GENERASI MILLENNIAL TAAT BERAGAMA DAN TAAT BERBANGSA
Oleh: Hikmatiar
Harahap Mahasiswa Universitas Islam Negeri [UIN] Sum. Utara Medan
Beragama dan berbangsa dua elemen yang harus menyatu dalam waktu
bersamaan. Kalau agama merupakan pengalaman individual seseorang dengan
Tuhan-Nya, maka berbangsa menjadi tempat untuk menyalurkan nilai-nilai agama
berupa (kejujuran, saling menghargai, integritas, penghargaan tinggi) dan
sifat-sifat ketuhanan (seperti kasih sayang, saling mengasihi, saling
menyelamatkan) yang merupakan inti dari ajaran agama yang di gali dari ketaatan
pribadi maupun ketaatan sosial yang akan memberi warna dalam mengawal perjalanan
kebangsaan dalam berbagai dimensi seperti politik, hukum, ekonomi, budaya,
sosial dan sebagainya. Budaya keagamaan mempunyai dampak yang kuat pada aspek
kebangsaan, sehingga keagamaan ini merupakan elemen yang paling kuat dan terus
bertahan selama kehidupan manusia tidak punah. Bagaimana pun ceritanya,
generasi millennial tidak dapat di pisahkan dari ajaran agama. Sebab beragama
menyatukan dalam kebenaran, agama melahirkan dan menjamin moralitas kelompok,
kebajikan, dan ketaatan warga, sambil menjauhkan mereka dari keganasan,
ambisius individual dan konflik sosial.[1] Dalam
konteks kebangsaan proses dari hasil ketaatan terhadap ajaran agama akan menghasilkan
dan memelihara kesadaran bersama. Misalnya, seorang pemimpin (kepala daerah)
diharapkan akan mampu berkolaborasi bersama masyarakat untuk memaksimalkan dan
mengelola potensi sumber daya alam
daerahnya untuk kemaslahatan. Kreatifitas untuk mengembangkan sebuah
daerah merupakan wujud nyata dari bukti kesadaran pemimpin akan keterbukaan
terhadap nilai-nilai kereligiusan yang di praktekkan dalam kehidupan sehari.
Generasi millennial harus merasakan pengalaman religius, baik secara individu
maupun kelompok sebagai cara menuju pengalaman keagamaan pribadi yang mendalam.
Pengalaman religius akan memberikan kekuatan serta semangat untuk membangun dan
mengembangkan potensi pribadi dan komunitas sebagai bentuk kontribusi terhadap
kemanusian dan kebangsaan masa depan. Dalam hal ini seorang Hoge, memberikan
sebuah ungkapan “Orang menjadi lebih daripada sekedar manusia biasa ketika ia
memiliki komunitas sakral bersama manusia. Orang-orang menjadi berdaya, serta
mengembangkan rasa percaya diri untuk bertindak dalam melakukan sesuatu.
Agama-agama memerinci apa yang harus diambil, dan keyakinan-keyakinan keagamaan
menciptakan kewajiban untuk bertindak”.[2]
Dalam ungkapan tersebut, hemat penulis bahwa dalam tatanan kebangsaan, agama dapat
mengurai serta merinci sedetail untuk melakukan action (bertindak) baik
itu yang di pelopori generasi millennial maupun pemerintah.
Pemahaman keagamaan yang berkembang di era kemajuan informasi dan
teknologi telah di tandai adanya perubahan yang sangat signifikan yang di alami
manusia. Agama dengan semangat yang dikandungnya bisa menjadi faktor yang berperan
untuk mengangkat manusia dari perjalanan yang semrawut menuju perubahan hidup
yang lebih damai dan harmonis. Dengan adanya kebangkitan kesadaran beragama
yang diperagakan oleh generasi millennial seperti, bangkit dan berkembangnya
fenomena hijrah yang di motori anak-anak muda terkini sebagai cara tersendiri
untuk menghidupkan semangat menuju ketaatan terhadap agama. Konsep hijrah muncul
sebagai jawaban dari perkembangnya sistem nilai kehidupan yang lebih
mengarahkan pada keterasingan kehampaan hidup yang di nilai bersumber dari
sistem yang dipaksakan oleh kapitalisme, komunisme, atau sosialisme yang
belakangan banyak dinyatakan telah gagal mendatangkan ketentaraman, kedamaian
hidup manusia. Pitirim Sorokin seorang filsuf sejarah menyatakan bahwa agama
bisa berfungsi menjadi sebagai alternatif dari sistem yang ada.[3]
Sedangkan pemikir Sastrapratedja, secara tegas mengatakan tidak setuju dengan
pendapat Sorokin, ia mengakui bahwa pengalaman religius bisa memperkaya
manusia, namun tidak memecahkan masalah baik yang bersentuhan dengan aspek
politik, hukum, budaya, sosial serta ekonomi dan sebagainya. Agama katanya
dapat membutakan, menjadikan kesadaran palsu, menciptakan dependensi,
melegitimasi ketidakadilan.[4]
Namun sebaliknya, juga mengakui bahwa dengan agama manusia pun bisa melihat,
menjadi sehat, membebaskan bahkan menjadi katalis bagi perubahan dan
menghasilkan kritik, termasuk kritik terhadap diri sendiri. Dalam hal ini
penulis berasumsi bahwa dalam pernyataan Sastrapratedja bahwa agama itu
adakalanya memberikan insprasi terhadap perubahan pembangunan jiwa manusia dan
pembangunan kebangsaan. Namun, disisi lain agama dapat menjadi musuh manusia
bahkan menjadi petaka besar bagi sirnanya tatanan kehidupan manusia baik dalam
beragama maupun berbangsa. Generasi millennial harus dapat melihat bahwa
potensi ketaatan beragama bukan sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan akhirat
saja, tetapi sebuah motivator kehidupan yang mengarahkan pada upaya gerakan
moral dan sosial yang bertujuan menegakkan tatanan bangsa yang lebih damai yang
bersumber dari nilai sosial Islam. Dalam mengontrol kehidupan berbangsa secara
keseluruhan menuju masa depan maka tindakan yang dilakukan tidak hanya dalam
angan-angan maupun khayalan tapi juga jangan sampai ada pengurangan harapan
manusia. Perkembangan kehidupan manusia yang paling menyita perhatian di
tandainya kehidupan yang semakin formalistik.
Begitu pun juga, kader Himpunan Mahasiswa Islam [HMI] merupakan
bagian dari bangsa Indonesia, yang kader-kadernya tumbuh dalam tradisi keintelektualan
harus dapat menghadirkan kembali nilai keislaman dan kebangsaan sebagai bahan
persembahan untuk keummatan. Apabila melihat perkembangan sejarah HMI pada
dekade 1950-an, tercatat bahwa HMI konsisten dengan prinsip independensinya.
HMI tampil sebagai kekuatan lapisan muslim terpelajar dan terdidik yang
diperhitungkan. Menciptakan generasi millennial yang taat terhadap ajaran agama
dan bangsa merupakan salah satu agenda besar kader dan alumni HMI untuk
mewujudkannya manusia Indonesia (generasi) terbaik. Di kisahkan, suatu ketika
seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Saw., Ia bertanya: Wahai
Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik? Rasulullah menjawab: “Manusia
yang paling baik adalah orang yang paling rajin baca Alquran, paling bertakwa
kepada Allah SWT, paling sering memerintahkan yang makruf dan mencegah
yang mungkar, dan paling sering menyambung tali silaturahmi.” (HR. Ahmad bin
Hambal).
Dari hadis di atas ada empat kriteria yang dapat membentuk umat
manusia menjadi generasi terbaik. Salah satunya adalah generasi yang selalu
berupaya memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar sesuai
prinsip-prinsip yang di ajarkan dalam Islam.[5]
Generasi millennial memiliki tanggungjawab menegakkan yang ma’ruf dan
menghilangkan kemungkaran. Dalam konteks kebangsaaan saat ini, isu hoaks
(berita bohong) berpotensi memecah persatuan bangsa Indonesia. Hoaks merupakan
bentuk kemungkaran yang harus di tumpas tuntas agar tidak berdampak negatif dalam
kebangsaan. HMI harus tampil ditengah-tengah ummat untuk menuntas kemungkaran
hoaks berupa memberikan keterangan, kebenaran serta pendekatan-pendekatan yang
mencerahkan.
Dalam upaya menghadirkan HMI dan generasi bangsa yang unggul dan
berintegritas yang merupakan spirit kehidupan. Generasi yang dalam diri telah
terkumpul darah kepahlawanan yang silau
akan ketidakadilan, kezaliman, keterbelakangan dan kemerosotan moralitas
manusia. Gerakan ini memiliki identitas serta kualitas yang memadukan kekuatan
spritual dan kebangsaan. Identitas dalam aspek spritual adalah kepribadian iman
yang bersemai dalam dirinya yang akan mengantarkan menuju ke depan. Ibarat
kunci mobil yang berguna untuk menghidupkan serta menggerakan mobil tersebut.
Kunci kepribadian generasi millennial adalah keimanan yang mantap, inilah
bentuk dari aspek kualitasnya. Sedangkan identitas dalam aspek kebangsaan
adalah menghargai segala perbedaan, yang termuat baik dalam agama, suku, ras
serta golongan. Menghargai perbedaan adalah mengakui dan memberikan jaminan
keamanan terhadap perbedaan dalam suatu masyarakat atau bangsa. Penegasan
terhadap kualitas generasi terkini, bahwa kehadiran mereka tidak boleh
bergantung sama orang lain, dan juga mereka hadir bukan hanya untuk dirinya atau
kelompok melainkan harus dapat meramu semua kemungkinan menjadi sesuatu yang
bernilai tinggi yang memberikan kemanfaatan serta memberi petunjuk bagi manusia
dan kebangsaan. Seperti yang di ungkapkan oleh Yusuf Qardhawi membentuk manusia
yang soleh.[6]
Generasi yang unggul merupakan mereka yang dapat menyelesaikan berbagai
problematika keummatan dan kebangsaan dengan menghadirkan nilai Islam serta
warisan budaya dan sejarah. Bukan malah mengobati kondisi dengan ibarat orang
yang memadamkan api dengan menyiramkan minyak bensin atau kayu bakar.
Menurut Majalah Newsweek millennial adalah generasi yang
lahir dikisaran tahun 1977-1994, sedangkan PEW Research Center
menyatakan lahir di atas taun 1980. Sementara itu, Majalah Time menilai
millennial lahir pada tahun 1980-2000.[7] Dalam
kajian Islam Transitif karya Ansari Yamamah, ciri utama millennial adalah
generasi yang berbasis pada model pemikiran digitalisentris. Kaitannya
bahwa memadukan bonus demografi dengan konsep digitalisentris akan
berdampak pada kemajuan pembangunan manusia Indonesia, dalam menjalankan visi
generasi yang unggul dan terdepan tidak bisa terlepas dari kemajuan teknologi.
Suatu hal yang tidak terbantahkan bahwa bonus demografi ciri utamanya adalah
anak-anak muda masa kini, yang lebih mahir mengggunakan alat teknologi
(digital). Generasi dengan kecerdasan, kepiawaian, serta kreatifitas bukan saja
menjalin komunikasi sesama anak bangsa tapi juga telah menjalin komunikasi
dengan dunia luar di berbagai belahan negara di dunia, sehingga berbagai
kejadian, informasi dan sebagainya akan lebih cepat di ketahui. Saya melihat,
bahwa ciri utamanya adalah generasi yang dekat dengan teknologi atau boleh di
katakan mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dekat smartphone, laptop
dan sebagainya. Jika kita berbicara tentang generasi millennial termasuk di
dalamnya berbagai komunitas, suku, agama, ras dan golongan di berbagai pelosok
nusantara dalam cakupannya untuk kebangsaan mereka merespon bahkan menyoroti
kondisi yang berkembang saat ini. Memang kenyataannya bahwa generasi saat ini
sedang terjangkiti penyakit budaya hedonistik dan materialistik.[8]
Hal ini disebabkan bahwa generasi terkini tidak diberikan ruang yang cukup
untuk mengembangkan ide, gagasan, skill serta kreativitas yang menunjang
kemandirian diri.
Dalam
konteks ke-HMI-an Akbar Tanjung bertestimoni terhadap kader HMI bahwa para
kader dan alumni HMI harus dapat mengidentifikasi dan merumuskan berbagai jawaban atas
tantangan-tantangan yang ada; berorientasi jangka panjang, senantiasa
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan penguasaan atas ilmu
pengetahuan dan teknologi dan memiliki kualitas iman dan takwa, sehingga kader
HMI betul-betul mampu dirasakan oleh segenap elemen bangsa yang lain. Para
kader HMI harus tetap menjadi manusia pembelajar, rendah hati, dan
sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan menguasai teknologi, senantiasa cerdas
dan mampu berbuat sekecil apa pun bagi
masa depan umat dan bangsa Indonesia secara lebih baik.[9]
[1] Asep Gunawan.
Ed, Artikulasi Islam Kultural,Cet I, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
2004), h. 6.
[2]David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, Rediscovering
the Religious Factor in American Politics, (Armonk NY: M.E. Sharpe 1993),
h. 15.
[3] Dwi Narwoko
dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Keempat
(Jakarta: Prenadamedia Group 2015, ( h. 270.
[4] Sastrapratedja mengatakan ada 2 faktor ketidakmampuan
agama dalam memecahkan masalah kehidupan manusia secara instan. Pertama,
agama merupakan sistem makna yang memberikan interpretasi yang menyeluruh
terhadap kenyataan. Jadi, fungsinya terbatas. Ia hanyalah salah satu di mensi
saja dari kehidupan manusia; Kedua, agama sebagai realitas historis juga
memiliki keterbatasan sendiri, ambigius, pathogenis, dan terapeutis.
[5] Nurul H. Maarif, Menjadi Mukmin Kualitas Unggul,
(Jakarta: Alifia Books 2018), h. 61.
[6] Yusuf
Qardhawih, Konsep Islam Solusi Utama bagi Ummat (Jakarta: Senayan Abadi
Publshing 2004), h. 106.
[7] Harian
Analisa, Opini, Rabu, 20 Maret 2019, h. 20.
[8] Ahmad Syafi’i
Maarif, Membumikan Islam, (Jakarta: Penerbit Lingkar 1995), h. 171.
[9]Hariqo Wibawa
Satria, Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya, (Jakarta: Penerbit
Lingkar 2011), h. XXXIV.
Komentar
Posting Komentar