Wakaf Profesi


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Wakaf merupakan salah satu al-‘ibadah al-ma ̄ liyah tidak seperti zakat, infaq, dan sedekah, keberadaan wakaf sebagai al-‘ibadah al-ma ̄ liyah tidak terdapat secara eksplisit di dalam Alquran. Penggalian hukum wakaf dilakukan ulama dengan mengelaborasi pesan-pesan implisit dalam Alquran dan bersandar pada teks-teks hadis Nabi Muhammad Saw. Teks-teks hadis terkait hukum wakaf menurut Mustafa Ahmad Az Zarqa merupakan hukum ijmali dan umum. Adapun rincian hukum wakaf sebagaimana terdapat dalam kajian fiqih semuanya merupakan hasil ijtihad. Dengan posisi hukum wakaf yang tidak setegas zakat, sedekah dan infaq, institusi wakaf berkembang secara kuat dalam pembahasan hukum dan budaya masyarakat Islam.[1]
Fakta sejarah menunjukkan bahwa wakaf memegang peranan penting dalam pembangunan masyarakat Islam. Wakaf telah berperan dalam dunia pendidikan, kesehatan, kemasyarakatan, sarana ibadah bahkan menyentuh pembangunan infrastruktur. Kenyataan ini berlangsung hampir semua negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim. Oleh karena itu, kesadaran untuk berwakaf perlu ditumbuh-kembangkan. Dengan kenyataan tersebut lembaga wakaf harus dikelola secara profesional, terencana sesuai dengan hukum Islam serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Wakaf bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial untuk dikembangkan selama bisa dikelola secara optimal, karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian sebagai penopang hidup dan harga diri bangsa. Oleh karena itu, kondisi wakaf di Indonesia perlu mendapat perhatian ekstra, apalagi wakaf yang ada di Indonesia pada umumnya berbentuk benda yang tidak bergerak dan tidak dikelola secara produktif. Pengelolaan dan pengembangan wakaf yang ada di Indonesia diperlukan komitmen bersama pemerintah, ulama dan masyarakat.
Wakaf merupakan instrumen keuangan umat Islam yang digunakan untuk memfasilitasi berbagai bentuk kebutuhan umat Islam sejak awal pemerintahan Islam hingga saat ini. Wakaf menjadi satu dari bagian instrumen-instrumen keuangan lain seperti zakat, infak dan sedekah yang berperan penting untuk membenahi kehidupan masyarakat dengan memanfaatkan tanah, bangunan, uang, hak kekayaan intelektual maupun aset lainnya yang bernilai secara syariat. Wakaf secara langsung memiliki hubungan fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah keagamaan, sosial dan kemanusiaan, seperti menyediakan sarana ibadah, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat, sehingga dapat menjadi sumber pendanaan bagi masyarakat baik untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi maupun spiritual. Sebagaimana Firman Alla Swt dalam surah al-Baqarah [2] ayat 267, sebagai berikut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peruntukannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syariat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Agar fungsi dan tujuan wakaf tersebut berjalan dengan baik maka diperlukan pengelolaan yang profesional, sehingga wakaf yang diberikan oleh wakif dapat memberikan kemanfaatan yang besar bagi umat.
Dalam sejarah dan praktek perwakafan sesuai dengan hukum agama, tujuan wakaf bukan sekedar pengalihan atau penyerahan hak milik perorangan menjadi harta umat yang tidak memberi utilitas dan manfaat yang berkesinambungan. Maqasid Syariah[3] wakaf semata-mata untuk kebaikan umat Islam dan sebagai bentuk pengamalan ibadah seorang mukmin dalam rangka mencapai tujuan mulia, yaitu pahala yang terus mengalir walaupun selepas kematian. Jadi apapun yang membawa kebaikan kepada manusia, hewan dan lingkungan, maka hal itu juga termasuk wakaf. Konsep ini secara komprehensif merujuk pada konsep perbendaharaan umat secara menyeluruh yang mencakup unsur modal alam, insan, usaha dan modal keuangan.[4]
Sebagian besar wakaf hanya berupa benda-benda mati dan barang-barang yang tidak produktif sehingga sering pula menjadi masalah mengenai pemeliharaannya atau pemanfaatannya. Pada umumnya wakaf di Indonesia digunakan untuk mesjid, mushalla, sekolah, rumah, yatim piatu, makan dan sedikit sekali harta wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ.
Artinya:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Pemanfaatan tersebut dilihat dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan yang lebih efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh dalam kehidupan sosial. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas hal-hal yang diatas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dikelola secara produktif, maka kesejahteraan sosial masyarakat yang diharapkaan tidak akan dapat terealisasikan secara optimal. Padahal manfaat wakaf mestinya dapat diarahkan menjadi sumber pembiayaan alternatif dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi menuju terciptanya peradaban manusia yang maju dan sejahtera.
Namun, prinsip dasar dari wakaf itu sendiri sesungguhnya telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw., sebagaimana diatas. Oleh karena itu, pemberdayaan wakaf secara produktif harus dijadikan gerakan bersama dalam rangka membangun sektor ekonomi umat yang berkeadilan.[5] Apalagi ditengah upaya kita keluar dari krisis ekonomi yang telah lama membelit bangsa ini. Intinya, tidak ada istilah terlambat bagi kita untuk menata kembali pengelolaan wakaf agar lebih memberikan kesejahteraan sosial, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sarana-prasarana ibadah dan lain sebagainya. Eksistensi wakaf dalam konstalasi sosial masyarakat sangat didambakan, sebab lembaga wakaf dalam ajaran Islam hakikatnya bukan hanya sebagai shock breaker untuk menanggulangi kebutuhan sesaat, melainkan diharapkan sebagai sub sistem lembaga baitul mal. Wakaf jika dikelola secara profesional akan merupakan sumber dana yang potensial untuk pembangunan bangsa dan negara.[6]
Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan dengan sektor voluntary Islam yang lain adalah ketika wakaf ditunaikan, maka terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah Swt., yang di harapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan.
Wakaf mempunyai kedudukan penting dalam Islam, yaitu sebagai bentuk ibadah yang mengharuskan kerelaan dari seorang muslim untuk memberikan sebagian miliknya guna kepentingan ibadah dan kebaikan. Wakaf juga termasuk instrumen maliyah, yang termasuk ajaran yang tergolong pada syari’ah yang bersifat sakral dan suci, tetapi pemahaman dan implementasi wakaf tersebut tergolong pada fiqh (upaya yang bersifat kemanusiaan) karena dapat di fahami bahwa praktik dan realisasi wakaf tersebut terkait erat dengan realita dan kepentingan umat di masing-masing negara muslim (termasuk Indonesia).
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian dan perumusan kembali mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan perwakafan, baik yang berkenaan dengan masalah wakaf (orang yang berwakaf), mauquf bih (barang yang diwakafkan), nazdir maupun pengelolaannya. Hal ini sangat penting, karena tanpa melakukan perumusan kembali tentang perwakafan dan pengelolaan yang memadai, maka yang ada di Indonesia kurang dapat berperang dalam meningkatkan kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya.[7]
Saat ini yang berkembang dalam pembahasan masyarakat luas tentang wakaf produktif. Paradigma wakaf produktif lebih diarahkan pada pengembangan harta wakaf dan memaksimalkan potensi wakaf secara ekonomi, hal ini juga diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang mengatur mengenai berbagai hal yang memungkinkan wakaf dikelola secara produktif, sehingga untuk mengembangkan wakaf produktif di Indonesia pada saat ini secara hukum sudah tidak ada masalah lagi. Adapun untuk model pengelolaan wakaf produktif menurut pakar ekonomi syariah, Muhammad Syafi’i Antonio, pemberdayaan wakaf yang ditandai dengan ciri utama, yaitu “pola manajemen wakaf harus terintegrasi, asas kesejahteraan Naẓir dan asas transformasi serta tanggung jawab”. Untuk bisa mengoptimalkan pengelolaan aset wakaf ke arah produktif, perlu adanya persamaan persepsi atau sudut pandang tentang apa dan bagaimana pengembangan wakaf di Indonesia. Sebab, selama ini pemahaman masyarakat masih berbeda-beda dalam masalah perwakafan.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya bahwa wakaf selalu berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Bahwa selama ini kita mengenal wakaf dari segi tujuan, batasan waktunya, dan penggunaan barangnya. Adapun wakaf berdasarkan dari segi tujuan,berdasarkan tiga hal, yaitu Pertama, Wakaf sosial untuk kebaikan masyarakat (waqaf khairi); yaitu apabila tujuan wakafnya untuk kepentingan umum. Kedua, Wakaf keluarga (waqaf dzurri); yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberi manfaat kepada wakif, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang tertentu tanpa melihat apakah kaya atau miskin, sakit atau sehat, dan tua atau muda. Ketiga, Wakaf gabungan (waqaf musytarak); yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum dan keluarga bersamaan. [9]
Sedangkan berdasarkan batasan waktunya, wakaf terbagi menjadi dua macam, yaitu, Pertama, Wakaf abadi (waqaf muabbad); yaitu apabila wakafnya berbentuk barang yang bersifat abadi, seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya, atau barang bergerak yang ditentukan oleh waqif sebagai wakaf abadi dan produktif, dimana sebagian hasilnya untuk disalurkan sesuai tujuan wakaf, sedangkan sisanya untuk biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya.
Kedua, Wakaf sementara (waqaf muaqqat); yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian yang rusak. Wakaf sementara juga bisa dikarenakan oleh keinginan wakif yang memberi batasan waktu ketika mewakafkan barangnya.[10]
Selanjutnya pembagian wakaf berdasarkan penggunaannya, dibagi menjadi dua macam, yaitu, Pertama, Wakaf langsung, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk mencapai tujuannya, seperti masjid untuk shalat, sekolah untuk kegiatan belajar mengajar, rumah sakit untuk mengobati orang sakit dan lain sebagainya; Kedua, Wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.
Tiga pembagian wakaf di atas sudah mencakup jenis keseluruhan wakaf, baik berdasarkan tujuan, batasan waktunya, maupun penggunaannya. Selanjutnya kita akan mempelajari secara mendalam tentang perbedaan mendasar antara amalan filantropi dalam Islam yang ada.[11]
Wakaf benda bergerak seperti uang misalnya, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perwakafan yang benar dan di perbolehkan dalam Islam. Pada saat ini muncul dikalangan masyarakat dengan istilah cash waqf (wakaf uang) dipelopori oleh M. A. Mannan, seorang ekonom yang berasal dari Bangladesh. Wakaf akan lebih menjadi produktif apabila wakaf uang tersebut dikelola dan diberdayakan oleh suatu lembaga secara profesional, wakaf uang juga mampu meningkatkan kesejahteraan umat, membantu meningkatkan perekonomian masyarakat dalam memenuhi hak-hak masyarakat, dan dapat berkurang penderitaan bagi masyarakat yang kurang mampu.[12]
Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-Undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab didalamnya terkandung pemahaman yang berkomprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dilihat dari segi ekonomi, wakaf profesi sangat besar potensinya untuk dikembangkan, karena dengan model wakaf profesi daya jangkau dan mobilisasinya akan jauh lebih merata di tengah-tengah masyarakat di bandingkan dengan model wakaf tradisional (wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan). Karena wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan hanya dapat dilakukan oleh pihak keluarga atau bisa dikatakan secara individu yang tergolong mampu (kaya).[13]
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, merupakan fiqh Indonesia sebagai hasil ijtihad para ulama Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan dan aturan sosial pada saat itu, tetapi ijtihad ulama-ulama Indonesia ini tidak bisa membatalkan ijtihad ualam-ulama fiqh terdahulu. Ijtihad fuqaha terdahulu terhadap peruntukan tanah wakaf bertujuan untuk kemaslahatan umat sesuai dengan keadaan sosial pada saat itu. Begitu pula ijtihad ulama-ulama Indonesia terhadap pengembangan objek wakaf adalah demi kemaslahatan umat manusia yang disesuaikan dengan kebutuhan dan setting sosial pada saat ini. Sebab pada dasarnya hukum adalah artikulasi dari pemikiran dan kegiatan manusia pada zamannya. Sementara dinamika kehidupan manusia senantiasa berubah.[14]
Telah dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa wakaf bisa melalui benda bergerak dan benda yang tidak bergerak, yang dimaksud dalam wakaf benda bergerak disini adalah wakaf uang, karena wakaf uang mempunyai manfaat yang sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah, pendidikan dan sosial keagamaan saja.[15] Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.
Berdasarkan potensi yang ada, pemerintah cukup serius dalam mengakomodir pengelolaan harta wakaf, hal tersebut diwujudkan lewat peraturan perundang-undangan yang sangat progresif dalam mengakomodir melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf (selanjutnya disingkat UU No. 41 Tahun 2004 ) dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaanya (selanjutnya disingkat PP No. 42 Tahun 2006), dengan adanya peraturan tersebut umat Islam tinggal menjalankan saja dan tidak perlu lagi banyak berwacana, kalau dulu banyak orang berdiskusi dan berharap adanya lembaga khusus yang menangani perwakafan di Indonesia, maka kini hadir sebuah lembaga atau badan pengelola yang menangani tentang wakaf di Indonesia yaitu BWI atau Badan Wakaf Indonesia (selanjutnya disingkat BWI) sebagai perwujudan terselenggarakannya wakaf dengan baik di Indonesia, setelah lembaga tersebut muncul kini yang harus dilakukan adalah bagaimana memaksimalkan dan mengoptimalkan lembaga independen amanat undang-undang tersebut.[16]
Sejarah membuktikan bahwa wakaf sangat berperan dalam pembangunan sebuah ekonomi negara. Wakaf juga menjadi salah satu alternatif pendistribusian kekayaan guna mencapai pembangunan ekonomi masyarakat. Dengan adanya perundang-undangan No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, sektor wakaf dapat lebih berfungsi dalam peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi umat. Undang-Undang No.41 Tahun 2004 menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, karena di dalamnya terkandung sebuah pemahaman yang komprehensif dan terdapat pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.[17]
Praktik wakaf yang ada di tengah masyarakat jenisnya beragam, pada awalnya yang populer seperti wakaf tanah, sarana pendidikan, sarana bangunan mesjid, Alquran, uang serta fasilitas sosial sampai yang belum populer seperti wakaf saham.[18] Meskipun jenis wakaf sudah beragam saat ini, namun masih terbuka munculnya jenis wakaf baru yang dapat mewujudkan kesejahteraan, pembangunan, dan kemajuan masyarakat.
Kemunculan jenis wakaf baru sangat terbuka mengingat wakaf tidak ada penjelasannya dalam Alquran, hanya hadis yang menjelaskannya dalam bentuk hukum yang global dan umum yaitu menahan pokok harta wakaf dengan tidak menjualnya, menghibahkannya, atau mewariskannya, dan menyalurkan hasilnya sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang menerangkan wakaf Umar bin Khattab atas tanahnya di Khaibar. Substansi perintah Nabi Muhammad Saw., tersebut adalah menekankan pentingnya eksistensi benda wakaf dan mengelolanya secara professional. Sedangkan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan kebajikan umum (ihbis ashlaha wa tashaddaq tsamarataha).
Pemahaman yang paling mudah dicerna dari maksud Nabi Muhammad Saw., tersebut adalah bahwa substansi dari ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada keabadian bendanya, tapi sejauh mana benda wakaf tersebut memberikan manfaat kepada mauquf ‘alaih (sasaran wakaf), dan nilai manfaat benda wakaf akan bias diperoleh secara optimal jika dikelola secara produktif. Jika kita konsisten memegangi maksud hadits Nabi Muhammad Saw., diatas, maka seharusnya tidak ada benda-benda wakaf yang terbengkalai, apalagi membebani nazhir-nya. Bahwa ada sebagian ulama yang bersiteguh memahami wakaf lebih kepada keutuhan bendanya meskipun telah rusak atau tidak memberi manfaat sekalipun, itu urusan lain.
Bila mengacu pada peraturan Undang-undang bahwa barang-barang yang diwakafkan saat ini hanya pada benda-benda yang bergerak dan tidak bergerak, dan belum menyentuh pada hal-hal yang menjadi keahlian sebagian orang (skill) atau badan hukum seperti wakaf profesinya, misalnya arsitektur, insyinyur, dokter, notaris, konsultan dan pejabat seperti yang telah dipraktekkan pada dilembaga Tazakka. Bila kita merujuk dalam UU nomor 41 Tahun 2004 pada bagian keenam tentang Harta Benda Wakaf.[19]
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh secara sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari:
a.       Benda tidak bergerak; dan
b.      Benda bergerak
(2) benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a.       Hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b.      Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.       Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan benda tanah;
d.      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.       Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a.       Logam;
b.      Logam mulia;
c.       Surat berharga;
d.      Kenderaan;
e.       Hak atas kekayaan intelektual;
f.       Hak sewa; dan
g.      Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain wakaf aset, wakaf tunai dan wakaf manfaat ada pula jenis wakaf lain yaitu wakaf profesi. Sebelum dijelaskan tentang wakaf profesi, ada baiknya diulas kembali secara singkat jenis-jenis wakaf sebelumnya. Istilah yang berkembang mengenai wakaf profesi belum meluas. Oleh karena itu, dalam masyarakat Indonesia masih kurang faham dengan adanya wakaf profesi, bahkan masyarakat Indonesia rata-rata masih mempraktekkan wakaf yang secara tradisional seperti halnya wakaf tanah, yang ditujukan untuk pembangunan pendidikan, peribadatan, kuburan, wakaf Alquran dan sebagainya.[20]
Di sisi lain wakaf juga menjadi solusi pengembangan terhadap berbagai keahlian atau profesi kaum muslimin di tengah-tengah masyarakat dan solusi dari ketamakan individu dan kesewenang-wenangan pemerintah secara bersamaan. Wakaf secara khusus dapat membantu aktivitas masyarakat umum dan sebagai bentuk kepedulian terhadap umat, dan generasi yang akan datang. Munculnya paradigma wakaf merupakan sebuah momentum sebagai suatu upaya transformasi dari pengelolaan wakaf yang tradisional menjadi pengelolaan wakaf yang profesional untuk meningkatkan atau menambah manfaat wakaf. Istilah wakaf profesi sendiri belum dikenal pada masa sekarang, tetapi esensinya telah ada sejak adanya syariat wakaf pada masa Nabi Muhammad Saw. Potensi profesi ummat Islam cukup besar, seperti profesi program (Indonesia Mengajar), Potensi dokter muslim, potensi engeneering muslim, Potensi guru/dosen muslim dan lainnya. Jadi berkenaan dengan potensi profesi inilah yang digagas  kedepannya sebagai konsep untuk memperluas dalam mengembangkan harta wakaf profesi.
Wakaf profesi adalah wakaf dalam bentuk keahlian atau profesi dari seseorang kepada nadzir. Wakaf ini memang tidak dikenal pada zaman Nabi Muhammad Saw, sebagaimana halnya zakat profesi pun tidak dikenal. Sebab, dalam Fiqh klasik zakat hanya mengatur setidak-tidaknya atas logam (emas, perak dan uang kertas), barang tambang, atau peninggalan kuno, barang dagangan, tanaman dan buah-buahan, binatang ternak.[21]
Maka, bila mengacu pada makna ayat 267 dari surat al-Baqarah “Sebagian dari usahamu yang baik-baik” dalam ayat tersebut ulama kontemporer memaknai sebagai ragam profesi kontemporer yang terus berkembang saat ini. Bila merujuk pada zaman Nabi Muhammad Saw., tentunya belum ada aturan wakaf secara professional. Ragam profesi yang berkembang saat ini yang dimiliki umat Islam sangat berpotensi bila dikelola untuk kepentingan umat Islam, antara lain potensi arsitektur muslim, potensi notaries muslim, potensi konsultan dan pejabat muslim, potensi dokter muslim, potensi engeneering muslim, potensi guru/dosen muslim.
Namun, wakaf profesi hukumnya tentu tidak wajib, hanya sangat dianjurkan karena merupakan bentuk sedekah yang sangat dianjurkan dalam agama. Karena sifatnya yang tidak wajib, maka tidak ada ketentuan baku persentase dan lain sebagai­nya. Padahal pemanfaatan wakaf profesi akan sangat membantu serta meringangankan kerja umat Islam untuk menuju peradaban yang maju dan sejahtera, tetapi pada era saat ini pemberian wakaf yang berbentuk profesi itu sangat minim sehingga muncul dampaknya bahwa masih jauh dari tujuan dari wakaf itu disyariatkannya yakni untuk mencapai ekonomi Islam mewujudkan kehidupan yang sejahtera.[22] Untuk memperjelas gambaran wakaf profesi, maka berikut ini beberapa contoh wakaf profesi yang telah dipraktekkan di Pondok Modern Tazakka.
Arsitek atau insinyur dapat mewakafkan keahliannya guna membantu mendesain dan mengawasi jalannya pembangunan fisik di Pondok Modern Tazakka. Ia mewakafkan ilmu dan keah­liannya untuk kepentingan dimaksud tanpa mendapat imbalan materi sebagaimana lazimnya.
Demikian pula profesi dokter yaitu dengan mewakafkan keahliannya di bidang medis kedokteran untuk membantu melayani kesehatan santri, guru, dan masyarakat sekitar pondok melalui Tazakka Medical Center (TMC). Telah ada beberapa dokter yang mewakafkan profesinya; ada yang sifatnya rutin 2 (dua) jam dalam seminggu,­ namun ada pula yang sifatnya lepas yaitu siap membantu di pondok dalam bidang medis dan kedokteran kapan saja diperlukan.
Profesi notaris atau pejabat pembuat akta tanah pun dapat mewakafkan kompetensi dan profesinya dengan cara membuatkan akta notaris atau sertifikat tanah wakaf secara cuma-cuma, baik sifatnya sebagian atau seluruhnya. Pejabat pemerintah pun dapat mela­kukan wakaf profesi ini. Yaitu wakaf dalam bentuk kebijakan atau keputusan dalam ruang lingkup kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-­undangan yang berlaku untuk memberikan kemudahan bagi pengembangan pondok.­ Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, termasuk Kapolres, Dandim, Kepala Pengadilan, Kepala Kejaksaan, Ketua DPRD, dan lain-lain mela­lui keputusan dan kebijakannya memberi fasilitas kemudahan administrasi atau keputusan-keputusan kenegaraan untuk kepentingan bagi pondok.
Beberapa profesi lain pun tak kalah semaraknya dalam gerakan wakaf ini: konsultan bisnis, konsultan keuangan, trainer-­trainer, maupun yang lain-lain yang tak mungkin disebutkan satu per satu di sini. Bahkan, tak ketinggalan wakaf profesi sesungguhnya bisa pula diberlakukan terhadap Pimpinan Pondok. Pimpinan Pondok telah mewakafkan dirinya untuk seumur hidupnya memimpin dan mengelola menejemen Pondok Modern Tazakka tanpa mendapat imbalan materil atau gaji.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاثة: من صدقة جارية، وعلم ينتفع به وولد صالح يدعو له. حديث رواه متتفق عليه).[23]
“Jika anak cucu Adam mati, terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR.Muttafaq alaih).
Dengan terbatasnya penjelasan wakaf dalam hadis, maka hukum wakaf yang rinci menurut Mustafa Ahmad Az Zarqa ditetapkan berdasarkan ijtihad dan qiyas di mana akal fikiran memiliki peran penting di dalamnya.[24] Para fuqaha terdahulu mengkaji hukum-hukum wakaf atas berbagai jenis wakaf yang berkembang pada masa mereka dengan berijtihad dalam mengeluarkan hukum yang beragam sebagai hasil pemikiran mereka, seperti persoalan wakaf buku, wakaf sementara, dan wakaf uang.
Dalam menetapkan hukum atas berbagai persoalan wakaf tersebut mereka berbeda pendapat, sebagaian mereka membolehkan dan sebagiannya lagi melarang. Meskipun terdapat perbedaan hukum, namun jenis-jenis wakaf tersebut berperan dan berkontribusi dalam mewujudkan pembangunan masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya menjadikan wakaf terus berperan dan berkontribusi dalam pembangunan masyarakat, maka perlu dimunculkan jenis-jenis wakaf baru yang ditetapkan berdasarkan ijtihad antara lain wakaf profesi. Selama ini kita sudah mengenal zakat profesi yaitu zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab, misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, penceramah, dan sebagainya.
Zakat profesi ini digagas ulama kontemporer oleh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqh Az Zakah, ini artinya pada masa lalu belum ada zakat profesi.[25] Gagasan zakat profesi ini dikaji oleh berbagai pihak dan lembaga, bahkan akhirnya Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2003 mengeluarkan Fatwa tentang Zakat Penghasilan.[26]
 Setelah fatwa ini dikeluarkan, zakat profesi atau zakat penghasilan ditunaikan oleh pegawai, karyawan, pejabat negara, profesi dokter, konsultan, dan lain-lain bahkan hasilnya mendominasi perolehan zakat yang dihimpun oleh Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Dana zakat yang dikumpulkan dari zakat profesi ini, banyak membantu program-program keumatan baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dakwah, dan sebagainya sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama fakir miskin.
 Jika zakat profesi pada masa lalu tidak ada, kemudian pada masa kini diadakan dengan ditetapkan hukumnya dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka wakaf profesi perlu dikaji kebolehannya dalam rangka memperbanyak jenis wakaf untuk mewujudkan kesejahateraan masyarakat. [27]
 Dalam membahas wakaf profesi, perlu dijelaskan pengertian wakaf yang disampaikan oleh Munzir Qahf yaitu: menahan harta untuk selamanya atau sementara guna dimanfaatkan secara berulang atau dengan (mensedekahkan) hasilnya dalam berbagai jenis kebajikan yang umum dan yang khusus.[28]
Selanjutnya Munzir Qahf memberikan penjelasan atas pengertian wakaf yang dibuatnya dengan menyebutkan beberapa hal, di antaranya: wakaf itu terjadi atas harta. Harta terkadang berupa harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, atau harta bergerak seperti buku dan senjata, dan terkadang berupa barang seperti alat-alat dan mobil, atau berupa uang seperti untuk mudharabah atau pinjaman, harta bisa berupa manfaat yang bernilai harta seperti manfaat mengangkut orang sakit dan jompo atau manfaat dasar yang tetap yang diwakafkan oleh penyewa seperti hak jalan.
 Kemudian Munzir Qahf berpendapat bahwa wakaf terjadi atas barang, manfaat, atau hak yang bernilai harta karena semua itu adalah harta – menurut mayoritas ulama terkadang wakaf selamanya atau sementara waktu sesuai kekekalan harta wakaf atau syarat wakif. Dengan penjelasan ini maka Munzir Qahf menyebutkan jenis wakaf baru yang tidak dikenal pada masa lalu, seperti wakaf hak yang bernilai harta, wakaf manfaat dengan jenisnya yang bermacam-macam, baik hak yang bernilai harta seperti hak penerbitan, dan manfaat seperti manfaat harta yang disewa yang menurut mayoritas ulama dianggap sebagai harta.
 Pengertian wakaf yang disampaikan oleh Munzir Qahf menyebutkan bahwa wakaf manfaat termasuk jenis wakaf, dan di antara wakaf manfaat salah satunya adalah manfaat pekerjaan dari para pekerja, para teknisi, dan para profesional dengan keahliannya yang beragam. Jadi, wakaf profesi sesungguhnya adalah wakaf pekerjaan yaitu mewakafkan pekerjaan yang meliputi pekerjaan fisik yang mengandalkan tenaga yang menghasilkan layanan atau jasa yang sesuai dengan syariah seperti tukang bangunan, montir atau mekanik kendaraan, dan pekerjaan non fisik yang mengandalkan akal yang menghasilkan layanan atau jasa yang sesuai syariah seperti dokter, guru atau dosen, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga dan perusahaan untuk tujuan kebajikan.
Wakaf profesi atau pekerjaan dapat dilakukan baik untuk jangka waktu selamanya (wakaf selamanya) maupun untuk jangka waktu tertentu (wakaf sementara) sebab wakaf menurut Munzir Qahf bisa selamanya atau sementara sebagaimana disebutkan dalam pengertian wakaf di atas.[29] Untuk lebih jelasnya wakaf profesi atau pekerjaan selamanya adalah mewakafkan pekerjaan fisik (yang mengandlkan tenaga) atau pekerjaan non fisik (yang mengandalkan akal) yang menghasilkan manfaat yang sesuai syariah untuk selamanya atau tidak dibatasi waktu, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga untuk tujuan kebaikan dan kebajikan.[30] Adapun wakaf profesi atau pekerjaan untuk sementara adalah mewakafkan pekerjaan fisik (yang mengandalkan tenaga) atau pekerjaan non-fisik (yang mengandalkan akal) yang menghasilkan manfaat yang sesuai syariah untuk sementara waktu, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga untuk tujuan kebaikan. Tujuan wakaf profesi atau pekerjaan adalah memberikan manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan manusia bukan yang dihasilkan dari modal yang tetap seperti tanah dan rumah di mana manfaat tanah misalnya untuk pertanian, dan manfaat rumah misalnya untuk tempat tinggal.
Wakaf jenis ini yang banyak dibahas oleh fuqaha terdahulu di mana mereka menegaskan untuk menahan pokok harta (misalnya tanah dan rumah) dan memberikan manfaatnya (misalnya tanah untuk pertanian dan rumah untuk tempat tinggal). Demikian juga manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan manusia tidak sama dengan manfaat yang dihasilkan dari modal yang bergerak seperti manfaat mobil dan manfaat komputer. Manfaat inilah yang oleh sebagian fuqaha sah untuk diwakafkan, misalnya seseorang yang memiliki mobil atau komputer dapat mewakafkan manfaat dari barang tersebut yang dimilikinya.[31]
Berdasarkan penjelasan di atas, sesuai kaidah fikih wakaf yang ditetapkan oleh fuqaha terdahulu seseorang dapat mewakafkan manfaat suatu barang yang dimilikinya. Dengan demikian manfaat yang dihasilkan dari wakaf pekerjaan tidak termasuk dalam pengertian wakaf menurut fuqaha terdahulu karena tidak dihasilkan dari barang yang dimiliki seseorang, tapi dihasilkan dari anggota badannya yang bukan sebagai objek untuk dimiliki sehingga tidak sah mewakafkan pekerjaan yang menghasilkan manfaat. Mengenai hal ini Imam Nawawi telah menyebutkan apa saja yang tidak boleh diwakafkan di antaranya adalah wakaf orang merdeka atas dirinya. Menurut as-Syarbini al-Khotib tidak sahnya wakaf orang merdeka atas dirinya karena ia tidak memilikinya sebagaimana ia tidak memberi dirinya, dan tidak sah wakaf manfaat tanpa kepemilikan barangnya baik sementara seperti ijarah (sewa) atau selamanya seperti wasiat karena kepemilikan barang adalah pokok dan manfaat adalah cabang, cabang mengikuti pokok. Itulah pendapat fuqaha terdahulu, namun tentunya terbuka ijtihad baru dalam persoalan wakaf dengan mengkaji teori fikih tentang manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan.
Dalam fikih dibahas pendapat fuqaha tentang manfaat apakah dianggap sebagai harta seperti menempati rumah, mengendarai kendaraan, dan pekerjaan seseorang. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa manfaat bukan sebagai harta karena tidak mungkin dimiliki sebab manfaat itu tidak ada, kalaupun ada akan lenyap sedikit demi sedikit.[32] Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa manfaat sebagai harta karena dapat dimiliki dengan memiliki pokoknya dan manfaat itulah yang menjadi tujuan dari barang, jika tidak ada manfaatnya tidak akan diminta sebab manusia cenderung kepada manfaat. Pendapat ini lebih tepat daripada pendapat sebelumnya karena sesuai dengan kebiasaan yang umum dalam transaksi keuangan. Menurut Hasan Muhamad Rifai bahwa manfaat pekerjaan seseorang dianggap sebagai harta sesuai pendapat mayoritas ulama terdahulu, sehingga manusia memiliki hak menggunakan manfaat dengan cara yang sesuai dengan syariah.[33]
Dalam fikih kontemporer disebutkan bahwa pekerjaan maknawi (non fisik) seperti karangan dan penemuan dianggap sebagai hak bagi pemiliknya yang berhak menggunakannya karena mempunyai manfaat, dan manfaat sebagai harta sebab bernilai materi yang diakui syara’. Hukum yang sama seharusnya ditetapkan juga pada pekerjaan fisik yang dilakukan oleh pekerja, ia mempunyai hak menggunakannya sesuai yang dikehendakinya sebagaimana ia dapat mengalihkannya dengan imbalan seperti akad ijarah (sewa), atau tanpa imbalan seperti wakaf. Manfaat pekerjaan seseorang dianggap syariah sebagai harta dengan dibolehkannya menjadi mahar dalam pernikahan sebagaimana disebutkan dalam ayat yang membahas tetang pernikahan putri Nabi Syuaib dengan Nabi Musa dengan mahar menggembala kambing selama delapan tahun (QS. al-Qashash: 27). Menurut Hasan Muhammad Rifai, jika manfaat pekerja seperti menggembala kambing boleh menjadi mahar karena sebagai harta, maka manfaat pekerjaan sebagai harta boleh diwakafkan.
Bagi siapa saja yang mewakafkan profesinya atau pekerjaannya berkewajiban melaksanakan pekerjaan itu, misalnya memperbaiki kendaraan yang rusak, memberikan layanan kesehatan, atau mengajar pelajaran tertentu. Kewajiban melaksanakan pekerjaan kadangkala dengan imbalan seperti pegawai yang dipekerjakan, terkadang tanpa imbalan seperti pegawai atau guru atau dokter yang mewakafkan manfaat pekerjaannya untuk waktu tertentu atau selamanya.
Menurut Hasan Muhammad Rifai, seseorang yang akan mewakafkan profesinya atau pekerjaannya harus memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (1) manfaat pekerjaan yang diwakafkan harus dihasilkan oleh wakif. (2) Pekerjaan yang diwakafkan harus bernilai menurut syariah. (3) Pekerjaan yang diwakafkan harus mampu diserahterimakan atau dilaksanakan. (4) Pekerjaan yang diwakafkan harus jelas atau diketahui. (5) Pekerjaan yang diwakafkan ditentukan waktunya jika wakaf sementara. (6) Pekerjaan yang diwakafkan dibuatkan akta ikrar wakaf. (7) Pekerjaan yang diwakafkan adalah pekerjaan yang dibolehkan secara syariah. (8) Wakif tidak menerima imbalan dari pekerjaan yang diwakafkannya.
Pekerjaan yang diwakafkan dapat berbentuk pekerjaan yang dilakukan secara mandiri seperti montir atau mekanik, tukang, artis, guru, dosen, dan lain-lain. Wakaf yang dilakukan oleh mereka akan berkontribusi mewujudkan pembangunan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan. Selain pekerjaan yang dilakukan secara mandiri, wakaf pekerjaan juga dapat dilakukan oleh lembaga atau perusahaan dengan cara pemilik lembaga atau perusahaan membuat perjanjian atau perikatan dengan lembaga wakaf misalnya untuk melakukan perbaikan mobil atau mesin foto kopi pada saat terjadi kerusakan dalam kurun waktu setahun atau lima tahun.
Bagaiman dengan praktik wakaf profesi? Di negara Kuwait melalui Kuwait Awqaf Public Foundation telah memiliki program wakaf profesi atau pekerjaan yang disebut dengan wakaf waktu yaitu mengalokasikan waktu tertentu yang dilakukan oleh individu, lembaga atau perusahaan untuk melakukan pekerjaan secara sukarela atau tanpa imbalan. Bagaimana praktik wakaf profesi di Indonesia? Secara legalitas formal, wakaf profesi atau pekerjaan belum ada aturannya sebab jenis harta benda wakaf yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf hanya harta benda wakaf tidak bergerak, harta benda wakaf bergerak selain uang, dan harta benda wakaf bergerak berupa uang.
Namun, meskipun dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf belum diatur, wakaf profesi sudah dijalankan oleh beberapa lembaga wakaf seperti lembaga wakaf Tazakka yang memiliki program wakaf profesi dan sudah ada orang-orang yang mewakafkan profesinya, seperti profesi dokter yang mewakafkan pekerjaannya secara rutin 2 jam dalam seminggu untuk membantu melayani kesehatan santri, guru, dan masyarakat tanpa menerima imbalan, profesi notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang mewakafkan pekerjaannya dengan membuatkan akta notaris dan mengurus sertipikat tanah secara cuma-cuma, ada juga arsitek atau insinyur yang mewakafkan keahliannya guna membantu mendesain dan mengawasi jalannya pembangunan fisik di Pondok Modern Tazakka tanpa mendapat imbalan materi.
Selain Tazakka, tentunya lembaga lain juga sudah ada yang mempraktikkan wakaf profesi dan beberapa orang juga sudah mewakafkan profesinya meskipun mereka tidak menyebutnya sebagai wakaf profesi. Olah karena praktiknya di tengah masyarakat sudah ada, ada arsitek yang mewakafkan profesinya untuk membuat desain gambar masjid atau pesantren, ada guru atau dosen yang mewakafkan pekerjaannya misalnya 2 jam dalam seminggu mengajar tanpa imbalan, ada dokter yang mewakafkan pekerjaannya misalnya 2 jam setiap minggu berparktik tanpa imbalan, ada notaris atau pejabat pembuat akta tanah yang mewakafkan profesinya dengan membuatkan akta yayasan sosial atau mengurus sertifikat pesantren dan masjid tanpa imbalan, ada artis yang mewakafkan pekerjaannya dengan tidak menerima imbalan pada acara atau kegiatan sosial atau untuk keperluan lembaga sosial, bahkan ada pejabat yang mewakafkan pekerjaanya dengan bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau mewujudkan keadilan tanpa menerima gaji selama masa jabatannya, dan profesi-profesi atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Meskipun praktiknya sudah ada, hanya terkadang penyebutannya tidak sebagai wakaf profesi atau pekerjaan, ada yang menyebutnya sebagai sebuah kebaikan saja, atau sebagai sedekah, atau ada yang menyebutnya dengan wakaf hanya tidak langsung disebutkan sebagai wakaf profesi. Oleh karena itu, perlu literasi dan sosialisasi adanya wakaf profesi dan akan lebih baik lagi kalau diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf. Dengan demikian, akan semakin banyak orang, lembaga, atau perusahaan yang berpartisipasi dalam wakaf profesi sehingga dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteran dan pembangunan masyarakat. Dengan realitas tersebut maka penulis tertarik mengangkatnya untuk dijadikan penelitian disertasi dengan judul: WAKAF PROFESI MENURUT PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG WAKAF (STUDI KASUS LEMBAGA TAZAKKA)
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pergeseran dan kemajuan hukum wakaf dalam perspektif fikih ?
2.      Bagaimana hukum wakaf profesi menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 yang berlaku di Indonesia ?
3.      Bagaimana strategi pengembangan wakaf Profesi di Lembaga Tazakka ?
C.    TUJUAN PENELITIAN
1.      Mengetahui pergeseran dan kemajuan hukum wakaf dalam perspektif fikih.
2.      Hukum wakaf profesi berdasarkan Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui strategi pengembangan wakaf Profesi di Lembaga Tazakka.
D.    KEGUNAAN PENELITIAN
1.      Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi ilmu pengetahuan dan bahan kajian baik hukum Islam maupun ekonomi Islam mengenai wakaf profesi, pengelolaan serta manfaatnya.
2.      Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap optimalisasi pengembangan wakaf profesi pada Lembaga Tazakka dan memungkinkan dilakukan transferability pada lembaga pendidikan lain yang berbasis wakaf. Dalam jenjang yang lebih tinggi, Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama Republik Indonesia dapat berkolaborasi untuk mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi wakaf dalam Lembaga, Yayasan kearah yang lebih produktif dan inovatif.

E.     KAJIAN TERDAHULU
1.      Muslihun, Disetasi yang berjudul Menuju Wakaf Produktif (Studi Pergeseran dan Perubahan Pemahaman Tuan Guru tentang Wakaf di Lombok)Program Doktor Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang 2012.
Hasil Penelitiannya: Wakaf dalam perspektif Islam dapat dijadikan salah satu sarana untuk pemberdayaan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat luas. Sekarang, masih banyak kendala untuk pengembangan wakaf ke depan. Salah satunya adalah pemahaman sempit tentang wakaf. Wakaf sering dipahami sebagai entitas ibadah khusus (maḥḍah) semata. Kini, suatu perkembangan yang menarik berkaitan dengan hukum wakaf dan pelaksanaannya di Lombok adalah meningkatnya kesadaran akan pentingnya wakaf produktif. Telah terjadi pergeseran pemahaman wakaf tersebut menuju pemahaman wakaf secara produktif. Pertama, akar pergeseran dan perubahan pemahaman wakaf tuan guru di Lombok terjadi karena memiliki latar belakang sangat beragam, yakni: (a) para tuan guru memiliki kapasitas yang tinggi di tengahtengah masyarakatnya, hal ini dapat dilihat dari posisi tuan guru merupakan ulama yang hidup di pulau Lombok yang umatnya memiliki ciri-ciri khusus seperti sangat tunduk pada tuan guru dan posisi tuan guru di Lombok sebagai tokoh sentral sekaligus sebagai pemimpin agama; (b) para tuan guru menggunakan beberapa argumentasi pemahaman wakaf, yakni teologis, sosiologis, terbukanya pintu ijtihad, elastisitas hukum Islam, dan maqāṣid asy-syarī‟ah; (c) para tuan guru dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dalam pergeseran pemahaman wakafnya; (d) para tuan guru mengalami proses panjang dalam pergeseran pemahaman wakafnya.
Kedua, implementasi pergeseran pemahaman wakaf para tuan guru dapat dilihat pada tiga hal: (a) pergeseran pemahaman wakaf para tuan guru pada sisi pemahaman wakaf produktif itu sendiri telah berlangsung ditandai dengan pandangan sebagian tuan guru bahwa wakaf produktif itu merupakan keharusan sesuai dengan konteks zaman. (b) pergeseran pemahaman wakaf para tuan guru di Lombok pada sisi harta wakaf (mauqūf bih) juga telah berlangsung yang ditandai dengan pandangan sebagian tuan guru bahwa harta aset wakaf madrasah dan masjid bisa diproduktifkan dengan syarat-syarat tertentu. (c) pergeseran pemahaman wakaf para tuan guru di Lombok pada sisi peruntukan harta wakaf (mauqūf „alaihnya) juga telah terjadi di sebagian tuan guru.
2.      Dewi Angraeni, Tesis yang berjudul Pengelolaan Wakaf Produktif Pada Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar (Pascasarjana UIN Alauddin Makassar 2016).
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengelolaan wakaf produktif pada Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan strategi pengembangan usaha-usaha wakaf produktif dalam rangka menjaga eksistensi Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Strategi pengembangan wakaf produktif dalam rangka menjaga eksistensi Yayasan Wakaf Universitas Muslim Indonesia Makassar, yaitu: 1) Menjalankan program kemitraan dengan pihak ketiga dan memperluas jaringan pemasaran sebagai upaya peningkatan profit, 2) Penambahan dan mengganti peralatan produksi yang mulai usang, 3) Melaksanakan pelatihan keNaẓiran berdasarkan keahlian masing-masing, 4) Hasil investasi wakaf tunai akan dialokasikan pada dua kegiatan yaitu pembangunan dan pemeliharaan prasarana keagamaan Islam dan pemberdayaan ekonomi umat dalam pemenuhan kebutuhan ibadah dan amal jariyah (UMKM Berbasis Syariah), dan 5) Mendirikan Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran UMI.
3.      Jaharuddin, Jurnal Ikraith-Humaniora, Vol. 2, No. 2, MARET 2018 “Potensi Wakaf Uang Untuk Pendidikan (Studi Kasus FEB UMJ)”.
Penelitian ini menemukan Keistimewaan wakaf adalah (1).Pahalanya terus mengalir sekalipun yang berwakaf sudah meninggal. (2). Terus menerusnya manfaat walaupun generasi berganti, (3). Wakaf mempunyai watak abadi. (4). Perlu diperbanyak yang mengelola wakaf secara produktif. (5). Terbukti menjadi solusi dalam bidang pendidikan dan jaminan sosial. (6). Pengelolaan wakaf adalah bagian dari pengelolaan manajemen strategis suatu kampus. (7). Fleksibel.Potensi wakaf di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMJ sebesar Rp. 150.320.000,- perbulan atau setara dengan Rp. 1.803.840.000,- per tahun. Potensi wakaf uang di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) perbulan mencapai angka Rp. 528.270.000,- atau setara dengan Rp. 6.339.240.000,- . Langkah-langkah implementasi wakaf uang untuk pendidikan adalah; (1).Kelembagaan. (2). Edukasi. (3). Penghimpunan Wakaf uang dan wakaf lainnya. (4). Manajemen Investasi. (5). Manajemen Bagi hasil manfaat.
F.     KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPSIONAL
1.      Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis dalam suatu penulisan mempunyai beberapa kegunaan. Penulis yang mempunyai kemampuan untuk melakukan penulisan harus dapat merumuskan permasalahan dan kemudian mengumpulkan data untuk dianalisa.  Di dalam setiap penulisan harus selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis yang ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa, dan konstruksi data.[34]
a.       Teori Diyani-Qadhai
Penerapan hukum dalam suasana masyarakat yang senantiasa berubah dan  selalu berada dalam kondisi konflik tentu akan sangat berbeda dengan penerapan hukum  dalam  suasana  masyarakat  yang  masih  sangat  sederhana.  Penerapan hukum  pada  masyarakat  demikian  itu,  menurut  Hart,  haruslah  secara  efisien, dalam  kepastian  serta  tidak  boleh  dalam  keadaan  statis.  Agar  hukum  itu bisa menjadi efisien, maka perlu dibuat aturan-aturan yang berfungsi untuk mengadili dan  memberikan  hukuman  kepada  para  pelanggar  suatu  ketentuan  hukum. Kemudian  agar  hukum  itu  berada  dalam  kepastian,  maka  perlu  suatu  aturan hukum  yang  jelas.  Dan  selanjut nya  agar  hukum  itu  tidak  menjadi  statis,  maka perlu  pula  aturan  yang  memberikan  kuasa  kepada  seorang  individu  atau  badan untuk  menciptakan  ketentuan  hukum  yang  baru,  membatalkan  yang  lama  atau merevisinya.[35]
Hukum  Islam  jika  ingin  diterapkan  dalam  masyarakat  modern,  maka  ia harus pula mengikuti prinsip-prinsip penerapan hukum di atas. Jika tidak, maka hukum  Islam  akan  kehilangan  fungsi  sosialnya.  Pertanyaan  yang  akan  segera muncul  dari  pernyataan  seperti  ini  adalah  apakah  seluruh  hukum  itu  harus mengikuti ketentuan di  atas ataukah tidak.  Dari  sinilah kemudian hukum  Islam itu  perlu  dibedakan  menjadi  bersifat diyâni dan  bersifat qadâ’i. Hukum  Islam yang  bersifat Diyâni sangat  bergantung  pada  kesadaran  beragama  masyarakat  Islam sendiri, sementara hukum Islam yang bersifat qadâ’I melibatkan institusi-institusi  tertentu  yang  mempunyai  kekuatan  secara  hukum  untuk  memaksakan dan  atau  menjamin  berlakunya  hukum  Islam  itu  di  tengah-tengah  masyarakat.
Hukum  Islam  yang  bersifat diyâni tidaklah  perlu  mengikuti  ketentuan  di  atas. Adapun hukum Islam yang bersifat qadâ’i perlu mengikuti ketentuan di atas. Dalam  pada  itu  salah  satu  gejala  yang  muncul  dalam  perjalanan  sejarah perkembangan  hukum  Islam  di  beberapa  negara  Islam  sejak  awal  abad  ke-20 hingga  saat  ini  adalah  terjadinya  pembaharuan  hukum  Islam  yang  mengambil bentuk pengkodifikasian  hukum  Islam  dalam  perundang-undangan  negara (periode taqnin).[36] Pembaharuan  hukum  Islam  dalam  bentuk  pengkodifikasian hukum  Islam  menjadi  perundang-undangan  negara  itu  bertujuan  agar hukum Islam  menjadi  lebih  fungsional  dalam  kehidupan  umat  Islam.  Pembaharuan hukum  Islam  dalam  bentuk  kodifikasi  ini  mesti  melibatkan  kekuasaan  politik suatu negara. Keterkaitan   pelaksanaan   hukum   Islam   dengan   kekuasaan   politik menimbulkan suatu pertanyaan besar yaitu apakah semua hukum Islam itu dalam pelaksanaannya  memerlukan  keterlibatan  negara  (kekuasaan  politik)?  ataukah tidak sama sekali ?.
Sebab sebagaimana diketahui bahwa cakupan hukum Islam sangat  luas,  sejak  dari  ketukan  hati  dalam  dada  seorang  muslim  sampai  pada hubungan  internasional  diatur  sedemikian  rupa  dalam  hukum  Islam.  Keluasan hukum Islam yang seperti inilah yang harus dipilah, mana-mana saja dari hukum Islam  yang  luas  itu  yang  harus  dilaksanakan  dengan  melibatkan  negara  dan karenanya  ia  perlu  dikodifikasikan  dalam  perundang-undangan  negara  dan mana-mana pula dari hukum Islam yang luas itu yang tidak perlu dikodifikasikan dan karenanya pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya pada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri. Artinya mana saja dari hukum Islam itu yang harus di-jalankan  secara diyâni (berdasarkan  kesadaran  beragama  seseorang)  saja  dan mana pula yang harus dijalankan secara qadâ’i (yuridis). Salah satu dasar pijakan yang  dapat  dipergunakan  untuk  pemilahan  hukum  Islam  yang  luas  itu  adalah dengan menggunakan teori diyâni dan qadâ’i ini. Dengan  mengacu  kepada  teori  ini,  akan  dapat  dibedakan  mana-mana  saja dari  syari’at  Islam  itu  yang  mesti  dilaksanakan  dengan  kekuasaan  negara  dan mana-mana pula yang tidak perlu. Karena itu yang mungkin bisa masuk dalam program  legislasi  negara  adalah  hukum  Islam  yang  berdimensi qadâ’i saja, sementara hukum-hukum  Islam  yang berdimensi diyâni diserahkan sepenuhnya kepada   kesadaran   beragama   masyarakat  secara   individual,   tidak   perlu dikodifikasikan atau diformalkan.
b.      Teori Kemanfaatan
Eksistensi hukum bertujuan untuk memberikan keamanan dan ketertiban serta menjamin adanya kesejahteraan yang diperoleh masyarakat dari negara sebagai payung bermasyarakat. Kaidah hukum di samping kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancamnya, juga mengatur hubungan di antara manusia. Identifikasi setiap permasalahan merupakan tugas dari hukum untuk memberikan jaminan adanya kepastian hukum. Masyarakat berkembang secara pesat di dunia komunitasnya atau dalam bernegara, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman sehingga kebutuhan harus dipenuhi sesuai zamanya. Keberlakuan ini secara langsung tidak memiliki relevansi dengan kepastian hukum, karenannya hukum akan bersifat statis tanpa adanya penyesuaian antara hukum dan perilaku masyarakat kekinian atau terjadi kekacuan hukum.
Untuk itu perlu hukum yang kontekstual, dalam arti dapat mengakomodir praktik-praktik sosial di masyarakat dengan diatur oleh norma hukum. Dalam hal ini agar pemerintah membuat regulasi tentang wakaf profesi di Indonesia sebagai payung hukum dalam masyarakat. Ajaran-ajaran hukum yang dapat diterapkan, menurut Johnson, agar tercipta korelasi antara hukum dan masyarakatnya, yaitu hukum sosial yang lebih kuat dan lebih maju daripada ajaran-ajaran yang diciptakan oleh hukum perseorangan. Artikulasi hukum ini akan menciptakan hukum yang sesuai cita-cita masyarakat. Karenanya muara hukum tidak hanya keadilan dan kepastian hukum, akan tetapi aspek kemanfaatan juga harus terpenuhi.[37]
c.       Teori Peran Negara
Melalui undang-undang Nomor 41 tahun 2014 tentang wakaf  merupakan peraturan mengenai tatacara perwakafan di Indonesia. Namun dalam perkembangan dunia saat ini, bahwa dalam undang-undang belum termuat secara keselurahan hal-hal yang berkembang saat ini. Dalam hal ini, negara dapat membuat sebuah regulasi yang mengatur tentang perkembangan wakaf profesi.
Wakaf sebagai instrument melalui hukum Islam dan Undang-Undang nomor 41 tahun 2014. Wakaf salah satu lembaga yang dianjurkan oleh ajaran Islam untuk dipergunakan sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan oleh Allah Swt. Wakaf sebagai salah satu instrumen untuk membangun kesejahteraan sosial diharapkan akan berperan aktif bukan pasif seperti yang selama ini terjadi di Indonesia. Wakaf merupakan salah satu sumber dana sosial potensial yang erat kaitannya dengan kesejahteraan umum di samping zakaf, infaq, dan sedekah yang belum digali oleh pemerintah Indonesia. Langkah yang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan sosial adalah dengan meningkatkan peran dalam bentuk memperluas permebrdayaan wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang berpotensi untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk itu, diperlukan pengembangan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.
Indonesia telah memiliki peraturan mengenai wakaf yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Undang-undang tentang Wakaf). Dengan wakaf diharapkan dapat menjadi media untuk menciptakan keadilan ekonomi, mengurangi kefakiran dan kemiskinan; mengembangkan sistem jaminan sosial; dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan serta fasilitas pelayanan umum yang layak.
Dengan diberlakukan Undang-undang tentang Wakaf, wakaf merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia. Sebagai suatu lembaga keagamaan, di samping berfungsi sebagai ibadah kepada Allah Swt, wakaf juga berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi kehidupan wakif di hari akhirat karena pahalanya akan terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Adapun dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset yang sangat bernilai dalam pembangunan.
Wakaf selain sebagai upaya pembentuk watak dan kepribadian seorang muslim untuk merelakan sebagian hartanya bagi kepentingan orang lain, juga merupakan investasi pembangunan yang bernilai tinggi tanpa memperhitungkan jangka waktu dan keuntungan materi bagi orang yang mewakafkan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf.[38]
Dalam Undang-undang tentang Wakaf, wakif dapat pula mewakafkan  sebagian  kekayaannya  berupa  harta  benda  wakaf  bergerak  baik maupun tidak bergerak.
2.      Teori Konsepsional
Dalam suatu penulisan, kerangka konsepsional adalah yang paling penting karena pada hakekatnya kerangka konsepsional merupakan suatu pedoman yang lebih konkret untuk permasalahan yang akan diteliti. Kerangka  konsepsional dapat terdiri dari konsep-konsep, namun dapat juga mencakup definisi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis akan menguraikan konsep-konsep yang berkaitan dengan penulisan ini, sebagai berikut:
a.       Wakaf dan Wakaf Profesi
Perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kerja bahasa Arab. Waqafa-Yaqifu-Waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengaitkan, memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi, dan tetap berdiri. Menurut ‘Abdul Wahhab Khallaf, wakaf berarti menahan sesuatu baik hissi maupun maknawi. Kata wakaf itu menurut Abd al-Wahhab Khallaf juga digunakan untuk objeknya yakni dalam arti sesuatu yang ditahan.[39]
Menurut Muhammad Ibn Isma’il as-San’ani, wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.[40] Sedangkan wakaf menurut ulama mazhab, sebagai berikut; Pertama, Abu Hanifah: Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilik harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu Mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah: “tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (social), baik sekarang maupun akan datang”.
Kedua, Mazhab maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif wajib menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan olah mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa  tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).
Ketiga, Mazhab Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apasaja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada orang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya.Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapt melarang penyaluran sumbangannya tersebut.Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf’alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah Swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.[41]
Selanjutnya Mundzir Qahaf memberikan definisi atas wakaf yaitu menahan harta baik secara abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, umum maupun khusus. Dari definisi tersebut, kemudian Mundzir Qahaf memberikan pengertian yang dapat diartikan, sebagai berikut:[42] (i) menahan harta untuk dikonsumsi atau dipergunakan secara pribadi; (ii) mencakup harta berupa tetap dan tidak bisa bergerak seperti tanah dan bangunan dan berupa benda bergerak, seperti: buku, senjata, barang seperti peralatan dan kendaraan, keagamaan, sosial dan lain sebagainya, manfaatnya kembali keluarga dan keturunannya atau orang lain yang masih ada hubungannya dengan wakif; (vii) wakaf tidak terjadi kecuali dengan keinginan satu orang yaitu wakif saja; dan (viii) penjagaan dan kemungkinan bisa diambil manfaatnya secara langsung atau dari manfaat hasilnya.
Sedangkan menurut Moh. Saifulloh Al Aziz S. memberikan pengertian atas wakaf yang menurut arti bahasa adalah menahan. Sedangkan menurut syara’ adalah memindahkan hak milik pribadi menjadi milik suatu badan yang memberikan manfaat bagi masyarakat, dengan tujuan untuk mendapat kebiasaan demi ridho Allah Swt. [43]
Jadi, dari penjelasan di atas, maka wakaf adalah menahan harta baik secara abadi maupun sementara, dari segala bentuk tindakan pribadi, seperti menjual dan memberikan wakaf atau yang lainnya, untuk tujuan pemanfaatannya atau hasilnya secara berulang-ulang bagi kepentingan umum atau khusus, sesuai dengan tujuan yang disyaratkan oleh wakif dan dalam batasan hukum syariah Islam.
Sedangkan menurut perundang-undangan di Indonesia “Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah”.[44]
Berkenaan dengan perkembangan saat ini tentang wakaf profesi merupakan sebuah terobosan baru dalam dunia perwakafan di Indonesia. Mengingat dalam pasal 5 UU wakaf menyatakan wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Sehingga, dengan kehadiran wakaf profesi, yang diharapkan tentunya manfaat dari profesi yang digunakan untuk membantu masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum.
Wakaf profesi adalah wakaf dalam bentuk keahlian atau profesi dari seseorang kepada nadzir. Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya menjadikan wakaf terus berperan dan berkontribusi dalam pembangunan masyarakat, maka perlu dimunculkan jenis-jenis wakaf baru yang ditetapkan berdasarkan ijtihad antara lain wakaf profesi. Selama ini kita sudah mengenal zakat profesi yaitu zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab, misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, penceramah, dan sebagainya.
Sebelum berlakunya Undang-undang tentang Wakaf, pemahaman wakaf dititikberatkan kepada tanah dan bangunan yang bersifat statis serta sulit untuk dikembangkan. Manfaat wakaf tanah tersebut hanya dinikmati oleh masyarakat di sekitar tanah dan bangunan itu berada. Sehingga, belum dapat menyentuh pada manfaat dari wakaf baik dalam jangka waktu seperti wakaf profesi.
G.    ASUMSI
Wakaf mengharuskan seorang muslim untuk merelakan harta yang diberikan untuk digunakan dalam kepentingan ibadah dan kebaikan. Harta wakaf yang sudah diberikan sudah bukan menjadi hak milik pribadi melainkan menjadi hak milik umat. Wakaf bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial untuk dikembangkan selama bisa dikelola secara optimal, karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian sebagai penopang hidup dan harga diri bangsa.
Perkembangan wakaf dalam dunia Islam saat ini tidak hanya terfokus pada tata cara pengelolaan tradisional, melainkan sudah melangkah kepada hal-hal yang lebih produktif dalam kemanfaatan wakaf seperti yang terdapat di Arab Saudi dan Mesir yang memiliki wakaf kesehatan. Begitu juga di masa peradaban kejayaan Islam yang di tuturkan oleh Mustafa Assiba’i dalam bukunya Min Rawai’ Hadharatina menyebutkan bahwa salah satu jenis wakaf yang utama pada masa kejayaan peradaban Islam adalah wakaf kesehatan yaitu rumah sakit yang disebut dengan Bimaristan dan lembaga pendidikan kedokteran.[45] Pengelolaan wakaf yang lebih baik dan lebih produktif sehingga bisa memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat, baik dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, maupun pembangunan infrastruktur publik.
Begitu juga yang terdapat di Lembaga Tazakka yang sedang mengembangkan wakaf profesi. Adapun wakaf profesi atau pekerjaan untuk sementara adalah mewakafkan pekerjaan fisik (yang mengandalkan tenaga) atau pekerjaan non-fisik (yang mengandalkan akal) yang menghasilkan manfaat yang sesuai syariah untuk sementara waktu, baik dilakukan secara mandiri atau melalui lembaga untuk tujuan kebaikan. Tujuan wakaf profesi atau pekerjaan adalah memberikan manfaat yang dihasilkan dari pekerjaan manusia bukan yang dihasilkan dari modal yang tetap seperti tanah dan rumah di mana manfaat tanah misalnya untuk pertanian, dan manfaat rumah misalnya untuk tempat tinggal.
H.    METODE PENELITIAN
Metode penelitian ilmiah adalah suatu usaha untuk menentukan mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Usaha tersebut dilakukan untuk menggunakan metode ilmiah. Tujuannya adalah untuk menjaga agar pengetahuan yang akan didapat dari suatu penelitian mempunyai harga ilmiah yang setinggi-tingginya. Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa, dilakukan secara metodologis, sistimatis dan konsisten, yang berarti sesuai dengan cara tertentu berdasarkan suatu sistem dan tidak ada hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Menurut konsep LIPI, penelitian diartikan sebagai berikut: Penelitian dalam ilmu-ilmu sosial dan komunikasi adalah segala aktifitas berdasarkan disiplin ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasi, menganalisa dan menyatakan fakta-fakta alam, masyarakat, kelakuan dan rohani manusia guna menemukan prinsip-prinsip pengetahuan dan metode-metode baru dalam usaha menggapai hal-hal tersebut.[46]
Sesungguhnya penelitian itu bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan dan kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam suatu yang ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang suah ada, masih atau menjadi diragukan kebenarannya.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian sebagai berikut:
1.      Metode Pengumpulan Data
a.       Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keteranganketerangan. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi arus informasi dalam wawancara yaitu: pewawancara, responden, pedoman wawancara dan situasi wawancara.[47] Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur atau terpimpin, dalam wawancara ini peneliti menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.[48] Pertanyaan-pertanyaan itu mengacu seputar masalah tentang pengelolaan harta benda wakaf.
b.      Dokumentasi
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang bersumber dari dokumen dan catatan-catatan yang tertulis baik berupa hasil dialog saat wawancara berlangsung ataupun menghimpun data tertulis berupa hasil penelitian, berkas-berkas, serta mempelajari secara seksama tentang hal-hal yang berkaitan dengan data baik data primer, sekunder dan tersier.
Adapun data primer, antara lain:
-          Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2014 tentang Wakaf;
-          Peratuan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
-          Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Adapun bahan-bahan hukum sekunder
-          Kumpulan tulisan dan artikel yang berkaitan dengan wakaf;
-          Tesis dan Disertasi yang berkaitan dengan wakaf;
-          Wawancara dan data dari Lembaga Tazakka; dan
-          Media internet
Adapun bahan-bahan hukum tertier yang digunakan sebagai bahan hukum dalam membantu menganalisis bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu terjemahan Alquran, ensiklopedi Islam dan hukum Islam, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab dan kamus Bahasa Inggeris.
2.      Metode Analisis Data
Penelitian ini bercorak studi kasus maka metode analisis data yang digunakan penelitian deskriptif kualitatif dengan studi kasus. Penelitian ini menjelaskan secara mendalam unit analisis tentang UU Wakaf, Fiqh serta Lembaga Tazakka yang telah mempraktekkan wakaf profesi yang menjadi fokus penelitian dengan membahas berbagai latar belakang persoalan yang menyelimutinya.
3.      Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah suatu pola pemikiran secara ilmiah dalam suatu penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah  Yuridis Sosiologis yaitu suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kenyataan yang terjadi di lapangan sehingga dapat diketahui legalitas hukum dalam teori serta dalam prakteknya sesuai dengan yang terjadi sebenarnya.[49]
a.       Pendekatan Kewahyuan adalah pendekatan yang langsung merujuk terhadap sumber hukum Islam yaitu Alquran, Hadis. Peneliti akan mencari dalil-dalil yang berkaitan tentang wakaf.
b.      Pendekatan Konseptual adalah penedekatan yang langsung diperoleh dari para yang ahli tentang wakaf antara lain Imam Mazhab, Tokoh dan Ahli tentang wakaf.
c.       Pendekatan yuridis adalah bahwa didalam mengadakan kegiatan penelitian serta pendekatan oleh penulis akan digunakan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum untuk meninjau dan melihat serta menganalisa masalah.
d.      Pendekatan sosiologis adalah pendekatan secara langsung yang penulis lakukan pada objek-objek yang berkaitan dengan penelitian. Dengan demikian yang dimaksud dengan pendekatan secara yuridis sosiologis adalah selain mempergunakan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum didalam meninjau dan melihat serta menganalisa objek penelitian, penulis juga akan mengadakan pendekatan langsung kepada masyarakat dan responden, sehingga mendapatkan hasil yang konkrit.
I.       SISTEMATIKA PEMBAHASAN
1.      Teknik Penulisan
Dalam penulisan ini, kecuali dalam hal-hal tertentu, pedoman teknik penulisn yang digunakan adalah buku teks penuntun a Manual for Writers of Term Papers, Theses and Dissertations yang disusun oleh Kate L. Turabian.
Transliterasi yang digunakan untuk menyalin kata-kata atau ungkapan-ungkapan berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia berpedoman kepada keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 158 tahun 1987 dan No. 0543 b/U/1987 tentang Pembakuan Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
2.      Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini di bagi kepada lima (5) bab yang mempunyai kaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama adalah pendahuluan yang mengantarkan pada pemabahasan pada bab-bab selanjutnya. Bab ini terdiri dari atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,, kajian terdahulu, kerangka teori dan Konsepsional, Asumsi Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Selanjutnya bab kedua, membahas tentang Landasan Teori, Pengertian Wakaf dalam sejarah umat manusia, Praktek Wakaf, Wakaf dalam Alqura, Hadis dan UU Nomor 41 tahun 2014.
Kemudian bab Tinjauan Umum Tentang Wakaf Profesi, Gambaran Umum Lembaga Tazakka, Praktek Wakaf Profesi di Lembaga Tazakka.
Bab keempat Hasil Penelitian, Hukum Wakaf Profesi perspektif Fikih, UU Nomor 41 tahun 2014. Pada bab lima penelitian ditutup dengan kesimpulan dan saran serta rekomendasi yang dianggap perlu.


[1]Hilmi Hasbullah, Dinamika Pengelolaan Wakaf Uang (Studi Sosio-Legal Perilaku Pengelolaan Wakaf Uang Pasca Pemberlakuan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf), (Jurnal: Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS XII), h. 813.
[2] Azhari Akmal Taringan dan Agustianto Ed, Wakaf Produktif Pemberdayaan Ekonomi Umat (Medan: IAIN Press 2004), h. 27.
[3] Maqasid Syariah adalah tujuan dan rahasia-rahasia yang telah ditetapkan Allah pada setiap hukum yang telah disyariatkan, yaitu untuk mencapai kebahagiaan individu dan masyarakat, memelihara hukum dan seterusnya untuk memakmurkan dunia sehingga mencapai tingkat kesempurnaan, kebaikan, kemajuan dan peradaban yang tinggi. Pentingnya maqasid syariah mencakup tiga hal, yaitu untuk maslahah asas (daruriyah) memelihara agama, jiwa, akal, kehormatan, harta; Maslahah yang diperlukan (hajiyyah) yang melibatkan semua yang diperlukan oleh manusia untuk mewujudkan kemudahan dan kelapangan dalam menjalankan tugas dalam kehidupan; Maslahah yang diperlukan untuk menjaga kehormatan hidup manusia (tahsiniyyah) yang melibatkan kemuliaan akhlak dan adat yang baik. Lihat Farahdina Abdul Manaf dan Nursiah Sulaiman, Peranan Harta Wakaf dalam Bidang Pembangunan dan Pendidikan: Fokus dalam bidang Perubatan, Koleksi kertas sisipan Seminar Kebangsaan Peranan Harta Sedekah dalam memartabatkan Pembangunan dan Pendidikan Ummah, 13-14 Januari 2004, Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam (CITU) UITM, h. 136.
[4] Mohamad Akram Laldin, dkk, Maqasid Syariah dalam Pelaksanaan Waqaf, (Jurnal Pengurusan Jawhar, Vol. 2 No. 2 2008), h. 11.
[5] Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung: Simbiosa Rekatama, 2008), h. 16.
[6] Kadarismanto, Rekonstruksi Wakaf dalam Perspektif Hukum Berbasis Nilai Keadilan, (Jurnal Pembaharuan Hukum Volume I No. 3 September – Desember 2014), h. 330.
[7]Azhari Akmal Taringan dan Agustianto Ed, Wakaf Produktif Pemberdayaan Ekonomi Umat,………, h. 83-84.
[8] Masruchin, Tesis Wakaf Produktif dan Kemandirian Pesantren: Studi Tentang Pengelolaan Wakaf Produktif di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, (Surabaya: Pascasarjana Ekonomi Syariah, UIN Sunan Ampel, 2014), h.35-36.
[9] Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Serang: Darul Ulum Press, 1999),h. 34.
[10] Ibrahim al-Bayumi Ghanim, al-Auqaf wa Siyasah Fi Misra, (Mesir: Darul –Asyrku, t.th), h. 56.
[11] Muhammad Aziz, Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam Mengembangkan Prospek Wakaf Uang DI Indonesia, (Tuban: Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hikmah JES Volume 1, Nomor 2, Maret 2017), h. 193-194.
[12] Farid Wadjdy, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam Yang Hampir Terlupakan), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 79.
[13] Hasan Mansur Nasution, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta : Sinar Grafika 2010), h. 109.
[14] Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 132.
[15] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003), h. 228.
[16] Peraturan Perundangan, Bab VI, pasal 7, UU No. 41 Tahun 2004 dan PP No. 42 Tahun 2006.
[17] Rozalinda, Efek Ganda Pengelolaan Wakaf Uang, Jurnal Ilmu-ilmu keislaman (XXXV (2), 2011).
[18] M. Nur Rianto Al Arif, Wakaf Uang dan Pengaruhnya terhadap Program Pengentasan Kemiskinan di Indonesia, (Jurnal: Indo-Islamika, Volume 2, Nomor 1, 2012/1433), h. 18.
[19] Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Peradilan Agama di Indonesia, (Perdana Publishing 2010), h. 350.
[20] Anonim, Strategi Pengembangan Wakaf Uang di Indonesia, (Jakarta: Februari, 2009), h. 8.
[21] M. Ali Hasan, Zakat dan Infaq: Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), h. 64.
[22] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), h. 7.
[23] Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Qawi Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih Muslim, Terj. Pipih Imran Nurtsani dan Fitri Nurhayati, (Surakarta: Insan Kamil, 2014), h. 492.
[24] Mustafa Ahmad az-Zarqa, Ahkam al-Awqa’f, (Kairo: Dar ’Imar, tt), h. 9.
[25] Yusuf Qardlawi, Fiqh uz-Zakat, Terj. Didin Hafidhuddin, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), h.
[26] Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Zakat Penghasilan, h.  208.
[27] Agus Marimin dan Tira Nur Fitria, Zakat Profesi (Zakat Penghasilan) Menurut Hukum Islam, (Jurnal: Ilmiah Ekonomi Islam - Vol. 01, No. 01, Maret 2015), h. 52.
[28] Munzir Qahf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyidin Mas Ridha  (Jakarta: Khalifa 2005), h.
[29] Ibid, h.
[30] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, (Depok: II Man Press, 2004), h.83.
[31] Ibid h. 84.
[32] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Juz IV, (Damsyiq: Dar al-Fikri, 1989),h. 40.
[33] Ali al-Khafifi, Mukhtashar Akhkam al-Muamalah al-Syar’iyyah, (Kairo: Matba’ah al-Sunnah, 1952), h. 9.
[34] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 121.
[35] H. L. A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1994), h. 91-97.
[36] Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), h. 149-217.
[37] Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum, Cet ke- 3 (Jakarta: Asdi Mahastya, 2006), h. 204.
[38] Uswatun Hasanah, Wakaf Produktif untuk Kesejahteraan Sosial dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia, (Pidato pada acara pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia), (Depok, 22 April 2009), h. 13.
[39] Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam al-Waqf, (Mesir: Matb’ah al-Misr,1951), h. 14.
[40] Muhammad Ibn. Isma’ail as-San’any, Subul as-Salam, (Mesir: Muhammad Ali Sabih, t.t.), h. 114.
[41] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali/Muhammad Jawad Mughniyah”, terj. Masykur A. B, dkk. Cet. VI (Jakarta: Lentera, 2007), h. 8.
[42] Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddi Mas Rida, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Khalifa, 2007), h. 52.
[43] Moh. Saifulloh Al Aziz S., Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya, Terbit Terang Surabaya ), h. 421.
[44]Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
[46] Koencoroningrat, Dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), h. 6.
[47] Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 108.
[48] Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 190.
[49] Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum.,... h.51.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer