SIYASAH MALIYAH: UNTUK KEADILAN SOSIAL
Oleh: Hikmatiar Harahap
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan kebaikan dan takwa
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S al-Maidah [5]:
ayat 2).
Keadilan sosial akan tercipta dengan adanya hubungan timbal balik
yang dibangun antara penguasa dengan rakyat untuk menjamin terbentuknya tatanan
bangsa yang aman serta damai begitu juga kehidupan rakyat yang bahagia dan
sejahtera. Keadilan sosial merupakan amanah yang harus ditegakkan yang
ajarannya bersumber dari nilai-nilai ajaran agama serta termuat dalam
konstitusi suatu bangsa. Dampak dari nilai-nilai agama adalah menjadi sebuah
kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa ada tawaran. Begitu juga, yang termuat
dalam konstitusi merupakan sebuah cita-cita negara yang harus di capai untuk
melunasi janji kemerdekaan.
Nilai-nilai agama yang mengajarkan pentingnya sikap keadilan sosial
dapat disaksikan melalui sikap yang saling membutuhkan satu sama lain dengan
adanya kewajiban si kaya untuk membantu si miskin. Hubungan itu, merupakan
kewajiban timbal-balik antara pribadi dengan masyarakat. Artinya, setiap
kewajiban akan menimbulkan hak-hak yang sifatnya adalah keserasian dan
keseimbangan di antara keduannya. Sekali lagi kewajiban dan hak tidak terbatas
pada penerimaan maupun penyerahan harta benda, tetapi mencakup seluruh aspek
kehidupan.
Hal ini merupakan suatu ajakan atau anjuran agama yang berkenaan
pentingnya perilaku dalam menjaga harta dalam bentuk penyaluran melalui harta
zakat, berinfak, bersedekah, sikap meringankan beban orang-orang lemah,
orang-orang yang terpinggirkan (mustadh’afin), membantu orang yang
sedang membutuhkan dan sebagainya. Sikap terpuji akan mendatangkan keberkahan pada
pribadi serta harta yang disalurkan tersebut. Dengan prilaku penyaluran harta
benda yang tepat sasaran untuk
orang-orang yang sangat membutuhkan merupakan bagian dari siyasah maliyyah.
Konsep yang langsung bersumber dari politik Islam yang berkenaan dalam mengatur
suatu bangsa menuju terimplementasikannya nilai-nilai politik Islam itu
sendiri. Hal ini menandakan bahwa politik Islam didalamnya terukir kode maliyah
yang mengusung ide untuk tercapainya keadilan sosial dalam suatu bangsa menuju
kehidupan yang makmur dan sejahtera.
Konsep siyasah maliyyah diantaranya membuka ruang diskusi yang
berkaitan tentang tata cara menghimpun, mengelola, menyalurkan berbagai
kepentingan serta kebutuhan-kebutuhan rakyat. Dalam politik Islam praktek ini
sudah dilakukan oleh para khalifah dengan membentuk baitul mal dalam menghimpun
dana atau kas negara. Disamping itu, siyasah maliyyah juga berbicara tentang
sumber pendapatan suatu negara. Sumber pendapatan yang dipraktekkan Islam bersumber
dari harta zakat, pajak, fai’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa
peperangan), khumus al-ghana’im (harta yang diperoleh melalui jalan
peperangan) dan sebagainya. Poin selanjutnya adalah membelanjakan atau
mengeluarkan kas negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta menghindarkannya
dari kesusahan hidup agar tercapainya kehidupan dunia dengan terpenuhinya materi
sehingga akan meningkatkan kebutuhan spiritual setiap masyarakat. Poin inilah
yang menjadi daya tarik dari praktek politik Islam yang selalu berupaya
memenuhi kebutuhan duniawi serta tidak lupa dalam aspek spiritual rohani.
Dalam konteks keindonesiaan siyasah maliyyah dalam bentuk
pengamalannya sudah tercermin dalam isi pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 yang amanatnya untuk memajukan kesejahteraan umum
dan keadilan sosial. Begitu juga bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 34 ayat (1) UUD
1945 “ Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara”. Namun, dalam
realitasnya bangsa ini masih jauh dari cita-cita konstitusi itu.
Bangsa Indonesia berpotensi dan memiliki peluang untuk mencapai
kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Dengan
syarat berpedoman serta menjiwai semangat cita-cita konstitusi dengan
mempraktekkan dalam tindakan nyata. Kesejahteraan sosial akan terwujud
sebagaimana ungkapan penggagas teori negara kesejahteraan Prof. Mr. R.
Kranenburg “bahwa negara harus secara aktif
mengupayakan kesejahteraan, bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh
masyarakat secara merata dan seimbang, bukan mensejahterakan golongan tertentu
tapi seluruh rakyat”. Sehingga kesimpulan dari ungkapan tentang teori negara
kesejahteraan diatas, maka suatu negara harus dapat memuat empat (4) keadaan
yang maknanya sebagai berikut, sebagai kondisi sejahtera, sebagai pelayanan
sosial, sebagai tunjangan sosial dan sebagai proses atau terencana.
Kemestian dan kehadiran negara dalam berbagai kondisi bentuk
pengarahan serta koordinasi yang terencana untuk lebih dekat pada rakyat.
Pengarahan yang sifatnya untuk memberikan semangat agar berbuat yang lebih baik
serta berkualitas. Begitu juga koordinasi lebih kepada proses menangkap
kesimpulan dari kebijakan-kebijakan yang diterapkan dapat bermanfaat bagi
rakyat. Misalnya, rakyat yang hidup di daerah pesisir dengan rakyat yang
mengandalkan hasil pertanian tentu berbeda dalam memandang makna dari
kesejahteraan. Begitu juga masyarakat perkotaan dengan warga yang tinggal di
pedesaan berbeda pandangan terhadap kemajuan dalam pembangunan. Tafsiran rakyat
inilah yang harus diakomodasi dalam bentuk kebijakan yang langsung dapat menyentuh
urat nadi kehidupan yang pada akhirnya akan menuju pada kehidupan yang
berlandaskan keadilan sosial.
Untuk itu politik Islam sedari awal telah memberikan sebuah
masukkan yang berharga kepada suatu negara agar memiliki kepiawaian dalam mengontrol
setiap pergerakan dalam bentuk kolaborasi antara moral dan hukum yang dilandasi
aspek keimanan dan sikap kenegarawaan untuk memastikan hadirnya keadilan dan
kepastian. Moral dan hukum mengajarkan pentingnya kesadaran antara negara
dengan rakyat agar dapat bekerja sama untuk mencapai kemajuan dan keadilan.
Sebab, moral tanpa hukum akan muncul kesewenang-wenangan, sebaliknya hukum
tanpa moral akan terjadi kezhaliman dan penindasan.
Dapatlah dipahami peran siyasah maliyyah dalam menegakkan keadilan
sosial adalah bukan untuk mempersamakan semua masyarakat, melainkan
mempersamakan mereka dalam meraih kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sesuai
kemampuannya. Artinya, jika diantara mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan
materinya, maka negara harus hadir memenuhi, membantu kebutuhan mereka agar
mereka pun dapat menikmati kesejahteraan. Keadilan sosial semacam inilah yang
akan melahirkan kesejahteraan sosial. Wallahu a’lam
Penulis Alumni Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sum. Utara Medan
Secara empiris keren banget pak kajian nya .
BalasHapusAyu pun ku rasa udah banyak tulisannya ya.
Hapus