KONSEP HADIS DALAM MENCEGAH HOAKS DAN RELEVANSINYA TERHADAP UU NOMOR 11 TAHUN 2018 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)
Oleh: Hikmatiar Harahap
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami
perubahan, sebab kehidupan sosial adalah dinamis. Perubahan sosial merupakan
bagian dari gejala kehidupan sosial, sehingga perubahan sosial merupakan gejala
sosial yang normal. Perubahan sosial tidak dapat dipandang hanya dari satu
sisi, sebab perubahan ini mengakibatkan perubahan disektor-sektor lain. Ini
berarti perubahan sosial selalu menjalar ke berbagai bidang-bidang lainnya. Gejala
perubahan itu dapat dilihat dari sistem nilai maupun norma yang pada suatu saat
berlaku di saat lain tidak berlaku,atau suatu peradaban yang sudah tidak sesuai
dengan peradaban pada masa kini.[1]
Secara garis besar, perubahan sosial
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu
sendiri. Diantara faktor yang berasal dari masyarakat seperti perubahan pada
kondisi ekonomi, sosial, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dewasa
ini, kehidupan sosial disibukkan oleh persoalan-persoalan yang cukup sulit,
seperti krisis multidimensional, terorisme global, penyebaran hoaks yang tentu
saja akan berdampak multikompleks. Antara permasalahan satu dengan permasalahan
lainnya tentunya terdapat hubungan yang saling terkait sebab pada dasarnya akar
permasalahan sosial tersebut mengkerucut pada persoalan-persoalan pokok, yaitu
ketidakpuasan sosial akibat tidak terpenuhinya tujuan kehidupan suatu kelompok
atau kebutuhan hidup kelompok sosial.
Dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini,
ada sebuah fenomena yang menyebar luas dalam kehidupan sosial yakni fenomena
hoaks. Fenomena hoaks merupakan prilaku atau keadaan yang menyimpang. Sehingga,
titik permasalahannya berada pada perilaku menyimpang dengan menyebarkan isu
hoaks. Adanya perilaku menyimpang adalah cara individu atau kelompok dalam
mencapai tujuan. Motif untuk mencapai tujuan dengan caranya sendiri tanpa
mengindahkan nilai dan norma masyarakat itulah yang menjadi faktor pendorong individu
atau sekelompok orang melakukan penyimpangan sosial berupa penyebaran isu
hoaks.
Sifat cara manusia untuk mencapai titik
tujuan (kepuasan) tersebut digolongkan menjadi dua macam, yaitu; pertama,
tindakan yang sesuai dengan norma-norma yang diterima masyarakat banyak atau
norma umum. Tindakan ini disebut konformis. Kedua, tindakan yang berlawan
dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Tindakan yang pertama
dianggap sebagai tindakan yang benar (konformis), sedangkan yang kedua disebut
tindakan yang menyimpang dari pola-pola aturan atau prilaku menyimpang atau
penyimpangan (delinqueen).[2]
Secara
sederhana kita dapat mengatakan, bahwa seseorang berprilaku menyimpang apabila
menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal disuatu kelompok atau
komunitas tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat
istiadat, aturan, nilai atau norma sosial yang berlaku. Adapun menurut Robert
M. Z. Lawang, perilaku menyimpang meliputi semua tindakan yang menyimpang dari
norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari
mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku tersebut.
Sedangkan Paul B. Horton, penyimpangan adalah setiap prilaku yang dinyatakan
sebagai pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.[3]
Adapun
kaitannya bahwa hoaks merupakan bentuk penyimpangan-penyimpangan yang
diantaranya dapat menimbulkan beberapa peristiwa seperti masyarakat umum
akan saling melempar opini yang bersifat
provokatif, ujaran kebencian (hate speech), mendiskreditkan dan
lain-lain. Dan hal ini juga dipertegas juga bahwa bentuk penyimpangan yang di
timbulkan hoaks berupa informasi yang menyesatkan, tindakan yang
disengaja dan ketidakbenaran yang ditampilkan seolah-olah sebagai kebenaran.[4]
Hoaks yang berasal dari “hocus Pocus” aslinya
dari bahasa latin “hoc est corpus”, berarti berita bohong. Hoaks berasal
dari bahasa Inggris (hoax) artinya olok-olok(an), cerita bohong
memperdayakan.[5] Jadi secara terminologi
hoaks merupakan sebuah pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau
mempengaruhi pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber
berta yang disampaiakan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Berita bohong
adalah cerita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya (materiele
waarheid).[6] Jadi dapat
disimpulkan bahwa hoaks adalah informasi, kata-kata yang kebenarannya masih
diragukan. Sementara menurut Alexander Boese dalam bukunya, Museum of
Hoaxes, mencatat hoaks pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau
penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swiff pada 1709.[7]
Sedangkan dalam Islam hoaks adalah
pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan dan bahkan
menistakan pihak lain. Pembuat hoaks digolongkan sebagai sebuah pihak yang
merugikan orang lain dan hoaks yang dibuatnya dikategorikan sebagai haditsul
ifki atau berita bohong.[8] Hoaks
merupakan bagian dari tindakan atau perilaku yang menyimpang karena nyata-nyata
dapat mengancam ketentraman, ketertiban dan keamanan masyarakat.
Penyimpangan-penyimpangan yang ditimbulkan dari hoaks diantaranya adu domba,
ujaran kebencian, propaganda, permusuhan, fitnah, berprasangka buruk dan
sebagainya akan sangat mudah terjadi
dalam situasi yang demikian.[9]
Untuk itu bahwa hadis sangatlah berperan
dalam mencegah penyebaran hoaks di tengah-tengah kehidupan manusia. Hal ini
dipertegas dalam bunyi hadis Nabi Muhammad Saw., sebagai berikut:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ
أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. (حديث رواه البخارى
مسلم).
Artinya: “Jauhkanlah
dirimu dari prasangka buruk, sebab prasangka buruk adalah perkataan yang paling
bohong”.[10]
Berdasarkan hadis
tersebut dapat diambil kesimpulan dini bahwa hoaks merupakan bentuk kebohongan
yang berasal dari bentuk prasangka buruk. Prasangka buruk merupakan bentuk
kejahatan yang bisa berujung kepada kehancuran tatanan masyarakat. Untuk itu,
hadis ini sangat berperan untuk meminimalisir penyebaran hoaks dalam
masyarakat. Kemunculan hoaks bukan hanya bersumber dari bentuk
prasangka-prasangka buruk.
Dijelaskan dalam hadis yang lain;
إِنَّ الصَدْقَ طُمَأُنِيْنَةِ، والْكَذِبَ
رِيْبَةِ. (حديث رواه الترمذي).
Artinya: “Kejujuran
itu dekat ketentraman, dan dusta itu dekat dalam keragu-raguan”.[11]
Dalam hadis tersebut memiliki
muatan yang sangan mendasar sebagai sebuah solusi untuk mencegah penyebaran
hoaks, antara lain:
Pertama, kejujuran harus
ditanamakan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga kejujuran tersebut menjadi
sebuah keinginan dn kebutuhan. Tindakan maupun perkataan harus mendasari
kenytaaan yang terjadi atau yang dialami. Kedua, perkaataan dusta
(hoaks), menimbulkan ketidakyakinan dalam bertindaka maupun dalam merencanakan
keputusan-keputusan dalam kehidupan. Sehingga, hadis tersebut turut
mengomentari bahwa dusta sangat dekat dalam menciptakan keragu-raguan.
Untuk itu kepedomanan
hadis tersebut memberikan wacana maupun gambaran sebagai langkah untuk
mengantisipasi penyebaran hoaks. Yang pada intinya kejujuran selalu ditampilkan
dan dusta (hoaks) akan selalu menimbulkan ketidakyakinan (ragu-ragu) dalam
bertindak dan sebagainya.
Berdasarkan
pemantauan mesin pengais konten Sub Direktorat Pengendalian Konten internet
Direktorat Pengendalian Informatika Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian
Kominfo.[12]
Beberapa contoh hoaks paling dahsyat adalah seperti hoaks Ratna
Sarumpaet yang berkaitan tentang pemberitaan penganiayaan dirinya oleh
sekelompok orang yang pertama kali beredar dalam media sosial Facebook pada
Oktober 2018. Hoaks penculikan anak beredar di media sosial media seperti
Facebook, Twitter dan WhatsApp. Hal itu meresahkan masyarakat terutama orang
tua yang memiliki anak-anak masih kecil. Di Twitter, hoaks yang
beredar menyatakan pelaku penculikan anak tertangkap di Jalan Kran Kemayoran,
Jakarta Pusat. Pada awal 2018 masyarakat Indonesia digegerkan dengan
berita hoaks mengenai telur palsu atau telur plastik yang beredar di pasar
tradisional dan supermarket.
Berbagai foto
dan video terkait proses pembuatan telur palsu banyak diunggah di YouTube dan
media sosial. Bahkan beberapa mengatakan bahwa telur-telur itu diproduksi
dari Cina. Hoaks tentang kebangkitan PKI sebenarnya bukanlah isu
baru. Tapi isu ini menjadi makin viral pada 2018, seiring dengan dinamika
politik Indonesia. Beberapa kejadian seolah dikaitkan dengan kebangkitan PKI. Pada
awal 2018 terjadi kasus pemukulan terhadap seorang kyai atau tokoh agama. Setelah
tertangkap pelakunya ternyata adalah orang gila.
Dalam kajian persepektif
hukum Islam (hadis Ahkam) tindakan hoaks merupakan suatu hal yang haram atau
dilarang untuk dilakukan oleh kaum muslimin. Hoaks disamakan dengan fitnah,
kabar bohong atau sejenisnya. Penyebar berita hoaks walaupun bukan dia yang
membuatnya dan dia hanya menyebarkannya saja tetaplah diancam oleh Nabi Muhammad
SAW dan dicap oleh beliau bahwa dia adalah seorang pendusta. Islam muncul
sebagai agama yang menyeru umat manusia untuk berbuat kebaikan, kebenaran, dan
senantiasa meninggalkan kemungkaran.
Oleh sebab itu
Islam sebagai agama monotoisme juga merupakan agama yuridis, Islam senantiasa
mengkostruksikan kerangka nilai dan norma tertentu pada umatnya, supaya selalu
berperilaku berdasarkan pada tatanan hukum yang disepakati, tata aturan hukum
dalam Islam tersebut adalah ketentuan-ketentuan hukum yang didapat dari Alquran
dan Hadis yang disebut dengan syar´i. Secara umum, tujuan syar’i
dalam mensyari’atkan hukum-hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dengan menjamin kebutuahan pokok (dharury) bagi manusia,
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (hajiyyah) dan kebaikankebaikan manusia (tahsiniyah).[13]
Pada tujuan akhirnya, target yang ingin di
peroleh dari berbagai aturan tersebut adalah terciptanya tatanan kehidupan yang
berkeadilan, aman, dan tenteram sesuai dengan konsep maqasid al-syari´ah.
Oleh karena itu dalam Islam terdapat berbagai aturan hukum yang mengatur
seluruh aspek kehidupan berupa sanksi tegas yang merupakan salah satu langkah
represif dan preventif dalam mewujudkan tujuan syariat tersebut. Dengan
adanya sanksi yang tegas bagi pelanggar syara', diharapkan seseorang tidak
mudah dan tidak seenaknya berbuat jarimah. Harapan diterapkannya ancaman
dan hukum bagi pelaku jarimah tersebut adalah demi terwujudnya kemaslahatan
umat. Dengan demikian, tujuan hukum Islam ditegakkan untuk melindungi lima hal
yang disebut dengan maslahah dharury, yaitu din (untuk
perlindungan terhadap agama), nafs (jiwa), nasl (keturunan), ´aql
(akal), dan mal (harta benda).[14]
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka terdapat beberapa pertanyaan penting perlu
dikemukakan, antara lain:
1. Bagaimana hukum hoaks dalam perspektif hadis ?
2. Bagaimana respon hadis terhadap hoaks ?
3. Bagaimana
urgensi dan efektivitas hadis dalam pencegahan hoaks dan relevansinya terhadap UU ITE ?
C. Tujuan
Penelitian
Setiap
penelitian mempunyai tujuan sebagai arah dan sasaran yang ingin dicapai, sesuai
dengan rumusan masalah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk
mendeskripsikan hukum hoaks dalam manuskrip hadis Ahkam.
2. Untuk
mendeskripsikan respon hadis Ahkam terhadap hoaks.
3. Untuk
mendeskripsikan urgensi dan efektivitas hadis Ahkam tentang hoaks dan
relevansinya dengan UU ITE.
D. Penegasan
Batasan Penelitian
Konseptual
a. Hukum adalah
Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh
penguasa, pemerintah atau otoritas. Undang-Undang atau peraturan untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat.[15]
b. Hoaks adalahsuatu tindakan yang dimaksudkan untuk
membuat, percaya bahwa itu tidak benar, terutama tidak masuk akal: tipuan bom,
panggilan tipuan.[16]
c. Hadis adalah sabda
dan perbuatan nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan atau cerita oleh sahabat-sahabatnya
(untuk menjelaskan atau menentukan hukum
Islam), itu diriwayatkan oleh sahabat Nabi terdekat. Sumber ajaran agama Islam
yang kedua setelah Alquran; untuk lebih mendalami agama Islam, ia sangat tekun
membaca-Nabi Muhammad saw, disamping menghapal ayat-ayat Alquran.[17]
d. Fenomena adalah
hal-hal yang disaksikan dengan panca indra dan dapat diterangkan serta di nilai
secara ilmiah. Sesuatu yang luar biasa, keajaiban. Fakta, kenyataan peristiwa
itu merupakan; sejarah yang tidak dapat diabaikan.[18]
e. Masyarakat
adalah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.
Berdasarkan judul tesis ini penulisan ingin
mengungkapkan konsep hadis dan UU ITE di Indonesia dalam rangka mencegah
penyebaran hoaks. Hadis Ahkam dan UU ITE merupakan sumber rujukan utama dalam
penindaklanjutan terhadap orang yang menyebarkan hoaks. Hadis Ahkam merupakan
salah satu sumber hukum Islam yang memiliki peran utama dalam memberikan aturan
hukum Islam pada masyarakat sehingga muncul kesadaran agar hoaks dapat dicegah
dalam masyarakat. Sedangkan UU ITE lebih mengarahkan pada penindakan sesuai UU
yang berlaku. Sehingga dalam tesis ini akan dikemukakan peranan yang sengaja
dikolaborasikan antara hadis Ahkam dengan UU ITE dalam mencegah hoaks.
E. Kajian
Terdahulu
Ada beberapa
karya ilmiah yang sengaja penulis camtumkan dalam kajian terdahulu, antara lain
sebagai berikut;
1. Karya ilmiah seorang mahasiswa yang berupa tesis,
yakni yang berjudul Literasi Media Baru dan Penyebaran Informasi Hoax (Studi
Fenomenologi Pada Pengguna Whatsapp Dalam Penyebaran Informasi Hoax Periode
Januari-Maret 2015), yang ditulis pada tahun 2016. Karya tulis oleh Clara
Novita A.
Adapun yang dimaksud dalam penelitiannya
mengkaji hoax dalam aplikasi Whatsapp. Penelitian ini bertujuan melihat
kemampuan literasi media baru mahasiswa penyebar informasi hoax, serta
pengetahuan dan motivasi menyebarkan informs hoax tersebut. Adapun metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah fenomologi, karena dapat digunakan dalam
menggali informasi mahasiswa dalam menerima dan menyebarkan informasi hoax itu.
Faktor penyebab dalam penelitian ini adalah rendahnya pengetahuan informasi
hoax, karena lemahnya pengetahuan mengenai kebenaran berita yang diterima.
2. Karya penelitian Skripsi dengan judul Hoaks
dalam pandangan Alquran yang di tulis oleh Salwa Sofia Wirdiyana pada tahun
2017 pada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yagyakarta pada jurusan Ilmu
Alquran dan hadist Fakulats Ushuluddin dan Pemikiran Islam.
Dimana dalam penelitian tersebut penulis
mengungkapkan bagaimana konsep Alquran untuk mengangkal penyebaran hoaks,
sehingga hasil dari penelitian tersebut adalah melakukan pembacaan
atas ayat-ayat yang berkaitan dengan istilah tersebut, disimpulkan bahwa berita
hoax dapat diminimalisir dengan cara berpikir kritis, memiliki kematangan
emosi, melakukan tabayyun, dan memperluas wawasan.
Selain
itu, Alquran juga mengajarkan etika berkomunikasi yang baik, yaitu qaulan
sadidan (tutur kata yang benar), qaulan baligan (perkataan baik yang
membekas pada jiwa), qaulan maisuran (ucapan yang pantas), qaulan
layyinan (kata-kata yang lemah lembut), qaulan kariman (perkataan
yang mulia), dan qaulan ma‘rufan (perkataan yang baik). Sebagai Muslim
yang baik hendaknya selektif dan kritis dalam menanggapi berita-berita yang
tersebar di sosial media. Karena hal tersebut menentukan akan mendapat dampak
positif atau dampak negatif. Apabila mendapat dampak positif, maka sosial media
akan menjadi sangat berguna bagi penerima dan penikmat beritaberita yang
beredar. Sebaliknya, apabila mendapat dampak negatif, maka sosial media hanya
akan menjadi penipu bisu baginya, lantaran sosial media tidak bisa
mengklarifikasi berita tanpa seseorang yang mencari kebenarannya sendiri.
3. Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 ,
Agustus 2017. Ditulis oleh Vibriza Juliswara dengan judul “Mengembangkan Model
Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu
(Hoax) di Media Sosial”.
Vibriza menulis karya tulis ini dengan
menggunakan metode sosiologi yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan
hoax yang tengah ramai mengguncang media sosial. Berdasarkan konsep sosiologi
yang memandang masyarakat sebagai kelompok manusia yang menghasilkan kebudayaan
yang berkaitan dengan perkembangan peradaban masyarakat, dalam konteks
merebaknya persebaran hoax, masyarakat dapat mengalami kemunduran moral yang
dapat membahayakan peradaban khususnya bagi masa depan generasi muda.
Adapun judul tesis tentang Konsep Hadis Ahkam
dalam Mencegah Hoaks dan Relevansinya terhadap no. UU ITE. Bahwa dalam karya
ilmiah ini yang dapat membedakan dengan beberapa penelitian terdahulu terletak
pada metodologi yang digunakan. Sehingga menghasilkan konsep baik dari hadis
Ahkam maupun UU ITE memiliki cara yang dapat mencegah hoaks dalam masyarakat.
Sehingga penulis ingin menggali secara maksimal apa yang menyebabkan munculnya
hoaks. Hadis Ahkam dan UU ITE memiliki konsep yang berbeda.
F. Kerangka Teori
Sebagai sumber
ajaran Islam yang kedua setelah Alquran, keberadaan hadis, disamping telah mewarnai
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahan kajian
yang menarik dan tiada henti-hentinya.[19] Keunikan
hadis terdapat pada sisi penyelesaian problematika kehidupan manusia yang
berkembang pada saat ini seperti fenomena hoaks.
Hoaks sebagai
bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan
dalam Islam. Segala jenis pembohongan baik pembohongan yang ditujukan untuk
individu maupun pembohongan terhadap lembaga, organisasi, atau terhadap
sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk membentuk opini publik atau provokasi
serta kepentingan politik adalah perbuatan terlarang dalam kajian Islam.
Pembuatan hoaks dapat dikategorikan sebagai pihak yang merugikan orang lain dan
hoaks yang dibuatnya di golongkan sebagai haditsul ifki atau berita bohong.
Istilah hoaks atau berita bohong (dusta) dapat dijumpai dalam beberapa hadis
Nabi Muhammad saw yang berbunyi;
عن عائسة رضي الله عنها قالَتْ
تقْرَأُ: اِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ. وَتَقُوْلُ الْوَلَقُ الْكَذِبُ.
قال ابن ابي مليكة وَكَانَتْ اَعْلَمْ مِنْ غيرها بذالك لانه نَزَلَ فِيْهَا.
(رواه بخاري).
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra., bahwa ia
pernah membaca ayat “اِذْ تَلَقَّوْنَهُ
بِأَلْسِنَتِكُمْ(ingatlah waktu kamu menerima berita
bohong itu dari mulut ke mulut [an-Nuur: 15]). ‘Aisyah berkata: arti kata al-walq
(taliqu), ialah berdusta. Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ia lebih mengerti (arti
ayat) itu dari pada yang lainnya, karena hal itu diturunkan tentang dirinya.
(HR. Bukhari).[20]
عن هشامٍ عن ابيه قال سَبَبْتُ
حسَّانَ، وَكان مما كَثَّرَ عليها. (رواه بخاري)
Artinya: “Dari
Hisyam, Ayahnya berkata: “Saya pernah
mencerca Hasan, ia adalah termasuk orang-orang yang banyak memperbincangkan
(berita bohong) atas ‘Aisyah”. (HR. Bukhari).[21]
Hoaks yang
disebarkan oleh individu atau kelompok adalah bertujuan untuk membentuk opini
publik dengan harapan apa yang menjadi keinginannya mudah dicapai. Membangun
opini publik yang bersifat kemaslahatan masyarakat sangat di anjurkan dalam
kajian hukum Islam seperti ta’muruna bil ma’ruf wa yanhauna anil munkar (menyuruh
berbuat baik melarang kemungkaran).[22]
Dalam hadis
Nabi Muhammad saw., di kemukakan awal terjadinya peristiwa hoaks dapat dilihat
dari kisah (kejadian) yang di alami oleh istri Nabi Muhammad saw yaitu ‘Aisyah
ra. Sehingga peristiwa ini adalah cikal bakal dari terjadinya peristiwa hoaks
dalam Islam. Dalam sejarah Sirah
Nabawiyyah dikenal dengan istilah hadis al-ifk (berita palsu). Orang
yang pertama kali menyebarkan berita palsu ini bernama Ubay bin Salul, yang
mencoba meyakinkan kaum muslimin bahwa ‘Aisyah melakukan perselingkuhan dengan
Shafwan bin al-Mu’aththal as-Sulami adz-Dzakwan. Padahal peristiwa ini hanya
keterbelakangan ‘Aisyah dalam rombongan disebabkan sibuk mencari kalungnya yang
tertinggal. Atas kejadian tersebut para munafik memfitnah ‘Aisyah dengan
tuduhan melakukan perselingkuhan.[23]
Kalau
diperhatikan dalam pendekatan hadis tentang fenomena hoaks merupakan sesuatu
yang tidak dibenarkan. Penyebaran hoaks dalam masyarakat merupakan perbuatan
yang digolongkan merugikan individu atau golongan secara umum. Sehingga dalam
perspektif hadis hukuman yang pantas bagi pelaku penyebaran hoaks adalah dapat
disamakan dengan pelaku al-qazf sebab dapat dikatakan al-iftira
(membuat-buat berita) atau al-kazb (berdusta atau berbohong).[24]
G. Metodologi
Penelitian
Penelitian
hukum merupakan satu langkah yang amat strategis untuk mengantipasiperkembangan
hukum yang semakin global, juga dalam upaya meningkatkan kualitas para peneliti
bidang hukum Islam. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian hukum untuk
menunjang terlaksananya suatu penelitian hukum Islam yang baik. Metode
penelitian hukum sangat terkait dengan konsep hukum. Untuk itu perlu dijelaskan
konsep-konsep hukum dan metode penelitian yang terkait dengan konsep tersebut
dan kaitannya dengan metode penelitian hukum Islam.[25]
1. Sumber
Penelitian
Secara
keseluruhan penelitian ini bercorak penelitian kepustakaan (library
research), yaitu semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis
sekitar permasalahan yang dibahas. Karena menyangkut masalah hoaks perspektif hadis,
maka sumber utama dan primer adalah semua simpul berita bohong, membuat berita
palsu dan dusta yang terdapat dalam hadis. Naskah hadis dijadikan bahan kajian
ialah hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Untuk itu
mendapatkan makna-makna kosa kata dari teks hadis yang dibahas dipergunakan
beberapa rujukan diantaranya, Sahih Al-Bukhari,
Sahih Al-Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmiziy, Sunan an-Nasaiy, Sunan
Ibnu Majah, Muwatha' Imam Malik, Musnad Imam Ahmad dan sebagainya. Disamping
itu juga untuk memperkaya dan memperluas makna dipergunakan juga kamus Besar
bahasa Indonesia, kamus Besar Bahasa Arab dan kamus Bahasa Inggris.
2. Pendekatan dan
Metode
Pendekatan
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif berupa hadis
ahkam. Pendekatan normatif hadis Ahkam adalah suatu upaya yang dilakukan untuk
memahami maksud yang terkandung dalam hadis sebagai sumber hukum Islam kedua
yang langsung bersumber dari perbuatan, perilaku dan diri Nabi Muhammad saw.
Penulis berupaya memahami makna hoaks dengan menggunakan hadis Nabi Muhammad
saw sebagai kajian utama dan kitab-kitab hadis sebagai rujukan pendukung.Sehingga
metode yang dilakukan melalui menganalisis hadis ahkam yang berkaitan dengan
hoaks.
3. Langkah-langkah
Penelitian
Dalam
penelitian ini dilakukan beberapa langkah untuk mendapatkan makna hoaks dalam
perspektif Hadis. Pada langkah pertama pandangan hadis dibahas dalam kerangka
respons terhadap fenomena hoaks yang terjadi di masyarakat. Melalui langkah ini
diasumsikan, bahwa hadis berintegrasi dengan masyarakat yang telah mengalami
pergeseran nilai, moral dan tanggungjawab, sehingga hadis menjawab problem
untuk memperbaiki masyarakat.Langkah kedua membahas term-term (istilah) hoaks
dalam hadis, dari kata-kata yang secara langsung membawa makna berita palsu dan
bohong, yaitu; al-iftira, al-kazb, nifak, ghibah dan semua derivasinya.
Perubahan bentuk kata dibahs sedemikian rupa, karena ia akan menawarkan dan
membawa makna-makna yang akan memperkaya arti dari hoaks.
Langkah
ketiga, mengkaji makna yang berlawanan dengan hoaks, yaitu berita asli. Langkah
keempat, yang merupakan langkah terakhir memuat beberapa kesimpulan dari
seluruh kajian dan penelitian, yang diharapkan akan memberikan jawaban terhadap
permasalahan pokok. Pada kesimpulan ini terjawablah urgensi hadis untuk
menanggulangi perkembangan dan penyebaran hoaks dimasyarakat.
4. Teknik
Penulisan
Dalam
penulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, pedoman teknik penulisn yang
digunakan adalah buku teks penuntun a Manual for Writers of Term Papers,
Theses and Dissertations yang disusun oleh Kate L. Turabian.
Transliterasi
yang digunakan untuk menyalin kata-kata atau ungkapan-ungkapan berbahasa Arab
ke dalam bahasa Indonesia berpedoman kepada keputusan Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 158 tahun 1987 dan No. 0543
b/U/1987 tentang Pembakuan Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
5. Sistematika
Pembahasan
Pembahasan
dalam penelitian ini di bagi kepada lima (5) bab yang mempunyai kaitan erat
antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama adalah pendahuluan yang
mengantarkan pada pemabahasan pada bab-bab selanjutnya. Bab ini terdiri dari
atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan
batasan penelitian, kajian terdahulu, kerangka teori dan Metodologi Penelitian.
Selanjutnya
bab kedua membahas tentang signifikansi masyarakat dalam hadis yang terdiri
dari atas subbab hoaks dan kesadaran masyarakat. Kemudian bab ketiga merupakan
tema sentral penelitian, yaitu ragam simpul hoaks dalam persepektif hadis. Bab
ini terdiri dari atas subbab simpul-simpul al-iftira, al-kazb, ghibah dan
fitnah.
Pada bab
keempat akan diteliti bagaimana konsep hadis ahkam dalam menanggulangi hoaks
dimasyarakat. Pada pembahasan ini akan diarahkan pada hukum Islam, hokum Indonesia,
Adat, Pancasila dan UUD 1945.
Pada bab
kelima penelitian ditutup dengan kesimpulan yang merupakan temuan penelitian
dan rekomendasi yang dianggap perlu.
BAB II
Landasan Teori
A. Pengertian Hoaks
Menurut bahasa hoaks adalah olok-olok(an),
cerita bohong, memperdayakan.[1]
Dapat juga dijumpai dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary.
Dijelaskan bahwa hoax an act intended to make, believe that is not true,
especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls. To trick by making them believe
that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls.[2]
Hoaks adalah suatu
tindakan yang dimaksudkan untuk membuat, percaya bahwa itu tidak benar,
terutama tidak masuk akal: tipuan bom, panggilan tipuan.
Hoaks yang berasal dari hocus pocus
aslinya dari bahasa Latin hoc est corpus, berarti berita bohong. Hoaks
juga berasal dari bahasa Inggris (hoax) artinya tipuan, menipu, berita
bohong, berita palsu atau kabar burung.[3]
Hoaks juga dikenal dalam Islam sering disebut sebagai haditsul ifki atau
berita bohong (palsu).
Sehingga dapat diidentifikasi kata al-ifki
yang berarti keterbalikan (seperti gempa yang membalikkan negeri atau
daerah), tetapi yang dimaksud disini adalah sebuah kebohongan besar, karena
kebohongan adalah pemutarbalikan fakta atau keadaan. Sedangkan kemunculan hoaks
(kebohongan) disebabkan oleh orang-orang pembangkang.[4]
Jadi kelompok pembangkan merupakan kelompok yang mengacaukan kondisi dan
keadaan. Dalam kajian Islam sendiri pembangkan ini disebut bughat adalah
bentuk jamak dari baghin orang yang melakukan pemberontakan.[5]
Secara sederhananya dijelaskan hoaks adalah
pembohongan publik atau penyebaran informasi yang menyesatkan atau bahkan
menistakan pihak lain. Dalam hal ini dapat kita lihat bagaimana sikap hadis
terhadap penyebaran informasi dalam kehidupan bermasyarakat. Menyiarkan berita
atau memberikan informasi merupakan hal yang penting.
كَفَى
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.
Artinya: “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai
pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim)
Di zaman Rasulullah dapat kita lihat bagaimana sikap
sekelompok orang yang sengaja atau senang memberitakan sesuatu yang tidak
pernah diucapkan oleh Rasulullah saw. Niat seperti ini, meskipun tidak
mengandung niatan yang buruk, pada hakikatnya adalah bersifat provokatif.
Berita seperti itu tentu mengandung tujuan dan kepentingan tertentu. Gambaran
orang-orang yang suka menyebarkan informasi yang tidak benar, adalah orang yang
lemah iman serta munafik.
Tentu maksud dan tujuan mereka adalah untuk mengacaukan
keadaan. Hal ini mereka sampiakan dan disebarluaskan kepada masyarakat, agar
informasi tersebut menjadi berita-berita provokasi sehingga masyarakat justru
akan mudah menyerap dan terpengaruh dengan berita provokatif yang kebenarannya
masih dipertanyakan. Bahkan
Rasulullah menegaskan kembali bahwa ada tiga (3) kelompok manusia yang harus di
usir dari tempat kita salah satu diantaranya adalah orang-orang yang
menyampaikan kabar bohong, apalagi yang sampai menyakiti perasaan dan keadaan.[6]
Jadi hoaks secara terminologis dapat
disimpulkan pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi
pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita yang
disampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Muatan berita bohong dan
menyesatkan, muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antar golongan SARA.[7]
Ruang lingkup perubahan masyarakat itu
terdiri dari dari unsur-unsur kebudayaan, baik yang bersifat immaterial maupun
yang bersifat material. Perubahan masyarakat secara umum menyangkut
perubahan-perubahan structural, fungsi budaya dan perilaku masyarakat.
Perubahan berarti suatu proses yang mengakibatkan keadaan sekarang dengan
keadaan yang sebelumnya berbeda dengan keadaan sebelumnya, perubahan bisa berup
kemunduran dan bisa juga berupa kemajuan (progress).[8]
Kalau dikaji dari aspek sosiologi
perkembangan hoaks merupakan salah satu bentuk perubahan yang terjadi di
masyarakat. Sejak awal sejarah, manusia telah berupaya memikirkan penyebab
utama kejadian, motor penggerak fenomena dan proses, kekuatan yang
bertanggungjawab atas nasib mereka sendiri. Sehingga atas dasar inilah yang
dimaksud di sini sebagai pencarian faktor yang melandasi dan mendorong dinamika
sosial dan menyebabkan transformasi dalam masyarakat. Dalam evolusi panjang
pemikiran manusia itu, konsep agen perubahan itu secara bertahap telah
disekulerkan, dimanusiakan dan dimasyarakatkan.
Adapun pengertian perubahan sosial dari
beberapa ahli diantaranya;[9]
Gillin dan Gillin mengartikan perubahan sosial suatu “variasi dari cara-cara
hidup yang telah diterima, yang disebabkan karena perubahan kondisi geografis,
kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanyadifusi
maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakkat tersebut”.
Sedangkan Selo Soemardjan menyatakan
perubahan sosial adalah “segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk
didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola peri kelakuan di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat”. Hans Garth dan C. Wright Mills
mendefenisikan perubahan sosial adalah “apapun yang terjadi (kemunculan,
perkembangan, dan kemunduran), dalam kurun waktu tertentu terhadap peran,
lembaga atau tatanan yang meliputi tataran sosial”.
Perubahan sosial adalah merupakan perubahan
dalam struktur masyarakat, terjadi sebagai akibat dari perubahan dalam
norma-norma masa kini. Inti sari dari pendapat ini adalah bahwa kecenderungan-kecenderungan
yang buruk masa kini seperti meningkatnya penyebaran isu hoaks adalah hasil
dari kebobrokan moral dan hanya dapat diatasi melalui regenerasi moral
(kelahiran kembali moral lama).[10]
Sosiolog Amerika cenderung didominasi oleh
pandangan bahwa perubahan sosial sedikit banyak merupakan akibat dari
perubahan-perubahan normatif. Menurut pandangan ini penyimpangan dalam bentuk
penolkan terhadp norma-norma yang ada dan pembentukan norma-norma yang baru
adalah kekuatan pendorong utama dari perubahan sosial.[11]
Dalam masyarakat modern telah diakui bahwa
tidak semua perubahan sosial seperti halnya hoaks adalah diharapkan dan tidak
semua bertindak dalam keadaan terisolasi. Gagasan perubahan yang direncanakan
(diharapkan) dan konsep tindakan kolektif kelompok melengkapi citra tentang
perubahan spontan yang dihasilkan individu. Dengan konsep ini agen perubahan
akan menemukan wujud akhirnya dalam bentuk agen perubahan kolektif. Sebagai
agen perubahan kolektif ini bertindak berdasarkan perintah dari atas melalui
peraturan perundang-undangan. Kita telah merunut ulang petualangan pemikiran
mengenai agen perubahan melalui labirin pemikiran sosial dan sosiologis.
Dipintu masuknya, agen perubahan itu berwujud manusia super dan ekstrasosial.
Di pintu keluarnya, agen itu berwujud manusia dan sosial dalam bentuk: actor
individual dan agen kolektif. Teori sosiologi akhir-akhir ini
memusatkan perhatianya pada keduanya, mencoba membongkar rahasia operasi dan
mekanismenya melalui realitas sosial yang dihasilkannya.[12]
Hal yang terpenting diperhatikan dalam semua
perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah kesadaran mengenai
perubahan itu sendiri di pihak orang yang terlibat, terutama kesadaran mengenai
hasil yang ditimbulkan oleh proses sosial itu. Dengan memasukkan faktor
subjektif kedalam tiga tipologi. Pertama, proses sosial itu mungkin
disadari, diduga dan diharapkan. Proses ini dapat juga disebut dengan proses
kentara.
Kedua, proses perubahan sosial itu mungkin tidak disadari, tidak diduga dan
tidak diharapkan. Dapat disebut proses laten, dalam hal ini, perubahan ini
sendiri dan hasilnya muncul secara mengagetkan dan tergantung pada penerimaan
atau penolakannya. Ketiga, orang mungkin menyadari proses yang terjadi,
menduga arahnya dan mengharapkan dampak khususnya, namun semua dugaan itu
ternyata keliru sama sekali. Proses sosial justru berlawanan dengan harapan
mereka dan menimbulkan hasil yang sama sekali berlainan atau berlawanan dengan
dengan yang diharapkan semula.
Terlepas dari pertanyaan formal tentang letak
hubungannya dengan proses susila, penyebab perubahan mungkin berbeda secara
substansi dan kualitasnya, seperti alam, demografi, politik, ekonomi, kultur,
agama, dan lain sebagainya. Sosiologi harus berupaya untuk menemukan
faktor-faktor mana yang terpenting sebagai proses perubahan; apa yang menjadi
pendorong utama dari proses sosial.
Penganut determinisme sosial mengemukakan
beberapa faktor penting. Ada dua kategori utama proses yang menonjol. Pertama,
mencakup proses material yang ditimbulkan oleh tekanan keras dari
teknologi, ekonomi, lingkungan, hukum, masyarakat dan sebagainya. Kedua, proses
idealistis disini peran ideologi, agama, etos kerja dan lainnya sebagai
pendorong utama perubahan. Belakangan ini ada kecenderungan untuk meninggalkan
perbedaan semacam itu. Penyebab proses sosial dipandang sebagai sesuatu yang
konkrit dan mencakup berbagai faktor yang saling berkaitan; seperti proses
hukum dengan kondisi masyarakat, ekonomi, politik serta budaya.
Namun, dalam sosiologi modern tidak hanya
menolak pemikiran tentang faktor tunggal penyebab poses perubahan sosial tetapi
juga mengubahnya. Kini sudah diakui secara luas bahwa membicarakan ekonomi,
teknologi, sosial, hukum, politik sebagai penyebab perubahan adalah menyesatkan
karena selain semua kategori itu, yang menjadi kekuatan nyata penyebabnya
adalah tindakan manusia. Masalah tindakan manusia ini adalah pusat perhatian
sosiologi modern.
Jadi, dapat dipastikan juga bahwa
perkembangan hoaks dan sejenisnya dalam kacamata sosiologi modern lebih mengarah
pada kondisi moral (tindakan) manusia yang sedang berkembang saat ini. Dalam
buku Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral karya Burhanuddin Salam, dijelaskan secara lengkap
defenisi moral. Secara bahasa moral berasala dari bahasa latinMores. Mores
berasal dari kata mos yang artinya kesusilaan, tabiat atau
kelakuan.Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan. Moralitas
berarti mengenai kesusilaan. Ada perkataan lain yang mengungkapkan kesusilaan
yaitu etika. Perkataan etika berasal dari bahasa Yunani: ethos dan ethikos
yang berarti kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan untuk melakukan sesuatu
perbuatan.[13]
Jadi perubahan terjadi dari sisi kajian
filsafat lebih mengarah pada kondisi sifat/kelakuan manusia. Perkembangan
fenomena hoaks dalam masyarakat lebih dipengaruhi kondisi moral masyarakat yang
lebih dominan pada aspek keterbiasaan, kelakuan. Menurut psikologi apabila
suatu sikap yang telah menjadi sifat/kelakuan, itu dibentuk oleh sedikitnya 4
jenis pengaruhnya;
1. Kebiasaan, habit, custom
2. Pendidikan
3. Agama
4. Kesadaran moral jiwa/internal consciousness[14]
Pertama, pengaruh kebiasaan.Suatu kebiasaan yang sudah mempola, dibentuk oleh
lingkungan hidup, oleh kebutuhan (needs) atau kehendak meniru, kepatuhan
mengikut, biasanya sukar diubah karena kebiasaan ini pun sudah menghilangkan
pengaruh dari kewibawaan diri sendiri.Ke-dua, pengaruh pendidikan. Tidak
dapat disangkal, bahwa pada prinsipnya pendidikan itu membawa dan membina
mental seseorang itu semakin baik dalam arti menjadikan seseorang itu lebih
cerdas, lebih bermoral, tegasnya lebih maju daripada sebelumnya menerima pendidikan. Pendidikan yang baik
tercermin pada sikap, cara berfikir, cara berbicara dan pada sikap yang baik.
Ketiga, pengaruh agama.Beragama berarti bersedia hidup sesuai dengan ajaran dan
tuntutan dari agama itu. Bila mengingkarinya, lebih baik jangan turut di
dalamnya. Ke-empat, pengaruh kesadaran jiwa. Kesadaran jiwa itu
timbulnya adalah sebagai akibat atau dari pengalaman, pertimbangan akal atau
pikir, dan dikuatkan oleh kemauan. Seseorang yang selalu mau memeriksa dirinya,
mengoreksi dan menyeleksi perbuatannya akan memiliki kesadaran jiwa yang peka.
Orang seperti ini tidak mungkin bersikap
congkak, bertingkah laku sombong dan angkuh ataupun berbuat sesuatu yang
menyebabkan orang lain merasa tersinggung atau sakit hati. Sedangkan dalam
pandangan Jalaluddin Rahkmat, tentang sebab-musabab terjadinya perubahan sosial
disebabkan karena ideas: pandangan hidup, pandangan dunia dan
nilai-nilai.[15]
B. Pengertian Hadis Ahkam
Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua
setelah Alquran, keberadaan hadis, di samping telah mewarnai masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik,
dan tiada henti-hentinya. Pada garis besarnya pengertian hadis dapat di lihat
melalui dua pendekatan, yaitu penedekatan kebahasaan (linguistik) dan
pendekatan istilah (terminologis).[16]
Kata hadis telah menjadi salah satu kosa kata
bahasa Indonesia. Hadis adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu
darikata hadatsa, yahdutsu, hadstan, haditsan dengan pengertian yang
bermacam-macam. Sedangkan, jamaknya al-ahadis, al-hidsan dan al-hudsan;
dan memiliki banyak arti, yang diantaranya sebagai berikut, الجديد (sesuatu yang baru),
sebagai lawan kata dari القديم (sesuatu yang
kuno atau klasik). Selanjutnya, kata hadis dapat pula berarti القريب (yang berarti
menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu yang singkat; yang belum lama lagi
terjadi), seperti kata-kata هو الحديث العهد بالإسلام (dia orang
yang baru memeluk agama Islam).[17]
Kata hadis kemudian dapat pula berarti
الخبر yaitu sesuatu yang
diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan dan di alihkan dari seseorang
kepada orang lain[18]
atau (berita/kabar), seperti yang dikemukakan oleh ayat-ayat Alquran sebagai
berikut:
Artinya: “maka hendaklah mereka
mendatangkan suatu khabar yang sepertinya (Alquran), jika mereka orang-orang
yang benar.” (QS. ath-Thuur: 34).
Penjelasanya lebih lengkap dapat di artikan
sebagai berikut:
a. Dengan arti al-jadid, yang berarti
sesuatu yang baru atau modern, sebagai lawan kata dari qadim, yang
berarti sesuatu yang lama, seperti yang dijumpai dalam kalimat, al-fikr
al-islam fi al’ashr al-hadist. Kalimat ini berarti pemikiran Islam di zaman modern. Perlu juga diperhatikan
bahwa dalam konteks ilmu hadis, kata
hadis yang daang dalam arti jaded dimaksudkan segala sesuatu yang datang
dari Rasul. Sementara qadim adalah yang datang dari Allah yakni Alquran.
b. Dengan arti al-qarib, yaitu sesuatu
yang dekata atau yang belum lama terjadi, seperti yang terdapat dalam kalimat, hadist
al-‘ahd bi al-islma yang biasa digunakan bagi orang yang baru masuk Islam.
Kata jamak atau benuk plural dari kata hadis adalah al-ahadist.
c. Dengan arti khabar, yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan sebagai berita atau perkataan seseorang yang
disampaikan kepada orang lain. Pemakaian hadis dengan kata khabar ini
sudah dikenal oleh masyarakat jaman jahiliyyah. Setelah Islam datang, pemakaian
hadis dengan makna ini masih tetap berlanjut.
Sedangkan menurut istilah (terminologis),
hadis adalah
Artinya: “Hadis menurut istilah adalah
sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw., baik berupa perkataan,
perbuatan dan ketetapannya setelah beliau diangkat menjadi Nabi”.
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan
pengertian tentang hadis. Pertama, menurut Ulama Hadis, umumnya
menyatakan bahwa hadis adalah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau,
segala taqrir (pengakuan) beliau dan segala keadaan beliau”. Termasuk
“segala keadaan beliau” adalah sejarah hidup beliau yakni, waktu kelahiran
beliau, keadaan sebelum dan sesudah beliau dibangkit sebagai Rasul dan
sebagainya. Kedua, Ulama Ushul menyatakan, bahwa hadis ialah segala
perkataan, segala perbuatan dan taqrir Nabi, yang bersangkut paut dengan
hukum.
Ketiga, sebahagian Ulama, antara lain at-Thiby menyatakan bahwa
hadis ialah segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi, para sahabatnya
dan para Tabi’in. Dengan demikian, apa yang datang dari para sahabat Nabi dan
para Tabi’in, termasuk kategori hadis.[20]
Di samping itu, Mahfuz al-Tarmasi memberi
pengertian hadis secara istilah, yaitu apa yang berasal dari Nabi dan al-tabi’in.
Kenyataan ini, telah dikenal dengan adanya istilah hadis marfu’ (hadis
yang disandarkan kepada Nabi), hadis mauquf (hadis yang disandarkan
hanya kepada sahabat Nabi), dan hadis maq’tu (hadis yang disandarkan
hanya kepada al-tabi’in. Pada umumnya ulama hadis memberi pengertian,
bahwa yang dimaksud dengan hadis adalah semua sabda, perbuatan, taqrir dan hal
ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam pengertian inilah, maka ulama hadis
menyamakan hadis dengan istilah al-sunnah. Kecuali pengertian tersebut,
ada pula ahli hadis yang berpendapat, bahwa kata hadis menunjukkan makna atau
sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW., baik berupa perbuatan, sabda,
persetujuan (taqrir) beliau mengenai sahabat, atau deskripsi tentang
sifat dan karakternya. Sifat ini menunjukkan kepada penampilan kepribadian
beliau. Meskipun demikian, penampilan kepribadian Nabi, menurut umumnya ulama
hadis, bahwa bentuk-bentuk hadis atau as-sunnah adalah segala berita (khabar)
yang berkenaan dengan sabda; perbuatan; persetujuan; hal-ihwal Nabi Muhammad
SAW. Sedangkan yang dimaksud hal-ihwal, adalah segala sifat dan pribadi.[21]
Ulama Hadis meninjaunya, bahwa pribadi Nabi
itu adalah sebagai uswatun hasanah (ikatan utama), sehingga dengan
demikian, segala apa yang berasal dari Nabi Saw., baik berupa biografi, akhlak,
berita, perkataan dan perbuatannya, baik yang ada hubungannya dengan hukum atau
tidak, dikategorikan sebagai hadis.
Sedang ulama ushul meninjaunya, bahwa pribadi
Nabi adalah sebagai pengatur undang-undang (di samping Alquran), yang
menciptakan dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang
sesudahnya dan menjelaskan kepada ummat manusia tentang aturan hidup, yang oleh
karena itu membatasi diri dengan hal-hal yang bersangkut paut dengan penetapan
hukum saja.
Sehubungan dengan pengertian istilah yang telah
dikemukakan oleh Ulama Hadis di atas, maka secara lebih mendetail, hal-hal yang
termasuk kategori hadis, menurut Dr. Muhammad Abdul Rauf ialah:
a. Sifat-sifat Nabi yang diriwayatkan oleh para
sahabat.
b. Perbuatan dan akhlak Nabi yang diriwayatkan
oleh para sahabat.
c. Perbuatan para sahabat dihadapan Nabi yang
dibiarkannya dan tidak juga dicegahnya, yang disebut taqrir.
d. Timbulnya berbagai pendapat sahabat dihadapan
Nabi, lalu beliau mengemukakan pendapatnya sendiri atau mengakui salah satu
pendapat sahabat itu.
e. Sabda Nabi yang keluar dari lisan beliau.
f. Firman Allah selain Alquran yang disampaikan
oleh Nabi, yang dinamai hadis Qudsi.
g. Surat-surat yang dikirimkan Nabi, baik yang
dikirim kepada para sahabat yang bertugas di daerah, maupun yang dikirim kepada
pihak-pihak di luar Islam.
Pemastian defenisi hadis yang absah itu telah
membuatnya menjadi hampir identik dengan sunnah. Sebagai kata yang berarti
cerita, maka perkataan hadis pada hakekatnya bermakna laporan atau penuturan,
dalam hal ini laporan atau penutupan tentang Nabi Saw. Tapi sebagai istilah
teknis penuturan (periwayatan, al-riwayah), yang sering dipandang
sebagai pengimbang, karena itu juga diletakkan berhadap dengan al-ra’y.
Hadis merupakan sumber kedua bagi hukum
Islam, dan hukum-hukum yang dibawa oleh hadis ada tiga (3) macam;[22]
a. Sebagai penguat hukum yang dimuat dalam
Alquran;
b. Sebagai
penjelas (keterangan) terhadap hukum-hukum yang dibawa oleh Alquran
dengan berbagai macam-macam penjelasan, seperti pembatasan arti umum,
mmerincikan persoalan-persoalan pokok, dan sebagainya;
c. Sebagai pembawa hukum baru yang tidak
disinggung oleh Alquran secara tersendiri dan merinci.
Umat Islam meyakini, semua ajaran Islam
bersumber pada wahyu Allah, baik Alquran (al-wahyu al-matluw) maupun
hadis Nabi Saw., (al-wahyu ghair matluw). Mayoritas ulama spakat, hadis
Nabi Saw., merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah Alquran. Kedudukan
hadis Nabi Saw., sebagai salah satu sumber ajaran Islam menunjukkan posisi yang
sangat signifikan dalam menjelaskan kandungan Alquran.
Hadis Nabi Saw., menempati posisi yang sangat
penting, karena ada ketentuan agama yang penjelasannya hanya dikemukakan hadis
Nabi Saw. Selain itu banyak diketemukan ayat Alquran yang menerangkan tentang
kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan Rasulullah Saw.,
kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup.[23]
Hadis dilihat dari bentuknya dapat dibagi
kepada hadis quli (perkataan), hadis fi’li (perbuatan) dan hadis taqriri
(pengakuan). Sebagian ulama menyebutkan hadis ahwali dan hadis hammi sebagai
bagian dari bentuk hadis. Bentuk-bentuk hadis dimaksudkan sebagai berikut:[24]
a. Hadis Qauli (Perkataan)
Hadis qualiyyah ialah perkataan atau
ucapan-ucapan Rasul yang pernah beliau utarakan dalam berbagai kesempatan
semasa ia masih hidup. Ucapan ini mencakup berbagai aspek, seperti aspek hukum,
akidah, dan ibadah. Contoh hadis Rasul Saw., yang berbunyi.
Artinya: Sesungguhnya
segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang akan memperoleh balasan amal
berdasarkan niatnya.
b. Hadis Fi’liyyah (perbuatan)
Hadis fi’liyyah perbuatan atau
tindakan Rasul yang merupakan penjelasan praktis ajaran agama, seperti tata
cara salat, wuduk, dan haji. Dengan kata lain, hadis fi’liyyah merupakan
praktek keagamaan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw., misalnya dalam hadis
yang berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya Rasul itu salah diatas
kendaraannya ketika dalam musafir menghadap kepada tungggangannya menghadap.
c. Hadis Taqriri
Hadis taqriri
ialah pengakuan atau persetujuan Rasul Saw., atas perbuatan atau perkataan
sahabat yang diketahui. Suatu perbuatan atau perkataan sahabat yang
disaksikannya atau sampai beritanya kepadanya dan tidak dipermasalahkan merupakan
hadis Taqriri. Ini berarti bahwa hadis dalam kategori ini adalah pada
awalnya adalah perbuatan atau perkataan sahabat yang kemudian mendapat
legalisasi dan legitimisasi dari Rasul saw.
Sebagai contoh,
diriwayatkan bahwa Khalid bin Walid pernah makan dhabb (sejenis biawak)
yang dihidangkan dalam suatu jamuan bersama Rasul Saw. Tetapi, Rasul Saw.,
sendiri tidak memakannya dan tidak mencegah sahabat tersebut untuk memakannya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dhabb itu
halal, sebab bila hewan itu haram tidak
mungkin dibiarkan Rasul Saw., sahabat untuk mengkomsumsinya. Sebagai utusan
Allah Swt., Rasul Saw., tidak mungkin membiarkan umatnya memakan yang haram di
hadapanya. Diamnay Rasul Saw., Khalid makan dhabb sebagai bukti
persetujuannya. Oleh karena itu, diamnya Rasul Saw., dalam hal seperti ini
termasuk hadis, yang disebuat hadis taqriri.
Sebagaimana yang
disinggung sebelumnya bahwa sebagian ulama memasukkan hadis ahwali dan hammi ke dalam pembagian hadis. Hadis ahwali
adalah hadis yang menerangkan tentang keadaan fisik dan sifat-sifat Rasul
Saw. Hadis ahwali dapat dikelompokkan kepada dua ketegori, khuluqi, menyangkut
tentang sifat tingkah laku Rasul Saw. Khilqi, menyangkut tentang keadaan
fisik Rasul Saw. Misalnya yang menyangkut hadis khulqi adalah:
كان النبي صلى الله عليه
وسلم: أشد حياء من المذراء خدرها.
Artinya; Nabi Ssaw., adalah lebih bersangatan malunya
dari pada gadis di kamarnya hiasnya.
Hadis ini menjelaskan sifat Rasul Saw. Yang pemalu,
bahkan lebih daripada pemalunya seorang gadis yang berada di dalam kamar
hiasnya. Dalam riwayat lain
disebutkan pula:
لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم: فاحشا ولا متفحشا وكان يقول إن
من خياركم أحسنكم أخلاقا.
Artinya: Nabi Saw., bukanlah orang yang
keji dan bukan pula mengkejikan orang lain. Ia pernah berkata: sesungguhnya
orang terbaik di antara kamu adalah orang yang terbaik akhlaknya.
C. Ciri-ciri Hadis Ahkam
Hâdîts Al-Ahkâm adalah term gabungan berbentuk penyandaran (tarkîb idhâfî) yang
terdiri dari dua kata (sebagai mudhâf dan mudhâf ilaih), yaitu kata
alahâdîts yang kemudian dibuang al-nya sebagai mudhâf dan
kata al-ahkâm sebagai mudhâf ilaih. Keduanya
merupakan bentuk jamak (plural) dari masing-masing bentuk tunggalnya (singular,
mufrad). Al-Ahâdîts adalah bentuk jamak dari term al-hadîts,
sedangkan al-ahkâm adalah bentuk jamak dari term al-hukm.
Hadîts
secara leksikal-etimologis (lughatan) memiliki arti hal baru atau
sesuatu yang baru (al-jadîd), pengabaran (al-ikhbâr), dan dapat
pula berarti kejadian (al-jiddah) yang biasanya baru terjadi pula, antonim
dari hal yang lama (yuqâbilu alqadîm). Sedangkan definisi hadits menurut
ulama hadits secara terminologis (ishthilâhan) adalah:
ما أثز عن النبي صلى هللا
عليه وسلم من قىل أو فعل أو ثقزٍز أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة، سىاء أكان قبل
البعثة أو بعدها.
Artinya:
“Berbagai hal yang ditinggalkan oleh Rasulullah S.A.W. sebagai petunjuk,
baik berupa ucapan, amal perbuatan,ketetapan, sifat fisik dan psikis (akhlak),
maupun sejarah kehidupannya, baik sebelum beliau diutus sebagai rasul maupun
pasca pengutusannya tersebut”.
Adapun
al-hukm, maka secara leksikal-etimologis berarti larangan (alman’)
atau keputusan (al-qadhâ‘), karena hukum memang berfungsi sebagai
protektor yang melarang atau mencegah suatu pihak dari hal yang tidak
diputuskan. atau yang bertentangan dengan ketetapannya. Hukum dalam kajian
ushul fikih umumnya dimaksud sebagai hukum syariat (hukm syar’î)[27]
yang dapat didefinisikan sebagai ketentuan Allah Swt., yang berkaitan dengan
segala perbuatan hamba yang telah diwajibkan untuk mengembannya, baik berupa
tuntutan, pilihan, maupun pertimbangan (khithâb Allah al-muta’allaq bi a’fâl
al-mukallafîn bi al-iqtidhâ‘ au al-takhyîr au al-wadh’).
Mannâ‟ Al-Qaththân secara ringkas menyatakan
bahwa kutub al-ahkâm atau kutub ahâdîts al-ahkâm adalah karya-karya yang
hanya menghimpun hadits-hadits hukum (al-kutub allatî iqtasharat ’alâ
ahâdîts al-ahkâm faqath) yang berkaitan dengan hukum-hukum cabang syariat
tentang segala perbuatan hamba. Yaitu hadits yang dipilih oleh penyusun
kitab-kitab tersebut dari kitabkitab rujukan hadits, dan mereka menyusunnya
berdasarkan bab-bab fikih.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Hadits Ahkam merupakan hadits-hadits Rasulullah Saw., yang dapat diterima
(maqbûl) dan bisa dijadikan sebagai landasan bagi hukum fikih Islam
tentang perbuatan hamba yang disyariatkan oleh Allah Swt.. Kemudian ketika
ahâdîts al-ahkâm menjelma menjadi sebuah disiplin ilmu, maka dapat
didefinisikan sebagai.
علم ًبحث في أقىال الزسىل وأفعاله و ثقزٍزاثه، من حيث جعلقها بأفعال
املكلفين باالقحضاء أو الحخيير أو الىضع.
Artinya: “Ilmu tentang berbagai ucapan,
amal perbuatan, dan ketetapan Rasulullah S.A.W. yang berkaitan dengan perbuatan
hamba yang telah menerima ketentuan hukum tersebut, baik berupa tuntutan,
pilihan maupun pertimbangan”.
Sebagaimana dalam kajian fikih atau
pengkajian hukum Islam pada umumnya, konstruk atau materi kajian dan pembahasan
utama dalam hadits-hadits hukum (ahâdîts al-ahkâm) biasanya terdiri dari
dua tema utama yang menjadi objektifitas atau ruang lingkupnya, yaitu
hukum-hukum ibadah (fiqh al-’ibâdah atau al-’ibâdât) dan
hukum-hukum muamalah interaksional (fiqh al-mu’âmalah atau almu’âmalât).
[28]
D.
Pendekatan Hadis Ahkam Terhadap Perilaku Masyarakat
Sebagai
sumber hukum utama dalam ajaran Islam yang selalu dijadikan pedoman hidup oleh
umatnya, Alquran dan hadis tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Karena
Alquran berisi ajaran-ajaran yang masih bersifat global atau umum, maka secara
umum hadis berfungsi untuk memberikan penjelasan, keterangan, serta perincian
terhadap hal-hal yang belum jelas di dalam Alquran. Dilihat dari fungsinya
terhadap Alquran, hadis memiliki empat fungsi yaitu: Pertama, hadis
berfungsi untuk menetapkan dan memperkuat apa-apa yang telah dijelaskan dan
ditetapkan oleh Alquran, sehingga hadis dapat dikatakan sebagai tambahan
terhadap apa-apa yang termuat di dalam Alquran.
Kedua,
hadis berfungsi untuk memberikan tafsiran dan rincian terhadap hal-hal yang
sudah dibicarakan oleh Alquran. Ketiga, hadis berfungsi untuk membentuk hukum
yang di dalam al-quran tidak ada atau sudah ada tetapi sifatnya hanya khusus
pada masalah-masalah pokok, sehingga keberadaan hadis dapat dikatakan sebagai
tambahan terhadap apa-apa yang termuat di dalam Alquran. Dan yang terakhir,
hadis berfungsi untuk melakukan perubahan terhadap apa-apa yang telah
ditetapkan oleh ayat-ayat Alquran.[29]
Agama
Islam yang berdasarkan Alquran dan al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi
kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja
melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang
berkenaan dengan kerja. Manusia tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan. Manusia
selaku pekerja hendaknya. membawa dan menjadikan nilai-nilai agama sebagai
pedoman dan petunjuknya.
Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul
dengan sesamanya dalam suatu wadah yang bernama masyarakat (negara). Dari
pergaulan itu, secara sepintas lalu diapun mengetahui bahwa dalam pelbagai hal,
dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain
dia berbeda dengan mereka dan mempunyai sifat-sifat khas yag berlaku bagi
dirinya sendiri. Adanya persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan ini, lama
kelamaan menimbulkan kesadaraan pada diri manusia, bahwa dalam kehidupan
masyarakat ia membutuhkan aturan-aturan yang oleh semua orang anggota
masyarakat tersebut harus dipatuhi dan ditaati, sebagai pengangan atau pedoman
yang mengatur hubungan-hubungan antar
manusia yang satu dengan yang lainnya, serta antara, manusia dengan masyarakat
atau kelompoknya. Pedoman-pedoman itu biasanya diatur oleh serangkaian
nilai-nilai dan kaidah-kaidah.[30]
Dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah ini,
sosiologi sebagai ilmu yang membahas tentang masyarakat secara umum lebih
mengalami kecenderungan untuk memperhatikan alat-alat pengendalian sosial yang
informal di banding formal. Hal ini karena para sosiolog ingin membuktikan
bahwa pendapat yang menyatakan bahwa penerapan hukum harus selalu benar.
Meskipun demikian, para sosiolog tetap mengakui bahwa pelaksanaan hukum yang
efektif memerlukan dukungan yang luas.
Artinya, hukum akan terlaksana secara
efektif, apabila hukum itu dirumuskan dn ditetapkan sesuai denga kebutuhan
sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum itu ditetapkan
berdasarkan pada realitas empiris dan bukan didasarkan pada dunia ide semata.[31]
Selain itu, dalam kenyataan hidup
bermasyarakat tidak ada satu masyarakat satupun yang warganya selalu taat dan
patuh terhadap hukum dan kaidah-kaidah lainnya, karena setiap manusia mempunyai
kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Apabila hukum yang berlaku dalam
masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan serta
kepentingan-kepentingannya, maka dia akan memcoba untuk menyimpang dari
aturan-aturan yang ada, serta mencari jalan keluar dan atau
pertimbangan-pertimbangan lain sebagai landasan konseptual yang sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan dan kepentingannya.[32]
Sebagai sarana social engeneering,
hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perilakuan warga
masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan. Salah satu masalah
yang dihadapi dalam hal ini adalah
apabila hukum-hukum yang telah ditetapkan atau dirumuskan ternyata tidak dapat
berjalan secara efektif, yakni tidak mampu mengubah perilakuan warga masyarakat
yang sebagaimana tujuan yang diinginkan. Gejala-gejala semacam ini tidak serta
merta muncul ke kepermukaan, tetapi tentu dilaksanakan adanya faktor-faktor
penyebab yang menjadi penghalangnya.Faktor-faktor tersebut berasal dari
pembentuk atau perumus hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, pelaku atau
subyek hukum, maupun golongan-golongan lain yang ada di dalam masyarakat.[33]
Salah satu hal penting yang perlu mendapat
perhatian tentang hadis Ahkam adalah sebagai pengatur perilaku masyarakat dalam
perihal komunikasi hukum. Artinya, bahwa agar supaya hadis Ahkam itu
benar-benar dapat mempengaruhi perilakuan masyarakat, maka hukum tadi harus
disebutkan seluas mungkin, sehingga melembaga dalam kehidupan masyarakat.
Penyebara ini dapat dilakukan, baik secara formal, melalui cara-cara yang
terorganisir secara resmi, maupun dengan cara informal melalui cara-cara lain
yang mampu mengantarkan informasi hukum kepada masyarakat.
Masalah-masalah hukum, bagi suatu bangsa yang
bertekad untuk membangun tata hukum yang sama sekali baru, tidak bisa dikaji
secara terpisah dari konteks sosialnya. Bahkan bisa dikatakan,
perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat akan memberikan bebannya
sendiri terhadap hukum, sehingga hukum dituntut untuk mengembangkan
kepekaannnya menghadapi keadaan tersebut.[34]
Sejak awal pembentukan umat manusia dalam
konteks interaksi dalam masyarakat, persoalan kaidah atau norma merupakan
jelamaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan. Secara
empirik sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai
stabilitas interaksi sehingga
pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi hukuman atau sanksi sosial.
Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa
dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara
dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi pelbagai peraturan
yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang satu dengan yang lain,
yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan kaidah hukum.
Dengan sadar atau tidak, manusia manusia
dipengaruhi oleh peraturan-peraturan hidup bersama yang mengekang hawa nafsu
dan mengatur perhubungan antar manusia. Peraturan yang hidup itu memberi
ancer-ancer perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus
dihindari. Peraturan hidup memberi petunjuk kepada manusia bagaimana ia harus bertingkah laku dan bertindak
didalam masyarakat.
Barang siapa yang dengan sengaja melanggar
suatu kaidah hukum akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran kaidah
hukum) yang berupa hukuman. Untuk menjamin kelangsungan keseimbangan
perhubungan antara anggota masyarakat, diperlukan aturan-aturan hukum yang
diadakan atas kehendak dan keinsyafan tiap-tiap anggota masyarakat itu.
Peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa dan mengatur anggota masyarakat untuk patuh mentaatinya, menyebabkan
terdapatnya keseimbangan dalam
masyarakat.
Apabila pengembangan kepekaan terhadap
perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat tersebut dilakukan , maka
berarti ahli hukum telah mengikuti filsafat keterkaitan sistemik antara hukum
dengan lingkungan serta basis sosialnya. Persoalan tentang perilaku sosial ini
juga dapat dicermati dengan menggunakan teori konstruksi sosial, yang digagas
oleh Berger dan Luckmann.Teori ini merupakan derivasi dari teori fenomenologi,
yang lahir sevbagai teori tandingan terhadap teori-teori yang berada di dalam
paradigm fakta sosial, terutama yang digagas oleh Email Durkheim.[35]
Masyarakat merupakan kenyaatan objektif dan
sekaligus sebagai kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan objektif, masyarakat
sepertinya berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya.
Sedangkan kenyataan sebagai subjektif, individu berada di dalam masyarakat itu
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, bahwa individu adalah
pembentuk masyarakat dan masyarakat ialah pembentuk individu. Kenyataan sosial
itu bersifat ganda bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan subjektif.Kenyataan
objektif ialah kenyataan yang berada di luar diri manusia, sedangkan kenyataan
subjektif ialah kenyataan yang berada di dalam diri manusia.[36]
E.
Efektifitas Hadis Ahkam Dalam
Kehidupan Masyarakat
Disamping itu, pesatnya perkembangan
masyarakat, teknologi dan informasi pada abad ke-21, dan umumnya sulit di ikuti
sektor hukum dan hukum Islam telah menyebabkan orang berpikir ulang tentang efektivitas
hadis dalam masyarakat. Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi
antara sektor hukum dan masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan. Namun
masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting
dari efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara. Sering
disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.[37]
Artinya hukum tersebut haruslah mengikuti
kehendak dari masyarakat. Disamping itu hukum yang baik adalah hukum yang baik
sesuai dengan perasaan hukum manusia (pelarangan). Maksudnya sebenarnya sama,
hanya jika kesadaran hukum di katakan dengan masyarakat, sementara perasaan
hukum dikaitkan dengan manusia.
Hukum sebagai salah satu kaidah hidup antar
pribadi berfungsi sebagai pedoman atau patokan yang bersifat membatasi atau
mematoki para warga masyarakat dalam bersikap tindak, khususnya yang menyangkut
aspek hidup antar pribadi. Setiap masyarakat, dari bentuknya yang paling
sederhana sampai yang paling modern, tentu mengenal atau mempunyai (tata) hukum
yang dijadikan pedoman atau patokan kehidupan bersama. Efektivitas hukum dapat
diartikan dengan kemampuan hukum untuk menciptakan atau melahirkan keadaan atau
situasi seperti yang dikehendaki atau diharapkan oleh hukum.Dalam kenyataannya.
hukum itu tidak hanya berfungsi sebagai sosial kontrol, tetapi dapat juga
menjalankan fungsi perekayasaan sosial (social-engineering atau instrument of change). Dengan
demikian, efektivitas hukum itu dapat dilihat baik dari sudut fungsi sosial
kontrol maupun dari sudut fungsinya sebagai alat untuk melakukan perubahan
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat
penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat
pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah
dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan
dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan
suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak.
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh
masyarakat.
Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang
diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang
seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak
yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak
kepada yang kuat dan berkuasa.
Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap
hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan
ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi
tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.[38]
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem
peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum.Diantara banyaknya permasalahan tersebut,
satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya
inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat.Inkonsistensi penegakan hukum ini
kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan
terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya).
Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut
tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi
penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang
berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat
berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana suatu peraturan
lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di
Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas
membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut
berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian hormat
apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.[39]
Kita biasa mendengar bahwa hukum mencerminkan
(atau tidak mencerminkan) opini publik. Ungkapan ini bisa agak membingungkan.
Hukum tidak dihasilkan oleh opini mayoritas seperti halnya ketika seorang
presiden dihasilkan oleh suara mayoritas. Naif kiranya kalau kita membayangkan
bahwa opini mayoritas dari orang-orang kebanyakan otomatis menjadi hukum.
Opini publik yang di ukur oleh jajak pendapat
Gallup tidak selalu menggambaran pengaruh kekuatan sosial yang sebenarnya
terhadap hukum, bahkan dalam sebuah iklim demokrasi sempurna dengan orang-orang
yang berpendapat setara. Salah satu studi yang terkenal yang dibuat oleh Julius
Cohen, Reginald A. Robson dan Alan P. Bates.Mereka tertarik meneliti tentang
pemahaman moral masyarakat.[40]
Peran hukum di dalam masyarakat adalah
menjamin kepastian dan keadilan, dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat
perbedaan antara pola-pola perilaku atau tata-kelakuan yang berlaku dalam
masyarakat dengan pola-pola perilaku yang dikehendaki oleh norma-norma (kaidah)
hukum. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan
sosial sehingga pada waktu tertentu cenderung terjadi konflik dan
ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan
masyarakat sebagaimana arah yang dikehendaki.
Membangun masyarakat sadar hukum dan taat
hukum merupakan cita-cita dari adanya norma-norma yang menginginkan masyarakat
yang berkeadilan sehingga sendi-sendi dari budaya masyarakat akan berkembang
menuju terciptanya suatu sistem masyarakat yang menghargai satu sama lainnya,
membuat masyarakat sadar hukum dan taat hukum bukanlah sesuatu yang mudah
dengan membalik telapak tangan, karena tidak tidak semua orang memiliki
kesadaran hukum. Pentingnya membangun kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat,
diharapkan akan menunjang dan menjadikan masyarakat menjunjung tinggi
intitusi/aturan sebagai pemenuhan kebutuhan untuk mendambakan ketaatan serta
ketertiban hukum.
Peran dan fungsi membangun kesadaran berbasis
hadis ahkam dan ketaatan hukum adalah untuk :
1. Stabilitas
2. Memberikan kerangka sosial terhadap
kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat
3. Memberikan kerangka sosial institusi berwujud
norma-norma,
4. Jalinan antar institusi.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya
upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Karena itu kesadaran terhadap nilai-nilai hukum
dan ketaatan dalam menjalankan seluruhan aturan hukum adalah suatu manifestasi
dalam mengefektikan berlakunya hukum.
Namun, bila dikaji secara mendalam bahwa
hadis Ahkam merupakan sumber hukum, yang hukumnya bersandar pada teori sosiological jurisprudence merupakan salah satu dari aliran teori hukum
yang mencoba memahami hakikat terdalam dari hukum. Tumbuhnya berbagai aliran
teori hukum tersebut merupakan hasil dari dialektika pemikiran hukum yang tidak
henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila masa lalu, teori aliran hukum
merupakan produk sampingan dari para ahli hukum, dewasa ini kedudukannya tidak
lagi demikian karena masalah-masalah teori aliran hukum telah menjadi bahan
kajian tersendiri bagi para ahli hukum[41].
Aliran sosiological jurisprudence dapat
dikatakan sebagai salah satu aliran dari berbagai pendekatan. Aliran ini tumbuh
dan berkembang di amerika, dan dipelopori oleh Roscoe Pound dengan
karya-karyanya yang terkenal seperti Scope and Purpose of sosiological
jurisprudence (1912), Outline of Lectures on Jurisprudence (1903), The
Spirit of Common Law (1921), An Introduction to the Philosophy of Law (1922),
The Task of Law (1944), Interpretation of Legal History (1923),
dan lain-lain. Tokoh lainnya antara lain Benjamin Cordozo dan Kantorowics.[42]
Ajaran sosiological jurisprudence dapat
digolongkan aliran-aliran sosiologis di bidang hukum yang dibenua eropa
dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama Eugen Ehrlich
(1826-1922), yang pertama menulis tentang hukum dipandang dari sudut sosiologis
dengan judul Grundlegung der Soziologie des Recht, yang diterjemahkan
kedalam bahasa inggris oleh Walter L Moll : Fundamenstal Prinsiples of the
Sosiology of Law pada tahun 1936.
Sosiological jurisprudence dalam istilah lain disebut juga Functional
anthropological (metode fungsional). Penyebutan ini dilakukan untuk
menghindari kerancuan antara sosiological jurisprudence dan sosiologi
hukum (the Sosiology of Law).[43]
Walaupun keduanya sama-sama membahas kajian tentang hukum, akan tetapi memiliki
perbedaan. sosiological jurisprudence merupakan cabang dari filsafat
hukum sedangkan sosiology of Law adalah cabang dari sosiologi.[44]
Selain itu walaupun obyek kajian keduanya
adalah hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, akan tetapi
pendekatan yang digunakan berbeda. Sosiological
jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiology
of Law menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Selain itu walaupun obyek kajian keduanya
adalah hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, akan tetapi
pendekatan yang digunakan berbeda. sosiological jurisprudence menggunakan
pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiology of Law menggunakan
pendekatan dari masyarakat ke hukum.[45]
Dalam mazhab sosiological jurisprudence yang dikembangkan tentang hukum
didekati dengan pendekatan yang mengutamakan tujuan praktis. Seperti yang telah
ia jelaskan dalam bukunya The Scope an Purpose of Sosiological Jurisprudence,
bahwa tugas sosiologi hukum adalah:[46]
1. Menelaah akibat-akibat sosial yang aktual
dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum, oleh karena itu lebih
memandang kepada kerjanya hukum dari pada isinya yang abstrak.
2. Mengajukan studi sosiologis berkenaan
dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan, dan karena itu
menganggap hukum sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha
yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan dan
membimbing usaha-usaha sedemikian itu.
3. Mempelajari cara membuat peraturan
perundang-undangan yang efektif dan menitik beratkan kepada tujuan sosial yang
hendak dicapai oleh hukum bukan kepada sanksi.
4. Menelaah sejarah hukum sosiologis yakni
tentang akkibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara
menghasilkannya.
5. Membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum
secara adil dan mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai
petunjuk ke arah hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya sebagai bentuk
yang tidak dapat berubah.
6. Meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan
yang tersebut di atas agar usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih
efektif.
Hukum hanyalah
bagian dari perkembangan dinamika masyarakat. Bahkan dapat dikatakan dimana ada
masyarakat maka disitu pula akan tercipta hukum, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis. Adanya perkembangan dinamika masyarakat tersebut mempengaruhi
cara-cara pendekatan terhadap hukum yang selama itu dipakai. Pendekatan inilah
yang kemudian dikenal dengan pendekatan hukum sosiologis. Pandangan sosiologis
terhadap hukum adalah melihat hukum dari sisi perilakunya, bukan dari sisi
normanya. Dengan kata lain, hukum itu sendiri sebagai refleksi dari apa yang
dipraktekkan oleh masyarakat. Atas dasar ini, penegakan hukum seharusnya tidak
sekedar menurut aturan normatif (seperti yang termuat dalam undang-undang),
tapi juga harus melihat hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat itu
sendiri.
Pemikiran
hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, ia sering dilihat sebagai
suatu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat suatu
pikiran hukum yang dominan pada suatu waktu. Oleh karena itu, sekalipun ia
berkeinginan untuk mengutarakan suatu pikiran secara universal, tetapi alangkah
baiknya apabila teori itu mempunyai latar belakang pemikiran yang mempunyai
dasar teori hukum tertentu.
Hukum dari
waktu ke waktu mengalami perkembangan. Dan perkembangan ini berkaitan dengan
sifat hukum yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Dimana ada
masyarakat maka disitu pula pasti akan tercipta hukum, baik secara disengaja
ataupun tidak disengaja, secara tertulis ataupun tidak tertulis. Karena
masyarakat pada hakikatnya terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu,
maka tidak menutup kemungkinan selalu ada persoalan baru yang muncul di
tengah-tengah masyarakat tersebut.
Jika kita berbicara tentang hukum, yang
terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau seperangkat norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan
ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum
pidana dan sebagainya. Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak
hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di
suatu tempat pada suatu massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui
wahyunya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad
sebagai rasulnya melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar
inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain.[47]
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan
kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum
tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam
bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
Hukum adalah seperangkat norma atau
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau
peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat
maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum
adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan.
Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda. Sedangkan hukum
Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi
hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut
tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam
masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam
masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak
dapat hidup sendiri manusia membutuhkan pertolongan satu sama lain dan
memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya.
Setiap individu dan kelompok sosial memiliki kepentingan. Namun demikan
kepentingan itu tidak selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan.
Hal itu mengandung potensi terjanya benturan daan konflik. Maka hal itu
membutuhkan aturan main. Agar kepentingan individu dapat dicapai secara adil,
maka dibutuhkan penegakan aturan main tersebut. Aturan main itulah yang
kemudian disebut dengan hukum Islam yang dan menjadi pedoman setiap pemeluknya.[48]
Dalam hal ini hukum Islam memiliki tiga
orientasi, yaitu:
1. Mendidik individu (tahdzib al-fardi)
untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
2. Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
3. Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Orientasi tersebut tidak hanya bermanfaat
bagi manusia dalam jangka pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin
kebahagiaan kehidupan di akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum-hukum
untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’),
maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid).
Begitu juga yang berkaitan dengan kepentingan
hubungan antara Allah dengan makhluknya maupun kepentingan orientasi hukum itu
sendiri. Sedangkan fungsi hukum Islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1. Fungsi Ibadah Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah
berfirman: "Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepadaKu". Maka dengan daalil ini fungsi ibadah tampak palilng
menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2. Fungsi Amar Makruf Naahi Munkar
(perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum Islam bahkan
ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat
menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
3. Fungsi Zawajir (penjeraan) Adanya
sanksi dalam hukum Islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga
dengan ancaman siksa akhirat dimaksudkan agar manusia dapat jera dan takut
melakukan kejahatan.
4. Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi
dan rehabilitasi masyarakat) Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar
sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi
juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat menjadi lebih baik.
Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal
dengan istilah fungsi enginering social. Keempat fungsi hukum tersebut
tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu tetapi satu
dengan yang lain juga saling terkait. Kehidupan terdiri dari bermacam aspek,
mulai dari yang berhubungan dengan individu, keluarga, hingga bermasyarakat,
agar segalanya berjalan lancar, dibutuhkan aturan untuk membatasi setiap urusan
atau perbuatan yang dilakukan seseorang. Aturan dapat berupa hukum negara,
norma, adat istiadat, dan agama. Dalam Islam, dikenal adanya syariat atau hukum
Islam, yaitu ketentuan berupa perintah, anjuran, dan larangan dari Allah yang
bersumber dari Alquran dan hadist. Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 138.
هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ
لِلْمُتَّقِينَ.
Artinya: (Al
Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran
bagi orang-orang yang bertakwa.
“Alquran adalah penjelasan bagi umat manusia,
juga petunjuk dan nasehat bagi orang orang yang bertaqwa”.Dalam sebuah hadist
juga disebutkan “Agama adalah nasihat bagi Allah, Rasul Nya, untuk para
pemimpin, dan untuk para orang awam”. (HR Bukhari).
Hukum Islam adalah yang mengatur bagaimana
kita bersikap dalam kehidupan sehari hari. Manfaat yang akan didapat secara
umum ialah kita akan memiliki kehidupan yang teratur dan terarah. Dengan mengetahui
hukum islam, kita akan memahami apa saja yang bermanfaat atau yang disukai oleh
Allah dan yang sia sia atau dilarang oleh Allah. Diantaranya manfaatnya adalah
:
1. Lahan Ibadah : “Dan taatlah kepada Allah
serta Rasul Nya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami
hanyalah menyampaikan amanat Allah dengan terang”. (QS At Taghabun : 12).
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ ۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ.
Artinya: Dan taatlah kepada Allah dan taatlah
kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami
hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.
Dengan mengetahui, memahami, dan melaksanakan
hukum Islam, setiap tindakan yang dilakukan akan bernilai ibadah di sisi Allah.
Misalnya melaksanakan hukum Islam dalam hubungannya dengan pekerjaan, jenis
pekerjaan apa saja kah yang termasuk halal dan haram, dan anda mengikutinya
sesuai syariat Islam, maka pekerjaan anda menjadi lahan ibadah dan ladang
pahala.
2. Sarana Dakwah: Dakwah bertujuan untuk
mengubah perilaku manusia sesuai hukum yang benar. Hukum Islam dalam kehidupan
sehari hari dapat dijadikan sebagai dasar untuk memberikan pengetahuan atau
ilmu agar segala urusan dilaksanakan dengan tata cara yang sesuai.
G. Penegakan
Hukum Persfektif Islam
Islam memerintahkan kepada setiap manusia
untuk berbuat adil ataumenegakkan
keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan. Dalam Alquran Surah
an-Nisaa ayat 58.
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
Artinya “sesungguhnya Allah menyuruhmu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya dan menyuruh kamu apa bila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.
Tujuan bernegara Indonesia adalah terpenuhinya
keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat diketahui baik dalam
Pembukaan UUD 1945 maka negara yang hendak didirikan adalah negara Indonesia
yang adil dan bertujuan menciptakan keadilan sosial. Alquran menggunakan
pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan
untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan
juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti
qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh Alquran dalam pengertian keadilan.
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan
seseorang atau orang lain sesuai haknya atas kewajiban yang telah di lakukan.
Tentang keadilan Allah SWT berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 8.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Jika keadilan disandingkan dengan supremasi
hukum, maka keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Keadilan
akan terwujud jika didukung dengan tegaknya supremasi hukum. Begitu pula,
keadilan akan terpuruk jika supremasi hukum tidak ditegakkan. Islam mengajarkan
agar keadilan dapat diejawantahkan dalam setiap waktu dan kesempatan. Tegaknya
keadilan akan melahirkan konsekwensi logis berupa terciptanya sebuah tatanan
masyarakat yang harmonis. Islam adalah agama yang sempurna.Kesempurnaan Islam
itu dapat dilihat dari prinsip-prinsip ajaran yang dikandungnya.Salah satu
prinsip yang menempati posisi penting dan menjadi diskursus dari waktu kewaktu
adalah keadilan (al‘adalah). Keadilan secara sederhana diartikan sebagai
sebuah upaya untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.[49]
Karena itu sifat yang kemudian menjadi cirri
hukum Islam dalam artian hukum yang mengatur kehidupan umat mansuai adalah
pembedaan antara ajaran ideal dan praktek yang aktual.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HOAKS
A. Defenisi
Hoaks
Kata
hoax dapat dijumpai dalam literatur bahasa Inggris yang artinya adalah tipuan, menipu, berita
bohong, berita palsu atau kabar burung. Sederhananya adalah berita yang muatan,
substansi dan isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan keadaan yang
sebenarnya baik yang secara langsung disaksikan, didengar oleh manusia. Jadi
kata hoax adalah ketidak benaran suatu informasi, keadaan,
situasi dan kondisi yang sesungguhnya.[1]
Menurut bahasa hoaks adalah olok-olok(an),
cerita bohong, memperdayakan.[2]
Dapat juga dijumpai dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary.
Dijelaskan bahwa hoax an act intended to make, believe that is not true,
especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls. To trick by making them believe
that is not true, especially unpleasant: a bomb hoax, hoax calls.[3]
Hoaks adalah suatu
tindakan yang dimaksudkan untuk membuat, percaya bahwa itu tidak benar,
terutama tidak masuk akal: tipuan bom, panggilan tipuan.
Sedangkan
hoaks yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hoaks diartikan dengan
“berita bohong” tak sesederhana kelihatannya. Sebuah kebohongan bisa disebut
hoaks apabila dibuat secara sengaja agar dipercaya sebagai sebuah kebenaran.Tak
hanya itu, kebohongan baru bisa disebut hoaks apabila keberadaannya memiliki
tujuan tertentu, seperti misalnya untuk memengaruhi opini publik.[4]
Jadi hoaks secara terminologis dapat
disimpulkan pemberitaan palsu dalam usaha untuk menipu atau mempengaruhi
pembaca atau pengedar untuk mempercayai sesuatu, padahal sumber berita yang
disampaikan adalah palsu tidak berdasar sama sekali. Muatan berita bohong dan
menyesatkan, muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antar golongan SARA.[5]
B. Sejarah Hoaks
Hoaks
merupakan fenomena baru yang berkembang di Indonesia, sebuah fenomena yang
menjadi bahan diskusi oleh semua kalangan baik mahasiswa, pejabat, politikus
dan masyarakat. Kemunculan hoaks ditengah-tengah kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat memperpanjang daftar tentang adanya konsep dan perubahan yang
selalu terjadi kepada manusia di abad 21. Perkembangan-perkembangan ilmu
teknologi dan informasi serta komunikasi turut memperlancar, menfasilitasi
perubahan-perubahan dalam masyarakat termasuk di dalamnya hoaks.
Namun,
kalau rujukannya berdasarkan pendapat Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins
Against Science, bahwa kata hoax merupakan sebuah istilah yang
terdapat dalam kosa kata bahasa Inggris yang telah ada sejak zaman era
industri. Dan diperkirakan muncul kepermukaan pertama kali tersentuh pada tahun
1808. Sedangkan pendapat Alexander Boese dalam bukunya, Museum of Hoaxes,
menuliskan hoax bahwa pertama dipublikasikan atau ditemukan terdapat
pada almanak atau penanggalan palsu yang sengaja dibuat oleh Isaac
Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709. Karena pada saat itu, ia sedang
meramalkan kematian seorang astrolog John Partridge. Untuk meyakinkan semua
masyarakat, ia membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal
sebagai hari kematiannya. Swift mengarang informasi tersebut untuk
mempermalukan Partridge di mata publik. Partridge pun berhenti membuat almanak
astrologi hingga 6 tahun setelah hoax beredar.[6]
Hal
ini dapat juga dijumpai dalam kisah yang di alami oleh Benjamin Franklin yang
terjadi pada tahun 1745 yang di publikasikan lewat harian Pennsylvania Gazette
yang mengungkap bahwa ada sebuah benda bernama “Batu China” yang kabarnya dapat
menyembuhkan penyakit seperti rabies, kanker, dan penyakit-penyakit lainnya.
Sayangnya, nama Benjamin Franklin saat itu menjadikan standar verifikasi ilmu
kedokteran tidak dilakukan sebagaimana standar semestinya. Namun demikian, ternyata batu yang dimaksud adalah
tanduk rusa biasa yang tidak memiliki fungsi dan kegunaan medis sama sekali.
Namun
pada akhirnya keadaan media itu di ketahui salah seorang pembaca pada harian
Pennsylvania Gazette dengan membuktikan tulisan Benjamin Franklin
tersebut.Dengan sebab pernyataan itulah, sehingga dalam masyarakat menyeba
luaslah kata hoaks.
Meskipun
demikian, istilah hoaks digunakan dalam penyebutan kehidupan sehari-hari
sekitar tahun 1808. Kata tersebut dipercaya datang dari hocus yang
berarti untuk mengelabui. Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan
dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan
sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam pertunjukan mereka di
panggung.
Hingga
kini, eksistensi hoaks terus meningkat. Dari kabar palsu seperti entitas
raksasa seperti Loch Ness, tembok China yang terlihat dari luar angkasa, hingga
ribuan hoaks yang bertebaran mengikuti dinamika dan perkembangan kehidupan
masyarakat.
Oleh karena itu, sebelum berkembangan alat
informasi yang canggih seperti saat ini, bahwa informasi palsu (hoaks) sudah
alami umat manusia jaman dahulu.Dalam hal ini bisa dilihat dalam Alquran yang
dialami oleh Nabi Yusuf AS. Suata saudara-saudaranya menginformasikan kepada
Ayahnya Nabi Ya’qub As, bahwa Yusuf anaknya diterkam binatang buas sembari
mereka menyerahkan pakaian Yusuf yang sengaja dilumuri darah. Dari kisah ini
dapat dilihat bahwa informasi bohong bukan perkara baru dalam peradaban
manusia. Hanya saja bentuk dan keadaan yang terjadi dalam masyarakat yang
berbeda dan begitu juga dengan motif-motifnya.[7]
C. Fakta Hoaks dalam Masyarakat
Kemajuan dan perkembangan alat komunikasi
yang mengikuti kemajuan zaman saat ini, menciptakan manusia menjadi masyarakat
yang maju, serta cepat dalam mengetahui berbagai informasi yang berkembang di
belahan negara. Hal ini dapat juga mempengaruhi gaya kehidupan manusia baik
secara pribadi, kelompok.
Dengan kemajuan informasi kebutuhan hidup
semakin mudah, hal ini dapat dilihat dari bagaimana pribadi manusia selalu
menggantungkan hidupnya terhadap perkembangan dan kemajuan teknologi, mulai
dari makanan, belajar, waktu ibadah, kenderaan semuanya memakai aplikasi
kemajuan teknologi itu.[8]
Akhir-akhir ini kasus hoaks di Indonesia
tidak hanya menyisir perkembangan politik melainkan juga semua sendi-sendi
kehidupan masyarakat sudah di masuki informasi bohong. Berita-berita ini cepat
menyeber melalui media massa online seperti facebook, whatsapp, twitter,
instagram, line atau cerita-cerita yang beredar dari mulut kemulut.
Sehingga tidak jarang yang dirugikan semua pihak, bukan hanya masyarakat biasa
melainkan seluruh elemen bangsa.
D. Perkembangan Hoaks
Perkembangan kehidupan di dunia ini tentunya
tidak akan pernah henti-hentinya dalam segala lini kehidupan seperti teknologi, sains, pendidikan,
politik, kebudayaan dan sebagainya. Perkembangan ini tentunya mewujudkan
problematika baru yang belum pernah terjadi pada masa lampau atau pernah
terjadi masa silam dan muncul kembali dalam wajah yang lebih rumit.
Sebagai seorang muslim yang berpedoman teguh
kepada Alquran dan Hadis Nabi Saw., maka wajiblah ia menimbang, mendiskusikan
masalah yang dihadapi dengan pendekatan sumber hukum Islam tersebut. Merujuk,
dan menfokuskan kepada untuk menetapkan segala hukum sehingga tidak menimbulkan
kekacauan atau tidak tersesat dalam memahami hukum-hukum Allah.Namun juga,
sangat menarik bila mana kasus terseebut secara konkrit tidak langsunh tertuju
penyelesaiannya berdasarkan Alquran melainkan mencari solusinya dari sisi
pendekatan hadis Nabi Saw.[9]
Perkembangan alat teknologi dan komunikasi di
era modern menjadikan kehidupan semakin komplek dan rumit. Bahwa
perkembangan dan kemajuan tidak diimbangi oleh nilai-nilai yang terkandung
dalam masyarakat, budaya dan sosial sehingga menimbulkan keresahan dan problem
seperti penyebaran hoaks yang mengakibatkan muncul kebencian, konflik dan
sebagainya. Berita-berita
yang beredar sudah menyentuh seluruh lapisan masyarakat baik tentang ekonomi,
hukum, politik sosial-budaya, bahkan pendidikan.[10]
Dalam konteks keindonesian UU IT telah
merespon bahkan sudah merekomendasikan gagasan dan batasan terhadap sistem
informasi. Hal ini dapat dilihat dalam UU IT pasal 28 ayat (1) Nomor 11 tahun
2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyatakan, “setiap
orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan
yang mengakibatkan kerugian keonsumen dalam transaksi Elektronik.” Terkait
dengan adanya rumusan UU ITE tersebut, dapat ditafsirkan pemaknaannya
“menyebarkan berita bohong”, namun sesungguhnya ketentuan tersebut terdapat
dalam pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan rumusan yang
berlainan dengan ungkapan “menyiarkan berita bohong”Hal ini menjadi acuan dan
dasar bahkan batasan yang harus dipedomani ketika menyampaikan pendapat, opini,
dan gagasan di depan umum. Dengan adanya UU ITE, sesungguhnya menjadi pagar
untuk pemerintah agar masyarakat memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam
mengajukan pendapatnya di depan publik.[11]
Sedangkan, dalam konteks keislaman, hoaks
merupakan kejahatan kemanusian bahkan diperkirakan muncul seusia peradaban umat
manusia. Kejahatan kemanusian dalam bentuknya terdapat unsur penzaliman dan
kemungkaran yang dapat merugikan orang lain. Sebagai seorang muslim yang taat
terhadap ajaran agamanya yang bersumber dari Alquran dan Hadis yang memberikan
pemahaman untuk mengatur tingkah laku dan sifat manusia dalam menjalani
kehidupannya sehingga untuk memunculkan benar salahnya suatu perbuatan itu.
Hoaks dalam konteks ini lebih menekankan pada konsep tentang akhlak atau
moral.Untuk itu, kecenderungan manusia untuk selalu berbuat buat baik terbukti
dari persamaan konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan
zaman.Perbedaan jika terjadi terletak pada bentuk, penerapan, konsep moral,
yang disebut dalam bahasa hukum Islam adalah ma’ruf, sehingga tidak ada
peradaban yang menganggap baik hoaks.[12]
E. Dampak
Hoaks dalam Kehidupan Masyarakat
Pemanfaatan
alat-alat komunikasi dan perkembangannya di Indonesia sangat pesat. Meski
demikian, kemajuan dan perkembangan alat teknologi informasi dalam kehidupan
nyata tidak selalu sesuai dengan kehidupan dalam dunia maya. Penggunaan media
sosial saat ini lebih cenderung dipenuhi sisi-sisi negative seperti, penyebaran
berita bohong (hoaks), provokasi, fitnah, propaganda, sikap intoleran dan anti
pancasila.
Meski
baru mengambil peran utama dalam panggung diskusi publik Indonesia di beberapa
dekade terakhir ini, hoaks sebetulnya punya akar sejarah yang panjang. Sungguh
pun demikian dalam kurun waktu yang relatif singkat namun dampaknya sudah
sangat meresahkan, sebab ini berbicara tentang masalah sosial yang tentunya
timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri kehidupan manusia
yang bersumber dari sebab-sebab ekonomis, biologis, biopsikologis, dan
kebudayaan masyarakat.[13]
Bahkan
sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh sosiolog Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi suatu Pengantar bahwa suatu
kejadian yang merupakan masalah sosial belum tentu mendapat perhatian yang
sepenuhnya dari masyarakat. Sebaliknya, suatu kejadian yang mendapat sorotan
masyarakat belum tentu merupakan masalah sosial.Suatu masalah yang merupakan menisfest
social problem adalah kepincangan-kepincangan yang menurut keyakinan masyarakat
dapat diperbaiki, dibatasi atau bahkan dihilangkan.
Lain halnya dengan latent social problem
yang sulit diatasi karena walaupun masyarakat tidak menyukainya, masyarakat
tidak berdaya mengatasinya.Di dalam mengatasi masalah tersebut, sosiologi
seharusnya berpegang pada kedua macam masalah tersebut yang didasarkan pada
sistem nilai-nilai masyarakat.[14]
Sehingga, dampak hoaks merupakan bentuk masalah sosial yang terdapat pada latent social problem, dalam
masyarakat. Sehingga, masyarakat secara umum tidak memiliki kekuatan untuk
menghentikan perkembangan hoaks, sehingga dengan dihadapkannya hadis sebagai
sebuah alternatif dalam mencegah penyebaran hoaks akan lebih terjamin secara
konteks sebagai sebuah ajaran agama untuk saling menjaga hubungan dalam kehidupan
berbangsa.
Kondisi sosial yang menyuburkan konflik,
sehingga sangat berdampak dalam kehidupan manusia. Kecenderungan disintegrasi
yang muncul belakangan ini bukan hanya disebabkan faktor perbedaan ideologi dan
keyakinan beragama. Namun, faktor ini lebih di dorong persoalan yang lebih
kompleks, yaitu masalah ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, sosial,
agama, budaya dan hukum.[15]
Dalam menyuburkan konflik berdasarkan hoaks
sangat mudah di jumpai kasusnya belakangan ini, seperti kasus kerusuhan Wamena Papua,
yang berawal dari informasi-informasi yang tidak jelas. Sehingga, yang
dirugikan sesungguhnya adalah masyarakat juga. Dari hal tersebut hoaks tentunya
akan menimbulkan berbagai sifat seperti olok-olokan, berita bohong, memperdaya,
menyebarkan kebencian, yang kesemuannya akan di bahas satu persatu sebagai
berikut.
F.
Menyebarkan Kebencian
Memang tanpa di sadari sesungguhnya, bahwa
media sosial sangat memberikan bentuk kebebasan yang seluas-luasnya bagi
manusia, sebagai bentuk kemerdekaan dalam mengekspresikan pribadi, keadaan,
gaya hidup, pemikiran atau opini, bahkan hanya sekedar iseng-iseng belaka. Satu
sisi, keprihatinan pasti menyelimuti atas kemajuan-kemajaun yang di raih
manusia yang mengarah pada bentuk-bentuk ketidak sesuaian nilai budaya masyarakat
bangsa.
Dalam tataran sosial, sesuatu yang tidak bisa
dihindari adalah munculnya paham dan sikap monistik, yaitu paham dan sikap yang
menganggap dirinya yang benar, sedangkan orang lain salah. Bukan hanya itu,
kadang kala sifat itu berkembang menjadi penolakan terhadap keberagaman. Sikap
tersebut bisa dilahirkan dari rahim individu dan rahim institusi.
Namun yang perlu mendapat perhatian adalah
munculnya sikap yang merasa menang sendiri sembari menafikan keberadaan yang
lain, terutama melalui penghinaan dan sikap yang tidak manusiawi. Dalam
masyarakat muslim, upaya mendiskreditkan kelompok lain dengan ungkapan yang
tidak pantas merupakan fenomena mutakhir seperti ungkapan hoaks. Seolah-olah
ajaran keislaman hanya berbicara tentang hal-hal yang bersifat hitam-putih.Tapi
hal-hal yang berkaitan dengan etika seringkali kurang mendapat perhatian.[16]
Sejatinya dalam ranah sosial harus terbangun
keharmonisan sosial, antara satu agama dengan agama yang lain; antara satu
kelompok dengan kelompok yang lain; antara satu mazhab dengan mazhab lainnya.
Dalam hal ini, teladan para ulama fikih terhadap khazanah yang patut
didendangkan terus-menerus agar keragaman dirayakan dalam membangun kebersamaan
dan toleransi.
Perbedaan pendapat amat dijunjung tinggi.Tapi
perbedaan pendapat yang dibangun di atas kebencian bisa menjurus pada konflik.
Karena itu, perbedaan semacam itu sama sekali tidak dianjurkan Alquran dan
Hadis. Disini, sekali peran etika sosial amat penting untuk membangun
masyarakat yang setara. Sehingga setiap unsur manusia harus memperhatikan
dimensi sosial-kemasyarakatan. Sehingga, perintah untuk tidak menyebarkan
informasi, membenci atau mengolok-olok kaum lain, karena bisa jadi kaum yang
dihina atau dibenci tersebut lebih baik dari pada kaum yang menghina atau
membenci.
Pesan ini berangkat dari kisah dizaman
Rasulullah saw., seseorang yang bernama Tsabit bin Qays bin Syammas adalah
seorang yang tuli. Setiap kali ia menghadiri majelis Rasulullah saw., ia
senantiasa duduk di tempat yang paling dekat dengan beliau sehingga dapat
mendengarkan dan menangkap pesan dengan baik. Suatu hari ia datang terlambat,
sedang majelis sudah dipenuhi para pengunjung lain. Lalu ia meminta untuk
diberi jalan untuk mencari tempat yang lebih dekat dengan Rasulullah saw., pada
akhirnya ia pun mendapat tempat duduk. Tapi tiba-tiba ada seorang yang
menyindir dan menghina seorang Tsabit. Sehingga turunlah satu ayat sebagai
larangan untuk memfitnah, membenci dan menyindir kaum lain.[17]
Menurut Imam ar-Razi kebencian (al-sukhriyyah)
adalah perbuatan seseorang yang didalamnya terdapat unsur yang meremehkan orang
lain, tidak peduli merendahan derajtnya, kendatipun tidak sampai mebuka
aib-aibnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebencian adalah kebencian yang
bersifat minimal.[18]
Menebar kebencian saja di larang Allah swt, apalagi dengan tindakan yang
didalamnya terdapat unsur kekerasan. Karenanya, setiap muslim harus memedomani
batasan-batasa minimal seperti ini agar tidak melakukan tindakan kekerasan yang
bersifat yang lebih besar dampak negatifnya.
G. Menyuburkan Konflik
Sudah terbukti bahwa
dampak dari hoaks akan menciptakan suasana konflik atau permusuhan. Dampak ini
sudah terjadi dalam kehidupan manusia, sehingga kejadian-kejadian yang di
timbulkannya seperti permusuhan, perselisihan, pertikaian sering terjadi dalam
masyarakat. Kasus-kasus sosial yang terjadi belakangan, seperti kasus Wamena
Papua merupakan bentuk dari informasi yang kurang jelas, sehingga terjadi
kekacauan antar masyarakat. Inilah bukti dari bentuk menjamurnya konflik di
tengah-tengah masyarakat. Namun, seharusnya dalam kehidupan modern yang harus
di tonjolkan itu adalah sikap kasih sayang, saling memahami dan saling memberi
pengertian dan penjelasan. Jika seseorang telah
memiliki rasa kasih sayang terhadap sesuatu, maka ia akan melakukan apa saja
yang bisa diperbuat untuk menunjukkan rasa kecintaannya itu. Persoalannya
adalah bagaimana menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta pada setiap orang.[19]
Bila mana konflik dan kerusuhan terus
menjadi-jadi dan tanpa berkesudahan maka ada beberapa pendekatan yang harus
dilakukan untuk meredamnya. Dalam hal ini dapat di jumpai dalam buku Said Agil
Husin al-Munawar yang berjudul Fikih Hubungan Antar Agama.[20]
Pertama, adanya tindakan untuk meredam dan membatasi konflik, sehingga tidak
mengeras dalam intensitasnya dan tidak meluas secara territorial, artinya untuk
mencegah eskalasi konflik yang terdapat berkembang sampai pada tahap tidak
dapat lagi di hentikan. Kedua, adanya bantuan cepat untuk menolong
orang-orang yang menderita karena kekerasan dan pengrusakan. Hal ini perlu
dilakukan untuk agar para korban segera di selamatkan sehingga tidak terjadi
keresahan dan sumber konflik yang baru.
Ketiga, adanya tindakan mengawasi dan membekukan para aktor yang sengaja membuat
situasi menjadi panas, meniup-niup ketidakpuasan yang ada dan mendorong orang,
untuk terlibat konflik dengan konflik sosial lainnya. Keempat, adanya
usaha nyata untuk memulihkan sarana dan prasarana yang rusak. Kelima, adanya
usaha pengembangan dan perberdayaan masyarakat yang terlibat konflik, adanya
pembangunan yang lebih berwawasan keadilan dan persamaan, serta tersedianya
pendidikan dan pelatihan yang dapat mengangkat sekelompok orang keluar dari
keterbelangan dan kemiskinan.
Dengan demikian, manusia
modren pun berada dalam kondisi yang serba problematis. Jika ilmu pengetahuan
dan teknologi modern dibiarkan berkembang secara bebas dan tanpa kontrol dan
pengarahan, maka akan menyebabkan terjadinya kehancuran dan malapetaka yang
mengancam kelangsungan hidupnya dan
peradaban manusia itu sendiri.[21]
Perkembangan hoaks merupakan salah satunya dimotori dari kemajuan dan
perkembangan teknologi modren yang kurang difungsikan manusia secara maksimal.
Dari bentuk kemajuan
dari capaian manusia saat ini, merupakan bentuk apresiasi yang sesungguhnya,
namun di balik dari keberhasilan manusia menciptakan berbagai bidang kemajuan
dalam kehidupan, ternyata menyisakan rasa gelisah, khawatir, takut, tidak aman
dan sebagainya. Mereka memikirkan situasi di mana kekuatan-kekuatan fisik serta
pengetahuan ilmu dan kebudayaan manusia berada dalam keadaan kontras dengan
kegagalan pemerintah dan kepentingan individu untuk memecahkan
persoalan-persoalan kehidupan dari segi intelektual dan moral.
H. Ujaran kebencian
Defenisi hate speech (ucapan penghinaan/atau
kebencian) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu
atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu
atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit,
etnis, gender, cacat, orientasi seksual,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.[22]
Orientasi dari ujaran
kebencian berawal dari penggunaan media sosial.Media sosial adalah media yang
berbasis internet yang bermadsuk memberikan tempat dan ruang interaksi virtual
oleh alat-alat teknologi multimedia. Dalam penggunaan media sosial tentu dampak
negatif dan positif akan silih berganti menghampiri. Namun, yang sering muncul
dampak negatifnya, yaitu fenomena haters. Haters secara harfiah berasal
dari bahasa Inggris yang artinya a person who hate (pembenci atau orang
yang di benci). Dari pemaknaan hate speech akan muncul makna yang lebih luas
yang sering di artikan sebagai bentuk ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk
merugikan berdasarkan target yang diidentifikasi dengan kelompok sosial.[23]
Ujaran kebencian merupakan bentuk tindakan
komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi,
hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal
berbagai aspek seperti agama, kewarganegaraan, cacat, gender, etnis, warna
kulit, ras dan golongan. Istilah ujaran kebencian ialah bentuk ekspresi yang
selalu menginginkan agar hasutan dapat merugikan orang lain berdasarkan target
dan tujuan yang sudah di tentukan sejak awal.
Sedangkan defenisi oleh Council of Eurofe
hatespeech dimaknai sebagai seluruh keadaan ekspresi yang menyebar,
menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia,
anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi,
termasuk intoleransi nasionalisme agresif dan etnosentrisme, diskrriminasi dan
permusuhan terhadap kelompok minoritas, migrant dan orang-orang asal migran.[24]
Sedangkan menurut R. Susilo menyatakan bahwa
yang dikatakan dari menghina bentuk dari adanya menyerang kehormatan dan nama
baik seseorang. Yang terkena dampak dari ujaran kebencian biasa merasa malu.
Menurutnya penghinaan terhadap satu individu ada 6 (enam) macam yaitu;
1. Menista secara lisan,
2. Menista dengan surat/tertulis,
3. Memfitnah,
4. Penghinaan ringan,
5. Mengadu secar memfitnah,
6. Tuduhan Secara Fitnah
Ujaran kebencian selalu mengiringi manusia
dalam mengajukan kebebasan berpendapat di media sosial. Kondisi inilah yang
membuat masyarakat bahkan negara semakin tidak kondusif oleh penyalah gunaan
media sosial dalam memberikan informasi bohong (hoaks) yang dampaknya akan
menumbuhkan sikap perselisihan, permusuahn, konflik yang tentunya tudak sesuai
dengan niali-nilai budaya yang selama ini diamalkan oleh rakyat Indonesia.
Keadaan ini pada dasarnya memberikan dampak
yang serius dan lebih sering dialokasikan pada hal-hal yang bersifat negative
sehingga menjadi sebuah tantangan atau ancaman yang mangarah pada munculnya
perpecahan atau disintegritas bangsa.Sebagaimana yang sering terjadi pada
akhir-akhir ini, dari ucapan penyebaran kebencian seolah-olah masyarakat dan
bangsa sedang menyimpan malapetaka yang dahsyat.[25]
Dalam penelitian dari Binus University, menyatakan bahwa bentuk ujaran
kebencian digambarkan layaknya suatu perkataan yang sengaja dilancarkan dengan
maksud untuk membeci, melanggar, mendiskriminasikan, dengan cara atau bentuk
singgungan, ancaman, dan menghina kelompok berdasarkan agama, golongan, suku,
etnis-budaya. Sehingga, kalau di lihat dari segi bentuk perbuatan, bahwa ujaran
kebencian ini merupakan bentuk perbuatan yang didalamnya terdapat unsure-unsur
yang menyudutkan atas nama perbedaan dan keyakinan.
Sementara dalam hukum Islam ujaran kebencian bentuk katanya adalah ihtiqar yang maknanya adalah meremehkan,
maksudnya adanya bentuk-bentuk penghinaan terhadap orang lain, yang berasal
dari perkataan, gaya, atau bentuk gambar-gambar yang hina untuk membuat oaring
lain merasa malu. Untuk itu ujaran kebencian juga, dapat ditemukan dalam hukum
Islam dengan berbagai macam bentuk-bentuk, antara lain sebagai berikut:[26]
Sementara dalam pandangan Abdul Rahman Al-Maliki, salah satu pakar hukum
Islam terkemuka menyatakan bahwa ujaran kebencian yang muatannya adan unsur
penghinaan dibagi menjadi tiga (3), bentuk:[27]
a. Al-Dzamm, bentuk penisbahan satu perkara tertentu yang
di tujukan kpada orang lain, bisa saja bentuk sindiran secara halus, yang
bertujuan untuk menybabakan kemarahan, permusuhan, kebencian satu sama lain.
b. Al-Qadh, sesuatu bentuk hubungan yang berkaitan dengan
reputasi dan harga diri tanpa menisbahkan sesuatu hal tertentu, dan
c. Al-Tahqir, ialah bentuk perkataan yang disengaja dan di
dalamnya terdapat unsur dan sikap yang bersifat celaan atau indikasi pelecehan,
tidak menghargai hak dasar manusia.
Dalam aspek ajaran agama, bahwa
ujaran kebencian sangat diperhatikan sebagai sebuah bnetuk tatanan untuk saling
meneguhkan atas dasar aspek etika dan prilaku sesama manusia. Secara mendasar
bahwa ajaran Islam sangat memberikan perhatian dan petunjuk yang sangat serius
untuk menjamin tegaknya masyarakat yang damai, adil, tentram sehingga terbebas
dari segala bentuk penindasan dan penzaliman. Keterbukaan hukum Islam
sesungguhnya ketika hukum Islam itu tidak hanya berbicara tentang ibadah
vertikal kepada Allah Swt., melainkan ikut andil dan memberikan perhatian dan
masukkan terhadap kondisi dan problematikan yang di hadapi umat manusia. Inilah
peran utama mendasar dari fungsi ajaran agama itu. Setiap manusia yang selalu
mengamalkan ajaran agamanya akan membentuk hubungan yang sesama manusia
sehingga terciptanya kehidupan yang harmonis dan damai tentram.[28]
Untuk itu andil yang cukup besar
itu, bahwa hukum Islam memiliki cara atau jalan untuk menciptakan tatanan hidup
yang lebih harmonis. Dan sesungguhnya, bahwa hukum Islam itu merupakan motor
penggerak untuk mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, produktivitas,
perkembanagn, perikemanusiaan, spritual, kebersiahan, persatuan, keramahan, dan
masyarakat demokratis.[29]
Dalam menciptakan tatanan kehidupan
bahwa penerapan hukum Islam harus sesuai dengan tujuan-tujaun dari hukum itu di
turunkan, atau biasanya disebut dengan maqsid syar’iah. Dan juga maqsid
syar’iah ini diklasifikasikan menjadi tiga (3) tingkatan yaitu daruriyyat,
hajiyyat dan tahsiniyyat.
Dalam daruriyyat terdapat
lima (5) hal yang harus di jaga, yaitu:[30]
a.
Ḥifẓ ad-dīn (menjaga agama). Menjaga agama merupakan urutan pertama dalam lingkup
hukum Islam. Karena secara keseluruhan bahwa agama bertujuan untuk mengarahkan
manusia untuk berbuat baik sesuai ajaran syari’at Islam.
b.
Ḥifẓ an-nafs (menjaga jiwa). Untuk dapat melaksanakan ketentuan syariat, hanya
orang yang berjiwa sehat jasmani dan rohani yang dapat melaksanakannya, maka
dianjurkan untuk memelihara jiwa.
c.
Ḥifẓ al-`aql (menjaga akal). Sesungguhnya teks syariat mendidik manusia untuk
memelihara akalnya agar senantiasa sehat dan berpikiran jernih. Hanya pikiran
yang sehat dan jernih yang dapat memenuhi tuntutan syariat untuk memahami
ayat-ayat Allah.
d.
Ḥifẓ an-nasab (menjaga keturunan). Kemaslahatan duniawi dan ukhrawi
ini bertujuan untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dari generasi ke
generasi. Syariat juga mengatur pemeliharaan keturunan, baik membangun keluarga
dan masyarakat.
e.
Hifẓ al-māl (menjaga harta). Syariat dapat terlaksana dengan baik
jika manusia mempunyai kehidupan sejahtera yang sekaligus menjadi tujuan syariat.
Pemeliharaan harta menjadi salah satu tujuan syariat, dalam arti mendorong
manusia untuk memperolehnya dan mengatur pemanfaatannya Syari’at Islam telah
menentukan dan menciptakan tujuannya untuk menjaga dan mententramkan
masyarakat, dan mencegah perbuatan yang yang dapat menimbulkan kerugian
terhadap jiwa, akal, harta, maupun kehormatan.[31]
Perbuatan ujaran kebencian ini masuk ke dalam golongan
memelihara jiwa (hifẓ an-nasf). Karena di dalamya memiliki muatan penghinaan, yaitu
menjatuhkan harga diri atau jiwa seseorang.
Islam mendorong manusia untuk
memelihara kehormatan walaupun dalam keadaan kebebasan dalam berbicara.Menolong
seseorang yang terkena musibah dan memuliakan tamu juga termasuk memelihara
kehormatan.Islam juga menganjurkan untuk memelihara keamanan, yakni dengan
menetapkan hukuman berat bagi siapa saja yang menganggu keamanan
masyarakat.Syari’at Islam telah mengatur keamanan untuk seluruh umatnya Dengan
demikian kehormatan penting untuk dijaga bagi setiap manusia dari segi golongan
manapun.
Dalam hadis Nabi Muhammad Saw., di jelaskan tentang larangan ujaran kebencian:
عن ابي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ.[32] (رواه
البخاري و مسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA.,
bahwasanya Rasulullah Saw., bersabda: barang siapa yang hendak beriman kepada
Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam.”
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama memaknai ḥadis ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin
berkata, maka jika yang ia katakan itu baik dan benar, ia diberi pahala. Jika
tidak, hendaklah ia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh
atau mubah”. Dalam hal perkataan yang mubah dianjurkan untuk dijauhi atau bahkan
diperintahkan untuk ditinggalkan, karena khawatir terjerumus pada yang haram
atau makruh dan seringkali hal seperti inilah yang banyak terjadi pada manusia.
Karena orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah akan takut kepada
ancaman ażab-Nya, mengarapkan pahala-Nya, dan melaksanakan semua perintah dan
meninggalkan semua larangan-Nya.[33]
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Umat Islam meyakini, semua ajaran Islam
bersumber pada wahyu Allah, baik Alquran (al-wahyu al-mutluw) maupun
Hadis Nabi Muhammad Saw., (al-wahyu ghair matluw). Mayoritas ulama sepakat, hadis Nabi Muhammad
Saw., merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah Alquran. Kedudukan hadis Nabi Muhammad Saw., sebagai
salah satu sumber ajaran Islam menunjukkan posisi yang sangat signifikan dalam
menjelaskan kandungan Alquran.[1]
Sebagai mana dinyatakan Allah Swt;
وَيَوْمَ
نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ
وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً
وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ.
Artinya: “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
Sehingga, posisi hadis sangat sentral dalam
merumuskan sebuah hukum Islam.Bahwa tidak dapat dipungkiri, bahwa hadis telah
mengajarkan kepada umat Islam untuk patuh kepada ajaran-ajaran nabi Muhammad
Saw.Bila ditelaah secara mendalam, hal ini dipahami (walaupun tidak harus
diterima). Dasar yang baku dan pasti hanyalah Alquran. Adapun lainnya sangat
dipengaruhi oleh konteks, dalam kondisi tertentu, sebagian orang menerima hadis
dengan terpaksa. Karena
penerimaannya tersebut tidak mencerminkan keimanannya.
Peran penting dari hadis nabi Muhammad Saw.,
dalam menjelaskan ajaran hadis dengan seksama dalam memahami perkembangan
dinamika kehidupan sosial. Hal ini
menjadi tugas yang berat karena belum terbiasa dengan hal-hal yang aktual
seperti hoaks, yang merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran hadis.
Oleh karena itu, hoaks dapat disebut
merupakan sebuah kejahatan kriminalitas dalam Islam yang pada akhirnya dapat
membuat kekacauan dalam masyarakat. Dalam posisi kejahatan kriminalitas tentu
hadis akan memberikan sebuah pemahaman baru dalam mencegahnya. Sebab dari awal
dijelaskan bahwa tujuan dari hukum Islam untuk mengeluarkan manusia dari
kebodohan menuju pengetahuan dan kebebasan.Oleh karena itu, perbaikan dalam
masyarakat membutuhkan aturan yang jelas, maka ditetapkanlah hukuman atau hukum
pidana bagi mereka yang menentang aturan yang ada.Sehingga masyarakat dapat
menjalankan sesuai dengan aturan yang ada untuk menciptakan yang namanya
perbaikan.[2]
B.
Hukum dan Dampak Hoaks Perspektif Hadis
Islam adalah agama dan jalan hidup yang
berdasarkan pada Alquran dan Hadis Nabi Saw., yang menuntut setiap orang untuk
berkewajiban untuk bertingkah laku dalam seluruh hidupnya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Alquran dan Hadis Nabi Saw.Oleh karena itu, setiap orang
hendaknya harus memperhatikan tiap langkahnya untuk membedakan antara yang
benar (halal) dan yang salah (haram).Prinsip-prinsip ini adalah kebutuhan dan
kepentingan pengenalannya dengan korpus hukum Islam (syariah).Oleh
karena itu, membedah hoaks dalam perspektif hadis merupakan kebijakan-kebijakan
untuk memandang sebuah problem yang sedang aktual dalam masyarakat.[3]
Sebagaimana kita ketahui bahwa hoaks
merupakan fenomena yang melanda masyarakat umum terkini. Bila didekatkan dalam
pemahaman hadis, tentu hal ini akan membicarakan tentang hukumnya dan hal ini akan
dapat diketahui bila mana dapat dikumpulkan dalam pembahasan hadis ahkam.
Dengan demikian, akan dapat di uraikan tentang hukum hoaks dalam Islam.
Hoaks sebagai
bentuk pembohongan terhadap publik merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan
dalam Islam.Segala jenis pembohongan baik pembohongan yang ditujukan untuk
individu maupun pembohongan terhadap lembaga, organisasi, atau terhadap
sekelompok masyarakat yang bertujuan untuk membentuk opini publik atau
provokasi serta kepentingan politik adalah perbuatan terlarang dalam kajian
Islam. Pembuatan hoaks dapat dikategorikan sebagai pihak yang merugikan orang
lain dan hoaks yang dibuatnya di golongkan sebagai haditsul ifki atau
berita bohong. Istilah hoaks atau berita bohong (dusta) dapat dijumpai dalam
beberapa hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi;
عن عائسة رضي الله عنها قالَتْ
تقْرَأُ: اِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ. وَتَقُوْلُ الْوَلَقُ الْكَذِبُ.
قال ابن ابي مليكة وَكَانَتْ اَعْلَمْ مِنْ غيرها بذالك لانه نَزَلَ فِيْهَا. (رواه
بخاري).
Artinya: “Dari ‘Aisyah ra., bahwa ia
pernah membaca ayat “اِذْ تَلَقَّوْنَهُ
بِأَلْسِنَتِكُمْ(ingatlah waktu kamu menerima berita
bohong itu dari mulut ke mulut [an-Nuur: 15]). ‘Aisyah berkata: arti kata al-walq
(taliqu), ialah berdusta. Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ia lebih mengerti (arti
ayat) itu dari pada yang lainnya, karena hal itu diturunkan tentang dirinya”.
(HR. Bukhari).[4]
Sehingga, hoaks selalu berkaitan tentang
pembohongan publik yang bertujuan untuk menciptakan kekacauan, keributan,
kejahatan, fitnahan dan sebagainya yang perbuatan tersebut bisa merugikan atau
mendatangkan bencana terhadap jiwa dan harta orang lain.
Sehingga, dalam rumusan lain bahwa hoaks
dalam makna yang konotasinya adalah segala bentuk perbuatan jahat. Dalam
rumusan hukum Islam ini dapat dijumpai sebagai bentuk jinayah yang
berkaitan tentang perbuatan dosa besar atau kejahatan (kriminal). Abu Muhammad Mahmud dalam kitabnya al-Binayah
fi-Syarh al-Hidayah mendefinisikanjinayah,
setiap perbuatan yang bisa merugikan atau mendatangkan bencana terhadap jiwa
dan harta orang lain.[5]
Menurut Abdul Qodir Audah, jinayat secara etimologis adalah nama sebutan
bagi seseorang yang berbuat tindak pidana (delik) atau orang yang berbuat
kejahatan. Kalau dicermati secara mendalam dan mendasar tampaknya jinayah
dapat menjangkau atau sejalan dalam bentuk perbuatan kejahatan (hoaks).Sehingga
dalam hadis, hoaks adalah kejahatan kemanusiaan yang didalamnya terdapat unsur
yang dapat merugikan jiwa (nafs).
Namun, bila berbicara dalam konteks
keindonesiaan hoaks tidak hanya di tinjau dalam prspektif hukum Islam namun
juga harus dilihat dari bentuk muatannya dalam hukum positif (hukum pidana
konvensional). Dalam hal ini penulis menemukan celah perbedaaan antara hukum jinayah dengan hukum positif Indonesia.[6]
Pertama, Jinayah Islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan
budi pekerti yang luhur, sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan
akhlak akan selalu dicela dan diancam dengan hukum Islam. Sedangkan hukum
positif hanya berorientasi kepada apa yang menyebabkan kerugian secara langsung
bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat, dan tidak mengarah kepada budi
pekerti. Sehingga jika tidak menimbulkan kerugian secara langsung, bagi pihak
lain, walaupun bertentangan dengan akhlak tidak diangggap tindak pidana. Kedua,
hukum positif (undang-undang) merupakan produk nalar manusia, sedangkan jinayah
Islam bersumber dari nash Alquran dan hadis. Selain itu, ada ketentuan
hukum yang diserahkan kepada pemerintah (ulil amri), yaitu jarimah
ta’zir yang dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada nash Alquran dan
Hadis.
1. Hukum Hoaks dari bentuk Jinayat Islam
Materi dan muatan hoaks dari bentuk jinayat
adalah bentuk penetapan keharaman keberadaan hoaks. Sebab semangat jinayat
dalam konteks hoaks adalah menjaga harga diri (hidz nafs). Bahkan
dalam hadis sekalipun dijelaskan bahwa perbuatan yang mengarah pada kerusakan
diri maupun orang banyak maka harus disingkirkan. Hadis Nabi Saw.,:
لاضرر ولا ضرر.
Artinya: “Tidak boleh
ada kemudharatan dan memudharatkan”.
Hubungan dalam fenomena
hoaks adalah bentuk kemaslahatan umum, hal ini senada dalam pandangan Abu
Zahrah mengatakan bahwa kemaslahatan yang diperhitungkan adalah kemaslahatan
yang hakiki, salah satunya adalah hidz an-nafs(menjaga jiwa), hal ini
merupakan tiang kehidupan yang mana manusia tidak bisa hidup selayaknya tanpa
lima hal tersebut.
Sehingga, dari hadis
tersebut dapat dipahami bahwa fenomena hoaks merupakan sebuah akibat yang dapat
membuat kejahatan dalam masyarakat umum. Hal ini dipertegas kembali bahwa setiap manusia tentu
dilarang agar tidak membuat kemudharatan baik untuk diri sendiri maupun untuk
publik. Sehingga, fenomena hoaks lebih mengarah pada aspek adanya potensi
kemudharatan yang muncul ditengah kehidupan. Dengan semangat untuk menhindari
bentuk kemudharatan, maka dari sisi inilah dapat dipahami bahwa hoaks merupakan
dilarang dalam Islam. Artinya, apabila keadaan
itu dapat menimbulkan kemudharatan maka hal itu harus ditinggalkan. Sebab, potensi yang ditimbulkan
hoaks antaranya munculnya ketidaksaling percaya, permusuhan, fitnah,
perpecahan, ujaran kebencian dan sebagainya.
Sehingga langkah alternatifnya adalah bahwa
hoaks sama sekali tidak memiliki unsur yang membawa pada bentuk kemaslahatan.
Dan seharusnya harus diupayakan agar setiap tindakan itu mengarah pada
kemaslahatan bersama. Sehingga dalam pemaknaan dapat disimpulkan bahwa maslahat
merupakan dasar dari semua unsur perbuatan. Hal ini senada dalam pendapat Ibnu
al-Qayyim mengatakan, kontruks dan dasar syariat adalah hukum dan kemaslahatan
makhluk, baik di dunia dan akhirat. Abu Zahrah juga mengatakan, bahwa
kemanfaatan atau kemaslahatan dapat dijadikan ukuran perintah atau larangan
agama.[7]
Bentuk perbuatan hoaks merupakan bentuk
kejahatan kriminal sebab terdapat unsur yang dapat merugikan orang lain. Dalam
kaitan ini, hukum Islam menelusuri tentang tindak kriminalitas yang disebabkan
oleh hoaks. Tentu untuk memahami pidana Islam dengan baik, mau tidak mau kita
harus memahami terlebih dahulu pandangan Islam terhadap tindakan kriminal dan
hukumannya. Pandangan Islam ini sangat berbeda dengan undang-undang (UU)
positif tentang hukum pidana.
Oleh karenanya, dapat dikatakan hukum Islam
mengarahkan pada aspek penekanan tentang hati dan nurani masyarakat agar sadar
untuk mengubah pandangan hidupnya dan terbebas dari hoaks. Sehingga masyarakat
betul-betul dapat merubah cara pandangan sehingga masyarakat tidak lagi mencuri
walaupun dalam keadaan terpaksa atau tidak menyebarkan hoaks walaupun dalam
keadaan terpaksa. Inilah tujuan mulia dari hukum Islam, sehingga hukum islam
itu tidak hanya berbicara tentang iming-iming siksa dan pahala melainkan
mewujudkan atau menciptakan tatanan, bangunan dan konsep masyarakat yang
perbuatannya baik dan harmoni.[8]
Oleh karenanya
perbaikan dalam masyarakat membutuhkan aturan, konsep yang jelas, sehingga
ditetapkan hukuman dan hukum pidana bagi mereka yang menentang aturan yang
ada.Hingga masyarakat dapat berjalan sesuai dengan aturan yang ada untuk
menciptakan perbaikan masyarakat.
Seorang hakim,
asy-Syahid ‘Abdul Qadir ‘Audah; memahami dengan baik dualitas ini, hingga ia
mengatakan dalam bukunya at-Taysri al-Jina’I al-Islami Muqarinan bi al-Qanun
al-Wadh’i.“ Pandangan syariat terhadap kriminalitas berpijak pada dua
dasar, yang satu fokus pada bentuk kriminalitasnya dan mengeyampingkan
pelakunya, sementara yang satu fokus pada pelakunya dan mengeyampingkan bentuk
kriminalitasnya. Tujuan dari yang fokus pada bentuk kriminalitas adalah untuk
melindungi masyarakat. Sementara pada dasar yang fokus pada pelakunya adalah
untuk memperbaikinya”.
Inti dari
hukum Islam adalah aturan yang melindungi masyarakat, prinsip dan kondisinya
sehingga terciptanya perbaikan secara individual untuk menciptakan perubahan
dalam masyarakat secara menyeluruh. Oleh karenanya, salah seorang uskup agung
York William Temple dalam sebuah khutbahnya tentang etika penerapan hukuman
pidana Ethics of Penal Action, mengatakan bila kita mengatakan upaya
memperbaiki masyarakat tidak cukup dengan UU parlemen, ini sangat membahayakan.[9]
Tentu dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran hukum belum
tentu efektif memberikan kesadaran dan efek jera bilamana pendekatakannya
mengarah pada penegakan UU semata.Pencegahan hoaks semata-mata harus dilibatkan
konsep hadis sebagai ajuan dan dasar untuk membasmi dan menanggulangi
perkembangannya.
2. Dampak Hoaks
Perspektif Hadis
Secara
nyatanya bahwa perkembangan fenomena hoaks memberikan dampak yang luar biasa
dalam kehidupan manusia. Hukum, ekonomi, politik, sosial, kebudayaan dan
sebagainya tanpa terkecuali merasakan dampak atau akibat yang ditimbulkan hoaks
tersebut. Bila diperhatikan
belakangan ini keberadaan hoaks memang meresahkan masyarakat secara
keselurahan. Dalam hal ekonomi misalnya, masih segar dalam ingatan kita tentang
telur ayam palsu yang beredar di pasaran. Tentu ini berdampak pada daya jual,
yang akhirnya masyarakat pun semakin enggang untuk membeli yang dampak
akibatnya tentu para penjual ayam akan merasa rugi dan dirugikan.
Namun, bila dilihat dalam perspektif hadis dampak yang ditimbulkan hoaks
adalah akan muncul bentuk perbuatan yang didalam terdapat unsure pemberontakan
atau pembangkangan (al-baghyu).Hadis Nabi Saw., yang berbunyi:
عن ابي هريرة عن النبى صلى الله
عليه وسلم: اَنَّهُ قَالَ مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفارَقَ الْجماعَةَ فَماتَ
ماتَ مِيْتَةً جاهليةً.
Artinya: “Barang
siapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari
jamaah kemudian dia mati, matinya adalah mati jahiliyah”.
Dalam kaitannya bahwa
hoaks lebih mengarah atau mengaju pada munculnya sebuah gerakan yaitu
pemberontakan yang secara bahasa berarti melampaui batas, aniaya, atau zalim.
Secara etimologis pemberontakan adalah seseorang keluarnya dari ketaatan kepada
penguasa yang sah karena perbedaan persepsi (takwil). Pemberontakan
merupakan upaya untuk merongrong kekekuasaan pemerintah yang legal dan selalu
berkaraktek merusak.[10]
Dengan perkembangnya
pemberontkan hal ini akan menimbulkan bentuk persepsi dalam masyarakat yang
mengarahkan pada bentuk penipuan publik. Prosedur ini sengaja dibuat untuk
mempengaruhi atau menarik simpati masyakarakat tentang hal-hal yang sedang
aktual.
C.
Respon dan Tanggapan Hadis terhadap Hoaks
Rasul Saw., adalah Rasul Allah Swt yang telah diakui dan dibenarkan oleh
umat Islam. Di dalam melaksanakan tugas agama, yaitu menyampaikan hukum-hukum
syariat kepada umat, terkadang beliau membawa peraturan-peraturan yang isi dan
redaksi peraturan itu telah diterima dari Allah Swt. Dan kadang-kadang beliau
membawakan peraturan-paeratran hasil ciptaan sendiri atas bimbingan ilham dari
Allah Swt. Dan tidak jarang pula membawa hasil ijtihad semata-mata mengenai
suatu masalah yang tiada ditunjuk oleh wahyu atau bimbingan oleh ilham. Hasil
ijtihad beliau terus berlaku sampai ada nash yang menasakhkannya.
Tidak diragukan lagi, kesediaan berbuat baik merupakan suatu kebaikan yang
ideal asalkan ia tidak membuka jalan untuk menggoda dan merangsang tersebarnya
kerusuhan di dunia. Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran,
keberadaan hadis, di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang
kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada
henti-hentinya, selain berkedudukan sebagai sumber, ia juga berfungsi sebagai
penjelas, perinci dan penafsir Alquran. Berdasarkan hal ini, dapat
dipahami hadis memiliki kedudukan yang strategis dalam mencegah perkembangan
dan penyebaran hoaks dalam dinamika kehidupan manusia.[11]
Untuk itu berbagai kajian dan pengkajian hukum Islam dalam konteks dan
bentuk apapun, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian
mendeskripsikan serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam
sebagai bagian dari kehidupan manusia yang dapat digali dari berbagai sumber
yang mudah ditemukan.[12]
Langkah
strategis yang akan ditempuh untuk memahami substansi hadis Nabi Saw., berawal
dari pemahaman dan penjelasan terhadap fenomena yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam hal ini tentu menangggapi tentang isu-isu hoaks sehingga ingin melihat
respon dan tanggapan hadis.Sehingga hal ini lebih mengarah pada fungsi hadis
dalam kehidupan umat manusia.
Hadis
merupakan mengambil peran sebagai penetapan hukum atau aturan yang ditemui
dalam Alquran. Dalam hubungan ini misalnya; “Tidak boleh seseorang
mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapak)nya dan
seorang wanita dengan khalah (saudari ibu)nya.”.
Hal yang sudah
semestinya hadis harus dikembangkan, dihidupkan fungsinya dalam mengarungi
kehidupan umat manusia. Bahwa hadis
tidak hanya berkaitan tentang penetapan hukum yang tidak termuat dalam Alquran
yang secara nyata atau riil. Sehingga
keberadaan hadis sanga penting untuk memberikan respon dan tangggapan terhadap
problematika yang dihadapi seperti fenomena hoaks.
D. Urgensi dan Efektivitas
Hadis terhadap Hoaks
Islam adalah ajaran dan jalan hidup yang berdasarkan pada sumber hukum
Islam yang termaktub dalam Alquran dan hadis. Sehingga setiap manusia dalam
bertingkah laku dalam seluruh hidupnya haruslah sesuai yang dengan
ketentuan-ketentuannya. Oleh karena itu, setiap manusia hendaklah memperhatikan
setiap langkah dan tindakan agar dapat membedakan antara benar (halal) dan
salah haram.
Sebagaimana telah diketahui secara umum, bahwa hadis merupakan pelengkap
Alquran. Agar senantiasa manusia dapat memperoleh bimbingan, jawaban solusi
atau jalan keluar atas semua problematika kehidupan. Untuk itu keurgensian
hadis dalam mencegah penyebaran hoaks merupakan muatan utama dalam
mengembangkan dan menghidupkan kembali fungsi hadis sebagai sumber hukum Islam
kedua. Sebagaimana dalam hadis Nabi Saw., yang berbunyi:
الاوانى قد
إوتيت القرآن ومثله معه. (حديث
رواه البخارى).
Artinya: “Sungguh aku
telah diberi Alquran dan yang serupa itu (yaitu al-sunnah) bersamanya”.
Melihat perkembangan
hoaks, hadis harus mendesak seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, aparat
penegak hukum untuk melihat pentinganya merumuskan kembali aturan-aturan untuk
mencegah pergerakan hoaks dalam masyarakat. Sehingga, akan terbangun sebuah
keadaan yang sangat pentingnya agar hadis dapat dirasakan secara
sungguh-sungguh dapat memberikan solusi dalam kehidupan baik secara pribadi dan
publik sehingga hadis menjadi sebuah petunjuk dalam seluruh aspek kehidupan.[13]
Untuk itu, mengontrol
segala bentuk kejahatan-kejahatan terkini memang sangat sulit, melihat
perkembangan dan kecangggihan alat-alat teknologi, informasi dan komunikasi.
Memang sejak awal, hoaks memainkan dan mengandalkan teknologi sebagai jalan
utama untuk memuluskan kejahatan yang dilakukan oleh segilintir orang.
Untuk itu ajaran Islam
sangat menjungjung tinggi ketentraman hidup makhluk. Hadis merupakan kitab al-hidayah
petunjuk yang sempurnabagi seluruh aspek kehidupan manusia. Tatanan hidup yang
Islami merupakan suatu keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara bai
jasmani maupun rohani umat manusia, mengangkat dan memperbaikinya.
Oleh karena itu, tatanan
moral hadis harus di ikuti dengan ketat guna menciptakan kehidupan manusia di
bumi ini yang layak dan damai. Sebagai umat manusia yang kreatif, kaum muslimin
harus berjuang bagi masyarakat didasarkan pada ekonomi dan keadilan sosial.
Untuk itu hoaks bukan hanya sebuah pelanggaran terhadap manusia dan masyarakat,
melainkan suatu keadaan yang dapat mengakibatkan munculnya kekacauan,
kekalutan, bahkan hilangnya rasa aman.[14]
Jadi Islam,
menyikapi isu-isu yang mengarah pada retaknya kehidupan berbangsa dan bernegara
yang dimotori sifat-sifat pengabaian, pengkhianatan, inkosistensi. Islam
menawarkan kehidupan yang penuh kedamaian dalam suatu bangsa dan negara,
melalui semangat akan rasa Katuhanan Yang Maha Esa, akan melahirkan kehidupan
yang penuh etika, persaudaran dan persatuan kesatuan bangsa. Dengan semangat
itu seluruh kehidupan manusia akan memiliki nilai sebagai kebaktian atau
ibadah.
Nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya bangsa belum sepenuhnya dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan
bernegara. Oleh karena itu, akan melahirkan krisis akhlak dan moral yang berupa
bertebaran fitnah, saling merasa benar sendiri, pelanggaran hukum. Dalam muatan
ini, sangat dibutuhkan upaya menghadirkan kembali kepermukaan berupa
nilai-nilai agama dan khzanah kearifan lokal bangsa sebagai sumber etika dan
moral untuk berbuat baik dan keterpihakan pada kebenaran untuk menebus
kesalahannya dengan tobat.
Dalam menyikapi berbagai persoalan
yang melanda bangsa Indonesia yang menjurus kearah polarisasi, maka sepatutnya
masyarakat Indonesia harus mampu merumus ulang kembali tentang konsep yang
berasaskan kekeluargaan, tentang memelihara budi pekerti kemanusian dan
memengang teguh cita-cita moral kerakyatan. Nilai luhur budaya bangsa Indonesia
yang dimanisfestasikan melalui adat istiadat yang berperan dalam menguatkan
persatuan dan kesatuan bangsa. Khazanah kearifan lokal harus dipadukan melalui
nilai-nilai universal dalam wacana merekatkan persaudaraan sesama anak bangsa.
Bahwa yang perlu diperhatikan dalam
konteks kajian nilai-nilai universal Islam, bahwa dalam Alquran berbicara
tentang etika maka dia hanya berada dalam dekapan orang yang beriman. Bahwa
etika sebuah tuntutan moral yang tidak banyak dampaknya bagi orang yang melihat
tanpa pengetahuan, yang tidak mengikuti jalan kesalamatan dan keridhaan. Jadi,
moral dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan sebuah perintah
dan kewajiban bagi manusia. Hal ini dimaksudkan, bahwa mengatur dan menjalan
satu masyarakat yang memelihara keluhuran manusia, perdamaian dan keselarasan,
keadilan dan kesetaraan untuk semua pihak baik muslim maupun non-muslim.
Bahwa dalam konteks berbangsa dan
bernegara, sesuatu yang tidak bisa dihindari adalah munculnya paham dan sikap
monistik, sebuah paham dan sikap yang menganggap dirinya yang benar, sedang
orang lain salah. Isu-isu hoaks yang terjadi pada masyarakat saat ini,
ada sekelompok orang yang berpandangan bahwa muatan objek hoaks adalah
melanggar UU. Dalam masyarakat Muslim, upaya mendiskreditkan kelompok lain
dengan ungkapan yang tidak pantas merupakan fenomena mutakhir. Seolah-olah
ajaran Islam hanya berbicara tentang hal-hal yang bersifat hitam putih. Seorang
muslim yang baik, tidak sepatutnya mengucapkan dan melakukan tindakan yang
tidak sejalan dengan etika sosial. Masyarakat bangsa yang didalamnya terdapat
perbuatan melawan hukum, penyelewengan, menebar fitnah, komunikasi yang tidak
manusiawi adalah perselisihan yang bersifat permanen. Sebaliknya, Masyarakat
bangsa yang ssecara budaya lebih baik akan mempunyai kesempatan membangun
toleransi. Logika sederhana, bila masyarakat bangsa yang Muslim mempraktikkan
toleransi yang bersumber dari teks-teks otoritatif, maka kehidupan yang toleran
dan harmonis akan menjadi salah satu pemandangan yang membahagiakan seluruh
penghuni negeri ini. Sehingga harus diupayakan berjuang atas nama toleransi,
hakikatnya berjuang menghilangkan nalar dan kebencian.
Namun hal yang harus disikapi secara arif dan
bijaksana adalah larangan menebar kekerasan. Bahwa apa yang terjadi dalam
masyarakat beberapa waktu yang lalu. Adanya sekelompok orang yang mencoba
melarang pemakaian baju kaos tertentu. Adanya aksi seperti ini, besar
kemungkinan dapat diproyeksi ada unsur kekerasan yang diperankan dalam hal itu.
Dalam ha ini, kebaikan harus mampu menciptakan perubahan sosial. Jalan untuk
mengakhiri kekerasan merupakan jalan yang dipilih Tuhan, karena Tuhn
menciptakan manusia untuk saling menghargai, menghormati dan mencintai. Maka
dari itu, jalan untuk mengakhiri kekerasan, dibutuhkan komitmen bersama untuk
bersama-sama membangun suatu bangsa yang berkemajuan dengan menuangkan berbagai
ide, gagasan kreatif.
Al-Qur’an menolak perpecahan, atau
opini tanpa isi yang tujuannya memicu perpecahan. Yang hal ini termasuk dalam
hasrat untuk menjelek-jelekkan kelompok tertentu seraya memancing kekerasan dan
kezhaliman terhadap kelompok tertentu. Kejadian
unik tersebut sering dimainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Mencoba menimbulkan berbagai fitnah untuk membenturkan masyarakat supaya
terjadi kekacauan dan perpecahan sendiri. Provokasi-provokasi yang dilancarkan
terkadang hanya mengangkat isu-isu yang kecil namun terus dibesarkan untuk
menarik masyarakat kearah tertentu. Bahwa yang perlu kita renungkan kembali,
bahwa rasa persaudaraan sebangsa setanah air dimaknai sebagai bentuk perekat
antar anak bangsa.
Bahwa berdiri
kokoh dan meraih kemajuan harus berlandaskan pada etika karakter kepribadian
bangsa dan mewujudkan nilai keuniversalan Islam. Bahwa prinsip modal
keindonesia yang tercermin dalam khzanah budaya lokal untuk mencapai
perikehidupan bangsa yang aman, damai, adil makmur serta jauh dari bencana
pelanggaran hukum. Dan begitu juga, mengaplikasikaan nilai keuniversalan Islam
dalam konteks membangun bangsa yang damai, masyarkatnya dituntut agar mampu mengejentawahkan
nilai-nilai Tauhid dalam aktivitas dan tingkah laku. Dengan wawasan Tauhid akan
memperkuat etos kerja karena kualitas kerja yang transendensikan dari batasan
hasil kerja materilnya. Oleh karenanya, teologi kerja akan memberikan nilai
tambah spritual untuk memotivasi dan memperbesar inspirasi dan akan menangkap
aspirasi agar dapat menjangkar kepentingan
terhadap nilai, etika dalam berbangsa dan bernegara. Misi dari nilai Tauhid
dalam konteks barbangsa adalah untuk menjungjung tinggi dan memuliakan manusia, persatuan, kerakyatan
dan keadilan, yang mendorong masyarakat bangsa agar mengembangkan nilai-nilai
Tauhid yang lapang, toleran terbuka dan saling memahami satu sama lain.
E.
Kosep Maqsid Syariah Mencegah Hoaks
Maqsid syariah
merupakan sasaran syariat Islam dalam menciptakan kemaslahatan bagi manusia.
Stratifikasi maqasid syariah dibagi dalam tiga tingkatan, pertama, kebutuhan ad-daruriyyah yaitu
kebutuhan yang mendasar yang menyangkut dalam mewujudkan dan melindungi
eksistensi kelima pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kedua
yaitu kebutuhan al-hajiyyah dalam rangka perwujudan dan perlindungan
yang diperlukan dalam melestarikan kelima pokok tersebut di atas, tetapi kadar
kebutuhannya berada di bawah kadar kebutuhan ad-daruriyyah.
Ketiga kebutuhan at-tahsiniyyah merupakan tingkat kebutuhan yang apabila
tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas
dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan
pelengkap saja. Dalam pelaksanaan setiap tingkatan maqasid syariah
disesuai dengan kebutuhan manusia.
Kehidupan dunia yang
dijalani manusia harus selaras dengan tujuan akhir kehidupan manusia yaitu
akhirat. Karena hukum yang ditetapkan bagi manusia akan membawa kemudahan dan
kebaikan manusia. Tak terhitung begitu banyaknya kemudahan yang diberikan
ketika manusia dalam kesulitan, begitu pula dengan kebaikan yang ditimbulkan
dari penetapan hukum. Dan tujuan hukum ditetapkan meski melihat kepada tingkat
kebutuhan manusia, karena ada stratifikasi yang mesti diproritaskan ketika
menetapkan sebuah kebutuhan agar kehidupan manusia bisa berjalan dengan baik.[15]
Hukum dalam Islam memiliki tujuan luhur dan maksud
mulia yang sangat diinginkan oleh Allah Pembuat syari’at, Yang Maha Bijaksana
untuk terealisir dalam kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa hukum syari’at memiliki ‘illat hukum (faktor/konsideran penyebab hukum)
yang dapat difahami dan terkait dengan maslahat (kebaikan) manusia. Dan masalah
ini
merupakan kesepakatan dari ulama Islam kecuali kelompok kecil dari ulama
ahli dzahir (tektual/ skripturalis) dan para pengikut mereka.
Menurut
Imam asy- Syathiby seorang ahli ushul
fikih dari mazhab Maliki menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, ada lima pokok
yang harus diwujudkan dan dipelihara.
Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok tersebut, seorang mukallaf akan
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil induksi ulama ushul
fikih terhadap nash, kelima masalah pokok itu ialah: agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Lima kemaslahatan pokok ini wajib dipelihara seseorang dan untuk itu
pula didatangkan syariat yang mengandung perintah, larangan dan keizinan yang
harus dipenuhi oleh setiap mukalaf. Dalam mewujudkan
dan memelihara kelima pokok di atas, ulama ushul fikih menstratifikasi sesuai
dengan kualitas kebutuhannya.
Ketiga
kategori tersebut adalah (a) kebutuhan ad-daruriyyah (bersifat pokok,
mendasar), (b) kebutuhan al-hajiyyah (yang bersifat kebutuhan)
dan (c) at-tahsiniyyah (bersifat
penyempurna, pelengkap), dengan penjelasan sebagai berikut: Kebutuhan ad-daruriyyah adalah kebutuhan yang mendasar yang menyangkut dalam mewujudkan dan
melindungi eksistensi kelima pokok
di atas yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila kemaslahan ini hilang, maka kehidupan manusia bisa hancur, tidak selamat, baik di dunia
maupun di akhirat. Menurut imam asy-
Syathiby,
di kelima hal inilah agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan apabila dipelihara akan mendapatkan kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi.
Sehingga
dalam hal ini, pencegahan hoaks dalam perspektif maqsid syariah terlihat pada
konsep menjawa jiwa (harga diri).
Hal
ini terlihat dalam hadis Nabis Saw.,
Artinya:
“Sesungguhnya
darah kalian, kehormatan kalian, harta kalian adalah haram (terjaga) atas
kalian yang lain…”.
Sehingga
telah disebutkan hukuman bagi orang yang menodai kehormatan, yaitu hukuman
mencemarkan nama baik atau kehormatan (al-qadzaf). Dengan demikian,
adanya permasalahan hukuman (sanksi) yang diberikan oleh syariat tersebut
menjadi pengaruh untuk membatasi dan menentukan ad-dharuriyyat.[16]
F. Konsep Pancasila dalam Mencegah Hoaks
Pada saat ini bangsa Indonesia sedang
menghadapi berbagai masalah yang telah menyebabkan terjadinya krisis yang
sangat luas.Nilai-nilai agama dan nilai-nilia budaya bangsa belum sepenuhnya
dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh sebagian masyarakat. Hal itu
kemudian melahirkan krisis akhak dan moral berupa pelanggaran hukum seperti
hoaks. Dalam kerangka itu, diperlukan upaya untuk mewujudkan nilai-nilai agama
dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral untuk berbuat baik
dan menghindari perbuatan tercela, serta perbuatan yang bertentangan dengan
hukum dan hak asasi manusia. Nilai-nilai pancasila harus di upayakan setiap
elemen agar selalu berpihak kepada kebenaran dan kemanusiaan.
Konflik sosial budaya
terjadi karena kemajemukan suku, budaya dan agama tidak teratasi dengan baik
dan adil oleh penyelenggara negara maupun masyarakat. Dalam kerangka itu,
diperlukan penyelenggaraan negara yang mampu memahami dan mampu mengelola
kemajemukan bangsa secara baik dan adil sehingga dapat terwujud toleransi,
kerukunan sosial, kebersamaan, dan kesetaraan bangsa.
Globalisasi dalam
kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi
bangsa, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi dampak negatif terhadap
kehidupan berbangsa. Dalam kerangkan itu, diperlukan adanya sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas dan mampu bekerjasama serta berdaya saing untuk
memperoleh manfaat positif dan globalisasi dengan tetap berwawasan pada
persatuan dan kesatuan nasional.
Hoaks sejak
kemunculannya selalu memberikan dampak negatif, berupa konflik sosial budaya, seperti
kasus yang terjadi di Wamena Papua serta daerah-daerah lain di Indonesia. Perkembangan kemajuan teknologi, globalisasi
dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan
keuntungan bagi bangsa Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai dapat member
dampak negative terhadap kehidupan berbangsa. Dalam kerangka itu, di perlukan
adanya sumber daya manusia yang
berkualitas dan mampu bekerja sama serta berdaya saing untuk memperoleh
mamfaat positif dari kemajuan dengan tetap berwawasan pada perstuan dan
kesatuan nasional.[17]
Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa
Indonesia yang keberadaannya atau cita-citanya yang berfungsi sebagai kalimatun
sawa diantara sesame warga masyarakat dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam kesapakatan pertama dalam menyangga konstitusionalisme
menunjukkan Pancasila sebagi idiologi terbuka.Bahwa pancasila menjadi pedoman
bagi kehidupan kenegaraan.Sehingga dalam pancasila semangat itu hidup dan
bersifat dinamis yang senantiasa mewujudkan nilai-nilai pancasila di dalam
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.[18]
Dengan adanya dampak hoaks dalam kehidupan bangsa menjadi sebuah
penghalang dalam pembangunan.Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat
berbangsa, hal ini sebagai perwujudan praksis dalam meningkatkan harkat
martabatnya. Tujuan Negara tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang rinciannya
adalah sebagai berikut: “melindungi segenap bangsa dan tanah seluruh tumpah
darah Indonesia”. Dalam
upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya
maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.[19]
Untuk itu konsep pancasila dalam menghentikan isu hoask dalam masyarakat dapat
ditinjau dari pemahaman bahwa pancasila merupakan sebuah cita-cita hidup yang
akan mengantarkan kehidupan manusia. Sebuah kehidupan yang dibangun atas dasar
kesadaran akan nilai-nilai, pedoman yang terkandung dalam pancasila. Oleh
karena itu, pancasila merupakan benteng paling depan untuk menghalau setiap
hal-hal yang dapat mengajaukan kehidupan.
Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr.
Kuntowijoyo dalam buku Identitas Politik Umat Islam dia mengatakan bahwa
pancasila harus di masyarakatkan sebagai common denominator (rujukan
bersama) semua golongan agama, ras, suku, dan kelompok kepentingan.[20]
Dalam hal ini, Pancasila
memberikan pandangan sebagai sebuah solusi untuk menhadapi fenomena hoaks yang
berkembang saat ini, antara lain:
a.
Menjadikan nilai-nilai
agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber etika kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam rangka memperkuat akhlak dan moral penyelenggara negara dan
masyarakat.
b.
Menjadikan Pancasila
sebagai ideologi negara yang terbuka dengan membuka wacana dan dialog terbuka
di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan sesuai dengan visi
Indonesia masa depan.
c.
Meningkatkan kerukunan
sosial antar dan antara pemeluk agama, suku dan kelompok-kelompok masyarakat
lainnya melalui dialog dan kerjasama dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan,
toleransi dan saling menghormati. Intervensi pemerintah dalam kehidupan sosial
budaya perlu dikurangi, sedangkan potensi dan inisiatif masyarakat perlu
ditingkatkan.
d.
Menegakkan supremasi
hukum dan perundang-undangan secara konsisten dan bertanggung jawab, serta
menjamin dan menghormati hak-hak asasi manusia. Langkah ini harus didahului
dengan memproses dan menyelesaikan berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme
serta pelanggaran hak asasi manusia.
e.
Memberdayakan masyarakat
melalui perbaikan sistem politik yang demokratis sehingga dapat melahirkan
pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, menjadi panutan masyarakat dan
mampu mempersatukan bangsa dan negara.
f.
Meningkatkan kemampuan
sumber daya manusia Indonesia sehingga mampu bekerjasama dan bersaing sebagai
bangsa dan warga dunia dengan tetap berwawasan pada persatuan dan kesatuan
nasional.
g.
Mengembalikan pancasila
sebagai ideologi negara, mengembangkan Pancasila sebagai ideologi dan sebagai
dasar landasan peraturan perundang-undangan, mengusahakan Pancasila mempunyai
konsistensi dengan produk perundang-undangan, pancasila yang semula hanya
melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani
kepentingan horizontal, dan menjadikan Pancasila menjadi kritik
kebijakan negara.
G. Analisis
Fenomena hoaks sudah
sangat mengkhawatirkan baik perkembangan, efek yang ditimbulkan serta
akibat-akibat yang dirasakan masyarakat.Untuk itu, penulis melihat konsep hadis
dan Pancasila sangatlah berperan dalam mencegah, menghentikan perkembangan
maupun penyebaran hoaks. Hal ini
harus dapat pula dikolaborasikan antara hadis sebagai sumber hukum Islam dengan
Undang-Undang Positif yang berlaku di Indonesia dalam hal ini Undang-Undang Nomor 11 tahun 2018 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) serta penerapan nilai ideologi bangsa.
Hal ini harus dilihat dari letak efektivitas
hadis dan UU dalam merespon dan mengarahkan masyarakat untuk menuju perubahan
diri.Oleh karena itu, peran hadis sangatlah signifikan untuk mencegah
penyebaran hoaks.Ajaran hadis adalah untuk memperbaiki dan menciptakan
keamanan, hukum ditengah masyarakat (hidz an-nafs).
Sehingga, konsep hadis yang ditawarkan adalah
agar setiap tingkah laku dan proses kehidupan harus mengedepankan aspek
kemaslahatan bersama. Bila benar-benar ingin mencegah penyebaran hoaks dalam
masyarakat dan negara maka hukum Islam dan Undang-Undang harus tegas dan
berpihak pada masyarakat dan penegakkan hukum yang adil dan bijaksana.
Hoaks merupakan fenomena
yang melanda masyarakat yang di dalamnya terdapat unsur-unsur pembohongan
publik, ujuran kebencian, fitnah, propaganda bahkan pembangkangan atau
pembenrontakan terhadap negara. Bahkan masyarakat sering terkecoh tentang
pemberitaan atau informasi yang beredar untuk menentukan kebenarannya. Hal ini
sangat merugikan masyarakat yang tentunya akan menimbulkan dampak negatif
terhadap hubungan sosial, negara.
Hoaks juga dikenal dalam
Islam sering disebut sebagai haditsul ifki atau berita bohong (palsu). Sehingga dapat diidentifikasi kata al-ifki yang berarti keterbalikan
(seperti gempa yang membalikkan negeri), tetapi yang dimaksud disini adalah
sebuah kebohongan besar, karena kebohongan adalah pemutarbalikan
fakta.Sedangkan munculnya hoaks (sebuah kebohongan) disebabkan oleh orang-orang
pembangkang. Jadi kelompok pembangkan
merupakan kelompok yang mengacaukan kondisi dan keadaan. Dalam kajian Islam sendiri pembangkan ini disebut bughat adalah
bentuk jamak dari baghin orang yang melakukan pemberontakan.
1.
Hoaks lebih mengarahkan
pada sisi kemudharatan, artinya informasi atau berita-berita yang disebarkan
hanya semata-mata untuk mempengaruhi persepsi masyarakat agar terciptanya
ketidak kondusifan, keresahan, kekacauan dalam masyarakat. Dengan hal tersebut
dalam perspektif hukum Islam (hadis) bahwa hoaks merupakan perbuatan yang
terlarang dan termasuk golongan orang-orang munafik.
2. Langkah
strategis yang akan ditempuh untuk memahami substansi hadis Nabi Saw., berawal
dari pemahaman dan penjelasan terhadap fenomena yang berkembang dalam
masyarakat. Dalam hal ini tentu menangggapi tentang isu-isu hoaks sehingga
ingin melihat respon dan tanggapan hadis. Sehingga hal ini lebih mengarah pada
fungsi hadis dalam kehidupan umat manusia.
3.
Untuk itu ajaran Islam
sangat menjungjung tinggi ketentraman hidup makhluk. Hadis merupakan kitab al-hidayah
petunjuk yang sempurnabagi seluruh aspek kehidupan manusia. Tatanan hidup yang
Islami merupakan suatu keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara bai
jasmani maupun rohani umat manusia, mengangkat dan memperbaikinya. Oleh karena
itu, tatanan moral hadis harus di ikuti dengan ketat guna menciptakan kehidupan
manusia di bumi ini yang layak dan damai. Sebagai umat manusia yang kreatif,
kaum muslimin harus berjuang bagi masyarakat didasarkan pada ekonomi dan
keadilan sosial.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Hoaks dalam perspektif
hadis Ahkam hukumnya haram (dilarang). Sebab, hoaks merupakan kejahatan
kemanusiaan terkini, kejahatan yang didalamnya lebih banyak menimbulkan
kemudharatan. Bila diperhatikan
belakangan ini keberadaan hoaks memang meresahkan masyarakat secara
keselurahan. Dalam kaitannya bahwa hoaks lebih mengarah atau mengaju
pada munculnya sebuah gerakan yaitu pemberontakan tentunya mengarah pada
timbulkan keresahan, kekacauan, ketidakaman masyarakat yang pada akhirnya akan
menimbulkan kezaliman baik dalam agama, bangsa dan masyarakat.
2.
Dalam hal ini tentu menangggapi tentang isu-isu hoaks sehingga ingin
melihat respon dan tanggapan hadis. Untuk itu berbagai kajian dan pengkajian hukum Islam dalam konteks dan
bentuk apapun, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian
mendeskripsikan serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam
sebagai bagian dari kehidupan manusia yang dapat digali dari berbagai sumber
yang mudah ditemukan.
3.
Melihat perkembangan
hoaks, hadis harus mendesak seluruh lapisan masyarakat, baik pemerintah, aparat
penegak hukum untuk melihat pentinganya merumuskan kembali aturan-aturan untuk
mencegah pergerakan hoaks dalam masyarakat. Sehingga, akan terbangun sebuah
keadaan yang sangat pentingnya agar hadis dapat dirasakan secara
sungguh-sungguh dapat memberikan solusi dalam kehidupan baik secara pribadi dan
publik sehingga hadis menjadi sebuah petunjuk dalam seluruh aspek kehidupan. Untuk
itu, mengontrol segala bentuk kejahatan-kejahatan terkini memang sangat sulit,
melihat perkembangan dan kecangggihan alat-alat teknologi, informasi dan
komunikasi. Memang sejak awal, hoaks memainkan dan mengandalkan teknologi
sebagai jalan utama untuk memuluskan kejahatan yang dilakukan oleh segilintir
orang.
B. Saran
Dalam hal ini ada saran penulis ke beberapa
lembaga antara lain;
1. Lembaga MUI merupakan tempat berkumpulnya
para cendikiawan muslim. Dalam hal ini MUI harus dapat berperan dalam
membimbing umat manusia dalam memberikan pemahaman, pencerahan serta masukkan
kepada masyarakat, politikus, pejabat tentang bahaya yang di timbulkan hoaks.
2. UIN-SU Medan sebagai lembaga pendidikan dan
pengajaran harus terdepan memberikan pengajaran, pendidikan serta pencerahan
kepada masyarakat. Peran lembaga pendidikan melalui para alumni dan pengabdian
masyarakat sangat vital, sehingga para alumni harus benar-benar hadir dalam
mengatasi kesulitan yang dirasakan masyarakat.
3. Masyarakat harus lebih jernih dan tidak langsung
menerima atas semua informasi yang beredar di sekitarnya. Namun, harus terlebih
dahulu di klarifikasi sampai betul-betul dapat informasi yang valid.
4. Penelitian Selanjutnya.
[1]
Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash
dan Ta’zir (Yogyakarta: Deepublish 2016), h. 1.
[2]Jamal
al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma Fiqih Moderat terj.Hasibullah
Satrawi dan Zuhairi Misrawi (Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy 1997), h. 106.
[3]
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah) (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada 2002), h. V.
[4]
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari al-Ju’fi Shahih Bukhari, (Riyadh: Darul A’lam Kutub 1996), h.
134.
[5]
Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husain al-Ghitani
al-Hanafi Badr al-Din al-‘Aini, al-Binayah Syarh al-Hidayah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah 2000), h. 84.
[6]
Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud,
Qishash, dan Ta’zir),......................h.
13.
[7]Jamal al-Banna, Nahwa Fiqh Jadid 3,
..........., h. 62.
[9]
Clark Hall Lectures, The Stanhop Press, h. 26.
[10] Fuad Thohari, Hadis Ahkam: Kajian
Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud, Qishash, dan Ta’zir),....................,h. 140.
[11]
Ramli Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis (Medan: PP2-IK 2003), h. 1.
[13] A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap
Hukum-Hukum Allah (Syariah), ..............,h. 71.
[15] Abu
Ishak Al-Syathiby, al-Muwafaqat fi Ushul fi al-Syari’at, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1979), h.6.
[16] Yusuf
Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid asy-Syariah (Baina al-Maqashiq
al-Kulliyah wa an-Nushush al-Juz’iyyah terj. Arif Munandar Riswanto (Mesir:
Dar Asy-Syuruq 2006), h. 27.
[17] Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI,
Pancasila Sebagai Dasar dan Idiologi Negara UUD NRI Tahun 1945 sebagai
Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR NKRI sebagai bentuk Negara Bhinneka
Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara I (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI
2016 ), h. 18.
[18] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah,
Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat (Jakarta: Rajawali Press 2014), h. 366-367.
[19]
Kaelan, M. S, Pendidikan Pancasila Proses Reformasi UUD Negara Amandemen
2002 Pancasila sebagai Sistem Filsafat Pancasila sebagi Etika Politik Paradigma
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Yogyakarta: Paradigma 2004), h.
227-228.
[20]
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat
Islam (Yogyakarta: IRCiSod 2018), h. 110.
[1] Chazawi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak
Pidana Pemalsuan, (Jakarta : PT Rajagrafindo persada,2016), h. 236.
[2]
John M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[3] Oxford
Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[4] Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi
Kedua…. h. 333.
[5]
Chawazi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[6] Yudo Triartanto, Kredibilitas Teks Hoax Di
Media Siber. Jurnal komunikasi volume VI No. 2 (Jakarta: Akademi Komunikasi BSI, 2015),
h. 34.
[7] Ilham
Syaifullah, Fenomena Hoax di Media Sosial Dalam Pandangan hermeneutika Skripsi
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Jurusan Pemikiran Islam Prodi Aqidah Dan
Filsafat Islam, (Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel 2018), h. 23.
[8] Arief
Budiman, dkk., Mencari Konsep Manusia Indonesia: Sebuah
Bunga Rampai (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1986), hal. 77.
[9]
Muhibbuthabary, Masail Fiqhiyah al-Haditsah Penyelesaian Kasus-kasus
Kekinian (Bandung: Citaputaka Media Perintis 2011), h. xi.
[11]
Ilham Syaifullah, Fenomena Hoaks di Media Sosial dalam Pandangan Hermeneutika
Skripsi (Surabaya: UIN Sunan Ampel 2018), h. 31.
[12]
M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka 1996),h. 255.
[13]
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: Rajawali Press 2015),h. 314.
[15]
Said Agil Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Ciputat: PT.
Ciputat Press 2005), h. vii.
[16]
Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil
‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis 2010), h. 291-292.
[17]
Imam Abu Hasan ‘Ali bin Ahmad al-wahidi, Asbab al-Nuzul (kairo: Dar
al-Hadis 1998), h. 310.
[18]
Imam al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mawatih al-Ghayb (Beirut: Dar al-Fikr
1993), h. 132.
[19] Imam Suprayogo, Spirit Islam Menuju Perubahan
dan Kemajuan (Malang: UIN-Maliki Press 2012), h. 79.
[20] Said Agil
Husin al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press
2005), h. 145-146.
[22] https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/hate-speech-definisi-hate-speech-66, di akses Sabtu, 23 November 2019. Pukul 09:35
Wib.
[23]
Sri Mawarti, Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama Vol. 10, No. 1,
Januari-Juni 2018, Fenomena Hate Speech Dampak Ujaran Kebencian,(20018), h. 85.
[25] Vibriza
Juliswara, Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam
Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media Sosial, Jurnal
Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017, (Jogjakarta: 2017), h.
142-143.
[26]
Marsum, Jarimah Ta’zir, Perbuatan Dosa dalam Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta:
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1989), h. 29.
[27]
Abdul Rahman Al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, terj. Samsudin,
(Semarang: CV Toha Putra, 1989), h. 12.
[28]
Ashgar Ali Engineer, “Islam Masa Kini”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hal 243.
[29] Jasser Auda, Reformasi Hukum Islam Berdasarkan
Filsafat Makasid Syariah Pendekatan Sistem, terj. Rosidin dan Ali Abd
el-Mun’in (Fakultas Syariah IAIN-SU dan La Tansa Press 2014), h. xiii.
[1]
John M. Echols dan Hasan Shadily Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[2]Oxford
Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[3]
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah Salam Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i
FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 5 No. 3 (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah 2018), h. 229.
[4]
M. Quraish Shihab Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran IX (Jakarta:
Lentera Hati 2002), h. 296.
[5]
Budhy Munawar Rahman, Ensiklopedia Nurcholish Madjid Pemikiran Islam di
Kanvas Peradaban (Jakarta: Mizn 2006), h. 380.
[6]
Tim Baitul Kilmiah Jogjakarta, Ensiklopedia Pengetahua Alquran dan Hadis (Jakarta:
Kamil Pustaka 2013), h. 158-159.
[7]
Chawazi Adami dan Ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[8]
Abdul Syani, Sosiologi dan Perubahan Masyarakat (Bandar Lampung: Dunia
Pustaka Jaya 1995), h. 83.
[9]
Elly M. Setiadi Usman Kolip,Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial Teori, Aplikasi dan Pemecahan (Jakarta: Prenadamedia
group 2011), h. 610.
[10]
David Berry,The Principles of Sociology terj. Paulus Wirutomo (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada 2003), h. 70.
[11]Robert
K. Merton, Social Theory and Social Structure (New York: Free Press
1968), h. VI.
[12]
Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change terj. Alimandan (Jakarta:
Kencana 2017), h. 213-214.
[13]Burhanuddin
Salam, Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: PT Rineka
Cipta 2000), h. 1-2.
[15]Jalaluddin
Rahkmat, Rekayasa Sosial Reformasi atau Revolusi (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya 1999), h. 47.
[16]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada
2014), h. 234.
[17]
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pesantren
Krapyak t.th), h. 261.
[18]
A. Khaer Suryaman, Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 1982), h. 5.
[19]
Muhammad Ajjaj Khatib, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuha wa Mustalahuhu (Beirut:
Dar al-Fikr 1989), h. 27.
[20]
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits (Bandung: Angkasa 1993), h. 2.
[21]Sa’dullah
Assa’idi, Hadis-Hadis Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset 1996),
h. 4.
[22]
Mardani, Hadis Ahkam (Jakarta: Rajawali Press 2012), h. 3.
[23]
H. Fuad Thohari, Hadis Ahkam Kajian Hadis-Hadis Hukum Pidana Islam (Hudud,
Qishash dan Ta’zir), (Yogyakarta: Deepublish 2016), h. 1.
[26] Jalaluddin
as-Suyuthi, Tanwir al-Hawalik syarh ‘ala Muwaththa’ Malik (Dar al-Fikr
tt.,) h. 315.
[27] Muhammad ibn Husain ibn Hasan
AlJîzânî. 1429 H. Ma’âlim Ushûl Al-Fiqh ’inda Ahl AlSunnah wa Al-Jamâ’ah.
Damam: Dâr Ibn Al-Jauzî. hlm. 286.
[28] Rahendra Maya, Konstruk Syarah
Hadits Ahkam (Syarh Ahâdîts Al-Ahkâm) dan Format Pembelajarannya Di
Perguruan Tinggi: Sebuah Tawaran Metodologis, AL MASHLAHAH, vol. 06. N0. 1
(STAI Al Hidayah Bogor), h. 25-29.
[29] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 35-36
[30]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada 2001), h. 1-2.
[31]
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Meode dan Dinamika Masalahnya
(Jakarta: ELSAM dan HUMA 2002), V.
[33]
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, h. 118.
[34]
Satjipto Raharjdo, Sosiologi Hukum: Esai-Esai Terpilih (Yogyakarta:
Genta Publishing 2010), 18.
[35]
Nus Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara 2005), h.
34.
[36]
Peter L. Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan Terj. Hasan Basari (Jakarta: LP3ES 1990), h.
66&185.
[37]Indrianto Senoadji, Humanisme dan
pembaruan Penegakan Hukum (Jakarta: Kompas 2009), h. 89-90.
[38]Achmad
Ali, Pengadilan dan Masyarakat (Ujung Pandang: Hasanudin University
Press 1999), h. 57-59.
[39]Achmad Ali dan Wiwie Herayani, Sosiologi
Hukum, Kajian Empiris Terhadap Pengadilan (Jakarta: Kencana 2004), h. 98.
[40]
Lawrence M. Friedman, The Legal System A Social Science Perspective
terj. M. Khozim (Bandung: Nusa Media 2009),h. 213.
[41]Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok filsafat
Hukum; Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama, 1996), 101.
[42] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2002), 65.
[43] Darmodiharjo,
Pokok-Pokok, 126.
[44] Rasjidi, Pengantar,
66.
[45] Lili Rasjidi,
Pengantar Filsafat Hukum; Apakah Hukum itu? (Bandung: Remadja Karya,
1988), 55.
[46] George
Gurvitch, Sosiologi Hukum (Jakarta: Bhratara, 1996),142-143.
[47]Abdul Ghani
Abdullah, Pengantar Komopilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta, Gema
Insani Press, 1994), h. 56-57.
[48]
Pujiono, Hukum Islam Dinamika Perkembangan Masyarakat Menguak Pergeseran
Perilaku Kaum Santri (Yogyakarta: Mitra Pustaka 2012), h.
[49]Ahmad
Syafii Maarif, Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan (Jakarta: PSAP
2004), h. 173.
[1] Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi dan Pemecahannya (Jakarta:
Prenadamedia Group 2011), h. 609.
[2] J. Dwi
Narwoko-Bangong Suyanto (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan ((Jakarta:
Prenadamedia Group 2004), h. 98.
[3] Idianto M,
Sosiologi untuk SMA Kelas X, (Jakarta: Erlangga 2004), h. 147.
[4] Siti Thohiroh, Hoaks: Wujud Nihilisme Mentalitas Yang
Bermoral (Rekonstruksi Batasan Hak Kebebasan Berpendapat Menurut Perspektif
Quran), (Pekan Baru, UIN Sultan Syarif Kasim), h. 1.
[5]
John M. Echals dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia Edisi Perubahan,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama 2014), h. 374.
[6]
Chazawi Adami dan ferdian Ardi, Tindak Pidana Pemalsuan, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada 2016), h. 236.
[7]
Yudo Triartanto, Kredibilitas Teks Hoax di Media Siber, Jurnal
Komunikasi volume VI no 2 (Jakarta: Akademi Komunikasi BSI, 2015), h. 34.
[8]
Supriyadi Ahmad dan Husnul Hotimah Salam, Jurnal Sosial & Budaya
Syar-i FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. V No. 3 (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah 2018), h. 291.
[9] Nurul H.
Maarif, Menjadi Mukmin Kualitas Unggul Cara Praktis Dan Efektif Meraih
Kebahagiaan Sejati, (Jakarta: Alifia Books 2018), h. 286.
[12]https://www.msn.com/id-id/berita/teknologidansains/10-hoax-terdahsyat-di-indonesia-sepanjang-2018/ar-BBR9ZTC, diakses Sabtu,
tanggal, 21 Juli 2019, Pukul 23:19 Wib.
[13] Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang : Dina Utama, 1994), h. 310.
[14] Makhrus
Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka,
2004), h. 5.
[15] Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi
kedua (Jakarta: Balai Pustaka 1990), h. 359.
[16] Oxford
Advanced Leaner’s Dictionary (Oxford University Press 2005), h. 739.
[17]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Edisi Kedua…. h. 333.
[19]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
2014), h. 233.
[20]
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah
al-Bukhari al-Ju’fi Shahih Bukhari, (Riyadh: Darul A’lam Kutub 1996), h.
134.
[21] Ahmad
Sunarto dkk, Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: CV. Asy-Syifa 1993), h.
425.
[22]
Muhammad Arsad Nasution, Hoaks sebagai Bentuk Hudud menurut Hukum Islam, Dosen
Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan, h. 16.
[23] Abu
Hasan Ali al-Hasny al-Nadwy, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Makkah: Dar
al-Syuruq 1989), h. 267.
[24] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuh, (Mesir: Dar al-Fikr 1985), h. 70.
[25]
Burhan as-Shofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta 1996),
h. 10-11.
Komentar
Posting Komentar