Wajah Kereligiusan: Mengawal Modernisasi sebagai Kebutuhan
oleh Hikmatiar Harahap
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sum. Utara Medan
Myron Warner dalam bukunya Modernization, The Dynamics of
Growth, mengemukakan beberapa dampak modernisasi terhadap individu-individu
yang hidup dalam komunitas masyarakat, antara lain; berkecenderungan untuk
memperhitungkan peristiwa-peristiwa alam sekitarnya; menghargai peranan dan
potensi ilmu pengetahuan atau scienci dan teknologi. Individu-individu
yang hidup dalam masyarakat modrenisasi atau yang masih dalam proses modernizing
soceity akan banyak mengalami ketengangan dan kebingungan sebab tingkat
adaptasi dengan perubahan-perubahan belum tercapai dengan tingkat keserasian
antara individual adjustment dan collective demands. Sehingga
kehilangan respek manusia terhadap standar etika yang ada, lebih cenderung ke
arah sikap ambivalen, avonture atau pikiran pragmatisme pada tingkat dangkal[1].
Begitu modernisasi mempengaruhi dunia, suatu kehidupan masyarakat
yang ada juga akan berubah tanpa terkecuali agama. Menurut kebanyakan
kepustakaan mengenai pembangunan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi
mesti disejajarkan dengan perubahan-perubahan dalam sikap keagamaan. Karenanya,
bagi seorang individu menerima apa yang disebut modern, gaya kehidupan yang
universalitik berarti dia harus lebih memerankan kalkulasi rasional, pragmatis
atas biaya-biaya dan keuntungan-keuntungan berbagai tindakan, dari pada
memunculkan rasa kekhawatiran akan balasan-balasan akhirat atau ketaatan
terhadap kebijakan tradisi dan keagamaan.
Tentunya pemahaman kita tertuju bahwa proses modernisasi muncul
dari kalangan para pemikir-pemikir Barat, lantas sebagian besar kita
memalingkan arah pikiran kita untuk menjauhi atau meninggalkannya. Cukup
sederhana, mengakui model modernisasi merupakan sebuah proses yang kompleks
tidak harus meninggalkan tradisi-tradisi pemahaman keagamaan. Orientasinya
membangun konsep modernisasi yang diukur dengan petunjuk pengungkapan keagamaan
yang kuat, sehingga kita tidak terurbanisasi atau terindustrialisasi.
Lebih lanjut, fenomena modernisasi akan menciptakan pendidikan
masyarakat meningkat, dan jaringan pelayanan akan diperluas, dan begitu sistem
politik berkembang, agama dan sikap-sikap dan perilaku keagamaan mesti juga
ikut memodern.
Karena itu, ketika kita mengkaji lebih jauh tentang respons Muslim
terhadap modernitas, muncul isu yang paling krusial untuk disoroti bahkan
ditentang adalah pemahaman keagamaan. Perhatian untuk merangsang proses ijtihad
terkait erat dengan keinginan untuk melakukan pembaruan. Reformasi dan
pembaruan merupakan tema utama modernitas. Namun, kita harus menekankan bahwa
keinginan untuk mereformasi masyarakat tidak lahir di era modern. Sebagaimana
yang ditunjukkan oleh John Voll, perkembangan pra-modern memuluskan jalan bagi
keberhasilan gerakan reformasi dimasa berikutnya[2].
Modernisasi merupakan sebuah keharusan sebab, membawa manfaat yang
besar dalam upaya menata, meletakkan
atau lebih jauh berperan sebagai spirit untuk pembebasan, pengekangan
sendi-sendi kehidupan yang akan menuju kemerdekakan, sehingga ajaran-ajaran
agama itu lebih mudah ditularkan dalam kehidupan sosial.
Dalam banyak teks keagamaan sering kita jumpai insprasi ajaran yang
mengajarkan kepada kita untuk selalu melakukan perubahan dalam kehidupan sebagai langkah awal dari
suatu kebangkitan. “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap suatu keburukan suatu kaum, maka tidak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali
tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”, (Q.S. al-Ra’ad/13:11).
Kemajuan merupakan sebuah kesadaran yang lahir dari perilaku untuk
meraih suatu kenyataan yang lebih progresif, sehingga memberikan pengaruh baik
secara internal maupun eksternal dalam pemahaman ajaran agama, sehingga agama
tersebut lebih terasa dan berkesan untuk diamalkan sebagai mestinya. Dalam
konteks ini, sudah terlihat jelas bagaimana sebuah perubahan (modernisasi),
akan menciptakan, melahirkan banyak manfaat, kebaikan secara kolektif.
Penulis sendiri menilai semangat modernisasi adalah upaya menggali
kembali nilai-nilai ajaran Islam. Isu-isu yang harus dikembangkan dalam era
reformasi tersebut adalah demokrasi, hak asasi manusia, peranan wanita, dan civil
society. Hal ini dianggap mampu menjadi pelopor kebangkitan nilai-nilai
ajaran Islam terlebih untuk kesejahteraan hidup dan egaliter. Salah
satunya adalah bagaimana para wanita mampu memainkan peranannya diruang publik.
Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan dekrit
(ijtihad) yakni mengizinkan prempuan mengemudi mobil untuk menguatkan
peran prempuan, sebuah keputusan langkah maju besar sebagai bagian reformasi di
bidang sosial. Ini merupakan penyelarasan kebijakan untuk mewujudkan persamaan
di berbagai sisi kehidupan.
Juru taktik dalam membidani kehidupan modern, gagasan dan pemikiran
harus dipusatkan sebagai sebuah pencerahan masyarakat tentang pentingnya
ditegakkan kesadaran pluralitas dan multikulturalisme dalam kehidupan
kontemporer. Modernisasi pada esensinya telah memperlihatkan bahwa kehidupan
manusia sudah ditemukan.
[1] Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosia Kultural, (Jakarta:
Lantabora Press, 2004), h. 19-21.
[2] John Obert
Voll, Islam: Continuity and Change in the Modern Wordl, edisi kedua
(Syracuse: Syracuse University Press, 1994), h. 28.
Komentar
Posting Komentar