MAKNA KERELIGIUSAN DALAM KEHIDUPAN MODERN
Hikmatiar
Harahap
Mahasiswa Universitas Islam Negeri [UIN] Sum. Utara Medan
Mahasiswa Universitas Islam Negeri [UIN] Sum. Utara Medan
[ “In truth, religion is a radiant light and an impregnable stronghold for the protection and welfare of the peoples of the world, for the fear of God impelleth man to hold fast to that which is good, and shun all evil. Should the lamp of religion be obscured, chaos and confusion will ensue, and the lights of fairness and justice, of tranquillity and peace cease to shine. Unto this will bear witness every man of true understanding"].
[“Sebenarnya, agama adalah cahaya yang
bercahaya dan benteng yang tak tergoyahkan untuk perlindungan dan kesejahteraan
masyarakat dunia, karena ketakutan akan Tuhan membuat manusia berpegang teguh
pada apa yang baik, dan menghindari kejahatan. Agama dikaburkan, kekacauan dan
kekacauan akan terjadi, dan terang keadilan dan keadilan, ketenangan dan
kedamaian berhenti bersinar. Sampai hal ini akan menjadi saksi setiap orang
yang memiliki pemahaman sejati. " - Baha'u'llah].
Adanya potensi
fitrah beragama yang terdapat pada manusia dapat dianalisis dari istilah insan
yang digunakan untuk menunjukkan kepada manusia. Bahwa manusia insan, adalah
manusia yang menerima ilham pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak
diketahui sebelumnya, yang dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami
kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya. Bukti bahwa manusia
sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama dapat dilihat melalui bukti
historis dan antropoligis[1].
Kita mengetahui manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi
tentang mengenai ke-Tuhan-an, ternyata mereka meyakini adanya Tuhan, sungguhpun
Tuhan yang mereka percayai terbatas pada daya khayalnya semata.
Agama merupakan
fitrah yang diberikan Tuhan kepada ummat manusia, sebagai fitrah, setiap ummat
manusia harus menjaganya dengan baik untuk kepentingan kemaslahatan
ummat secara keseluruhan. Mengakui kehadiran eksistensi agama dan keberagamaan
dalam setiap insan adalah cara dari setiap agama menghadirkan syariat agama
masing-masing. Muhammad Said al-Asymawi, menjelaskan syariat agama-agama
sebagai berikut: Pertama, syariat yang diusung Nabi Musa adalah syariat
hak asasi manusia (syariat al-haqq). Sebelum memberikan perintah
terhadap ummat, maka terlebih dahulu harus memenuhi hak asasinya. Lalu, bila
hal itu dipenuhi, maka ummat diberikan kewajiban-kewajiban. Bila kewajiban itu
dilanggar, maka imbalan akan diberikan sanksi dan siksa-siksa sekerasnya.
Kedua, syariat yang diusung oleh Nabi Isa, yaitu syariat cinta (syariat
al hubb), apabila ditampar pipi
kanan, berikan pipi kiri. Nabi Isa berkata, “Cintailah musuh-musuhmu,
berkatilah para pelaknatmu dan berbuat baiklah kepada orang-orang yang berbuat
jahat kepadamu”.
Ketiga, syariat yang diusung Nabi Muhammad saw. yaitu syariat tali kasih
sayang (syariat al-rahman), inti dari syariat tali kasih sayang adalah
sintesis antara syariat hak dan cinta. Perpaduan antara siksa dan maaf untuk
mencapai solidaritas koksistensial. Karena itu, pertama-tama dalam al-Qur’an
Tuhan digambar sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Dalam
keberagamaan semakin terlihat indikasi alienasi paham keagamaan, yang
senantiasa diletakkan di menara gading tidak mampu memberikan jawaban mujarab
terhadap problem keummatan dan kemanusiaan. Hal itu akan tetap terjadi, karena
ada dua jurang pemisah antara paham keagamaan dengan realitas sosial. Paham
keagamaan bertempat di sebuah lembah, sedangkah problem kemanusia di lembah
yang lain sehingga antara keduannya tidak saling menyapa dan tidak saling
berdialog[2].
Religiusitas
adalah modal jalan keselamatan merupakan
sebuah doktrin yang terdapat dalam setiap komunitas pemeluk agama, baik yang
termasuk kategori revelied religions (agama samawi), maupun natural
religions (agama alam). Aktualisasi dari doktrin keselamatan harus
bersemayam dalam diri setiap pemeluknya agar supaya semua spirit agama
yang berintikan pada kemerdekaan benar-benar dirasakan menjadi sebuah
kebangkitan dalam kehidupan yang lebih formal. Dalam perspektif Antropolog asal
Tokyo, Hiroko Hirikhosi menyimpulkan “bahwa semangat keberagamaan telah
berperan aktif dalam menciptakan perubahan sosial. Bukan agama itu mencoba
meredam akibat dari perubahan yang terjadi, melainkan justru karena memelopori
perubahan sosial dengan caranya sendiri”. Dalam perspektif Abdurrahman Wahid,
bahwa semua agama itu memiliki peran tersendiri dalam membangkit komunitas
pemeluknya, dia menyebut beberapa diantaranya seperti Martin Luther, Mahatma
Ghandi, Barkochba, Salahuddin al-Ayyubi, telah berhasil bangkit melalui
semangat agamanya.
Kehidupan modren yang sedang berlangsung, terkadang gejala sosial
yang bersifat religius timbul manakala manusia membutuhkan ketenangan jiwa dan
kedamaian, karena sepanjang hidupnya selalu dikejar kekhawatiran dan persaingan
hidup dengan sesamanya[3].
Manusia modern hidup dengan hadirnya sebuah perasaan ketidaknyamanan psikologis.
Yakni ada sebuah ketakutan eksistensial yang mengancam dirinya ditengah situasi
krisis yang menghiasi bunga-bunga kehidupan. Lebih dari itu manusia modern
telah melakukan pemberontakan melawan
Tuhan dengan sains yang berdasarkan rasio.
Padahal pengagungan terhadap rasio merupakan sebab utama manusia
modern mudah dihinggapi penyakit kehampaan spiritual[4].
Menurut Victor Frankl,[5]
sebagian masyarakat modern saat ini mengidap neurosis kolektif. Adapun
ciri-cirinnya adalah: Pertama, sikap masa bodoh terhadap hidup, yaitu
suatu sikap yang menunjukkan pesimisme dalam menghadapi masa depan hidupnya. Kedua,
sikap fatalistik terhadap hidup, menganggap bahwa masa depan sebagai
sesuatu yang mustahil dan membuat rencana bagi masa depan adalah kesia-siaan. Ketiga,
pemikiran konformis dan kolektivis, yaitu cenderung melebur dalam masa dan
melakukan aktivitas atas nama kelompok. Keempat, sikap fanatisme, yaitu
mengingkari yang dimiliki oleh kelompok atau orang lain. Dengan ciri-ciri
tersebut manusia berjalan menuju penyalahartian dan penyalah tafsiran tentang
dirinya sendiri sebagai sesuatu yang “tidak lain” (nothing but) dari
refleks-refleks atau kumpulan dorongan (biologisme), dari
mekanisme-mekanisme psikis (psikologisme) dan produk lingkungan ekonomis
(sosiologisme). Dengan ketiga konteks tersebut maka manusia tidak
berbeda dengan mesin. Kondisi inilah yang semakin menghantarkan manusia menuju
pada penderitaan spiritual, sebuah penderitaan yang menghancurkan kebahagiannya
di dunia dan di akhirat[6].
Menyadari akan kehampaan dan ketidakbermaknaan hidupnya, manusia
secara perlahan kemudian mencari jawabannya yakni bahwa ia harus kembali pada
sisi kehidupannya yang terdalam, sisi spiritualitasnya. Ia harus kembali ke sisi terdalam pada
dirinya untuk menemukan “diri” yang sesungguhnya, diri yang sejati (Soul
Consciousness). Dalam hal ini diri yang luar adalah jasad (jism), diri yang
dalam adalah jiwa, sedangkan diri yang
paling dalam adalah ruhani (spirit).
Etika agama hadir dan hidup ketika sedang-terjadi merebak dari keyakinan
dasar akan kemampuan manusia. Perilaku yang secara moral benar adalah perilaku
yang mampu mengembangkan nilai-nilai kemanusian, yang memberi kemungkinan untuk
pengungkapan diri kemerdekaan, kesamaan, kesatuan, cinta, pengertian dan
kepercayaan. Sebaliknya, perilaku manusia yang berlawan dengan moral adalah
sebuah perilaku yang akan menghambat kemajuan, kreativitas, ide-ide cemerlang
dan merusak ability manusia. Manusia bukanlah mahkluk yang telah jatuh,
yang kebaikannya dipulihkan lewat ketaatan, tetapi ciptaan Tuhan yang hakikatnya perlu ditemukan. Tugas etis
manusia adalah memanfaatkan seluruh diri, termasuk nafsu dan dorongan, untuk
menanjak naik menjadi manusia yang memiliki berkemampuan (ability)
penuh. Manusia pada dasarnya suci dan dapat diselamatkan sejauh hakekatnya
dapat dinyatakan dan diteguhkan. Pandangan ini jelas berlawanan dengan
pandangan bahwa manusia itu penuh kekurangan dan terjerat dalam hakekat
kedosaannya, sehingga harapannya hanya terdapat pada campur tangan dari atas.
Tetapi karena terlalu menekankan kedudukan manusia, kadang-kadang etika agama
yang sedang-menjadi merosot menjadi
hedonisme yang memanjakan diri, yang melihat kesenangan sebagai nilai
moral yang paling tinggi.
Ciri pertama, agama yang sedang menjadi adalah penekanannya
pada tanggung jawab pribadi dan bersama-sama. Dampak agama pada hidup pribadi
haruslah bersifat etis. Jika tidak, agama itu menjadi tidak berharga. Kekuasaan
dan kebanaran agama harus dinilai, bukan pada lembaga di mana orang bergabung
atau pada kepercayaan yang diakui, tetapi pada diri orang dan apa yang
disumbangkannya dalam kehidupan.
Ciri kedua, agama yang sedang menjadi yang condong ke etika
humanistis tak terbatas pada lingkup pribadi atas dasar pemahaman yang terlalu
individualistis tentang manusia. Tanggung jawab itu juga merambah ke lingkup
sosial kemasyarakatan. Sikap itu oleh Irving Taylor disebut dengan istilah (“transactualization”[7]),
yaitu suatu sistem pribadi lingkungan di mana orang mengubah lingkungan
(daripada diubah olehnya) sesuai dengan kekuatan yang mengaktualisasi diri.
Dalam transaktualisasi lembaga dan organisiasi kemasyarakatan diarahkan untuk
merangsang sistem internal orang agar
menjadi kreatif daripada mengenakan kontrol dari luar. Pendeknya, manusia
dipandang sebagai pencipta lingkungan daripada sebagai penontonnya. Masyarakat
yang baik merupakan perluasan nilai kemanusiaan. Tanggung jawab sosial
kemasyarakat bertujuan mempertahankan keadaan dan susunan masyarakat yang
paling mencerminkan kemanusiaan. Karena agama yang sedang terjadi menekankan
individualitas manusia, agama itu memandang serius kejahatan sosial yang
menghambat pemenuhan diri, dan etiknya mencakup sikap dan kemauan kerja yang
sungguh-sungguh untuk menciptakan masyarakat yang secara benar mengembangkan
kemajuan dan kesejahteraan manusia.
Ciri ketiga, perhatian agama yang sedang menjadi pada
pentingnya individu manusia lewat usaha perbaikan masyarakat menjadi perhatian
kaum agamawan humanistis lain. Dalam praktik agama, mereka peka terhadap
penderitaan umat manusia. Mereka ikut menderita bila orang lain menderita, di
mana pun. Mereka bersedia dan berani berkorban demi pelayanan.
Agama itu mencari kekuatan yang menggerakkan (motivational power),
bukan melulu pada Tuhan yang berbicara dari luar atau sabda-Nya yang termuat
dalam buku, atau pada dogma dan ajaran saja, tetapi juga dan terutama pada
keadaan sezaman yang menyatakan kebutuhan manusia. Penekanan pada manusia itu
dapat sedemikian kuat sampai Tuhan terasa tak diperlukan, dan bila diperlukan,
Tuhan itu harus ditemukan ditengah-tengah, manusia. Agama yang sedang menjadi
menegaskan manusia secara individual, nilai pribadi dan melihat kebutuhan
masyarakat sebagai perluasan nilai itu. Unsur dinamis, pusat kekuatan manusia
terletak pada pengakuan atas kemampuannya. Dalam agama yang sedang menjadi
orang yang benar terhadap diri sendiri juga benar terhadap sesama Tuhan.
Agama diperankan sebagai inspirator atas pemasalahan
kemasyarakatan. Nilai-nilai agama menjadi dasar dalam mengembangkan kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Agama tidak dibentuk secara
formalistik, melainkan substantif. Jose Cassanova, dalam kutipan Bachtiar
Effendy menyebutnya deprivatisasi agama. Agama dengan nilai-nilai yang
dikandungnya memberikan solusi atas permasalahan sosial yang umumnya juga
melibatkan agama. Sucinya tujuan agama dibarengi sulit dan rumitnya memberikan
defenisi tentang agama, bahkan ajaran agama juga sulit dinyatakan dan
dirumuskan. Meskipun sulit diartikan, semua orang sepakat bahwa setiap agama
pasti menyuarakan kebenaran dan mengecam kejahatan. Agama menjanjikan pahala
bagi pembela kebenaran dan mengancam siksa bagi pelaku kejahatan, pahala dan
siksa ini bersifat eskatologis, yakni diwujudkan di luar alam realitas. Sanksi
agama ini dapat berjalan efektif jika dibarengi dengan keimanan yang kokoh[8].
Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih, manusia merasa
mampu hidup mandiri dan menolak pengaruh, kontrol yang berasal dari agama.
Agama tidak lagi mempunyai fungsi dan peran sebagai pengarah dan pengendali
terhadap perkembangan kehidupan sosial budaya sekuler secara bebas. Di bawah
pengaruh dan rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, menjadi sistem
budaya dan peradabaan modren. Sistem kehidupan sosial budaya dan kehidupan
modern sekarang sangat potensial untuk tumbuh dan berkembangnya situasi dan
kondisi yang problematik dan kritis yang mengancam eksistensi manusia dan
kemanusiaannya. Untuk itu perlu adanya reaktualisasi agama fitrah dan
menjadikannya sebagai bagian integral dalam sistem budaya dan peradaban modern[9].
Melalui agama mungkin dapat ditemukan sebuah nilai universal yang
dapat berfungsi memberikan jawaban tentang tujuan hidup hakiki umat manusia di
dunia ini, dan dapat pengendali, pengarah, serta kontrol terhadap perkembangan
sistem budaya dan peradaban modern, yang bertujuan untuk mengerem tingkah laku
masyarakat yang bebas tanpa kendali. Jalan alternatif yang akan ditempuh adalah
mampu memadukan dan mensinkronkan nilai-nilai universal dalam tahap kondisional
untuk menghimpun berbagai kebebasan yang merupakan ciri khas abad modern yang
akan menjadikan kebebasan yang bertanggungjawab.
Sebab agama pada dasarnya
adalah kerangka interpretatif yang memberikan makna terhadap realitas itu.
Sebagaimana dikatakan Berger “ bahwa, dalam sistem makna, agama berfungsi
memberikan kerangka penjelasan (explanatory) dan acuan normatif sehingga
setiap realitas menjadi berarti (makessense)”. Agama dalam hal ini juga bisa dilihat dari
satu sisinya yang secara konservatif cenderung mempertahankan kemapanan, dan di
sisi lain dapat memberikan legitimasi terhadap perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Jika ditinjau dari sudut pandang yang lain, agama sebenarnya dapat
berfungsi merangsang atau, dalam istilah Weber “ elective affinity” yang
secara konsisten dapat memberikan pengaruh timbal-balik antara tuntutan etis
tertentu dan pola-pola motivasi tindakan tertentu. Semuanya itu akan dapat
dilakukan oleh agama jika para agamawan mempunyai kearifan, tidak saja dalam
rangka membaca kehendak-kehendak Tuhan yang luhur dalam kitab-kitab suci tetapi
juga dalam membaca problematik berbagai kesulitan ummat manusia dalam hidupnya.
Itulah sebabnya diperlukan refleksi-refeleksi teologis, yang secara tematik
mampu memformulasikan problematik tersebut dan memberikan perspektif baru
berdasarkan pesan-pesan inti agama. Bukan sebaliknya, yaitu kecenderungan
memunculkan teologi ideal yang totalistis. Hal ini akan menjerat ummat dalam
kedilemaan etis, karena mengingkari relativisme manusia – relavitisme inilah
yang justru menyebabkan manusia selalu membutuhkan petunjuk Tuhan[10].
Manusia secara taken
for granted diberi kemampuan berpikir secara logis dan dilengkapi dengan
potensi untuk mengenali nilai-nilai kebenaran (agama). Agama merupakan
kelanjutan fitrah manusia yang selalu mengarah dan menginginkan kebenaran dan
kesucian. Agama juga disebut sebagai fitrah yang diwahyukan (fitrah
munazaalah) untuk menguatkan fitrah yang sudah ada pada manusia secara
alami (fitrah majbulah). Dari sudut pandang lain, itu berarti bahwa
agama adalah kelanjutan “kodrah alamiah” manusia sendiri, merupakan wujud nyata
dari kecenderungan alaminya. Karena itu, sebagai nilai kemanusiaan tidak
mungkin bertentangan dengan nilai keagamaan, demikian pula nilai keagamaan
mustahil berlawanan dengan kemanusiaan.
Agama dibuat bukan untuk penghalang bagi kemanusiaan, maka sesuatu yang
sejalan kemanusiaan (bermanfaat untuk manusia) tentu akan bertahan dibumi,
sedangkan yang tidak sejalan (tidak berguna bagi manusia, muspra atau
sia-sia bagaikan buih) tentu akan sirna[11].
Agama tidak
bisa dipaksakan dan diperkosakan dalam diri manusia. Agama telah built in, terpatri
dalam diri manusia. Tugas kita adalah mendorong, mendialogkan, dan
mengomunikasikan kepada manusia untuk menemukan agama, cara dan penghayatan
agama yang membuat merdeka secara rohani. Tugas kita mengomunikasikan cara
beragama yang membebaskan kita dari belenggu-belenggu diri kita dari
tirani-tirani kehidupan manusia umumnya. Penting bagi kita mendorong manusia
melepaskan diri dari kepasrahan dan ketundukan kepada sesamanya, membuat
dirinya terasa terasing (alienasi), baik dari dirinya maupun
masyarakatnya. Kewajiban kita mendorong manusia beragama yang membebaskan dan
beragama yang memerdekakan diri dan sosialnya dari segala bentuk “imperialisme
dan kolonialisme” kehidupan. Kita butuh agama yang tidak mengerdilkan potensi
intelektual dan spiritual kita[12].
Dalam konteks keagamaan kita menemukan inspirasi ajaran yang
mengajarkan kepada kita untuk selalu melakukan perubahan dalam kehidupan
sebagai langkah awal menuju kebangkitan. Dalam konteks ini, nampaknya jelas
terlihat bagaimana pengamalan agama itu
mengajarkan kita untuk melakukan perubahan demi kebaikan kolektif dalam
kehidupan yang sudah semestinya untuk diapresiasi secara baik sebab tidak dapat
dipungkiri bellum ditemukan ada kehidupan yang lebih baik, kecuali harus dilakukan perubahan secara baik pula
dalam semua sendi kehidupan bermasyarakat dari yang biasa menuju kemapanan yang
sesungguhnya akan benar-benar mendatangkan suatu kebangkitan dalam menatap
kehidupan masa depan yang lebih menjanjikan dibanding masa lalu dan hari kini.
Jika kita lihat dalam perspektif Antropolog asal Tokyo, Hiroko Hirikhosi dalah
salah satu penelitiannya menyimpulkan “bahwa semangat keberagamaan telah
berperan kreatif dalam menciptakan perubahan sosial. Bukan karena agama itu
mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justru karena
memelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri...”[13]
Tidak ada mekanisme lain yang harus dilakukan selain untuk bangkit
dari karakter beragama yang semu menuju realisme beragama yang dapat
dikondisikan dengan sebuah komitmen yang lurus untuk merubah pandangan terhadap
pemahaman agama yang benar. Apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh tidak
akan pernah berhasil melakukan perubahan dalam kehidupan ini termasuk dalam
menata kondisi masyarakat yang merupakan tanggungjawab penuh sebagai aksi,
gerakan nyata untuk menyelamatkan masa depan ummat manusia.
Sebab dengan agama, kita mengetahui keberadaan kita dalam sistem alam raya ini, dan dengan agama
pula kita mengetahui dari mana, bagaimana, dan ke mana hidup kita ini. Agamalah
yang menjawab pertanyaan, mengapa kita ada di dunia ini, oleh siapa, dan ke mana kita akan pergi. Dengan kata
lain, agama memberi kita tujuan hidup yang menyandar kita bahwa tidak sepotong
pun dari perbuatan kita sehari-hari lepas dari suatu makna, dan tidak suatu
bagian pun dari kegiatan kita lepas dari drama kosmis yang meskipun berada di
luar diri kita, terwakili dalam diri kita. Maka
kita mensyukuri adanya agama itu, karena kebahagian hidup tidak mungkin
ada tanpa kesadaran akan makna hidup itu sendiri. Kebahagian hidup kita rasakan
hanya kalau kita merasakan dan mayakini, secara mendalam, bahwa hidup ini tidak
sia-sia, bahwa pekerjaan kita tidak muspra, bahwa amal-bakti kita menuju
perkenan atau ridha Pencipta dan Penguasa seluruh jagat raya, Tuhan yang Maha
Esa[14].
Kehidupan agamis sebuah kehidupan yang mengarahkan pada penyerahan
diri-penyerahan diri dari sesuatu yang kurang jelas kepada yang lebih jelas,
yang bernilai, yang abadi, yang bersifat universal. Oleh karena itu,
satu-satunya kehidupan agamis yang benar adalah keyakinan terhadap adanya
kebaikan yang diketahui dengan jelas dan mempunyai kekuatan atau keyakinan
terhadap adanya pelestrian nilai-nilai. Tujuan agama yang benar adalah
keharmonisan yang paling tinggi melalui kehidupan yang selaras dengan alam
semesta dan dengan Dzat yang memanifestasikan-Nya berwujud alam semesta.
Sebagaimana yang di utarakan oleh Shakespeare[15]
“jujurlah kepada dirimu sendiri, dan ia akan mengikutimu sebagaimana malam
mengikuti siang, sehingga kamu tidak akan berkata bohong kepada orang lain”.
Berusaha menciptakan dan menegakkan kedamaian yang sekaligus mendambakan
kemerdekan diri, hanya kepatuhan kepada tujuanlah yang akan membebaskan
manusia. Dengan demikian, jelas kehadiran agama harus dimaknai secara aktif dan
efektif beriman kepada Allah sebagai
pencipta tatanan yang rasional di alam semesta dan tatanan moral pada kehidupan
manusia serta sebagai sumber dan penicpta hukum-hukum tentang pelestarian
nilai-nilai dan pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan hidup.
Para moralis non-agama bertanya: “mengapa moralitas, perasaan cinta
atau keadilan sosial belum cukup”. Manusia adalah makhluk pencari realitas,
kebenaran adalah cahaya dan kehidupan, sedangkan kebodohan atau ketidaktahuan
adalah kegelapan dan kematian. Moralitas bentuk pengakuan dan tempat yang kokoh
dalam kehidupan bahwa keyakinan cinta dan keadilan merupakan esensi keberadaan dan nilai-nilai
terkait realitas. Agama menyatakan kebenaran dan kebaikan bukanlah ilusi yang
didasarkan atas angan-angan kosong dan bukan sekedar alat pembantu
mempertahankan eksistensi biologis untuk melangsungkan keberlangsungan hidup.
Moralitas merupakan bagian terbesar dari nilai keimanan, walaupun moralitas
belum cukup dan belum memenuhi kebutuhan rohani tanpa adanya iman terhadap Sang
Pencipta dan Pemeliharaan segala macam nilai.
Wajah Kereligiusan: Mengawal Modernisasi sebagai Kebutuhan
Myron Warner dalam bukunya Modernization, The Dynamics of
Growth, mengemukakan beberapa dampak modernisasi terhadap individu-individu
yang hidup dalam komunitas masyarakat, antara lain; berkecenderungan untuk
memperhitungkan peristiwa-peristiwa alam sekitarnya; menghargai peranan dan
potensi ilmu pengetahuan atau scienci dan teknologi. Individu-individu
yang hidup dalam masyarakat modrenisasi atau yang masih dalam proses modernizing
soceity akan banyak mengalami ketengangan dan kebingungan sebab tingkat
adaptasi dengan perubahan-perubahan belum tercapai dengan tingkat keserasian
antara individual adjustment dan collective demands. Sehingga
kehilangan respek manusia terhadap standar etika yang ada, lebih cenderung ke
arah sikap ambivalen, avonture atau pikiran pragmatisme pada tingkat dangkal[16].
Begitu modernisasi mempengaruhi dunia, suatu kehidupan masyarakat
yang ada juga akan berubah tanpa terkecuali agama. Menurut kebanyakan
kepustakaan mengenai pembangunan dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi
mesti disejajarkan dengan perubahan-perubahan dalam sikap keagamaan. Karenanya,
bagi seorang individu menerima apa yang disebut modern, gaya kehidupan yang
universalitik berarti dia harus lebih memerankan kalkulasi rasional, pragmatis
atas biaya-biaya dan keuntungan-keuntungan berbagai tindakan, dari pada
memunculkan rasa kekhawatiran akan balasan-balasan akhirat atau ketaatan
terhadap kebijakan tradisi dan keagamaan.
Tentunya pemahaman kita tertuju bahwa proses modernisasi muncul
dari kalangan para pemikir-pemikir Barat, lantas sebagian besar kita
memalingkan arah pikiran kita untuk menjauhi atau meninggalkannya. Cukup
sederhana, mengakui model modernisasi merupakan sebuah proses yang kompleks
tidak harus meninggalkan tradisi-tradisi pemahaman keagamaan. Orientasinya
membangun konsep modernisasi yang diukur dengan petunjuk pengungkapan keagamaan
yang kuat, sehingga kita tidak terurbanisasi atau terindustrialisasi.
Lebih lanjut, fenomena modernisasi akan menciptakan pendidikan
masyarakat meningkat, dan jaringan pelayanan akan diperluas, dan begitu sistem
politik berkembang, agama dan sikap-sikap dan perilaku keagamaan mesti juga
ikut memodern.
Karena itu, ketika kita mengkaji lebih jauh tentang respons Muslim
terhadap modernitas, muncul isu yang paling krusial untuk disoroti bahkan
ditentang adalah pemahaman keagamaan. Perhatian untuk merangsang proses ijtihad
terkait erat dengan keinginan untuk melakukan pembaruan. Reformasi dan
pembaruan merupakan tema utama modernitas. Namun, kita harus menekankan bahwa
keinginan untuk mereformasi masyarakat tidak lahir di era modern. Sebagaimana
yang ditunjukkan oleh John Voll, perkembangan pra-modern memuluskan jalan bagi
keberhasilan gerakan reformasi dimasa berikutnya[17].
Modernisasi merupakan sebuah keharusan sebab, membawa manfaat yang
besar dalam upaya menata, meletakkan
atau lebih jauh berperan sebagai spirit untuk pembebasan, pengekangan
sendi-sendi kehidupan yang akan menuju kemerdekakan, sehingga ajaran-ajaran
agama itu lebih mudah ditularkan dalam kehidupan sosial.
Dalam banyak teks keagamaan sering kita jumpai insprasi ajaran yang
mengajarkan kepada kita untuk selalu melakukan perubahan dalam kehidupan sebagai langkah awal dari
suatu kebangkitan. “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila
Allah menghendaki keburukan terhadap suatu keburukan suatu kaum, maka tidak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali
tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”, (Q.S. al-Ra’ad/13:11).
Kemajuan merupakan sebuah kesadaran yang lahir dari perilaku untuk
meraih suatu kenyataan yang lebih progresif, sehingga memberikan pengaruh baik
secara internal maupun eksternal dalam pemahaman ajaran agama, sehingga agama
tersebut lebih terasa dan berkesan untuk diamalkan sebagai mestinya. Dalam
konteks ini, sudah terlihat jelas bagaimana sebuah perubahan (modernisasi),
akan menciptakan, melahirkan banyak manfaat, kebaikan secara kolektif.
Penulis sendiri menilai semangat modernisasi adalah upaya menggali
kembali nilai-nilai ajaran Islam. Isu-isu yang harus dikembangkan dalam era
reformasi tersebut adalah demokrasi, hak asasi manusia, peranan wanita, dan civil
society. Hal ini dianggap mampu menjadi pelopor kebangkitan nilai-nilai
ajaran Islam terlebih untuk kesejahteraan hidup dan egaliter. Salah
satunya adalah bagaimana para wanita mampu memainkan peranannya diruang publik.
Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan dekrit
(ijtihad) yakni mengizinkan prempuan mengemudi mobil untuk menguatkan
peran prempuan, sebuah keputusan langkah maju besar sebagai bagian reformasi di
bidang sosial. Ini merupakan penyelarasan kebijakan untuk mewujudkan persamaan
di berbagai sisi kehidupan.
Juru taktik dalam membidani kehidupan modern, gagasan dan pemikiran
harus dipusatkan sebagai sebuah pencerahan masyarakat tentang pentingnya
ditegakkan kesadaran pluralitas dan multikulturalisme dalam kehidupan
kontemporer. Modernisasi pada esensinya telah memperlihatkan bahwa kehidupan
manusia sudah ditemukan.
[1] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 16-19.
[2] Zuhairi
Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi Tafsir tematik Islam Rahmatan Lil
‘Alamin, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h. 229-231.
[3] Robert W.
Crapps, Gaya Hidup Beragama (Kanisius, 1993), h. 6.
[4] Ali Maksum, Tasawuf
Sebagai Pembebasan Manusia Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h.
83.
[5] Victor Franlk,
Logoterapi: Psikoterapi, diterj. E. Koeswara (Yogyakarta: Kanisius,
1992).
[6] M. Iqbal
Irham, Rasa Ruhani Spiritualitas di Abad Modern (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2012), h. 9.
[7] Irving A.
Taylor, “An Emerging View of Creative Action,” dalam Irving A. Taylor dan J. W.
Getzels, eds., Perspective in Creativity ( New York: Aldine, 1975),
h. 300-303.
[8] Moh. Ali Aziz,
Ilmu Dakwah (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 473-474.
[9] Faisar Ananda
Arfa dkk, Metode Studi Islam Jalan Tengah Memahami Islam (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2015), h. 244.
[10] Moeslim
Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h.
307.
[11] Nurcholish
Majid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Pengantar, h. xiii.
[12] Moh. Monib
& Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish
Majid, (Jakarta: PT .Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 66.
[13] Hiroko
Horikoshi, A Traditional Leader in a Time of Change: The Kijaji and Ulama in
West Java, terj. Umar Basalim & Andi Muarly Sunrawa, (Jakarta: P3M,
1987), h. 3.
[14] Nurcholish
Majid, Islam Kemodrenan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1992), h.
19.
[15] William
Shakespaere adalah seorang sastrawan dan penulis drama terkenal dari Inggris.
Diantara drama-dramanya, yang terkenal adalah Hamlet.
[16] Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosia Kultural, (Jakarta:
Lantabora Press, 2004), h. 19-21.
[17] John Obert
Voll, Islam: Continuity and Change in the Modern Wordl, edisi kedua
(Syracuse: Syracuse University Press, 1994), h. 28.
Komentar
Posting Komentar