RAMADAN: DARI PANDEMI MENUJU INSAN BERKUALITAS
Oleh: Hikmatiar Harahap
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah [2] ayat 183).
Ramadan
tahun ini sungguh sangat berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Bukan karena
kondisi ekonomi, sosial politik yang mempengaruhi, melainkan sendi-sendi
kehidupan manusia terusik bahkan berantakan disebabkan pandemi covid-19. Suatu
keadaan yang membuat semuanya berubah total dan atas pandemi itulah semuanya
menjadi sangat berbeda. Namun dengan keberadaannya sama sekali tidak mengurangi
kemuliaan, keagungan, keberkahan ramadan. Justru, dengan wabah ini komunitas
muslim dituntut agar lebih memaksimalkan diri, keluarga, sahabat dan manusia
untuk lebih banyak mengkaji, menghayati, serta berdiskusi tentang kondisi
terkini disamping itu juga sebagai sarana untuk mencapai khusyu’ dalam beribadah
kepada Allah swt., untuk menuju ampunan dan keridhaannya.
Kesempatan
ini sangatlah langka bagi sebagian pribadi sehingga dapat dijadikan sebagai peluang
emas untuk menciptakan, mewujudkan atau mencetak pribadi manusia menjadi hamba
yang taat, dikala melaksanakannya bersamaan ditengah wabah yang melanda umat
manusia. Dan, memang diakui secara jujur keadaan ini sangat dilematis, namun
sisi yang berbeda juga, sungguh terasa istimewa dan berharga dalam rangka untuk
memberbaiki kualitas amal ibadah menuju insan yang berkualitas dengan predikat “agar
kamu bertakwa” sebagai sebuah harapan yang siapa saja berpeluang untuk
menyandang gelar itu dengan catatan konsisten dalam pelaksanaan puasa ramadan serta dapat menemukan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Membuat
terasa dilematis karena harus melaksanakan kewajiban-kewajiban namun di saat
itu juga harus berjuang dan berupaya agar terhindar dari wabah penyakit. Dua
keadaan yang bertolak belakang, namun mesti kedua-duanya harus dijalankan
secara bersama-sama oleh setiap pribadi, tentu dengan hati yang gembira dan
ikhlas. Dan, terasa sangat istimewa, berharga karena dapat menggapai kenikmatan
dalam melaksanakan ibadah. Kenikmatan yang tergambar dengan adanya waktu dan
kesempatan yang begitu lapang tentu dalam mengekspresikan berbagai bentuk
amalan-amalan ibadah selama ramadan, untuk memacu diri agar menjadi terdepan
dan unggul dalam menggapai balasan yang berlipat ganda. Sungguh, kondisi dilematis
dapat disingkirkan secara berlahan melalui tafsiran dan pengakuan yang dalam, melalui hati yang bersih bahwa ini merupakan sudah ketentuan dari Allah Swt., pada intinya setiap
manusia harus berusaha, berlapang hati, merasa gembira dan ikhlas dalam menghadapi
musibah ini. Kondisi ini sangat tepat dalam pengamalan ajaran tasawuf yang
bertujuan upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan
diri dari pengaruh kehidupan duniawi, sehingga dekat dengan Allah Swt., menuju
jiwanya yang bersih dan memancarkan akhlak mulia.
Insan
berkualitas dari pelaksanaan ramadan selanjutnya termuat dalam potongan Alquran
Surah al-Baqarah [2] ayat: 184 yang berbunyi “Barang siapa yang dengan rela
hati mengerjakan kebaikan maka itulah yang lebih baik baginya. Dan, berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Dari
potongan ayat ini menekankan pentingnya aspek pelaksanaan ibadah sosial dalam
bahasa agama hablum minan nass. Cakupan ibadah sosial sangatlah luas,
seluas kehidupan umat manusia yang sedang membutuhkan bantuan dari orang lain. Untuk
itu, tampil dalam keadaan terbaik merupakan tugas utama setiap manusia, sebab
ibadah puasa mendorong pribadi muslim agar selalu mengerjakan berbagai bentuk
aksi-aksi sosial untuk sesama. Kesungguhan hati dan tindakan dalam berbuat
kebaikan sebuah kenyataan yang kelak membawa pada pencapaian spiritual sejati.
Sungguh-sungguh
dalam menebar kebaikan yang didasari atas inisiatif yang muncul dalam lubuk
hati adalah perluasan makna dari “tathawwu” yang mengandung arti beramal
baik secara spontan. Gagasan ini sangatlah dibutuhkan pada saat ini terlebih
kepada masyarakat yang merasakan dampak secara langsung akibat dari pandemi
covid-19. Misal, kalau boleh kita berandai-andai, seluruh pejabat negeri ini
mulai dari DPR Pusat sampai daerah, kepala Negara (presiden) dan kepala daerah
serta lembaga-lembaga negara, tokoh-tokoh partai politik bersatu padu
menyumbangkan sebagian hartanya atau gajinya baik dalam bentuk sembako, pakaian, obat-obatan kepada masyarakat luas, para kaum buruh yang di
PHK, tentu sangat berarti, secara langsung dapat membantu dan meringankan beban masyarakat dari pada harus menunggu kucuran dana dari APBN atau APBD bila memang mereka adalah pemimpin sejati yang siap berkorban untuk masyarakatnya dalam situasi apapun. Tentu, masyarakat rindu terhadap sosok pemimpin yang mempunyai jiwa kasih sayang. Konteks ini merupakan merupakan tahapan dari pengamalan serta pengaplikasian dari nilai ibadah puasa yang di dalamnya
mengantarkan manusia dalam meraih titel pribadi yang selalu berbuat kebaikan.
Dengan
demikian ibadah ramadan bukan hanya untuk kesucian pribadi tanpa dimensi
sosial, melainkan menuntut keterpaduan antara keduanya. Sikap kepedulian
sosial, tercermin dalam bentuk perilaku dermawan untuk membantu sesama manusia
yang sedang ditimpa kesusahan hidup. Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw.,
bersabda “Orang yang dermawan dekat dengan Allah Swt, dekat juga dengan manusia
dan dekat dengan surga. Sementara orang yang bakhil jauh dari Allah Swt., jauh
dari manusia namun dekat dengan neraka”.
Insan
yang berkualitas dari pelaksanaan ibadah ramadan selanjutnya tercermin dalam
Alquran surah al-Baqarah [2] ayat 188, “Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebagian daripada harta benda orang lain dengan berbuat dosa, padahal kamu
mengetahui”.
Maknanya
untuk menghadirkan manusia agar mengendalikan hawa nafsu terhadap kesombongan,
keserakan, dan harta yang haram. Dalam
pelaksanaan ibadah puasa mewajibkan seseorang untuk tidak makan dan minum,
tidak makan makanan secara umum, baik yang substansinya halal apalagi yang
haram. Lebih jauh diperintahkan untuk tidak
mengonsumsi apa yang diharamkan atau yang diperoleh melalui cara yang
haram. Alquran mencela manusia-manusia yang
melakukan praktik mendapatkan harta dengan cara dan jalan yang batil, seperti korupsi,
suap, penipuan, riba dan sebagainya. Ibadah ramadan adalah latihan fisikal dan
mental untuk mengendalikan hawa nafsu untuk mencapai tingkat spiritual sejati
dari ketakwaan.
Dari
bentuk pengendalian hawa nafsu akan banyak ditemukan nantinya insan-insan yang
berakhlak, beretika, serta bermoral yang akan menghiasi sudut-sudut kehidupan
manusia atau dalam bahasa terkini gerakan revolusi mental. Pengendalian hawa
nafsu sangat selaras dengan fase-fase ketika pelaksanaan puasa ramadan seperti
yang Rasulullah Saw., ajarkan kepada kita bahwa dalam sebulan terdapat tiga
fase. Pertama, fase masih berat sebelah, artinnya pribadi kita yang dominan
memimpin masih hawa nafsu. Kedua, telah terjadi kehidupan yang serasi
dan seimbang, artinya hawa nafsu telah dapat dikendalikan. Ketiga,
kondisi yang kondusif, sehigga telah berfungsi kembali rohaniyah bathiniyah
menjadi imam dalam diri kita dalam bangunan akhlak karimah dan takwa.
Kualitas insan takwa, insan yang selalu berbuat baik dan insan yang
bermoral adalah hikmah dari pelaksanaan ibadah puasa ramadan yang mengharapkan ganjarannya adalah surga. Tentu setiap
pribadi memiliki peluang yang sama untuk meraih predikat ini, sesuai kemampuan
dan kualitas amal yang kita laksanakan. Sehingga, harapannya saling memacu,
memotivasi antar sesama agar terwujud sikap diri pada konsep berlomba-lomba
dalam melakukan kebaikan di antara sesama. Sekian Wallahu a’lam bis shawab
Ramadan Karim..
BalasHapus