian hukum Islam yang baik.
Metode penelitian hukum sangat terkait dengan konsep hukum. Untuk itu perlu
dijelaskan konsep-konsep hukum dan metode penelitian yang terkait dengan konsep
tersebut dan kaitannya dengan metode penelitian hukum Islam.[25]
1. Sumber
Penelitian
Secara keseluruhan penelitian ini bercorak penelitian kepustakaan (library
research), yaitu semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis
sekitar permasalahan yang dibahas. Karena menyangkut masalah hoaks perspektif
Hadis, maka sumber utama dan primer adalah semua simpul berita bohong, membuat
berita palsu dan dusta yang terdapat dalam hadis. Naskah hadis dijadikan bahan
kajian ialah hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Untuk itu mendapatkan makna-makna kosa kata
dari teks hadis yang dibahas dipergunakan beberapa rujukan diantaranya, Sahih Al-Bukhari, Sahih Al-Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan at-Tirmiziy, Sunan an-Nasaiy, Sunan Ibnu Majah, Muwatha' Imam
Malik, Musnad Imam Ahmad dan sebagainya. Disamping itu juga untuk memperkaya
dan memperluas makna dipergunakan juga kamus Besar bahasa Indonesia, kamus
Besar Bahasa Arab dan kamus Bahasa Inggris.
2. Pendekatan dan
Metode
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif
berupa hadis ahkam. Pendekatan normatif hadis ahkam adalah suatu upaya yang
dilakukan untuk memahami maksud yang terkandung dalam hadis sebagai sumber
hukum Islam kedua yang langsung bersumber dari perbuatan, perilaku dan diri
Nabi Muhammad saw. Penulis berupaya memahami makna hoaks dengan menggunakan
hadis Nabi Muhammad saw sebagai kajian utama dan kitab-kitab hadis sebagai
rujukan pendukung. Sehingga metode yang dilakukan melalui menganalisis hadis
ahkam yang berkaitan dengan hoaks.
3. Langkah-langkah
Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah untuk mendapatkan makna
hoaks dalam perspektif Hadis. Pada langkah pertama pandangan hadis dibahas
dalam kerangka respons terhadap fenomena hoaks yang terjadi di masyarakat.
Melalui langkah ini diasumsikan, bahwa hadis berintegrasi dengan masyarakat
yang telah mengalami pergeseran nilai, moral dan tanggungjwab, sehingga hadis
menjawab problem untuk memperbaiki masyarakat. Langkah kedua membahas term-term
(istilah) hoaks dalam hadis, dari kata-kata yang secara langsung membawa makna
berita palsu dan bohong, yaitu; al-iftira, al-kazb, nifak, ghibah dan
semua derivasinya. Perubahan bentuk kata dibahs sedemikian rupa, karena ia akan
menawarkan dan membawa makna-makna yang akan memperkaya arti dari hoaks.
Langkah ketiga, mengkaji makna yang berlawanan dengan hoaks, yaitu
berita asli. Langkah keempat, yang merupakan langkah terakhir memuat beberapa
kesimpulan dari seluruh kajian dan penelitian, yang diharapkan akan memberikan
jawaban terhadap permasalahan pokok. Pada kesimpulan ini terjawablah urgensi
hadis untuk menanggulangi perkembangan dan penyebaran hoaks dimasyarakat.
4. Teknik
Penulisan
Dalam penulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, pedoman teknik
penulisn yang digunakan adalah buku teks penuntun a Manual for Writers of
Term Papers, Theses and Dissertations yang disusun oleh Kate L. Turabian.
Transliterasi yang digunakan untuk menyalin kata-kata atau
ungkapan-ungkapan berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia berpedoman kepada
keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987 tentang Pembakuan Pedoman
Transliterasi Arab-Latin.
5. Sistematika
Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini di bagi kepada lima (5) bab yang
mempunyai kaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama adalah
pendahuluan yang mengantarkan pada pemabahasan pada bab-bab selanjutnya. Bab
ini terdiri dari atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, penegasan batasan penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori dan
Metodologi Penelitian.
Selanjutnya bab kedua membahas tentang signifikansi masyarakat dalam
hadis yang terdiri dari atas subbab hoaks dan kesadaran masyarakat. Kemudian
bab ketiga merupakan tema sentral penelitian, yaitu ragam simpul hoaks dalam
persepektif hadis. Bab ini terdiri dari atas subbab simpul-simpul al-iftira,
al-kazb, ghibah dan fitnah.
Pada bab keempat akan diteliti bagaimana konsep hadis ahkam dalam
menanggulangi hoaks di masyarakat. Pada pembahasan ini akan diarahkan pada hukum
Islam, hokum Indonesia, Adat, Pancasila dan UUD 1945.
Pada bab kelima penelitian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan
temuan penelitian dan rekomendasi yang dianggap perlu.
BAB II
Landasan Teori
A. Pengertian Hoaks
Menurut bahasa hoaks adalah
olok-olok(an), cerita bohong, memperdayakan.[26]
Dapat juga dijumpai dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary.
Dijelaskan bahwa hoax an act intended to make, believe that is not true,
especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls. To trick by making them believe
that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls.[27] hoaks adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk
membuat, percaya bahwa itu tidak benar, terutama tidak masuk akal: tipuan bom,
panggilan tipuan.
Hoaks yang berasal dari hocus pocus
aslinya dari bahasa Latin hoc est corpus, berarti berita bohong. Hoaks
juga berasal dari bahasa Inggris (hoax) artinya tipuan, menipu, berita
bohong, berita palsu atau kabar burung.[28]
Hoaks juga dikenal dalam Islam sering disebut sebagai haditsul ifki atau
berita bohong (palsu). Sehingga dapat diidentifikasi kata al-ifki yang
berarti keterbalikan (seperti gempa yang membalikkan negeri), tetapi yang
dimaksud disini adalah sebuah kebohongan besar, karena kebohongan adalah
pemutarbalikan fakta. Sedangkan munculnya hoaks (sebuah kebohongan) disebabkan
oleh orang-orang pembangkang.[29]
Jadi kelompok pembangkan merupakan kelompok yang mengacaukan kondisi dan
keadaan. Dalam kajian Islam sendiri pembangkan ini disebut bughat adalah
bentuk jamak dari baghin orang yang melakukan pemberontakan.[30]
Secara sederhananya dijelaskan
hoaks adalah pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan atau
bahkan menistakan pihak lain. Dalam hal ini dapat kita lihat bagaimana sikap
hadis terhadap penyebaran informasi dalam kehidupan bermasyarakat. Menyiarkan
berita atau memberikan informasi merupakan hal yang penting.
كَفَى
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.
Artinya: “Cukuplah seseorang
dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR.
Muslim)
Di zaman Rasulullah dapat kita
lihat bagaimana sikap sekelompok orang yang sengaja atau senang memberitakan
sesuatu yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah saw. Niat seperti ini,
meskipun tidak mengandung niatan yang buruk, pada hakikatnya adalah bersifat
provokatif. Berita seperti itu tentu mengandung tujuan dan kepentingan tertentu.
Gambaran orang-orang yang suka menyebarkan informasi yang tidak benar, adalah
orang yang lemah iman serta munafik. Tentu maksud dan tujuan mereka adalah
untuk mengacaukan keadaan. Hal ini mereka sampiakan dan disebarluaskan kepada
masyarakat, agar informasi tersebut menjadi berita-berita provokasi sehingga
masyarakat justru akan mudah menyerap dan terpengaruh dengan berita provokatif
yang kebenarannya masih dipertanyakan. Bahkan
Rasullah menegaskan kembali bahwa ada tiga (3) kelompok manusia yang harus di
usir dari tempat kita salah satu diantaranya adalah orang-orang yang
menyampaikan kabar bohong, apalagi yang sampai menyakiti perasaan dan keadaan.[31]
Jadi hoaks secara terminologis
dapat disimpulkan pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi
pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita yang
disampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Muatan berita bohong dan
menyesatkan, muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antar golongan SARA.[32]
Ruang lingkup perubahan masyarakat
itu terdiri dari dari unsur-unsur kebudayaan, baik yang bersifat immaterial
maupun yang bersifat material. Perubahan masyarakat secara umum menyangkut
perubahan-perubahan structural, fungsi budaya dan perilaku masyarakat.
Perubahan berarti suatu proses yang mengakibatkan keadaan sekarang dengan
keadaan yang sebelumnya berbeda dengan keadaan sebelumnya, perubahan bisa berup
kemunduran dan bisa juga berupa kemajuan (progress).[33]
Kalau dikaji dari aspek sosiologi
perkembangan hoaks merupakan salah satu bentuk perubahan yang terjadi di
masyarakat. Sejak awal sejarah, manusia telah berupaya memikirkan penyebab
utama kejadian, motor penggerak fenomena dan proses, kekuatan yang
bertanggungjawab atas nasib mereka sendiri. Sehingga atas dasar inilah yang
dimaksud di sini sebagai pencarian faktor yang melandasi dan mendorong dinamika
sosial dan menyebabkan transformasi dalam masyarakat. Dalam evolusi panjang
pemikiran manusia itu, konsep agen perubahan itu secara bertahap telah
disekulerkan, dimanusiakan dan dimasyarakatkan.
Adapun pengertian perubahan sosial
dari beberapa ahli diantaranya;[34]
Gillin dan Gillin mengartikan perubahan sosial suatu “variasi dari cara-cara
hidup yang telah diterima, yang disebabkan karena perubahan kondisi geografis,
kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanyadifusi
maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakkat tersebut”. Sedangkan Selo
Soemardjan menyatakan perubahan sosial adalah “segala perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola
peri kelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Hans Garth dan C.
Wright Mills mendefenisikan perubahan sosial adalah “apapun yang terjadi
(kemunculan, perkembangan, dan kemunduran), dalam kurun waktu tertentu terhadap
peran, lembaga atau tatanan yang meliputi tataran sosial”.
Perubahan sosial adalah merupakan
perubahan dalam struktur masyarakat, terjadi sebagai akibat dari perubahan
dalam norma-norma masa kini. Inti sari dari pendapat ini adalah bahwa
kecenderungan-kecenderungan yang buruk masa kini seperti meningkatnya
penyebaran isu hoaks adalah hasil dari kebobrokan moral dan hanya dapat diatasi
melalui regenerasi moral (kelahiran kembali moral lama).[35]
Sosiolog Amerika cenderung
didominasi oleh pandangan bahwa perubahan sosial sedikit banyak merupakan
akibat dari perubahan-perubahan normatif. Menurut pandangan ini penyimpangan
dalam bentuk penolkan terhadp norma-norma yang ada dan pembentukan norma-norma
yang baru adalah kekuatan pendorong utama dari perubahan sosial.[36]
Dalam masyarakat modern telah
diakui bahwa tidak semua perubahan sosial seperti halnya hoaks adalah
diharapkan dan tidak semua bertindak dalam keadaan terisolasi. Gagasan
perubahan yang direncanakan (diharapkan) dan konsep tindakan kolektif kelompok
melengkapi citra tentang perubahan spontan yang dihasilkan individu. Dengan
konsep ini agen perubahan akan menemukan wujud akhirnya dalam bentuk agen
perubahan kolektif. Sebagai agen perubahan kolektif ini bertindak berdasarkan perintah
dari atas melalui peraturan perundang-undangan. Kita telah merunut ulang
petualangan pemikiran mengenai agen perubahan melalui labirin pemikiran sosial
dan sosiologis. Dipintu masuknya, agen perubahan itu berwujud manusia super dan
ekstrasosial. Di pintu keluarnya, agen itu berwujud manusia dan sosial dalam
bentuk: actor individual dan agen kolektif. Teori sosiologi
akhir-akhir ini memusatkan perhatianya pada keduanya, mencoba membongkar
rahasia operasi dan mekanismenya melalui realitas sosial yang dihasilkannya.[37]
Hal yang terpenting diperhatikan
dalam semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah kesadaran
mengenai perubahan itu sendiri di pihak orang yang terlibat, terutama kesadaran
mengenai hasil yang ditimbulkan oleh proses sosial itu. Dengan memasukkan
faktor subjektif kedalam tiga tipologi. Pertama, proses sosial itu
mungkin disadari, diduga dan diharapkan. Proses ini dapat juga disebut dengan
proses kentara. Kedua, proses perubahan sosial itu mungkin tidak
disadari, tidak diduga dan tidak diharapkan. Dapat disebut proses laten, dalam
hal ini, perubahan ini sendiri dan hasilnya muncul secara mengagetkan dan
tergantung pada penerimaan atau penolakannya. Ketiga, orang mungkin
menyadari proses yang terjadi, menduga arahnya dan mengharapkan dampak
khususnya, namun semua dugaan itu ternyata keliru sama sekali. Proses sosial
justru berlawanan dengan harapan mereka dan menimbulkan hasil yang sama sekali
berlainan atau berlawanan dengan dengan yang diharapkan semula.
Terlepas dari pertanyaan formal
tentang letak hubungannya dengan proses susila, penyebab perubahan mungkin
berbeda secara substansi dan kualitasnya, seperti alam, demografi, politik,
ekonomi, kultur, agama, dan lain sebagainya. Sosiologi harus berupaya untuk
menemukan faktor-faktor mana yang terpenting sebagai proses perubahan; apa yang
menjadi pendorong utama dari proses sosial. Penganut determinisme sosial
mengemukakan beberapa faktor penting. Ada dua kategori utama proses yang
menonjol. Pertama, mencakup proses material yang ditimbulkan oleh
tekanan keras dari teknologi, ekonomi, lingkungan, hokum, masyarakat dan
sebagainya. Kedua, proses idealistis disini peran ideologi, agama, etos
kerja dan lainnya sebagai pendorong utama perubahan. Belakangan ini ada
kecenderungan untuk meninggalkan perbedaan semacam itu. Penyebab proses sosial
dipandang sebagai sesuatu yang konkrit dan mencakup berbagai faktor yang saling
berkaitan; seperti proses hukum dengan kondisi masyarakat, ekonomi, politik
serta budaya.
Namun, dalam sosiologi modern tidak
hanya menolak pemikiran tentang faktor tunggal penyebab poses perubahan sosial
tetapi juga mengubahnya. Kini sudah diakui secara luas bahwa membicarakan
ekonomi, teknologi, sosial, hukum, politik sebagai penyebab perubahan adalah
menyesatkan karena selain semua kategori itu, yang menjadi kekuatan nyata
penyebabnya adalah tindakan manusia. Masalah tindakan manusia ini adalah pusat
perhatian sosiologi modern.
Jadi, dapat dipastikan juga bahwa
perkembangan hoaks dan sejenisnya dalam kacamata sosiologi modern lebih
mengarah pada kondisi moral (tindakan) manusia yang sedang berkembang saat ini.
Dalam buku Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral karya Burhanuddin Salam, dijelaskan secara lengkap
defenisi moral. Secara bahasa moral berasala dari bahasa latin Mores. Mores
berasal dari kata mos yang artinya kesusilaan, tabiat atau kelakuan.
Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas berarti mengenai
kesusilaan. Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan yaitu etika.
Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani: ethos dan ethikos
yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan sesuatu
perbuatan. [38]
Jadi perubahan terjadi dari sisi
kajian filsafat lebih mengarah pada kondisi sifat/kelakuan manusia.
Perkembangan fenomena hoaks dalam masyarakat lebih dipengaruhi kondisi moral
masyarakat yang lebih dominan pada aspek keterbiasaan, kelakuan. Menurut
psikologi apabila suatu sikap yang telah menjadi sifat/kelakuan, itu dibentuk
oleh sedikitnya 4 jenis pengaruhnya;
1.
Kebiasaan, habit, custom
2.
Pendidikan
3.
Agama
4.
Kesadaran moral jiwa/internal consciousness[39]
Pertama, pengaruh kebiasaan. Suatu kebiasaan yang
sudah mempola, dibentuk oleh lingkungan hidup, oleh kebutuhan (needs) atau
kehendak meniru, kepatuhan mengikut, biasanya sukar diubah karena kebiasaan ini
pun sudah menghilangkan pengaruh dari kewibawaan diri sendiri. Ke-dua,
pengaruh pendidikan. Tidak dapat disangkal, bahwa pada prinsipnya pendidikan
itu membawa dan membina mental seseorang itu semakin baik dalam arti menjadikan
seseorang itu lebih cerdas, lebih bermoral, tegasnya lebih maju daripada
sebelumnya menerima pendidikan.
Pendidikan yang baik tercermin pada sikap, cara berfikir, cara berbicara dan
pada sikap yang baik. Ke-tiga, pengaruh agama. Beragama berarti bersedia
hidup sesuai dengan ajaran dan tuntutan dari agama itu. Bila mengingkarinya,
lebih baik jangan turut di dalamnya. Ke-empat, pengaruh kesadaran jiwa.
Kesadaran jiwa itu timbulnya adalah sebagai akibat atau dari pengalaman,
pertimbangan akal atau pikir, dan dikuatkan oleh kemauan. Seseorang yang selalu
mau memeriksa dirinya, mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya akan memiliki
kesadaran jiwa yang peka. Orang seperti ini tidak mungkin bersikap congkak,
bertingkah laku sombong dan angkuh ataupun berbuat sesuatu yang menyebabkan
orang lain merasa tersinggung atau sakit hati. Sedangkan dalam pandangan
Jalaluddin Rahkmat, tentang sebab-musabab terjadinya perubahan sosial
disebabkan karena ideas: pandangan hidup, pandangan dunia dan
nilai-nilai.[40]
B. Pengertian Hadis Ahkam
Sebagai sumber ajaran Islam yang
kedua setelah Alquran, keberadaan hadis, di samping telah mewarnai masyarakat
dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang
menarik, dan tiada henti-hentinya. Pada garis besarnya pengertian hadis dapat
di lihat melalui dua pendekatan, yaitu penedekatan kebahsaan (linguistik) dan
pendekatan istilah (terminologis).[41]
Kata hadis telah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia. Hadis adalah
kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata hadatsa,
yahdutsu, hadstan, haditsan dengan pengertian yang bermacam-macam.
Sedangkan, jamaknya al-ahadis, al-hidsan dan al-hudsan; dan
memiliki banyak arti, yang diantaranya sebagai berikut,الجديد (sesuatu yang baru),
sebagai lawan kata dari القديم (sesuatu yang
kuno atau klasik). Selanjutnya, kata hadis dapat pula berarti القريب (yang berarti menunjukkan pada waktu yang
dekat atau waktu yang singkat; yang belum lama lagi terjadi), seperti kata-kata
هو
الحديث العهد بالإسلام (dia orang yang baru memeluk agama Islam). [42]
Kata hadis kemudian dapat pula berarti الخبر yaitu sesuatu yang
diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan dan di alihkan dari seseorang
kepada orang lain[43]
atau (berita/kabar), seperti yang dikemukakan oleh ayat-ayat Alquran sebagai
berikut:
(#qè?ù'uù=sù ;]Ïpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. úüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ
Artinya: “maka hendaklah mereka mendatangkan suatu
khabar yang sepertinya (Alquran), jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. ath-Thuur: 34).
Sedangkan menurut
istilah (terminologis), hadis adalah
Artinya: “Hadis
menurut istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., baik
berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya setelah beliau diangkat menjadi
Nabi”.
Para ulama berbeda
pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadis. Pertama, menurut
Ulama Hadis, umumnya menyatakan bahwa hadis adalah “segala ucapan Nabi, segala
perbuatan beliau, segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan
beliau”. Termasuk “segala keadaan beliau” adalah sejarah hidup beliau yakni,
waktu kelahiran beliau, keadaan sebelum dan sesudah beliau dibangkit sebagai
Rasul dan sebagainya. Kedua, Ulama Ushul menyatakan, bahwa hadis ialah
segala perkataan, segala perbuatan dan taqrir Nabi, yang bersangkut paut
dengan hukum.
Ketiga, sebahagian Ulama, antara lain at-Thiby
menyatakan bahwa hadis ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi,
para sahabatnya dan para Tabi’in. Dengan demikian, apa yang datang dari para
sahabat Nabi dan para Tabi’in, termasuk kategori hadis.[45]
Di samping itu,
Mahfuz al-Tarmasi memberi pengertian hadis secara istilah, yaitu apa yang
berasal dari Nabi dan al-tabi’in. Kenyataan ini, telah dikenal dengan
adanya istilah hadis marfu’(hadis yang disandarkan kepada Nabi), hadis mauquf
(hadis yang disandarkan hanya kepada sahabat Nabi), dan hadis maq’tu
(hadis yang disandarkan hanya kepada al-tabi’in. Pada umumnya ulama
hadis memberi pengertian, bahwa yang dimaksud dengan hadis adalah semua sabda,
perbuatan, taqrir dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam pengertian inilah, maka ulama hadis menyamakan hadis dengan istilah al-sunnah.
Kecuali pengertian tersebut, ada pula ahli hadis yang berpendapat, bahwa kata
hadis menunjukkan makna atau sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., baik
berupa perbuatan, sabda, persetujuan (taqrir) beliau mengenai sahabat,
atau deskripsi tentang sifat dan karakternya. Sifat ini menunjukkan kepada
penampilan kepribadian beliau. Meskipun demikian, penampilan kepribadian Nabi,
menurut umumnya ulama hadis, bahwa bentuk-bentuk hadis atau as-sunnah
adalah segala berita (khabar) yang berkenaan dengan sabda; perbuatan;
persetujuan; hal-ihwal Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang dimaksud hal-ihwal,
adalah segala sifat dan pribadi.[46]
Ulama Hadis
meninjaunya, bahwa pribadi Nabi itu adalah sebagai uswatun hasanah
(ikatan utama), sehingga dengan demikian, segala apa yang berasal dari Nabi
Saw., baik berupa biografi, akhlak, berita, perkataan dan perbuatannya, baik
yang ada hubungannya dengan hukum atau tidak, dikategorikan sebagai hadis.
Sedang ulama Ushul
meninjaunya, bahwa pribadi Nabi adalah sebagai pengatur Undang-Undang (di
samping Alquran), yang menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang
datang sesudahnya dan menjelaskan kepada ummat manusia tentang aturan hidup,
yang oleh karena itu membatasi diri dengan hal-hal yang bersangkut paut dengan
penetapan hukum saja.
Sehubungan dengan
pengertian istilah yang telah dikemukakan oleh Ulama Hadis di atas, maka secara
lebih mendetail, hal-hal yang termasuk kategori hadis, menurut Dr. Muhammad
Abdul Rauf ialah:
a. Sifat-sifat Nabi yang diriwayatkan oleh para
sahabat.
b. Perbuatan dan akhlak Nabi yang diriwayatkan
oleh para sahabat.
c. Perbuatan para sahabat dihadapan Nabi yang
dibiarkannya dan tidak juga dicegahnya, yang disebut taqrir.
d. Timbulnya berbagai pendapat sahabat dihadapan
Nabi, lalu beliau mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu
pendapat sahabat itu.
e. Sabda Nabi yang keluar dari lisan beliau.
f. Firman Allah selain Alquran yang disampaikan
oleh Nabi, yang dinamai hadis Qudsi.
g. Surat-surat yang dikirimkan Nabi, baik yang
dikirim kepada para sahabat yang bertugas di daerah, maupun yang dikirim kepada
pihak-pihak di luar Islam.
Pemastian defenisi
hadis yang absah itu telah membuatnya menjadi hampir identik dengan sunnah.
Sebagai kata yang berarti cerita, maka perkataan hadis pada hakekatnya bermakna
laporan atau penuturan, dalam hal ini laporan atau penutupan tentang Nabi. Tapi
sebagai istilah teknis penuturan (periwayatan, al-riwayah), yang sering
dipandang sebagai pengimbang, karena itu juga diletakkan berhadap dengan al-ra’y.
Hadis merupakan
sumber kedua bagi hukum Islam, dan hukum-hukum yang dibawa oleh hadis ada tiga
(3) macam;[47]
a. Sebagai penguat hukum yang dimuat dalam
Alquran;
b. Sebagai
penjelas (keterangan) terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh Alquran
dengan berbagai macam-macam penjelasan, seperti pembatasan arti umum,
mmerincikan persoalan-persoalan pokok, dan sebagainya;
c. Sebagai pembawa hukum baru yang tidak disinggung
oleh Alquran secara tersendiri dan merinci.
Umat Islam meyakini,
semua ajaran Islam bersumber pada wahyu Allah, baik Alquran (al-wahyu
al-matluw) maupun hadis Nabi Saw., (al-wahyu ghair matluw).
Mayoritas ulama spakat, hadis Nabi Saw., merupakan sumber dan dasar hukum Islam
setelah Alquran. Kedudukan hadis Nabi Saw., sebagai salah satu sumber ajaran
Islam menunjukkan posisi yang sangat signifikan dalam menjelaskan kandungan
Alquran.
Hadis Nabi Saw.,
menempati posisi yang sangat penting, karena ada ketentuan agama yang
penjelasannya hanya dikemukakan hadis Nabi Saw. Selain itu banyak diketemukan
ayat Alquran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala
yang disampaikan Rasulullah Saw., kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.[48]
C. Pendekatan Hukum Terhadap Perilaku Masyarakat
Sejak lahir di dunia,
manusia telah bergaul dengan sesamanya dalam suatu wadah yag bernama masyarakat
(negara). Dari pergaulan itu, secara sepintas lalu diapun mengetahui bahwa
dalam pelbagai hal, dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan
dalam hal-hal lain dia berbeda dengan mereka dan mempunyai sifat-sifat khas yag
berlaku bagi dirinya sendiri. Adanya persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan ini, lama kelamaan menimbulkan kesadaraan pada diri
manusia, bahwa dalam kehidupan masyarakat ia membutuhkan aturan-aturan yang
oleh semua orang anggota masyarakat tersebut harus dipatuhi dan ditaati,
sebagai pengangan atau pedoman yang mengatur hubungan-hubungan antar manusia yang satu dengan yang lainnya,
serta antara, manusia dengan masyarakat atau kelompoknya. Pedoman-pedoman itu
biasanya diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah.[49]
Dalam kaitannya
dengan kaidah-kaidah ini, sosiologi sebagai ilmu yang membahas tentang
masyarakat secara umum lebih mengalami kecenderungan untuk memperhatikan
alat-alat pengendalian sosial yang informal di banding formal. Hal ini karena
para sosiolog ingin membuktikan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa penerapan
hukum harus selalu benar. Meskipun demikian, para sosiolog tetap mengakui bahwa
pelaksanaan hukum yang efektif memerlukan dukungan yang luas. Artinya, hukum
akan terlaksana secara efektif, apabila hukum itu dirumuskan dn ditetapkan
sesuai denga kebutuhan sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, pelaksanaan
hukum itu ditetapkan berdasarkan pada realitas empiris dan bukan didasarkan
pada dunia ide semata.[50]
Selain itu, dalam
kenyataan hidup bermasyarakat tidak ada satu masyarakat satupun yang warganya
selalu taat dan patuh terhadap hukum dan kaidah-kaidah lainnya, karena setiap
manusia mempunyai kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Apabila hukum yang
berlaku dalam masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan serta
kepentingan-kepentingannya, maka dia akan memcoba untuk menyimpang dari aturan-aturan
yang ada, serta mencari jalan keluar dan atau pertimbangan-pertimbangan lain
sebagai landasan konseptual yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingannya.[51]
Sebagai sarana social
engeneering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah
perilakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan. Salah
satu masalah yang dihadapi dalam hal ini
adalah apabila hukum-hukum yang telah ditetapkan atau dirumuskan
ternyata tidak dapat berjalan secara efektif, yakni tidak mampu mengubah
perilakuan warga masyarakat yang sebagaimana tujuan yang diinginkan.
Gejala-gejala semacam ini tidak serta merta muncul ke kepermukaan, tetapi tentu
dilaksanakan adanya faktor-faktor penyebab yang menjadi penghalangnya.
Faktor-faktor tersebut berasal dari pembentuk atau perumus hukum, penegak
hukum, para pencari keadilan, pelaku atau subyek hukum, maupun
golongan-golongan lain yang ada di dalam masyarakat.[52]
Salah satu hal
penting yang perlu mendapat perhatian tentang hukum sebagai pengatur perilaku
masyarakat adalah perihal komunikasi hukum. Artinya, bahwa agar supaya hukum
itu benar-benar dapat mempengaruhi perilakuan masyarakat, maka hukum tadi harus
disebutkan seluas mungkin, sehingga melembaga dalam kehidupan masyarakat.
Penyebara ini dapat dilakukan, baik secara formal, melalui cara-cara yang
terorganisir secara resmi, maupun dengan cara informal melalui cara-cara lain
yang mampu mengantarkan informasi hukum kepada masyarakat.
Masalah-masalah
hukum, bagi suatu bangsa yang bertekad untuk membangun tata hukum yang sama
sekali baru, tidak bisa dikaji secara terpisah dari konteks sosialnya. Bahkan
bisa dikatakan, perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat akan
memberikan bebannya sendiri terhadap hukum, sehingga hukum dituntut untuk
mengembangkan kepekaannnya menghadapi keadaan tersebut.[53]
Apabila pengembangan
kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat
tersebut dilakukan , maka berarti ahli hukum telah mengikuti filsafat
keterkaitan sistemik antara hukum dengan lingkungan serta basis sosialnya.
Persoalan tentang perilaku sosial ini juga dapat dicermati dengan menggunakan
teori konstruksi sosial, yang digagas oleh Berger dan Luckmann. Teori ini
merupakan derivasi dari teori fenomenologi, yang lahir sevbagai teori tandingan
terhadap teori-teori yang berada di dalam paradigm fakta sosial, terutama yang
digagas oleh Email Durkheim.[54]
Masyarakat merupakan
kenyaatan objektif dan sekaligus sebagai kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan
objektif, masyarakat sepertinya berada di luar diri manusia dan
berhadap-hadapan dengannya. Sedangkan kenyataan sebagai subjektif, individu
berada di dalam masyarakat itu sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Dengan
kata lain, bahwa individu adalah pembentuk masyarakat dan masyarakat ialah
pembentuk individu. Kenyataan sosial itu bersifat ganda bukan tunggal, yaitu
kenyataan objektif dan subjektif. Kenyataan objektif ialah kenyataan yang
berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan subjektif ialah kenyataan yang
berada di dalam diri manusia.[55]
C.
Efektifitas Hukum Dalam
Kehidupan Masyarakat
Hukum merupakan disiplin
ilmu yang dewasa ini sudah sangat berkembang. Bahkan kebanyakan penelitian
sekarang di Indonesia dilakukan dengan mengunakan metode yang berkaitan dengan
sosiologi hukum dalam sejarah tercatat bahwa istilah “Sosiologi hukum pertama
sekali digunatkan oleh seorang berkebangsaan Italia yang bernama Anzilloti pada
tahun 1822 akan tetapi istilah sosiologi hukum tersebut bersama setelah
munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound (1870 – 1964 ), Eugen Ehrlich ( 1862 –
1922 ), Max Weber ( 1864 – 1920 ), Karl Liewellyn (1893 – 1962), dan Emile
Durkhim (1858 – 1917).
Pada prinsipnya sosiologi
hukum (sociologi of law) merupakan cabang dari Ilmu sosiologi, bukan
cabang dari dari Ilmu Hukum. Memang ada studi tentang hukum yang berkenaan
dengan masyarakat yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak di sebut
sebagai sosiologi hukum melainkan disebut sebagai sociologi jurispurdence.[56]
Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa hukum merupakan refleksi dari
kehidupan masyarakat.
Yakni merupakan refleksi
dari unsur unsur sebagai berikut :
1.
Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan
perilaku masyarakat.
2.
Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat
maupun moralitas universal.
3.
Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat
terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar
anggota masyarakat.
Disamping itu, pesatnya
perkembangan masyarakat, teknologi dan informasi pada abad kedua puluh, dan
umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir ulang
tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi antara
sektor hukum dan masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan. Namun masalah
kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting dari
efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara. Sering disebutkan
bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.[57]
Artinya hukum tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat. Disamping
itu hukum yang baik adalah hukum yang baik sesuai dengan perasaan hukum manusia
(pelarangan). Maksudnya sebenarnya sama, hanya jika kesadaran hukum di katakan
dengan masyarakat, sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia.
Salah satu fungsi hukum
adalah sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang
lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan
tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang
kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya
hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral
dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata
yang berbeda oleh masyarakat.
Hukum sebagai dewa penolong
bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang
dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau
bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat
diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Pengembalian kepercayaan
masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya
untuk mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria
“reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan
caranya sendiri.[58]
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem
peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut,
satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya
inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini
kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan
terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya).
Namun inkonsistensi
penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun
cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan
sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari,
baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa
terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat
bagaimana suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di
beberapa ruas jalan di Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI.
Polisi yang bertugas membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski
mobil tersebut berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai
pemberian hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.[59]
Kita biasa mendengar bahwa
hukum mencerminkan (atau tidak mencerminkan) opini publik. Ungkapan ini bisa
agak membingungkan. Hukum tidak dihasilkan oleh opini mayoritas seperti halnya
ketika seorang presiden dihasilkan oleh suara mayoritas. Naïf kiranya kalau
kita membayangkan bahwa opini mayoritas dari orang-orang kebanyakan otomatis
menjadi hukum. Opini publik yang di ukur oleh jajak pendapat Gallup tidak
selalu menggambaran pengaruh kekuatan sosial yang sebenarnya terhadap hukum,
bahkan dalam sebuah iklim demokrasi sempurna dengan orang-orang yang
berpendapat setara. Salah satu studi yang terkenal yang dibuat oleh Julius
Cohen, Reginald A. Robson dan Alan P. Bates. Mereka tertarik meneliti tentang
pemahaman moral masyarakat.[60]
Jika kita berbicara tentang hukum,
yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat
norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, yang dibuat
dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum
pidana dan sebagainya. Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak
hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di
suatu tempat pada suatu massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui
wahyunya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad
sebagai rasulnya melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar
inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain.[61]
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar
dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dalam bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan benda
serta alam sekitarnya.
Hukum adalah seperangkat norma
atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau
peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat
maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat,
bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum
sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
dan harta benda. Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi
bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya
ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia
dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam
sekitarnya.
Manusia adalah makhluk sosial yang
tidak dapat hidup sendiri manusia membutuhkan pertolongan satu sama lain dan
memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya.
Setiap individu dan kelompok sosial memiliki kepentingan. Namun demikan
kepentingan itu tidak selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan.
Hal itu mengandung potensi terjanya benturan daan konflik. Maka hal itu
membutuhkan aturan main. Agar kepentingan individu dapat dicapai secara adil,
maka dibutuhkan penegakan aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian
disebut dengan hukum Islam yang dan menjadi pedoman setiap pemeluknya.[62]
Dalam hal ini hukum Islam memiliki
tiga orientasi, yaitu:
a. Mendidik individu (tahdzib al-fardi)
untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
b. Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
c. Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Orientasi tersebut tidak hanya
bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga
harus menjamin kebahagiaan kehidupan di akherat yang kekal abadi, baik yang
berupa hukum-hukum untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al
manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u
al-mafasid). Begitu juga yang berkaitan dengan kepentingan hubungan antara
Allah dengan makhluknya maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri.
Sedangkan fungsi hukum Islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi Ibadah Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah
berfirman: "Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepadaKu". Maka dengan daalil ini fungsi ibadah tampak palilng
menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2. Fungsi Amar Makruf Naahi Munkar
(perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum Islam bahkan
ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat
menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
3. Fungsi Zawajir (penjeraan) Adanya
sanksi dalam hukum Islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga
dengan ancaman siksa akhirat dimaksudkan agar manusia dapat jera dan takut
melakukan kejahatan.
4. Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi
dan rehabilitasi masyarakat) Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar
sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi
juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat menjadi lebih baik. Dalam literatur
ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering social.
Keempat fungsi hukum tersebut
tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu tetapi satu
dengan yang lain juga saling terkait. Kehidupan terdiri dari bermacam aspek,
mulai dari yang berhubungan dengan individu, keluarga, hingga bermasyarakat,
agar segalanya berjalan lancar, dibutuhkan aturan untuk membatasi setiap urusan
atau perbuatan yang dilakukan seseorang. Aturan dapat berupa hukum negara,
norma, adat istiadat, dan agama. Dalam Islam, dikenal adanya syariat atau hukum
Islam, yaitu ketentuan berupa perintah, anjuran, dan larangan dari Allah yang
bersumber dari Alquran dan hadist. Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 138 “Alquran
adalah penjelasan bagi umat manusia, juga petunjuk dan nasehat bagi orang orang
yang bertaqwa”. Dalam sebuah hadist juga disebutkan “Agama adalah nasihat bagi
Allah, Rasul Nya, untuk para pemimpin, dan untuk para orang awam”. (HR
Bukhari).
Hukum Islam adalah yang mengatur
bagaimana kita bersikap dalam kehidupan sehari hari. Manfaat yang akan didapat
secara umum ialah kita akan memiliki kehidupan yang teratur dan terarah. Dengan
mengetahui hukum islam, kita akan memahami apa saja yang bermanfaat atau yang
disukai oleh Allah dan yang sia sia atau dilarang oleh Allah. Diantaranya
manfaatnya adalah :
1. Lahan Ibadah : “Dan taatlah kepada Allah
serta Rasul Nya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami
hanyalah menyampaikan amanat Allah dengan terang”. (QS At Taghabun : 12). Dengan
mengetahui, memahami, dan melaksanakan hukum islam, setiap tindakan yang
dilakukan akan bernilai ibadah di sisi Allah. Misalnya melaksanakan hukum Islam
dalam hubungannya dengan pekerjaan, jenis pekerjaan apa saja kah yang termasuk
halal dan haram, dan anda mengikutinya sesuai syariat Islam, maka pekerjaan
anda menjadi lahan ibadah dan ladang pahala.
2. Sarana Dakwah: Dakwah bertujuan untuk
mengubah perilaku manusia sesuai hukum yang benar. Hukum Islam dalam kehidupan
sehari hari dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan pengetahuan atau
ilmu agar segala urusan dilaksanakan dengan tata cara yang sesuai.
E.
Penegakan
Hukum Persfektif Islam
Islam memerintahkan
kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan
yang dilakukan. Dalam Alquran
Surah an-Nisaa ayat 58
yang artinya “sesungguhnya Allah
menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apa bila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil”.
Tujuan bernegara
Indonesia adalah terpenuhinya keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Hal ini dapat diketahui baik dalam Pembukaan UUD 1945 maka negara yang hendak
didirikan adalah negara Indonesia yang adil dan bertujuan menciptakan keadilan
sosial. Al- qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau
istilah yang bersangkut-paut dengan
keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan
keadilan juga tidak selalu berasal dari
akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh Al-qur’an dalam pengertian
keadilan.
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau orang lain
sesuai haknya atas kewajiban yang telah di lakukan. Tentang keadilan Allah
SWT berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 8 yang artinya hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Jika keadilan disandingkan dengan supremasi hukum, maka keduanya ibarat
dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Keadilan akan terwujud jika didukung
dengan tegaknya supremasi hukum. Begitu pula, keadilan akan terpuruk jika
supremasi hukum tidak ditegakkan. Islam mengajarkan agar keadilan dapat
diejawantahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Tegaknya keadilan akan
melahirkan konsekwensi logis berupa terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang
harmonis. Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan Islam itu dapat
dilihat dari prinsip-prinsip ajaran yang dikandungnya. Salah satu prinsip yang
menempati posisi penting dan menjadi diskursus dari waktu kewaktu adalah
keadilan (al‘adalah). Keadilan secara sederhana diartikan sebagai sebuah
upaya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.[63]
Karena itu sifat yang kemudian menjadi cirri hukum Islam dalam artian
hukum yang mengatur kehidupan umat mansuai adalah pembedaan antara ajaran ideal
dan praktek yang aktual.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG
HOAKS
A. Defenisi
Hoaks
Kata hoax dapat dijumpai dalam literatur bahasa
Inggris yang artinya adalah tipuan,
menipu, berita bohong, berita palsu atau kabar burung. Sederhananya adalah
berita yang muatan, substansi dan isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan
keadaan yang sebenarnya baik yang secara langsung disaksikan, didengar oleh
manusia. Jadi kata hoax adalah ketidak benaran suatu
informasi, keadaan, situasi dan kondisi yang sesungguhnya.[64]
Menurut bahasa hoaks adalah
olok-olok(an), cerita bohong, memperdayakan.[65]
Dapat juga dijumpai dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary.
Dijelaskan bahwa hoax an act intended to make, believe that is not true,
especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls. To trick by making them believe
that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls.[66] hoaks adalah suatu tindakan yang dimaksudkan untuk
membuat, percaya bahwa itu tidak benar, terutama tidak masuk akal: tipuan bom,
panggilan tipuan.
Sedangkan hoaks yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) hoaks diartikan dengan “berita bohong” tak sesederhana kelihatannya.
Sebuah kebohongan bisa disebut hoaks apabila dibuat secara sengaja agar
dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Tak hanya itu, kebohongan baru bisa disebut
hoaks apabila keberadaannya memiliki tujuan tertentu, seperti misalnya untuk
memengaruhi opini publik.[67]
Jadi hoaks secara terminologis
dapat disimpulkan pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi
pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita yang
disampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Muatan berita bohong dan
menyesatkan, muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antar golongan SARA.[68]
B. Sejarah Hoaks
Hoaks merupakan fenomena baru yang berkembang di
Indonesia, sebuah fenomena yang menjadi bahan diskusi oleh semua kalangan baik
mahasiswa, pejabat, politikus dan masyarakat. Kemunculan hoaks ditengah-tengah
kehidupan berbangsa dan bermasyarakat memperpanjang daftar tentang adanya konsep
dan perubahan yang selalu terjadi kepada manusia di abad 21.
Perkembangan-perkembangan ilmu teknologi dan informasi turut memperlancar
sekaligus menfasilitasi perubahan-perubahan dalam masyarakat termasuk di
dalamnya hoaks.
Namun, kalau rujukannya berdasarkan pendapat Lynda Walsh
dalam buku berjudul Sins Against Science, bahwa kata hoax
merupakan sebuah istilah yang terdapat dalam kosa kata bahasa Inggris yang
telah ada sejak zaman era industri. Dan diperkirakan muncul kepermukaan pertama
kali tersentuh pada tahun 1808. Sedangkan pendapat Alexander Boese dalam
bukunya, Museum of Hoaxes, menuliskan hoax bahwa pertama
dipublikasikan atau ditemukan terdapat pada almanak atau penanggalan
palsu yang sengaja dibuat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709.
Karena pada saat itu, ia sedang meramalkan kematian seorang astrolog John
Partridge. Untuk meyakinkan semua masyarakat, ia membuat obituari palsu tentang
Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya. Swift mengarang
informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata publik. Partridge pun
berhenti membuat almanak astrologi hingga 6 tahun setelah hoax beredar.[69]
Hal ini dapat juga dijumpai dalam kisah yang di alami
oleh Benjamin Franklin yang terjadi pada tahun 1745 yang di publikasikan lewat
harian Pennsylvania Gazette yang mengungkap bahwa ada sebuah benda bernama
“Batu China” yang kabarnya dapat menyembuhkan penyakit seperti rabies, kanker,
dan penyakit-penyakit lainnya. Sayangnya, nama Benjamin Franklin saat itu
menjadikan standar verifikasi ilmu kedokteran tidak dilakukan sebagaimana
standar semestinya. Namun demikian,
ternyata batu yang dimaksud adalah tanduk rusa biasa yang tidak memiliki fungsi
dan kegunaan medis sama sekali.
Namun pada akhirnya keadaan media itu di ketahui salah
seorang pembaca pada harian Pennsylvania Gazette dengan membuktikan tulisan
Benjamin Franklin tersebut. Dengan sebab pernyataan itulah, sehingga dalam
masyarakat menyeba luaslah kata hoaks.
Meskipun demikian, istilah hoaks digunakan dalam
penyebutan kehidupan sehari-hari sekitar tahun 1808. Kata tersebut dipercaya
datang dari hocus yang berarti untuk mengelabui. Kata-kata hocus sendiri
merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap
digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam
pertunjukan mereka di panggung.
Hingga kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Dari kabar
palsu seperti entitas raksasa seperti Loch Ness, tembok China yang terlihat
dari luar angkasa, hingga ribuan hoaks yang bertebaran mengikuti dinamika dan
perkembangan kehidupan masyarakat.
Oleh
karena itu, sebelum berkembangan alat informasi yang canggih seperti saat ini,
bahwa informasi palsu (hoaks) sudah alami umat manusia jaman dahulu. Dalam hal
ini bisa dilihat dalam Alquran yang dialami oleh Nabi Yusuf AS. Suata
saudara-saudaranya menginformasikan kepada Ayahnya Nabi Ya’qub As, bahwa Yusuf
anaknya diterkam binatang buas sembari mereka menyerahkan pakaian Yusuf yang
sengaja dilumuri darah. Dari kisah ini dapat dilihat bahwa informasi bohong
bukan perkara baru dalam peradaban manusia. Hanya saja bentuk dan keadaan yang
terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan begitu juga dengan motif-motifnya.[70]
C. Fakta Hoaks dalam Masyarakat
Kemajuan dan perkembangan alat
komunikasi yang mengikuti kemajuan zaman saat ini, menciptakan manusia menjadi
masyarakat yang maju, serta cepat dalam mengetahui berbagai informasi yang
berkembang di belahan negara. Hal ini dapat juga mempengaruhi gaya kehidupan
manusia baik secara pribadi, kelompok. Dengan kemajuan informasi kebutuhan
hidup semakin mudah, hal ini dapat dilihat dari bagaimana pribadi manusia
selalu menggantungkan hidupnya terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi,
mulai dari makanan, belajar, waktu ibadah, kenderaan semuanya memakai aplikasi
kemajuan teknologi itu.[71]
Akhir-akhir ini kasus hoaks di
Indonesia tidak hanya menyisir perkembangan politik melainkan juga semua
sendi-sendi kehidupan masyarakat sudah di masuki informasi bohong.
Berita-berita ini cepat menyeber melalui media massa online seperti facebook,
whatsapp, twitter, instagram, line atau cerita-cerita yang beredar
dari mulut kemulut. Sehingga tidak jarang yang dirugikan semua pihak, bukan
hanya masyarakat biasa melainkan seluruh elemen bangsa.
D. Dampak
Hoaks dalam Kehidupan Masyarakat
Pemanfaatan alat-alat komunikasi dan perkembangannya di
Indonesia sangat pesat. Meski demikian, kemajuan dan perkembangan alat
teknologi informasi dalam kehidupan nyata tidak selalu sesuai dengan kehidupan
dalam dunia maya. Penggunaan media sosial saat ini lebih cenderung dipenuhi
sisi-sisi negative seperti, penyebaran berita bohong (hoaks), provokasi,
fitnah, propaganda, sikap intoleran dan anti pancasila.
Meski baru mengambil peran utama dalam panggung diskusi
publik Indonesia di beberapa dekade terakhir ini, hoaks sebetulnya punya akar
sejarah yang panjang. Sungguh pun demikian dalam kurun waktu yang relatif
singkat namun dampaknya sudah sangat meresahkan, sebab ini berbicara tentang
masalah sosial yang tentunya timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat
dalam diri kehidupan manusia yang bersumber dari sebab-sebab ekonomis,
biologis, biopsikologis, dan kebudayaan masyarakat.[72]
Bahkan sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh sosiolog Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi suatu Pengantar bahwa suatu kejadian
yang merupakan masalah sosial belum tentu mendapat perhatian yang sepenuhnya
dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapat sorotan masyarakat
belum tentu merupakan masalah sosial. Suatu masalah yang merupakan menisfest
social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan
masyarakat dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan. Lain halnya
dengan latent social problem yang sulit diatasi karena walaupun
masyarakat tidak menyukainya, masyarakat tidak berdaya mengatasinya. Di dalam
mengatasi masalah tersebut, sosiologi seharusnya berpegang pada kedua macam
masalah tersebut yang didasarkan pada sistem nilai-nilai masyarakat.[73]
Sehingga, dampak hoaks merupakan bentuk masalah sosial yang terdapat pada latent social problem, dalam
masyarakat. Sehingga, masyarakat secara umum tidak memiliki kekuatan untuk
menghentikan perkembangan hoaks, sehingga dengan dihadapkannya hadis sebagai
sebuah alternatif dalam mencegah penyebaran hoaks akan lebih terjamin secara
konteks sebagai sebuah ajaran agama untuk saling menjaga hubungan dalam
kehidupan berbangsa.
Kondisi sosial yang menyuburkan
konflik, sehingga sangat berdampak dalam kehidupan manusia. Kecenderungan
disintegrasi yang muncul belakangan ini bukan hanya disebabkan faktor perbedaan
ideologi dan keyakinan beragama. Namun, faktor ini lebih di dorong persoalan
yang lebih kompleks, yaitu masalah ketidakadilan di bidang ekonomi, politik,
sosial, agama, budaya dan hukum.[74]
Dalam menyuburkan konflik berdasarkan hoaks sangat mudah di jumpai kasusnya
belakangan ini, seperti kasus kerusuhan Wamena Papua, yang berawal dari
informasi-informasi yang tidak jelas. Sehingga, yang dirugikan sesungguhnya
adalah masyarakat juga.
Dari hal tersebut hoaks tentunya
akan menimbulkan berbagai sifat seperti olok-olokan, berita bohong, memperdaya,
menyebarkan kebencian, yang kesemuannya akan di bahas satu persatu sebagai
berikut.
E. Menyebarkan Kebencian
Memang tanpa di sadari
sesungguhnya, bahwa media sosial sangat memberikan bentuk kebebasan yang
seluas-luasnya bagi manusia, sebagai bentuk kemerdekaan dalam mengekspresikan
pribadi, keadaan, gaya hidup, pemikiran atau opini, bahkan hanya sekedar
iseng-iseng belaka. Satu sisi, keprihatinan pasti menyelimuti atas
kemajuan-kemajaun yang di raih manusia yang mengarah pada bentuk-bentuk ketidak
sesuaian nilai budaya masyarakat bangsa.
Dalam tataran sosial, sesuatu yang
tidak bisa dihindari adalah munculnya paham dan sikap monistik, yaitu paham dan
sikap yang menganggap dirinya yang benar, sedangkan orang lain salah. Bukan
hanya itu, kadang kala sifat itu berkembang menjadi penolakan terhadap
keberagaman. Sikap tersebut bisa dilahirkan dari rahim individu dan rahim
institusi. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah munculnya sikap yang
merasa menang sendiri sembari menafikan keberadaan yang lain, terutama melalui
penghinaan dan sikap yang tidak manusiawi. Dalam masyarakat muslim, upaya
mendiskreditkan kelompok lain dengan ungkapan yang tidak pantas merupakan
fenomena mutakhir seperti ungkapan hoaks. Seolah-olah ajaran keislaman hanya
berbicara tentang hal-hal yang bersifat hitam-putih. Tapi hal-hal yang
berkaitan dengan etika seringkali kurang mendapat perhatian.[75]
Sejatinya dalam ranah sosial harus
terbangun keharmonisan sosial, antara satu agama dengan agama yang lain; antara
satu kelompok dengan kelompok yang lain; antara satu mazhab dengan mazhab
lainnya. Dalam hal ini, teladan para ulama fikih terhadap khazanah yang patut
didendangkan terus-menerus agar keragaman dirayakan dalam membangun kebersamaan
dan toleransi.
Perbedaan pendapat amat dijunjung
tinggi. Tapi perbedaan pendapat yang dibangun di atas kebencian bisa menjurus
pada konflik. Karena itu, perbedaan semacam itu sama sekali tidak dianjurkan
Alquran dan Hadis. Disini, sekali peran etika sosial amat penting untuk
membangun masyarakat yang setara. Sehingga setiap unsur manusia harus
memperhatikan dimensi sosial-kemasyarakatan. Sehingga, perintah untuk tidak
menyebarkan informasi, membenci atau mengolok-olok kaum lain, karena bisa jadi
kaum yang dihina atau dibenci tersebut lebih baik dari pada kaum yang menghina
atau membenci.
Pesan ini berangkat dari kisah
dizaman Rasulullah saw., seseorang yang bernama Tsabit bin Qays bin Syammas
adalah seorang yang tuli. Setiap kali ia menghadiri majelis Rasulullah saw., ia
senantiasa duduk di tempat yang paling dekat dengan beliau sehingga dapat mendengarkan
dan menangkap pesan dengan baik. Suatu hari ia datang terlambat, sedang majelis
sudah dipenuhi para pengunjung lain. Lalu ia meminta untuk diberi jalan untuk
mencari tempat yang lebih dekat dengan Rasulullah saw., pada akhirnya ia pun
mendapat tempat duduk. Tapi tiba-tiba ada seorang yang menyindir dan menghina
seorang Tsabit. Sehingga turunlah satu ayat sebagai larangan untuk memfitnah,
membenci dan menyindir kaum lain.[76]
Menurut Imam ar-Razi kebencian (al-sukhriyyah)
adalah perbuatan seseorang yang didalamnya terdapat unsur yang meremehkan orang
lain, tidak peduli merendahan derajtnya, kendatipun tidak sampai mebuka
aib-aibnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebencian adalah kebencian yang
bersifat minimal.[77]
Menebar kebencian saja di larang Allah swt, apalagi dengan tindakan yang
didalamnya terdapat unsur kekerasan. Karenanya, setiap muslim harus memedomani
batasan-batasa minimal seperti ini agar tidak melakukan tindakan kekerasan yang
bersifat yang lebih besar dampak negatifnya.
F. Menyuburkan Konflik
Sudah terbukti bahwa dampak dari hoaks akan menciptakan suasana konflik
atau permusuhan. Dampak ini sudah terjadi dalam kehidupan manusia, sehingga
kejadian-kejadian yang di timbulkannya seperti permusuhan, perselisihan,
pertikaian sering terjadi dalam masyarakat. Kasus-kasus sosial yang terjadi
belakangan, seperti kasus Wamena Papua merupakan bentuk dari informasi yang
kurang jelas, sehingga terjadi kekacauan antar masyarakat. Inilah bukti dari
bentuk menjamurnya konflik di tengah-tengah masyarakat. Namun, seharusnya dalam
kehidupan modern yang harus di tonjolkan itu adalah sikap kasih sayang, saling
memahami dan saling memberi pengertian dan penjelasan. Jika seseorang telah memiliki rasa kasih sayang terhadap sesuatu, maka ia
akan melakukan apa saja yang bisa diperbuat untuk menunjukkan rasa kecintaannya
itu. Persoalannya adalah bagaimana menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta pada
setiap orang.[78]
Bila mana konflik dan kerusuhan
terus menjadi-jadi dan tanpa berkesudahan maka ada beberapa pendekatan yang
harus dilakukan untuk meredamnya. Dalam hal ini dapat di jumpai dalam buku Said
Agil Husin al-Munawar yang berjudul Fikih Hubungan Antar Agama.[79] Pertama,
adanya tindakan untuk meredam dan membatasi konflik, sehingga tidak mengeras
dalam intensitasnya dan tidak meluas secara territorial, artinya untuk mencegah
eskalasi konflik yang terdapat berkembang sampai pada tahap tidak dapat lagi di
hentikan. Kedua, adanya bantuan cepat untuk menolong orang-orang yang
menderita karena kekerasan dan pengrusakan. Hal ini perlu dilakukan untuk agar
para korban segera di selamatkan sehingga tidak terjadi keresahan dan sumber
konflik yang baru.
Ketiga, adanya tindakan mengawasi dan membekukan para
aktor yang sengaja membuat situasi menjadi panas, meniup-niup ketidakpuasan
yang ada dan mendorong orang, untuk terlibat konflik dengan konflik sosial
lainnya. Keempat, adanya usaha nyata untuk memulihkan sarana dan
prasarana yang rusak. Kelima, adanya usaha pengembangan dan perberdayaan
masyarakat yang terlibat konflik, adanya pembangunan yang lebih berwawasan
keadilan dan persamaan, serta tersedianya pendidikan dan pelatihan yang dapat
mengangkat sekelompok orang keluar dari keterbelangan dan kemiskinan.
Dengan demikian, manusia modren pun berada dalam kondisi yang serba
problematis. Jika ilmu pengetahuan dan teknologi modern dibiarkan berkembang
secara bebas dan tanpa kontrol dan pengarahan, maka akan menyebabkan terjadinya
kehancuran dan malapetaka yang mengancam kelangsungan hidupnya dan peradaban manusia itu sendiri.[80]
Perkembangan hoaks merupakan salah satunya dimotori dari kemajuan dan
perkembangan teknologi modren yang kurang difungsikan manusia secara maksimal.
Dari bentuk kemajuan dari capaian manusia saat ini, merupakan bentuk
apresiasi yang sesungguhnya, namun di balik dari keberhasilan manusia
menciptakan berbagai bidang kemajuan dalam kehidupan, ternyata menyisakan rasa
gelisah, khawatir, takut, tidak aman dan sebagainya. Mereka memikirkan situasi
di mana kekuatan-kekuatan fisik serta pengetahuan ilmu dan kebudayaan manusia
berada dalam keadaan kontras dengan kegagalan pemerintah dan kepentingan
individu untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan dari segi intelektual
dan moral.
G. Ujaran kebencian
Defenisi hate speech (ucapan penghinaan/atau
kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu
atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu
atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit,
etnis, gender, cacat, orientasi seksual,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.[81]
Orientasi
dari ujaran kebencian berawal dari penggunaan media sosial. Media sosial adalah
media yang berbasis internet yang bermadsuk memberikan tempat dan ruang
interaksi virtual oleh alat-alat teknologi multimedia. Dalam penggunaan media
sosial tentu dampak negatif dan positif akan silih berganti menghampiri. Namun,
yang sering muncul dampak negatifnya, yaitu fenomena haters. Haters secara
harfiah berasal dari bahasa Inggris yang artinya a person who hate
(pembenci atau orang yang di benci). Dari pemaknaan hate speech akan muncul
makna yang lebih luas yang sering di artikan sebagai bentuk ekspresi yang
menganjurkan hasutan untuk merugikan berdasarkan target yang diidentifikasi
dengan kelompok sosial.[82]
Ujaran kebencian
merupakan bentuk tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok
dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok
yang lain dalam hal berbagai aspek seperti agama, kewarganegaraan, cacat,
gender, etnis, warna kulit, ras dan golongan. Istilah ujaran kebencian ialah
bentuk ekspresi yang selalu menginginkan agar hasutan dapat merugikan orang
lain berdasarkan target dan tujuan yang sudah di tentukan sejak awal.
Sedangkan defenisi
oleh Council of Eurofe hatespeech dimaknai sebagai seluruh keadaan
ekspresi yang menyebar, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian
rasial, xenophobia, anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian
berdasarkan intoleransi, termasuk intoleransi nasionalisme agresif dan etnosentrisme,
diskrriminasi dan permusuhan terhadap kelompok minoritas, migrant dan
orang-orang asal migran.[83]
Sedangkan menurut R.
Susilo menyatakan bahwa yang dikatakan dari menghina bentuk dari adanya
menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang terkena dampak dari ujaran
kebencian biasa merasa malu. Menurutnya penghinaan terhadap satu individu ada 6
(enam) macam yaitu;
1. Menista secara lisan,
2. Menista dengan surat/tertulis,
3. Memfitnah,
4. Penghinaan ringan,
5. Mengadu secar memfitnah,
6. Tuduhan secara fitnah.
Ujaran kebencian
selalu mengiringi manusia dalam mengajukan kebebasan berpendapat di media
sosial. Kondisi inilah yang membuat masyarakat bahkan negara semakin tidak
kondusif oleh penyalah gunaan media sosial dalam memberikan informasi bohong
(hoaks) yang dampaknya akan menumbuhkan sikap perselisihan, permusuahn, konflik
yang tentunya tudak sesuai dengan niali-nilai budaya yang selama ini diamalkan
oleh rakyat Indonesia.
Keadaan ini pada
dasarnya memberikan dampak yang serius dan lebih sering dialokasikan pada
hal-hal yang bersifat negative sehingga menjadi sebuah tantangan atau ancaman
yang mangarah pada munculnya perpecahan atau disintegritas bangsa. Sebagaimana
yang sering terjadi pada akhir-akhir ini, dari ucapan penyebaran kebencian
seolah-olah masyarakat dan bangsa sedang menyimpan malapetaka yang dahsyat.[84]
Dalam penelitian dari Binus University, menyatakan bahwa
bentuk ujaran kebencian digambarkan layaknya suatu perkataan yang sengaja
dilancarkan dengan maksud untuk membeci, melanggar, mendiskriminasikan, dengan
cara atau bentuk singgungan, ancaman, dan menghina kelompok berdasarkan agama,
golongan, suku, etnis-budaya. Sehingga, kalau di lihat dari segi bentuk
perbuatan, bahwa ujaran kebencian ini merupakan bentuk perbuatan yang
didalamnya terdapat unsure-unsur yang menyudutkan atas nama perbedaan dan
keyakinan.
Sementara dalam hukum Islam ujaran kebencian bentuk
katanya adalah ihtiqar yang
maknanya adalah meremehkan, maksudnya adanya bentuk-bentuk penghinaan terhadap
orang lain, yang berasal dari perkataan, gaya, atau bentuk gambar-gambar yang
hina untuk membuat oaring lain merasa malu. Untuk itu ujaran kebencian juga,
dapat ditemukan dalam hukum Islam dengan berbagai macam bentuk-bentuk, antara
lain sebagai berikut:[85]
Sementara dalam pandangan Abdul Rahman Al-Maliki, salah
satu pakar hukum Islam terkemuka menyatakan bahwa ujaran kebencian yang
muatannya adan unsur penghinaan dibagi menjadi tiga (3), bentuk:[86]
a.
Al-Dzamm, bentuk
penisbahan satu perkara tertentu yang di tujukan kpada orang lain, bisa saja
bentuk sindiran secara halus, yang bertujuan untuk menybabakan kemarahan,
permusuhan, kebencian satu sama lain.
b.
Al-Qadh, sesuatu
bentuk hubungan yang berkaitan dengan reputasi dan harga diri tanpa menisbahkan
sesuatu hal tertentu, dan
c.
Al-Tahqir, ialah
bentuk perkataan yang disengaja dan di dalamnya terdapat unsur dan sikap yang
bersifat celaan atau indikasi pelecehan, tidak menghargai hak dasar manusia.
Dalam aspek ajaran
agama, bahwa ujaran kebencian sangat diperhatikan sebagai sebuah bnetuk tatanan
untuk saling meneguhkan atas dasar aspek etika dan prilaku sesama manusia.
Secara mendasar bahwa ajaran Islam sangat memberikan perhatian dan petunjuk
yang sangat serius untuk menjamin tegaknya masyarakat yang damai, adil, tentram
sehingga terbebas dari segala bentuk penindasan dan penzaliman. Keterbukaan
hukum Islam sesungguhnya ketika hukum Islam itu tidak hanya berbicara tentang
ibadah vertikal kepada Allah Swt., melainkan ikut andil dan memberikan
perhatian dan masukkan terhadap kondisi dan problematikan yang di hadapi umat
manusia. Inilah peran utama mendasar dari fungsi ajaran agama itu. Setiap
manusia yang selalu mengamalkan ajaran agamanya akan membentuk hubungan yang
sesama manusia sehingga terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai tentram.[87]
Untuk itu andil yang
cukup besar itu, bahwa hukum Islam memiliki cara atau jalan untuk menciptakan
tatanan hidup yang lebih harmonis. Dan sesungguhnya, bahwa hukum Islam itu
merupakan motor penggerak untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan,
produktivitas, perkembanagn, perikemanusiaan, spritual, kebersiahan, persatuan,
keramahan, dan masyarakat demokratis.[88]
Dalam menciptakan
tatanan kehidupan bahwa penerapan hukum Islam harus sesuai dengan tujuan-tujaun
dari hukum itu di turunkan, atau biasanya disebut dengan maqsid syar’iah.
Dan juga maqsid syar’iah ini diklasifikasikan menjadi tiga (3) tingkatan
yaitu daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat.
Dalam daruriyyat
terdapat lima (5) hal yang harus di jaga, yaitu:[89]
a.
Ḥifẓ ad-dīn (menjaga agama). Menjaga agama merupakan urutan pertama dalam lingkup
hukum Islam. Karena secara keseluruhan bahwa agama bertujuan untuk mengarahkan
manusia untuk berbuat baik sesuai ajaran syari’at Islam.
b.
Ḥifẓ an-nafs (menjaga jiwa). Untuk dapat melaksanakan ketentuan syariat, hanya
orang yang berjiwa sehat jasmani dan rohani yang dapat melaksanakannya, maka
dianjurkan untuk memelihara jiwa.
c.
Ḥifẓ al-`aql (menjaga akal). Sesungguhnya teks syariat mendidik manusia untuk
memelihara akalnya agar senantiasa sehat dan berpikiran jernih. Hanya pikiran
yang sehat dan jernih yang dapat memenuhi tuntutan syariat untuk memahami
ayat-ayat Allah.
d.
Ḥifẓ an-nasab (menjaga keturunan). Kemaslahatan duniawi dan ukhrawi
ini bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dari generasi ke
generasi. Syariat juga mengatur pemeliharaan keturunan, baik membangun keluarga
dan masyarakat.
e.
Hifẓ al-māl (menjaga harta). Syariat dapat terlaksana dengan baik
jika manusia mempunyai kehidupan sejahtera yang sekaligus menjadi tujuan
syariat. Pemeliharaan harta menjadi salah satu tujuan syariat, dalam arti
mendorong manusia untuk memperolehnya dan mengatur pemanfaatannya Syari’at
Islam telah menentukan dan menciptakan tujuannya untuk menjaga dan
mententramkan masyarakat, dan mencegah perbuatan yang yang dapat menimbulkan
kerugian terhadap jiwa, akal, harta, maupun kehormatan.[90]
Perbuatan ujaran kebencian ini masuk ke dalam golongan
memelihara jiwa (Ḥifẓ an-nasf). Karena di dalamya
memiliki muatan penghinaan, yaitu menjatuhkan harga diri atau jiwa seseorang.
Islam mendorong manusia untuk memelihara kehormatan
walaupun dalam keadaan kebebasan dalam berbicara. Menolong seseorang yang
terkena musibah dan memuliakan tamu juga termasuk memelihara kehormatan. Islam
juga menganjurkan untuk memelihara keamanan, yakni dengan menetapkan hukuman
berat bagi siapa saja yang menganggu keamanan masyarakat. Syari’at Islam telah
mengatur keamanan untuk seluruh umatnya Dengan demikian kehormatan penting
untuk dijaga bagi setiap manusia dari segi golongan manapun.
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw., di jelaskan tentang larangan ujaran kebencian:
عن ابي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلي
الله عليه وسلم قال: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ
فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.[91] (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA., bahwasanya Rasulullah Saw.,
bersabda: barang siapa yang hendak beriman kepada Allah dan hari akhir maka
hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam.” (Hadis Riwayat Bukhari
dan Muslim).
Sebagian ulama memaknai ḥadīṡ
ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia
katakan itu baik dan benar, ia diberi pahala. Jika tidak, hendaklah
ia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh atau mubah.” Dalam
hal perkataan yang mubah dianjurkan untuk dijauhi atau bahkan diperintahkan
untuk ditinggalkan, karena khawatir terjerumus pada yang haram atau makruh dan
seringkali hal seperti inilah yang banyak terjadi pada manusia. Karena
orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah akan takut kepada ancaman
ażab-Nya, mengarapkan pahala-Nya, dan melaksanakan semua perintah dan
meninggalkan semua larangan-Nya.[92]
BAB IV
Hasil Penelitian
A.
Perkembangan Hoaks
Perkembangan kehidupan di dunia
ini tentunya tidak akan pernah henti-hentinya dalam segala lini kehidupan seperti teknologi, sains, pendidikan,
politik, kebudayaan dan sebagainya. Perkembangan ini tentunya mewujudkan
problematika baru yang belum pernah terjadi pada masa lampau atau pernah
terjadi masa silam dan muncul kembali dalam wajah yang lebih rumit.
Sebagai seorang muslim yang
berpedoman teguh kepada Alquran dan Hadis Nabi Saw., maka wajiblah ia
menimbang, mendiskusikan masalah yang dihadapi dengan pendekatan sumber hukum
Islam tersebut. Merujuk, dan menfokuskan kepada untuk menetapkan segala hukum
sehingga tidak menimbulkan kekacauan atau tidak tersesat dalam memahami
hukum-hukum Allah. Namun juga, sangat menarik bila mana kasus terseebut secara
konkrit tidak langsunh tertuju penyelesaiannya berdasarkan Alquran melainkan
mencari solusinya dari sisi pendekatan hadis Nabi Saw.[93]
Perkembangan alat teknologi dan
komunikasi di era modern menjadikan kehidupan semakin komplek dan rumit. Bahwa
perkembangan dan kemajuan tidak diimbangi oleh nilai-nilai yang terkandung
dalam masyarakat, budaya dan sosial sehingga menimbulkan keresahan dan problem
seperti penyebaran hoaks yang mengakibatkan muncul kebencian, konflik dan
sebagainya. Berita-berita yang beredar sudah menyentuh seluruh lapisan
masyarakat baik tentang ekonomi, hukum, politik sosial-budaya, bahkan
pendidikan.[94]
Dalam konteks keindonesian UU IT
telah merespon bahkan sudah merekomendasikan gagasan dan batasan terhadap
sistem informasi. Hal ini dapat dilihat dalam UU IT pasal 28 ayat (1) Nomor 11
tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyatakan, “setiap
orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian keonsumen dalam transaksi Elektronik.” Terkait
dengan adanya rumusan UU ITE tersebut, dapat ditafsirkan pemaknaannya
“menyebarkan berita bohong”, namun sesungguhnya ketentuan tersebut terdapat
dalam pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan rumusan yang
berlainan dengan ungkapan “menyiarkan berita bohong”Hal ini menjadi acuan dan
dasar bahkan batasan yang harus dipedomani ketika menyampaikan pendapat, opini,
dan gagasan di depan umum. Dengan adanya UU IT, sesungguhnya menjadi pagar
untuk pemerintah agar masyarakat memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam
mengajukan pendapatnya di depan publik.[95]
Sedangkan, dalam konteks
keislaman, hoaks merupakan kejahatan kemanusian bahkan diperkirakan muncul
seusia peradaban umat manusia. Kejahatan kemanusian dalam bentuknya terdapat
unsur penzaliman dan kemungkaran yang dapat merugikan orang lain. Sebagai
seorang muslim yang taat terhadap ajaran agamanya yang bersumber dari Alquran
dan Hadis yang memberikan pemahaman untuk mengatur tingkah laku dan sifat
manusia dalam menjalani kehidupannya sehingga untuk memunculkan benar salahnya
suatu perbuatan itu. Hoaks dalam konteks ini lebih menekankan pada konsep
tentang akhlak atau moral. Untuk itu, kecenderungan manusia untuk selalu
berbuat buat baik terbukti dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap
peradaban dan zaman. Perbedaan jika terjadi terletak pada bentuk, penerapan,
konsep moral, yang disebut dalam bahasa hukum Islam adalah ma’ruf, sehingga
tidak ada peradaban yang menganggap baik hoaks.[96]
Sehingga menurut penulis ada
beberapa hal yang harus dikemukakan sebagai konsep untuk mencegah perkembangan
dan penyebaran hoaks dalam kehidupan, hal ini ditinjau dalam perspektif Hadis,
Pancasila, serta UU ITE.
Umat Islam meyakini,
semua ajaran Islam bersumber pada wahyu Allah, baik Alquran (al-wahyu
al-mutluw) maupun Hadis Nabi Muhammad Saw., (al-wahyu ghair matluw).
Mayoritas ulama sepakat, hadis Nabi Muhammad Saw., merupakan sumber dan dasar
hukum Islam setelah Alquran. Kedudukan hadis Nabi Muhammad Saw., sebagai salah
satu sumber ajaran Islam menunjukkan posisi yang sangat signifikan dalam
menjelaskan kandungan Alquran.[97]
Sebagai mana dinyatakan Allah Swt;
وَيَوْمَ
نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً
وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ.
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri
dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
Sehingga, posisi
hadis sangat sentral dalam merumuskan sebuah hukum Islam. Bahwa tidak dapat
dipungkiri, bahwa hadis telah mengajarkan kepada umat Islam untuk patuh kepada
ajaran-ajaran nabi Muhammad Saw. Bila ditelaah secara mendalam, hal ini
dipahami (walaupun tidak harus diterima). Dasar yang baku dan pasti hanyalah
Alquran. Adapun lainnya sangat dipengaruhi oleh konteks, dalam kondisi
tertentu, sebagian orang menerima hadis dengan terpaksa. Karena penerimaannya
tersebut tidak mencerminkan keimanannya.
Peran penting dari
hadis nabi Muhammad Saw., dalam menjelaskan ajaran hadis dengan seksama dalam
memahami perkembangan dinamika kehidupan sosial. Hal ini menjadi tugas yang
berat karena belum terbiasa dengan hal-hal yang aktual seperti hoaks, yang merupakan
bentuk penyimpangan dari ajaran hadis.
Oleh karena itu,
hoaks dapat disebut merupakan sebuah kejahatan kriminalitas dalam Islam yang
pada akhirnya dapat membuat kekacauan dalam masyarakat. Dalam posisi kejahatan
kriminalitas tentu hadis akan memberikan sebuah pemahaman baru dalam
mencegahnya. Sebab dari awal dijelaskan bahwa tujuan dari hukum Islam untuk
mengeluarkan manusia dari kebodohan menuju pengetahuan dan kebebasan. Oleh
karena itu, perbaikan dalam masyarakat membutuhkan aturan yang jelas, maka
ditetapkanlah hukuman atau hukum pidana bagi mereka yang menentang aturan yang
ada. Sehingga masyarakat dapat menjalankan sesuai dengan aturan yang ada untuk
menciptakan yang namanya perbaikan.[98]
C.
Hukum dan Dampak Hoaks Perspektif Hadis
Islam adalah agama
dan jalan hidup yang berdasarkan pada Alqurn dan Hadis Nabi Saw., yang menuntut
setiap orang untuk berkewajiban untuk bertingkah laku dalam seluruh hidupnya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Alquran dan Hadis Nabi Saw. Oleh karena itu,
setiap orang hendaknya harus memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan
antara yang benar (halal) dan yang salah (haram). Prinsip-prinsip ini adalah
kebutuhan dan kepentingan pengenalannya dengan korpus hukum Islam (syariah).
Oleh karena itu, membedah hoaks dalam perspektif hadis merupakan
kebijakan-kebijakan untuk memandang sebuah problem yang sedang aktual dalam
masyarakat.[99]
Sebagaimana kita
ketahui bahwa hoaks merupakan fenomena yang melanda masyarakat umum terkini.
Bila didekatkan dalam pemahaman hadis, tentu hal ini akan membicarakan tentang
hukumnya dan hal ini akan dapat diketahui bila mana dapat dikumpulkan dalam
pembahasan hadis ahkam. Dengan demikian, akan dapat di uraikan tentang hukum
hoaks dalam Islam.
Hoaks sebagai bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan
yang tidak dibenarkan dalam Islam. Segala jenis pembohongan baik pembohongan
yang ditujukan untuk individu maupun pembohongan terhadap lembaga, organisasi,
atau terhadap sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk membentuk opini publik
atau provokasi serta kepentingan politik adalah perbuatan terlarang dalam
kajian Islam. Pembuatan hoaks dapat dikategorikan sebagai pihak yang merugikan
orang lain dan hoaks yang dibuatnya di golongkan sebagai haditsul ifki
atau berita bohong. Istilah hoaks atau berita bohong (dusta) dapat dijumpai
dalam beberapa hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi;
عن عائسة
رضي الله عنها قالَتْ تقْرَأُ: اِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ. وَتَقُوْلُ
الْوَلَقُ الْكَذِبُ. قال ابن ابي مليكة وَكَانَتْ اَعْلَمْ مِنْ غيرها بذالك لانه
نَزَلَ فِيْهَا. (رواه بخاري).
Artinya: “Dari
‘Aisyah ra., bahwa ia pernah membaca ayat “اِذْ
تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ (ingatlah waktu kamu menerima berita bohong
itu dari mulut ke mulut
[an-Nuur: 15]). ‘Aisyah berkata: arti kata al-walq (taliqu), ialah berdusta.
Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ia lebih mengerti (arti ayat) itu dari pada yang
lainnya, karena hal itu diturunkan tentang dirinya”. (HR. Bukhari).[100]
Sehingga, hoaks selalu
berkaitan tentang pembohongan publik yang bertujuan untuk menciptakan
kekacauan, keributan, kejahatan, fitnahan dan sebagainya yang perbuatan
tersebut bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa dan harta orang
lain.
Sehingga, dalam rumusan
lain bahwa hoaks dalam makna yang konotasinya adalah segala bentuk perbuatan
jahat. Dalam rumusan hukum Islam ini dapat dijumpai sebagai bentuk jinayah
yang berkaitan tentang perbuatan dosa besar atau kejahatan (kriminal). Abu Muhammad Mahmud dalam kitabnya al-Binayah
fi-Syarh al-Hidayah mendefinisikan jinayah,
setiap perbuatan yang bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa
dan harta orang lain.[101]
Menurut Abdul Qodir Audah, jinayat secara
etimologis adalah nama sebutan bagi seseorang yang berbuat tindak pidana (delik)
atau orang yang berbuat kejahatan.
Kalau dicermati secara
mendalam dan mendasar tampaknya jinayah dapat menjangkau atau sejalan
dalam bentuk perbuatan kejahatan (hoaks). Sehingga dalam hadis, hoaks adalah
kejahatan kemanusiaan yang didalamnya terdapat unsur yang dapat merugikan jiwa (nafs).
Namun, bila berbicara
dalam konteks keindonesiaan hoaks tidak hanya di tinjau dalam prspektif hukum
Islam namun juga harus dilihat dari bentuk muatannya dalam hukum positif (hukum
pidana konvensional). Dalam hal ini penulis menemukan celah perbedaaan antara
hukum jinayah dengan hukum positif Indonesia.[102]
Pertama, Jinayah Islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan
budi pekerti yang luhur, sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan
akhlak akan selalu dicela dan diancam dengan hukum Islam. Sedangkan hukum
positif hanya berorientasi kepada apa yang menyebabkan kerugian secara langsung
bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat, dan tidak mengarah kepada budi
pekerti. Sehingga jika tidak menimbulkan kerugian secara langsung, bagi pihak
lain, walaupun bertentangan dengan akhlak tidak diangggap tindak pidana.
Kedua, hukum positif (undang-undang) merupakan
produk nalar manusia, sedangkan jinayah Islam bersumber dari nash
Alquran dan hadis. Selain itu, ada ketentuan hukum yang diserahkan kepada
pemerintah (ulil amri), yaitu jarimah ta’zir yang dalam
pelaksanaannya tetap mengacu kepada nash Alquran dan Hadis.
1.
Hukum Hoaks dari bentuk Jinayat Islam
Materi dan muatan hoaks
dari bentuk jinayat adalah bentuk penetapan keharaman keberadaan hoaks.
Sebab semangat jinayat dalam konteks hoaks adalah menjaga harga diri (hidz
nafs). Bahkan dalam hadis sekalipun dijelaskan bahwa perbuatan yang
mengarah pada kerusakan diri maupun orang banyak maka harus disingkirkan. Hadis Nabi Saw.,:
لاضرر ولا
ضرر.
Artinya: “Tidak boleh ada kemudharatan dan
memudharatkan”.
Hubungan dalam fenomena hoaks adalah bentuk kemaslahatan
umum, hal ini senada dalam pandangan Abu Zahrah mengatakan bahwa kemaslahatan
yang diperhitungkan adalah kemaslahatan yang hakiki, salah satunya adalah hidz
an-nafs (menjaga jiwa), hal ini merupakan tiang kehidupan yang mana manusia
tidak bisa hidup selayaknya tanpa lima hal tersebut.
Sehingga, dari hadis
tersebut dapat dipahami bahwa fenomena hoaks merupakan sebuah akibat yang dapat
membuat kejahatan dalam masyarakat umum. Hal ini dipertegas kembali bahwa
setiap manusia tentu dilarang agar tidak membuat kemudharatan baik untuk diri
sendiri maupun untuk publik. Sehingga, fenomena hoaks lebih mengarah pada aspek
adanya potensi kemudharatan yang muncul ditengah kehidupan. Dengan semangat
untuk menhindari bentuk kemudharatan, maka dari sisi inilah dapat dipahami
bahwa hoaks merupakan dilarang dalam Islam. Artinya, apabila keadaan itu dapat
menimbulkan kemudharatan maka hal itu harus ditinggalkan. Sebab, potensi yang
ditimbulkan hoaks antaranya munculnya ketidaksaling percaya, permusuhan,
fitnah, perpecahan, ujaran kebencian dan sebagainya.
Sehingga langkah
alternatifnya adalah bahwa hoaks sama sekali tidak memiliki unsur yang membawa
pada bentuk kemaslahatan. Dan seharusnya harus diupayakan agar setiap tindakan
itu mengarah pada kemaslahatan bersama. Sehingga dalam pemaknaan dapat
disimpulkan bahwa maslahat merupakan dasar dari semua unsur perbuatan. Hal ini
senada dalam pendapat Ibnu al-Qayyim mengatakan, kontruks dan dasar syariat
adalah hukum dan kemaslahatan makhluk, baik di dunia dan akhirat. Abu Zahrah
juga mengatakan, bahwa kemanfaatan atau kemaslahatan dapat dijadikan ukuran
perintah atau larangan agama.[103]
Bentuk perbuatan hoaks
merupakan bentuk kejahatan kriminal sebab terdapat unsur yang dapat merugikan
orang lain. Dalam kaitan ini, hukum Islam menelusuri tentang tindak
kriminalitas yang disebabkan oleh hoaks. Tentu untuk memahami pidana Islam
dengan baik, mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu pandangan Islam
terhadap tindakan kriminal dan hukumannya. Pandangan Islam ini sangat berbeda
dengan undang-undang (UU) positif tentang hukum pidana.
Oleh karenanya, dapat
dikatakan hukum Islam mengarahkan pada aspek penekanan tentang hati dan nurani
masyarakat agar sadar untuk mengubah pandangan hidupnya dan terbebas dari
hoaks. Sehingga masyarakat betul-betul dapat merubah cara pandangan sehingga
masyarakat tidak lagi mencuri walaupun dalam keadaan terpaksa atau tidak
menyebarkan hoaks walaupun dalam keadaan terpaksa. Inilah tujuan mulia dari
hukum Islam, sehingga hukum islam itu tidak hanya berbicara tentang iming-iming
siksa dan pahala melainkan mewujudkan atau menciptakan tatanan, bangunan dan
konsep masyarakat yang perbuatannya baik dan harmoni.[104]
Oleh karenanya perbaikan dalam masyarakat membutuhkan aturan, konsep
yang jelas, sehingga ditetapkan hukuman dan hukum pidana bagi mereka yang
menentang aturan yang ada. Hingga masyarakat dapat berjalan sesuai dengan
aturan yang ada untuk menciptakan perbaikan masyarakat.
Seorang hakim, asy-Syahid ‘Abdul Qadir ‘Audah; memahami dengan baik
dualitas ini, hingga ia mengatakan dalam bukunya at-Taysri al-Jina’I
al-Islami Muqarinan bi al-Qanun al-Wadh’i. “Pandangan syariat terhadap
kriminalitas berpijak pada dua dasar, yang satu fokus pada bentuk
kriminalitasnya dan mengeyampingkan pelakunya, sementara yang satu fokus pada
pelakunya dan mengeyampingkan bentuk kriminalitasnya. Tujuan dari yang fokus
pada bentuk kriminalitas adalah untuk melindungi masyarakat. Sementara pada
dasar yang fokus pada pelakunya adalah untuk memperbaikinya”.
Inti dari hukum Islam adalah aturan yang melindungi masyarakat, prinsip
dan kondisinya sehingga terciptanya perbaikan secara individual untuk
menciptakan perubahan dalam masyarakat secara menyeluruh. Oleh karenanya, salah
seorang uskup agung York William Temple dalam sebuah khutbahnya tentang etika
penerapan hukuman pidana Ethics of Penal Action, mengatakan bila kita
mengatakan upaya memperbaiki masyarakat tidak cukup dengan UU parlemen, ini
sangat membahayakan.[105]
Tentu dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
pelanggaran-pelanggaran hukum belum tentu efektif memberikan kesadaran dan efek
jera bilamana pendekatakannya mengarah pada penegakan UU semata. Pencegahan
hoaks semata-mata harus dilibatkan konsep hadis sebagai ajuan dan dasar untuk
membasmi dan menanggulangi perkembangannya.
2.
Dampak Hoaks Perspektif Hadis
Secara nyatanya bahwa perkembangan fenomena hoaks memberikan dampak yang
luar biasa dalam kehidupan manusia. Hukum, ekonomi, politik, sosial, kebudayaan
dan sebagainya tanpa terkecuali merasakan dampak atau akibat yang ditimbulkan
hoaks tersebut. Bila diperhatikan
belakangan ini keberadaan hoaks memang meresahkan masyarakat secara
keselurahan. Dalam hal ekonomi misalnya, masih segar dalam ingatan kita tentang
telur ayam palsu yang beredar di pasaran. Tentu ini berdampak pada daya jual,
yang akhirnya masyarakat pun semakin enggang untuk membeli yang dampak
akibatnya tentu para penjual ayam akan merasa rugi dan dirugikan.
Namun, bila dilihat
dalam perspektif hadis dampak yang ditimbulkan hoaks adalah akan muncul bentuk
perbuatan yang didalam terdapat unsure pemberontakan atau pembangkangan (al-baghyu).
Hadis Nabi
Saw., yang berbunyi:
عن ابي
هريرة عن النبى صلى الله عليه وسلم: اَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ
وَفارَقَ الْجماعَةَ فَماتَ ماتَ مِيْتَةً جاهليةً.
Artinya: “Barang siapa yang keluar dari ketaatan
(kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, matinya
adalah mati jahiliyah”.
Dalam kaitannya bahwa hoaks lebih mengarah atau mengaju
pada munculnya sebuah gerakan yaitu pemberontakan yang secara bahasa berarti
melampaui batas, aniaya, atau zalim. Secara etimologis pemberontakan adalah
seseorang keluarnya dari ketaatan kepada penguasa yang sah karena perbedaan
persepsi (takwil). Pemberontakan merupakan upaya untuk merongrong
kekekuasaan pemerintah yang legal dan selalu berkaraktek merusak.[106]
Dengan perkembangnya pemberontkan hal ini akan menimbulkan
bentuk persepsi dalam masyarakat yang mengarahkan pada bentuk penipuan publik.
Prosedur ini sengaja dibuat untuk mempengaruhi atau menarik simpati
masyakarakat tentang hal-hal yang sedang aktual.
D.
Respon dan Tanggapan Hadis terhadap Hoaks
Tidak diragukan lagi, kesediaan berbuat baik merupakan suatu kebaikan
yang ideal asalkan ia tidak membuka jalan untuk menggoda dan merangsang
tersebarnya kerusuhan di dunia. Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Alquran, keberadaan hadis, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai
bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada
henti-hentinya, selain berkedudukan sebagai sumber, ia juga berfungsi sebagai
penjelas, perinci dan penafsir Alquran. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami
hadis memiliki kedudukan yang strategis dalam mencegah
perkembangan dan penyebaran hoaks dalam dinamika kehidupan manusia.[107]
Untuk itu berbagai kajian dan pengkajian hukum Islam dalam konteks dan
bentuk apapun, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian
mendeskripsikan serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam
sebagai bagian dari kehidupan manusia yang dapat digali dari berbagai sumber
yang mudah ditemukan.[108]
Langkah strategis yang akan ditempuh untuk memahami substansi hadis Nabi
Saw., berawal dari pemahaman dan penjelasan terhadap fenomena yang berkembang
dalam masyarakat. Dalam hal ini tentu menangggapi tentang isu-isu hoaks
sehingga ingin melihat respon dan tanggapan hadis. Sehingga hal ini lebih
mengarah pada fungsi hadis dalam kehidupan umat manusia.
Hadis merupakan mengambil peran sebagai penetapan hukum atau aturan yang
ditemui dalam Alquran. Dalam hubungan ini misalnya; “Tidak boleh seseorang
mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapak)nya dan
seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)nya.”.
Hal yang sudah semestinya hadis harus dikembangkan, dihidupkan fungsinya
dalam mengarungi kehidupan umat manusia. Bahwa hadis tidak hanya berkaitan
tentang penetapan hukum yang tidak termuat dalam Alquran yang secara nyata atau
riil. Sehingga keberadaan hadis sanga penting untuk memberikan respon dan
tangggapan terhadap problematikan yang dihadapi seperti fenomena hoaks.
E. Urgensi dan Efektivitas
Hadis terhadap Hoaks
Islam adalah ajaran dan jalan hidup yang berdasarkan pada sumber hukum
Islam yang termaktub dalam Alquran dan hadis. Sehingga setiap manusia dalam
bertingkah laku dalam seluruh hidupnya haruslah sesuai yang dengan
ketentuan-ketentuannya. Oleh karena itu, setiap manusia hendaklah memperhatikan
setiap langkah dan tindakan agar dapat membedakan antara benar (halal) dan
salah haram.
Sebagaimana telah diketahui secara umum, bahwa hadis merupakan pelengkap
Alquran. Agar senantiasa manusia dapat memperoleh bimbingan, jawaban solusi
atau jalan keluar atas semua problematika kehidupan. Untuk itu keurgensian
hadis dalam mencegah penyebaran hoaks merupakan muatan utama dalam mengembangkan
dan menghidupkan kembali fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam kedua.
Sebagaimana dalam hadis Nabi Saw., yang berbunyi:
الاوانى قد إوتيت القرآن ومثله معه. (حديث رواه البخارى).
Artinya: “Sungguh aku telah diberi Alquran dan yang
serupa itu (yaitu al-sunnah) bersamanya”.
Melihat perkembangan hoaks, hadis harus mendesak seluruh
lapisan masyarakat, baik pemerintah, aparat penegak hukum untuk melihat
pentinganya merumuskan kembali aturan-aturan untuk mencegah pergerakan hoaks
dalam masyarakat. Sehingga, akan terbangun sebuah keadaan yang sangat
pentingnya agar hadis dapat dirasakan secara sungguh-sungguh dapat memberikan
solusi dalam kehidupan baik secara pribadi dan publik sehingga hadis menjadi
sebuah petunjuk dalam seluruh aspek kehidupan.[109]
Untuk itu, mengontrol segala bentuk kejahatan-kejahatan
terkini memang sangat sulit, melihat perkembangan dan kecangggihan alat-alat
teknologi, informasi dan komunikasi. Memang sejak awal, hoaks memainkan dan
mengandalkan teknologi sebagai jalan utama untuk memuluskan kejahatan yang
dilakukan oleh segilintir orang.
Untuk itu ajaran Islam sangat menjungjung tinggi
ketentraman hidup makhluk. Hadis merupakan kitab al-hidayah petunjuk
yang sempurnabagi seluruh aspek kehidupan manusia. Tatanan hidup yang Islami
merupakan suatu keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara bai jasmani
maupun rohani umat manusia, mengangkat dan memperbaikinya.
Oleh karena itu, tatanan moral hadis harus di ikuti
dengan ketat guna menciptakan kehidupan manusia di bumi ini yang layak dan damai.
Sebagai umat manusia yang kreatif, kaum muslimin harus berjuang bagi masyarakat
didasarkan pada ekonomi dan keadilan sosial. Untuk itu hoaks bukan hanya sebuah
pelanggaran terhadap manusia dan masyarakat, melainkan suatu keadaan yang dapat
mengakibatkan munculnya kekacauan, kekalutan, bahkan hilangnya rasa aman.[110]
F.
Konsep Pancasila dalam Mencegah Hoaks
Pada saat ini bangsa
Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah yang telah menyebabkan terjadinya
krisis yang sangat luas. Nilai-nilai agama dan nilai-nilia budaya bangsa belum
sepenuhnya dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian
masyarakat. Hal itu kemudian melahirkan krisis akhak dan moral berupa
pelanggaran hukum seperti hoaks. Dalam kerangka itu, diperlukan upaya untuk
mewujudkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika
dan moral untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, serta perbuatan
yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia. Nilai-nilai pancasila
harus di upayakan setiap elemen agar selalu berpihak kepada kebenaran dan
kemanusiaan.
Hoaks sejak
kemunculannya selalu memberikan dampak negatif, berupa konflik sosial budaya,
seperti kasus yang terjadi di Wamena Papua serta daerah-daerah lain di
Indonesia. Perkembangan kemajuan teknologi, globalisasi dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa
Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai dapat member dampak negative terhadap
kehidupan berbangsa. Dalam kerangka itu, di perlukan adanya sumber daya manusia
yang berkualitas dan mampu bekerja sama
serta berdaya saing untuk memperoleh mamfaat positif dari kemajuan dengan tetap
berwawasan pada perstuan dan kesatuan nasional.[111]
Pancasila merupakan
falsafah hidup bangsa Indonesia yang keberadaannya atau cita-citanya yang
berfungsi sebagai kalimatun sawa diantara sesame warga masyarakat dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kesapakatan pertama dalam
menyangga konstitusionalisme menunjukkan Pancasila sebagi idiologi terbuka.
Bahwa pancasila menjadi pedoman bagi kehidupan kenegaraan. Sehingga dalam
pancasila semangat itu hidup dan bersifat dinamis yang senantiasa mewujudkan
nilai-nilai pancasila di dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.[112]
Dengan adanya dampak hoask dalam kehidupan
bangsa menjadi sebuah penghalang dalam pembangunan. Untuk mencapai tujuan dalam
hidup bermasyarakat berbangsa, hal ini sebagai perwujudan praksis dalam
meningkatkan harkat martabatnya. Tujuan Negara tertuang dalam pembukaan UUD
1945 yang rinciannya adalah sebagai berikut: “melindungi segenap bangsa dan
tanah seluruh tumpah darah Indonesia”. Dalam upaya manusia mewujudkan
kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.[113]
Untuk itu konsep pancasila dalam menghentikan isu hoask dalam masyarakat dapat
ditinjau dari pemahaman bahwa pancasila merupakan sebuah cita-cita hidup yang
akan mengantarkan kehidupan manusia. Sebuah kehidupan yang dibangun atas dasar
kesadaran akan nilai-nilai, pedoman yang terkandung dalam pancasila. Oleh
karena itu, pancasila merupakan benteng paling depan untuk menghalau setiap
hal-hal yang dapat mengajaukan kehidupan.
Seperti yang
diungkapkan oleh Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam
dia mengatakan bahwa pancasila harus di masyarakatkan sebagai common
denominator (rujukan bersama) semua golongan agama, ras, suku, dan kelompok
kepentingan.[114]
G.
Analisis
Fenomena hoaks sudah
sangat mengkhawatirkan baik perkembangan, efek yang ditimbulkan serta
akibat-akibat yang dirasakan masyarakat. Untuk itu, penulis melihat konsep
hadis sangatlah berperan dalam mencegah, menghentikan perkembangan maupun
penyebaran hoaks. Hal ini harus dapat pula dikolaborasikan antara hadis sebagai
sumber hukum Islam dengan Undang-Undang Positif yang berlaku di Indonesia dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 11 tahun
2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal ini harus dilihat
dari letak efektivitas hadis dan UU dalam merespon dan mengarahkan masyarakat
untuk menuju perubahan diri. Oleh karena itu, peran hadis sangatlah signifikan
untuk mencegah penyebaran hoaks. Ajaran hadis adalah untuk memperbaiki dan
menciptakan keamanan, hukum ditengah masyarakat (hidz an-nafs).
Sehingga, konsep hadis
yang ditawarkan adalah agar setiap tingkah laku dan proses kehidupan harus
mengedepankan aspek kemaslahatan bersama. Bila benar-benar ingin mencegah
penyebaran hoaks dalam masyarakat dan negara maka hukum Islam dan Undang-Undang
harus tegas dan berpihak pada masyarakat dan penegakkan hukum yang adil dan
bijaksana.
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Hoaks merupakan fenomena yang melanda masyarakat yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur pembohongan publik, ujuran kebencian, fitnah,
propaganda bahkan pembangkangan atau pembenrontakan terhadap negara. Bahkan
masyarakat sering terkecoh tentang pemberitaan atau informasi yang beredar
untuk menentukan kebenarannya. Hal ini sangat merugikan masyarakat yang
tentunya akan menimbulkan dampak negatif terhadap hubungan sosial, negara.
Hoaks juga dikenal dalam Islam
sering disebut sebagai haditsul ifki atau berita bohong (palsu).
Sehingga dapat diidentifikasi kata al-ifki yang berarti keterbalikan
(seperti gempa yang membalikkan negeri), tetapi yang dimaksud disini adalah
sebuah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan fakta.
Sedangkan munculnya hoaks (sebuah kebohongan) disebabkan oleh orang-orang
pembangkang. Jadi kelompok pembangkan merupakan kelompok yang mengacaukan
kondisi dan keadaan. Dalam kajian Islam sendiri pembangkan ini disebut bughat
adalah bentuk jamak dari baghin orang yang melakukan pemberontakan.
1.
Hoaks lebih mengarahkan
pada sisi kemudharatan, artinya informasi atau berita-berita yang disebarkan
hanya semata-mata untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar terciptanya
ketidakondusifannya masyarakat. Dengan hal tersebut dalam perspektif hukum
Islam (hadis) bahwa hoaks merupakan perbuatan yang terlarang dan termasuk
golongan orang-orang munafik.
2. Langkah
strategis yang akan ditempuh untuk memahami substansi hadis Nabi Saw., berawal
dari pemahaman dan penjelasan terhadap fenomena yang berkembang dalam
masyarakat. Dalam hal ini tentu menangggapi tentang isu-isu hoaks sehingga
ingin melihat respon dan tanggapan hadis. Sehingga hal ini lebih mengarah pada
fungsi hadis dalam kehidupan umat manusia.
3.
Untuk itu ajaran Islam
sangat menjungjung tinggi ketentraman hidup makhluk. Hadis merupakan kitab al-hidayah
petunjuk yang sempurnabagi seluruh aspek kehidupan manusia. Tatanan hidup yang
Islami merupakan suatu keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara bai
jasmani maupun rohani umat manusia, mengangkat dan memperbaikinya. Oleh karena
itu, tatanan moral hadis harus di ikuti dengan ketat guna menciptakan kehidupan
manusia di bumi ini yang layak dan damai. Sebagai umat manusia yang kreatif,
kaum muslimin harus berjuang bagi masyarakat didasarkan pada ekonomi dan
keadilan sosial.
B. Kritik dan Saran
[1] Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta:
Prenadamedia Group 2011), h. 609.
[2] J. Dwi
Narwoko-Bangong Suyanto (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan ((Jakarta:
Prenadamedia Group 2004), h. 98.
[3] Idianto M,
Sosiologi untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Erlangga 2004), h. 147.
[4]
Siti Thohiroh, Hoaks: Wujud Nihilisme
Mentalitas Yang Bermoral (Rekonstruksi Batasan Hak Kebebasan Berpendapat
Menurut Perspektif Quran), (Pekan Baru, UIN Sultan Syarif Kasim), h. 1.
[5]
John M. Echals dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[6]
Chazawi Adami dan ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[7]
Yudo Triartanto, Kredibilitas Teks Hoax di Media Siber, Jurnal
Komunikasi volume VI no 2 (Jakarta: Akademi Komunikasi BSI, 2015), h. 34.
[8]
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah Salam, Jurnal Sosial & Budaya
Syar-i FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. V No. 3 (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah 2018), h. 291.
[9] Nurul H.
Maarif, Menjadi Mukmin Kualitas Unggul Cara Praktis Dan Efektif Meraih
Kebahagiaan Sejati, (Jakarta: Alifia Books 2018), h. 286.
[12]
https://www.msn.com/id-id/berita/teknologidansains/10-hoax-terdahsyat-di-indonesia-sepanjang-2018/ar-BBR9ZTC diakses
sabtu, 07-21-2019, pukul 23:19 wib.
[13] Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang : Dina Utama, 1994), h. 310.
[14] Makhrus
Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka,
2004), h. 5.
[15]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka 1990), h. 359.
[16]
Oxford Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[17]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Edisi Kedua…. h. 333.
[18] Ibid.,
h. 275.
[19]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
2014), h. 233.
[20] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi Shahih Bukhari, (Riyadh:
Darul A’lam Kutub 1996), h. 134.
[21] Ahmad Sunarto dkk, Tarjamah
Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa 1993), h. 425.
[22]
Muhammad Arsad Nasution, Hoaks sebagai Bentuk Hudud menurut Hukum Islam, Dosen
Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, h. 16.
[23]
Abu Hasan Ali al-Hasny al-Nadwy, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Makkah: Dar
al-Syuruq 1989), h. 267.
[24] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuh, (Mesir: Dar al-Fikr 1985), h. 70.
[25] Burhan as-Shofa, Metode
Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta 1996), h. 10-11.
[26] John M. Echols dan Hasan Shadily Kamus
Inggris-Indonesia Edisi Perubahan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
2014), h. 374.
[27] Oxford Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University
Press 2005), h. 739.
[28] Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah
Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Vol. 5 No. 3 (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2018), h. 229.
[29] M. Quraish Shihab Tafsir
al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran IX (Jakarta: Lentera Hati
2002), h. 296.
[30] Budhy Munawar Rahman, Ensiklopedia
Nurcholish Madjid Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Mizn 2006),
h. 380.
[31] Tim Baitul Kilmiah Jogjakarta,
Ensiklopedia Pengetahua Alquran dan Hadis (Jakarta: Kamil Pustaka 2013), h.
158-159.
[32] Chawazi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak
Pidana Pemalsuan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[33] Abdul Syani, Sosiologi dan
Perubahan Masyarakat (Bandar Lampung: Dunia Pustaka Jaya 1995), h. 83.
[34] Elly M. Setiadi Usman Kolip,Pengantar
Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan
Pemecahan (Jakarta: Prenadamedia group 2011), h. 610.
[35] David Berry,The Principles of
Sociology terj. Paulus Wirutomo (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2003),
h. 70.
[36] Robert K. Merton, Social Theory
and Social Structure (New York: Free Press 1968), h. VI.
[37] Piotr Sztompka, The Sociology
of Social Change terj. Alimandan (Jakarta: Kencana 2017), h. 213-214.
[38] Burhanuddin Salam, Etika
Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: PT Rineka Cipta 2000), h.
1-2.
[39] Ibid, h. 17-20.
[40] Jalaluddin Rahkmat, Rekayasa Sosial Reformasi atau
Revolusi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 1999), h. 47.
[41] Abuddin Nata, Metodologi Studi
Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2014), h. 234.
[42] Ahmad Warson Munawir, Kamus
Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pesantren Krapyak t.th), h. 261.
[43] A. Khaer Suryaman, Pengantar
Ilmu Hadis (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1982), h. 5.
[44] Muhammad Ajjaj Khatib, Ushul
al-Hadis: ‘Ulumuha wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr 1989), h. 27.
[45] M. Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa 1993), h. 2.
[46] Sa’dullah Assa’idi, Hadis-Hadis
Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset 1996), h. 4.
[47] Mardani, Hadis Ahkam
(Jakarta: Rajawali Press 2012), h. 3.
[48] H. Fuad Thohari, Hadis Ahkam
Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash dan Ta’zir),
(Yogyakarta: Deepublish 2016), h. 1.
[49] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2001), h. 1-2.
[50] Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum:
Paradigma, Meode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: ELSAM dan HUMA 2002), V.
[51] Ibid., h. 8.
[52] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, h. 118.
[53] Satjipto Raharjdo, Sosiologi
Hukum: Esai-Esai Terpilih (Yogyakarta: Genta Publishing 2010), 18.
[54] Nus Syam, Islam Pesisir
(Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara 2005), h. 34.
[55] Peter L. Berger & Thomas
Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan
Terj. Hasan Basari (Jakarta: LP3ES 1990), h. 66&185.
[56] Paul
Johnson Doyle, Teori Sosiologi Klasik dan Modern terj. Robert M.Z.
Lawang, (Jakarta: Gramedia 1986), h. 78.
[58] Achmad Ali, Pengadilan dan Masyarakat (Ujung Pandang:
Hasanudin University Press 1999), h. 57-59.
[59] Achmad
Ali dan Wiwie Herayani, Sosiologi Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan
(Jakarta: Kencana 2004), h. 98.
[60] Lawrence M. Friedman, The Legal
System A Social Science Perspective terj. M. Khozim (Bandung: Nusa Media
2009), h. 213.
[61] Abdul Ghani
Abdullah, Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta, Gema
Insani Press, 1994), h. 56-57.
[62] Pujiono, Hukum Islam Dinamika
Perkembangan Masyarakat Menguak Pergeseran Perilaku Kaum Santri (Yogyakarta:
Mitra Pustaka 2012), h.
[63] Ahmad
Syafii Maarif, Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan (Jakarta: PSAP
2004), h. 173.
[64] Chazawi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak
Pidana Pemalsuan, (Jakarta : PT Rajagrafindo persada,2016), h. 236.
[65]
John M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[66]
Oxford Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[67]Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi
Kedua…. h. 333.
[68]
Chawazi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[69]
Yudo Triartanto, Kredibilitas Teks Hoax Di Media Siber. Jurnal
komunikasi volume VI No. 2
(Jakarta: Akademi Komunikasi BSI, 2015), h. 34.
Skripsi
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Jurusan Pemikiran Islam Prodi Aqidah Dan
Filsafat Islam, (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel 2018), h. 23.
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), hal. 77.
[72]
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: Rajawali Press 2015), h. 314.
[73] Ibid.,
h. 318-819.
[74]
Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat: PT.
Ciputat Press 2005), h. vii.
[75]
Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil
‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis 2010), h. 291-292.
[76]
Imam Abu Hasan ‘Ali bin Ahmad al-wahidi, Asbab al-Nuzul (kairo: Dar
al-Hadis 1998), h. 310.
[77]
Imam al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mawatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr
1993), h. 132.
[78] Imam Suprayogo, Spirit Islam Menuju Perubahan
dan Kemajuan (Malang: UIN-Maliki Press 2012), h. 79.
[79] Said Agil
Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press
2005), h. 145-146.
[81] https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/hate-speech-definisi-hate-speech-66, di akses Sabtu, 23 November 2019. Pukul 09:35
Wib.
[82]
Sri Mawarti, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama Vol. 10, No. 1,
Januari-Juni 2018, Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian, (20018), h. 85.
[83] Ibid,.
h. 87.
[84] Vibriza
Juliswara, Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam
Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial, Jurnal
Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017, (Jogjakarta: 2017), h.
142-143.
[85] Marsum, Jarimah Ta’zir,
Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, 1989), h. 29.
[86] Abdul Rahman Al-Maliki, Sistem
Sanksi dalam Islam, terj. Samsudin, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 12.
[87] Ashgar Ali Engineer, “Islam
Masa Kini”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 243.
[88] Jasser Auda, Reformasi
Hukum Islam Berdasarkan Filsafat Makasid Syariah Pendekatan Sistem, terj.
Rosidin dan Ali Abd el-Mun’in (Fakultas Syariah IAIN-SU dan La Tansa Press
2014), h. Xiii.
[93] Muhibbuthabary, Masail Fiqhiyah
al-Haditsah Penyelesaian Kasus-kasus Kekinian (Bandung: Citaputaka Media
Perintis 2011), h. xi.
[95]
Ilham Syaifullah, Fenomena Hoaks di Media Sosial dalam Pandangan Hermeneutika
Skripsi (Surabaya: UIN Sunan Ampel 2018), h. 31.
[96]
M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka 1996), h. 255.
[97]
Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud,
Qishash dan Ta’zir (Yogyakarta: Deepublish 2016), h. 1.
[98]
Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma Fiqih Moderat terj.
Hasibullah Satrawi dan Zuhairi Misrawi (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy 1997), h.
106.
[99]
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah) (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada 2002), h. V.
[100]
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari al-Ju’fi Shahih Bukhari, (Riyadh: Darul A’lam Kutub 1996), h.
134.
[101]
Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghitani
al-Hanafi Badr al-Din al-‘Aini, al-Binayah Syarh al-Hidayah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah 2000), h. 84.
[102]
Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud,
Qishash, dan Ta’zir),......................h.
13.
[104] Ibid.,
h. 105.
[105] Clark Hall Lectures, The
Stanhop Press, h. 26.
[106]Fuad
Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash,
dan Ta’zir),...................., h. 140.
[107]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Medan: PP2-IK 2003), h. 1.
[108] Mahmud Yunus Daulay dan Nadlrah
Naimi, Studi Islam II (Medan: Penerbit Ratu Raya 2012), h. 2.
[110] Ibid., h. 329.
[111] Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI,
Pancasila Sebagai Dasar dan Idiologi Negara UUD NRI Tahun 1945 sebagai
Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR NKRI sebagai bentuk Negara Bhinneka
Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara I (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI
2016 ), h. 18.
[112] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah,
Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat (Jakarta: Rajawali Press 2014), h. 366-367.
[113]
Kaelan, M. S, Pendidikan Pancasila Proses Reformasi UUD Negara Amandemen
2002 Pancasila sebagai Sistem Filsafat Pancasila sebagi Etika Politik Paradigma
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Yogyakarta: Paradigma 2004), h.
227-228.
[114]Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam
(Yogyakarta: IRCiSod 2018), h. 110.
Komentar
Posting Komentar