IMPLEMEMNTASI SYARI’AT ISLAM DALAM MEMAHAMI UUD 1945
Oleh: Hikmatiar Harahap
[Mahs. Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara]
Pada umumnya suatu
konstitusi berisi tiga hal pokok, yaitu: pertama, adanya jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya; kedua, ditetapkannya
susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; ketiga,
adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental. Konstitusi Indonesia: Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan dan ditetapkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari Sabtu 18 Agustus 1945, yakni
sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Undang –Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi tertulis juga dituangkan dalam dokumen formal, dimana dokumen
tersebut telah dipersiapkan jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Bila kita melihat
catatan historis Agama Islam bahwa sejak jaman Rasulullah SAW., telah lahir
konstitusi tertulis yang pertama, yang kemudian dikenal dengan Konstitusi
Madinah atau ada juga yang menyebut sebagai Piagam Madinah. Rasulullah SAW.,
membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang
dihuni beberapa macam golongan. Rasulullah SAW., memandang perlu meletakkan
aturan pokok tata kehidupan bersama di
Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup diantara seluruh penghuninya. Ditengah
kemajemukan penghuni kota madinah itu, Rasulullah SAW., berusaha membangun
tatanan hidup bersama, mencakup semua golongan yang ada di kota Madinah.
Sebagai langkah awal, ia “mempersaudarakan” antara Muslim pendatang dan Muslim
Madinah dan golongan Yahudi Madinah itu, secara formal yang ditulis dalam
sebuah naskah yang disebut Shahifah.
Sejak awal kebangkitan Nasional, sampai
Bangsa Indonesia meraih Kemerdekaan, posisi agama sudah mulai dibicarakan dalam
kaitannya dengan politik atau negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua
golongan yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara
Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah negara “sekuler”, negara yang jelas
memisahkan persoalan agama dan politik. Sebagaimana yang diterapkan di negara
Turki oleh Mustafa Kamal. Golongan lainnya berpendapat, negara Indonesia
merdeka adalah “negara Islam”. Kedua pendapat itu terlihat misalnya, sebelum
kemerdekaan, dalam polemik antara Soekarno dengan Agus Salim, kemudian dengan
M. Natsir diakhir tahun 1930-an dan awal 1940-an; diskusi dan perdebatan
didalam sidang-sidng BPUPKI yang menghasilkan Piagam Jakarta. Setelah
kemerdekaan, persoalan itu juga terangkat kembali didalam sidang-sidang
konstituante hasil pemilihan umum 1955 M yang berakhir dengan keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945.
Didalam karya M.
Natsir tahun 1955, Natsir sebenarnya menyerukan agar umat Islam mensyukuri dan
menerima kemerdekaan Republik Indonesia ini. “Ada banyak kekurangan di Republik
ini dan kebanyakan dari kekurangan itu adalah keterbatasannya. Kita banyak
menemukan ketidakpuasan. Namum demikian, dengan seluruh kekurangan yang ada
padanya, kita mesti menerima Republik ini dengan penuh rasa syukur dan terima
kasih, karena dalam ajaran Islam, berterima kasih atas rahmat adalah kewajiban. mengenai negara mengatakan:” Bahwa Indonesia
merupakan Negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstituante, Islam
adalah agama negara”. Baginya, secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa
Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia. Bahkan, lebih dari
itu, persoalan kenegaraan di Indoneisa tidak bisa dipisahkan dari agama.
Tuntutan perberlakuan syariat Islam bukalah
hal yang baru. Gagasan ini sudah sempat meramaikan perjalanan Bangsa Indonesia.
Para tokoh nasional yang duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) sempat berdebat keras tentang masalah ini. Para tokoh
dari kalangan Islam, nasional sekuler, maupun Nasrani, yang tergabung dalam
panitia sembilan akhirnya memutuskan dirumuskannya “Piagam Jakarta” sebagai
kompromi. Soekarno menyebut keputusan BPUPKI itu sebagai “kompromi untuk
menyudahi kesulitan antara kita bersama.
Ada baiknya diingat kembali petikan perdebatan seputar masalah
Piagam Jakarta yang mengandung tujuh kata yang diperdebatkan hingga kini, yaitu
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Dalam
sidang BPUPKI 11 Juli 1945, wakil kristen dari Indonesia Timur
Latuhahary perwira Angkatan Laut Jepang yang menggugat kesepakatan soal “tujuh
kata” katanya “Kalimat semacam itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil
terhadap adat istiadat. Oleh sebab itu, baiklah kita cari solusi lain yang
tidak membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat,” kata Latuharrary.
Pada 18 Agustu 1945 pertemuan dilangsungkan dan melahirkan
keputusan bahwa kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya”. Akhirnya disepakati untuk dihapuskan dan yang tersisa adalah empat
kata di awal, “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang berarti Tauhid.
Berikut beberapa alasan pihak Islam menerima alasan perubahan isi
tersebut: pertama,
dihilangkannya kalimat, (1) dengan (2) kewajiban (3) menjalankan (4) syariat
(5) Islam (6) bagi (7) pemeluk-pemeluknya, menurut Wahid Hasyim: “Pergantian
ini akan memuaskan kalangan Islam, karena Islam yang mengakui Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kedua, meningkatkan suhu politik saat itu, sehubungan
dengan kemerdekaan yang baru diproklamirkan, rakyat umumnya penuh harapan bahwa
kemerdekaan akan membawa kedamaian, ketenangan, ketertiban, dan kemakmuran. Ketiga,
para wakil Islami, khususnya Ki Bagoes Hadikoesumo, yakin bahwa 6 bulan lagi
setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diadakan sebuah sesi khusus untuk
membahas Piagam Jakarta. Optimisme semua kalangan saat itu sangat tinggi, semua
kalangan membayangkan bahwa ketenangan, kedamaian, ketertiban, dan gangguan
terhadap kemerdekan akan segara dihapus. Dengan pemilihan umum, suatu
konstitusi baru akan disusun, seperti yang ditetapkan oleh UUD 1945.
Hatta sendiri telah mengambil pendirian tujuh kata tersebut harus
hilang atau diganti, memang dari awal Hatta sudah mengusulkan pada mereka agar
tujuh kata tersebut dihapuskan. Hatta melakukan hal tersebut dengan berbagai
alasan. Pertama, Hatta tidak menginginkan Indonesia pecah
kembali. Kedua, Indonesia yang baru saja diproklamasikan
kemerdekaannya satu hari yang lalu harus dipertahankan dengan segala kekuatan
yang ada. Ketiga, Hatta sejak semula memang menganut konsep
pemisahan agama dan negara. Hatta melihat, sifat umat Islam Indonesia yang
sangat toleran ini, sebab itu dia merasa kurang perlu untuk menekankan pada
tingkat UUD yang Islami. Karena ia berpangdangan penyebaran agama Islam adalah
tugas masyarakat dan bukan tanggung jawab negara.
Komentar
Posting Komentar