Perkawinan Alasan yang Berkaitan
Whether you’ll marry or
not you’ll regret (menikah atau tidak menikah kamu akan menyesal). – Socrates -
By all means, marry. If
you get a good wife, you’ll become happy; if you get a bad one, you’ll become a
philosopher (tapi apapun yang terjadi, menikahlah. Jika kamu mendapat isteri
yang baik, kamu akan bahagia; jika kamu mendapatkan isteri yang jelek, kamu
akan menjadi filosof. – Socrates –
PERKAWINAN
Islam
mensyariatkan perkawinan agar tercapai sakinah, mawaddah dan rahmah. Jalan
untuk mencapai tujuan tersebut mesti memiliki pasangan dan ini menjadi syarat
pertama dan paling utama. Makanya perkawinan seringkali dengan sebutan nikah
dan zawaj. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah apabila tidak memakai salah
satu dari sebutan tersebut.
وَاللَّهُ
جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ
يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ.
“Dan
Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki
dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan menginkari nikmat
Allah” ? (Q.S an-Nahl
[16]: ayat 72).
Ayat
tersebut menjelaskan nikmat Allah berupa penciptaan pasangan bagi laki-laki
dari jenis mereka sendiri. Dengan pasangan itu, manusia dapat memiliki
keturunan untuk mengembangkan dan mengelola bumi sebagai tugas utamanya. Serta
Allah selalu menyanggupi kebutuhan-kebutuhan manusia, tugas utama dari manusia
adalah mendidik anak-anak itu agar kelak dapat bertanggung jawab dalam
menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil ardhi.[1]
Menurut
Ibnu Katsir, dalam ayat 72 surah an-Nahl adapun bentuk kasih sayang Allah
kepada manusia berupa nikmat yang dianugerahkan berupa penciptaan isteri-isteri
dari pasangan mereka sendiri. Andaikan Dia memberi isteri dari jenis lain, maka
tidak akan terwujud keharmonisan, cinta, dan kasih sayang. Namun karena kasih
sayangnya, Dia menciptakan manusia terdiri atas laki-laki dan perempuan yang
berpasangan, lalu menciptakan (melahirkan) anak-anak dan cucu dari perkawinan
mereka.
Dari
surah an-Nahl [16]: ayat 72, dapat ditarik kesimpulan nikmat yang Allah berikan
kepada manusia dan yang menjadi tujuan disyariatkannya perkawinan adalah;
1.
berupa penciptaan pasangan dari jenis mereka sendiri
2.
dari pasangan tersebut dapat melahirkan generasi
selanjutnya
3.
serta berusaha untuk memperoleh nafkah yang halal lagi
baik.
Pertama,
Zawaj (keberpasangan suami
dan Istri)
Kata pasangan
akan tersimpan nilai berupa dialog (komunikasi) tentang hak dan kewajiban. Nilai
dari pasangan adalah terbangunnya komunikasi dan tidak hanya komunikasi antara
suami dan isteri namun juga komunikasi antara dua keluarga besar. Dialog antara
suami isteri tentunya menyamakan perasaan dan pikiran, langkah dalam cita serta
harapan, yang dibungkus dalam jalinan cinta dan kasih sayang. Itu sebabnya,
perkawinan dinamai zawaj yang berarti keberpasangan dan terkadang juga
dinamai nikah yang berarti penyatuan ruhani dan jasmani. Suami dinamai
zauj dan isteri pun demikian.[2]
Diriku
adalah dirimu, dan jiwaku adalah jiwamu,
Jika
engkau bercakap, kata hatiku yang Engkau ucapkan,
dan
jika engkau berkeinginan, keinginanku yang engkau cetuskan.
Sebab,
dengan pasangan itulah makanya ada sosok suami dan isteri. Dengan pasangan itu juga
yang menciptakan maka kita ada dan dapat bertahan dikarenakan ada yang saling
support, membantu, bahkan menfasilitasi. Dalam hal ini, sebuah pasangan harus
mampu menciptakan fair life yaitu menampilkan sikap empati, solider,
toleran, saling membantu dan memenuhi, bahkan harus bersikap itsar
(mengutamakan kepentingan orang lain diatas keperluan dirinya padahal ia
membutuhkannya). Kehidupan yang dijalani dengan fair life seperti
ungkapan Romli Mustofa yaitu kehidupan akan berjalan dengan mudah, santai, penuh
semangat, ringan dan menyenangkan karena esensi dari kehidupan adalah hidup
ihsan yaitu hidup secara ikhlas, ridha, sabar dan syukur.[3]
Dengan hidup ihsan berarti membuat segala sesuatu akan menjadi lebih baik,
kebaikan itu dapat diukur dari memaksimalkan potensi dan kesiapan yang sempurna
dalam mengembangkan fungsi yang diamanahkan kepadanya.
Kedua, Keturunan
Dalam
bahasa Arab keturunan sering diterjemahkan dari kata nasl, zurriyyah, nasab dan
terkadang pula walad. Dalam Alquran kata-kata ini jumpai dalam beberapa
ayat, diantara:
-
Zurriyyah, Ali ‘Imran [3]: ayat 38.
هُنَالِكَ
دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ ۖ قَالَ رَبِّ
هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ
سَمِيعُ الدُّعَاءِ
Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya
seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak
yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (Ali ‘Imran [3]: ayat 38).
-
Walad, Ali “Imran [3]: ayat 47.
قَالَتْ
رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ ۖ قَالَ كَذَٰلِكِ
اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۚ إِذَا قَضَىٰ
أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Maryam berkata: "Ya
Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh
oleh seorang laki-lakipun". Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril):
"Demikianlah “Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah
berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah", lalu jadilah dia”. (Ali “Imran [3]: ayat 47).
-
Nasab, al-Furqan [25]: ayat 54.
وَهُوَ
الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ وَكَانَ
رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa”. (al-Furqan
[25]: ayat 54).
-
nasl, as-Sajdah [32]: ayat 8.
ثُمَّ
جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ
“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang
hina” (as-Sajdah [32]: ayat 8).
Kehadiran
anak merupakan wujud kesempurnaan dari sebuah bangunan rumah tangga. Untuk
itulah, kehadiran anak merupakan sebuah kebahagiaan, sekaligus keberadaannya tentu
akan dapat melanjutkan generasi, mengelola potensi-potensi keluarga dan dapat
menyambung dan mempertahankan hubungan kekerabatan. Adapun poin penting,
berkaitan tentang anak, antara lain:
1.
Kelahiran anak akan membahagiakan setiap orang tua
sebagai wujud konsekuensi dari eksistensinya adalah mesti harus bisa menjadi
panutan dikemudian hari. Kecerdasan dan kemampuan orang tua sangat besar
peranannya, disinilah sang orang tua dituntut agar memperhatikan segala bentuk
aktivitasnya baik lingkungan dan tahapan pembelajarannya. Sesungguhnya, wujud
dari kebahagiaan yang sesungguhnya adalah mampu menciptakan sang anak menjadi
anak yang soleh sehingga menjadi tameng untuk terhindar dari segala bentuk
macam perbuatan-perbuatan yang negatif dan mampu menahan hawa nafsunya agar
tidak terjatuh pada jalan kerusakan diri, keluarga dan lingkungan. Bahkan
berkaitan mengenai kehadiran anak mesti setiap orang tua harus belajar dari
kisah Nabi Zakaria a.s., yang terdapat dalam Alquran surah Ali Imran ayat
38-39.
2.
Dengan kehadiran anak (keturunan) maka peluang-peluang
akan dapat dibentuk bukan hanya dalam urusan duniawi saja melainkan harus dapat
menyentuh urusan akhirat. Keadaan ini sangat dilematis sekali terlebih
ketidakmampuan dalam menyeimbangkan pendidikan terhadap anak. Kebiasaan-kebiasaan
baik yang ditampilkan akan memberikan dampak emosional sekaligus berharga dalam
kehidupannya. Suasana dan warna kehidupan siang-malam secara tidak langsung
akan mempengaruhi jiwa, pikiran, tindakan. Maka, bentuk diplomatisnya mengarahkan
sang anak sesuai dengan kemauan dan kemampuanya, sehingga dengan sendirinya
sang anak pun akan beradaptasi secara cepat dan mandiri serta mampu menghargai
sesama baik keluarga, tetangga, lingkungan dan teman sepermainan. Namun dalam
sisi universalnya adalah mencipta peluang yang paling utama adalah tercipta
hubungan kekerabatan antar umat manusia untuk tetap bersatu padu walaupun ada perbedaan
dari jenis kelamin, wajah, perangai dan sebagainya.
3.
Setelah anak (generasi) diberikan pendidikan yang baik,
maka tugas utama selanjutnya adalah menjadi manusia yang seutuhnya dan manusia
yang lulus dari hasil ujian kehidupan.[4]
Ideal-idealnya adalah menjadi generasi yang dapat mengelola alam dan seisinya
untuk kepentingan bersama. Tanggung jawab ini menjadi kelanjutan manusia
sebagai khalifah fil ardhi.
Ketiga,
Berusaha memenuhi
nafkah dari hasil yang halal dan baik
وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang
yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (surat an-Nur ayat 32).
Kewajiban
suami adalah kemampuan untuk memberikan nafkah kepada isteri, anak dan
memastikan agar kelak sang anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat, kuat, cerdas
dan sebagainya. Kekurangan vitamin, protein, lemak, gula atau karbohidrat dalam
makanan ibunya akan membahayakan kesehatan ibu dan anaknya, apalagi masih
berada dalam kandungan. Anak dari keturunan yang baik dan berpendidikan serta
berkualitas, tercermin pada aspek, diantaranya beriman dan bertakwa, berakhlak
mulia dan berbudi luhur, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.
[1]Tafsir
Al-Quran Tematik, Maqasidusy-Syari’ah; Memahami Tujuan Utama
Syariah (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur’an 2013), h. 119-120.
[2]M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran
Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati 2002), h. 316.
[3] Romli
Mustofa, Sepak Bola Kehidupan Inspirasi Segar untuk Kehidupan dan
Pengembangan Diri (Bandung: Simbiosa Rekatama Media 2011), h. 82.
[4] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran
Vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati 2002), h. 184.
Komentar
Posting Komentar