TAFSIR SOSIAL: MENGGUGAT SOCIAL DISTANCING

Gambar mungkin berisi: 1 orang
Oleh: Hikmatiar Harahap
Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu”. (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim).
Berkaitan situasi yang dihadapi masyarakat akhir-akhir ini penyebaran Corona Virus Diseases diharuskan masyarakat untuk social distancing. Adapun yang dilansir dari laman wikipedia bahwa social distancing adalah menjaga jarak yang maksudnya serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang dimaksudkan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular. Tujuan dari pembatasan sosial adalah untuk mengurangi kemungkinan kontak antara orang terinfeksi dan orang lain yang tidak terinfeksi, sehingga dapat meminimalkan penularan penyakit, morbiditas dan terutama kematian.
Menyikapi fenomena yang terjadi dalam masyarakat telah menimbulkan diskusi panjang dan menarik untuk dicermati. Sehingga, dalam rangka untuk menyelesaikan atau sekedar masukkan, maka penulis lebih mengarahkan pada dua pendekatan ajaran agama Islam yakni pendekatan yang dalam bahasa penulis sebut pendekatan tindakan terpuji (akhlak mahmudhah) serta penerapan teori hukum Islam maqsid syariah. Adapun masalah yang terjadi munculnya ide pembatasan sosial (social distancing) tentunya hal ini harus disikapi secara bijaksana dengan hati yang lapang serta pikiran terbuka. Sebab, dengan adanya pembatasan sosial dampak yang ditimbulkan pastinya terbatas hubungan sosial antar sesama manusia (hablum min naas).
Hal ini terjadi karena didominasi pemahaman masyarakat tentang anjuran agama pentingnya mempertahankan, menjalin hubungan sosial antar sesama manusia agar tetap berjalan normal, begitu juga sikap silaturahmi tetap terlaksana, singkatnya hubungan antar sesama harus tetap terjalin dan tidak boleh terputus barang sejenak pun. Ditambah lagi masyarakat Indonesia yang terkenal dengan sikap ramah tamahnya kepada siapapun, murah tersenyum, sikap sosialnya yang tinggi yang dikenal sikap gotong royongnya. Tentunya, pola komunikasi secara langsung akan berhenti untuk sementara waktu, akhirnya masyarakat tidak menginginkan hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan semacam ini sah-sahnya.
Namun, yang harus disikapi dengan pikiran terbuka terkait kondisi planet bumi yang sedang di landa musibah adanya penyebaran wabah penyakit Corona Virus Diseases (Covid-19). Adapun tindakan terpuji (akhlak mahmudah) yang dimaksud adalah membatasi pribadi dalam melakukan kontak komunikasi secara langsung antar sesama dengan tujuan untuk menghindari agar tidak tertular virus satu sama lain, sebab dalam pemikiran akhlak bahwa setiap pribadi berupaya agar dapat saling meringankan atau memudahkan (tidak menularkan virus) urusan dan hajat, dalam istilah ushul fiqh konsep ini dikenal dengan sebutan fath dzari’ah (membuka jalan untuk kebaikan atau menimbulkan kemaslahatan), sadd dzari’ah (menutup, mencegah sesuatu agar tidak jatuh kepada kemafsadatan).
Bagaimana maksud dengan hati yang lapang agar dapat memperoleh tindakan terpuji, maksudnya bahwa pembatasan sosial jangan pula dimaknai atau dipahami sebagai upaya untuk menutup diri, memutus jalinan silaturahmi sesama komunitas masyarakat. Akan tetapi sebagai upaya sungguh-sungguh agar berdiam diri, tidak menjalin kontak secara langsung demi untuk terhindarnya dari kesusahan atau penyakit.
Bahkan social distancing dalam pendekatan melalui teori hukum Islam yang dikenal dengan istilah maqsyid syariah sesuatu yang mesti dijalankan. Teori ini dapat dimaknai sebagai sasaran-sasaran hukum yang langsung berkaitan dengan kehidupan manusia. Maksudnya, dengan adanya pembatasan sosial yang maksudkan sebagai upaya agar terhindar dari penularan penyakit, maka secara otomatis wajib hukumnya untuk menghindarinya. Dalam maqsid syariah terdapat tiga (3) tingkatan, diantaranya aspek dharuriyyah. Dalam aspek ini, ada lima (5) hal yang mesti dijaga agar dapat mencapai kemaslahatan, diantaranya hifz nafs (memelihara diri) agar terhindar dari yang dapat menyebabkan timbulnya bahaya (penyakit) baik diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw., yang menyatakan “Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan”. (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu “Abbas).
Hadis tersebut mengungkapkan dua (2) keadaan yaitu “al-dharar dan al-dhirar”. Adapun al-dharar maknanya “memudharatkan” maksudnya bagimu ada manfaat tapi bagi orang lain ada mudarat. Sedangkan al-dhirar maknanya “dimudharatkan” adalah bagimu tidak ada manfaatnya tetapi bagi orang lain memudharatkan. Dalam bahasa yang sederhana dapat dimengerti “tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan”. Dengan demikian ada kesan keseimbangan atau keadilan dalam perilaku serta secara moral menunjukkan mulianya akhlak karena tidak mau memudharatkan orang lain, tetapi juga tidak mau dimudharatkan oleh orang lain. Bahkan sebaliknya kita harus memberi manfaat kepada orang lain dan orang juga memberi manfaat kepada kita.
Perlu kita melihat sejarah umat terdahulu dalam menyikapi kondisi yang tidak netral (penyebaran penyakit) dalam menjalankan aktivitas sehari-hari yang dapat mengancam hidup dan kehidupan. Pertama, kisah Nabi Ayyub as., yang memiliki riwayat penyakit kulit, suatu ketika dia pun diasingkan oleh kaumnya ke tempat yang lebih aman. Kedua, kisah di masa Khalifah Umar Ibn Khattab, ketika penduduk kota Amwas sebelah barat Yuressalem, Palestina di landa wabah tha’un penyakit yang dapat mematikan. Langkah strategis yang diambil pejabat Gubernur saat itu Amr bis Ash yang terkenal dengan kecerdikannya, ia menyerukan kepada penduduk kota agar mengisolasi dirinya masing-masing. Sang Gubernur memerintahkan agar rakyatnya pergi berpencar-pencar ke seluruh penjuru ke bukit-bukit, pengunungan bahkan daerah-daerah terpencil. Sebab, dalam pandangannya jika semua orang terpisah dan berpencar maka wabah tidak akan menyerang manusia lagi. Dan akhirnya langkah ini membuahkan hasil dan dalam beberapa kemudian wabah penyakit itu pun dapat teratasi.
Untuk itu perlu kembali kita renungi serta mengambil iktibar dari pada potongan Surah al-Baqarah [2]: ayat 216. ….“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (al-Baqarah [2]: ayat 216). Makna potongan ayat tersebut memberikan pelajaran yang berharga kepada setiap manusia, untuk manusia yang mau berfikir secara jernih terhadap kondisi yang di alami penghuni bumi saat ini. Bahwa social distancing yang disebabkan wabah merupakan bentuk pemberian yang terbaik untuk manusia saat ini.
Akhirnya, dalam konteks keindonesiaan social distancing dapat berjalan normal manakala semua hajat hidup orang banyak dapat dipenuhi oleh negara. Seperti ungkapan disalah satu sudut beranda media sosial demi hidup Anda, selamatkan hidup mereka. Untuk itu, semua peribadi masing-masing harus saling melindungi untuk saling menyelamatkan menuju hidup kehidupan yang lebih layak dan sehat. Semoga wabah ini cepat berlalu dan kita semua dapat menjalankan aktivitas secara normal seperti biasanya serta berharap hari esok akan lebih baik dan cerah serta keberuntungan selalu berpihak kepada kita kepada pribadi yang pandai bersyukur. Wallahu a’lam

Komentar

  1. ya betul terkadang kita tidak mengamalkan potongan ini adinda.
    “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ia. setiap saat kita semua harus merenung serta saling menasehati untuk mencapai kebaikan.

      Hapus
  2. Ini adalah tugas kita Bersama adinda. Penyampaian pesan yang lugas dan gampang kepada masyarakat kita yang plural memahami ini semua butuh kerjasama, kerja ikhlas dan kerja cerdas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ia bangda. harus bersatu padu menyusun kekuatan, ide, gagasan cemerlang dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi terkini. semoga dengan kolaborasi yang mumpuni kerja sosial akan menjadikan lahan amal sosial (ibadah sosial) juga.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer