HOAKS UJARAN KEBENCIAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM

Hasil gambar untuk bangunan hukum
Hikmatiar Harahap 
Universitas Islam Negeri [UIN] Sum. Utara Medan

A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, kesadaran terhadap hukum sedang berada pada titik kurang berfungsi bahkan cenderung di langgar demi kepentingan diri, kelompok untuk mecapai target-target politik. Hal ini terbukti dalam perkembangan situasi masyarakat yang tidak mengindahkan produk peraturan-peraturan hukum. Keteraturan sosial pada dasarnya adalah keteraturan masyarakat yang diatur berdasarkan peraturan-peraturan moral. Secara sederhana kita dapat membedakan antara penilaian tentang pakaian apa yang di pakai oleh seseorang dengan penilaian tentang apa yang  seharusnya di pakai. Pada kenyataannnya pada hal-hal tertentu, keteraturan faktual dan keteraturan moral mungkin tidak berbeda. Dalam kehidupan sehari, bila ada seorang teman yang terus-menerus menentang konsepsi kita tentang kenyataan social, yang selalu curiga terhadap adanya maksud-maksud yang tersembunyi, atau persekongkolan-persekongkolan disekitarnya, yang memiliki konsepsi diri yang berbeda dengan kita, akan membuat kita merasa jengkel.[1]
Dalam menghadapi perkembangan masyarakat, dalam hukum sosiolog di sebutkan bahwa tidak ada masyarakat yang tidak berkembang, kalimat ini merupakan kesepakatan para sosiolog klasik sampai zaman modren. Perubahan dan perkembangan masyarakat iru terjadi karena perubahan lingkungannya; yakni, lingkungan bio-fisik, lingkungan sosio-kultural, dan lingkungan kehidupan psyichs. Dari sekian banyak pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat tersebut, ada beberapa yang menonjol sekali, yaitu: karena agama dan keyakinan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan ekonomi, tatanan politik, dan letak geografis.[2]
Perkembangan masyarakat Indonesia saat ini, lebih cenderung terhadap penentangan konsepsi yang diperagakan  oleh pihak yang berwenang. Makin hari kehidupan sosial masyarakat Indonesia semakin kurang bersahabat, kurang sehat bahkan lebih cenderung ke arah potensi perpecahan. Penyebaran isu-isu hoaks, propaganda, ujaran kebencian dan prasangka dan segala jenis asumsi buruk lainnya begitu mudahnya dilontarkan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab. Tentu saja dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya, apalagi di saat moment jelang pesta demokrasi seperti, pileg di pusat maupun di daerah dan pilpres tahun 2019.
Satu sama lainnya akhirnya mudah saling berpraduga atau berprasangka. Hal ini bisa terjadi karena tradisi tabayyun (klarifikasi) atas informasi yang berkembang sudah mulai terkikis dan bahkan mulai dianggap  tidak penting. Banyak di antara kita yang begitu mudahnya mempercayai berita-berita yang berseliweran entah dari manah sumbernya. Dampaknya tentu saja akan menimbulkan aneka prasangka, yang akan merugikan keharmonisan, persatuan, kebersamaan kehidupan sosial-kemasyarakatan. Sendi-sendi kebersamaan sebagai bangsa akan terganggu karenanya.
Permasalahan isu-isu hoaks, ujaran kebencian dan propaganda menjadi penyakit sosial dalam masyarakat Indonesia. Untuk menjawab persoalan-persoalan itu, diperlukan kesediaan setiap orang untuk mau melihat dunia hukum bukan sebagai keadaan yang serba tertib dan teratur, melainkan sebagai realitas yang serba kacau.[3] Dari sinilah teori kekacauan (chaos theory) sebagai bagian dari sosiologi hukum diperlukan. Keterbatasan dan kegagalan dogmatik hukum dalam menjelaskan berbagai fenomena dan realistis sosial itu, tidak boleh dibiarkan. Masyarakat akan terus menuntut adanya penjelasan dan penyesuaian yang memuaskan dan benar terhadap persoalan-persoalan tersebut. Dengan kehadiran sosiologi hukum, sekalian persoalan dalam masyarakat itu akan diamati, dicatat dan dijelaskan, dalam kapasitasnya sebagai pengamat dan teoritisi dan bukan sebagai partisipan. Kegunaan sosiologi hukum akan masuk ke ranah permasalahan yang timbul di masyarakat melalui pengkajian dan pengamatan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya penyakit sosial hoaks dan sebagainya. Seluruh dunia saat ini menghadapi permasalahan yang sama yaitu, gelombang hoax. Hoax muncul bertubi-tubi dalam berbagai konteks persebaran informasi, dari politik hingga kesehatan, dari urusan publik hingga privat seseorang. Keberadaan internet, sepaket dengan kebudayaan yang terbangun di dalam ruang publik baru membuat masyarakat sulit membedakan informasi faktual dan hoaks. Banyak ahli yang telah mencoba meneliti tentang hoax, reproduksi dan persebarannya dengan tujuan mengidentifikasi dan mendeskripsikan bagaimana hoax bekerja.[4]

B.     Pengertian
Berita palsu atau berita bohong atau hoaks (bahasa Inggris: hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Hal ini tidak sama dengan rumorilmu semu, maupun April Mop. Meski baru mengambil peran utama dalam panggung diskusi publik Indonesia di beberapa dekade terakhir ini, hoaks sebetulnya punya akar sejarah yang panjang. Meskipun demikian, kata hoaks sendiri baru mulai digunakan sekitar tahun 1808. Kata tersebut dipercaya datang dari hocus yang berarti untuk mengelabui. Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi sebuah punch line dalam pertunjukan mereka di panggung. Kemunculan internet semakin memperparah sirkulasi hoaks di dunia. Sama seperti meme, keberadaannya sangat mudah menyebar lewat media-media sosial. Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di masyarakat dan menghebohkan, yang membuatnya sangat mudah memancing orang membagikannya.[5]
Ucapan kebencian atau ujaran kebencian (Inggris: hate speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnisgender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Para kritikus berpendapat bahwa istilah hate speech merupakan contoh modern dari novel newspeak, ketika hate speech dipakai untuk memberikan kritik secara diam-diam kepada kebijakan sosial yang diimplementasikan dengan buruk dan terburu-buru seakan-akan kebijakan tersebut terlihat benar secara politik. Sampai saat ini, belum ada pengertian atau definisi secara hukum mengenai apa yang disebut hate speech dan pencemaran nama baik dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah lisan (slander), fitnah tertulis (libel). Dalam bahasa Indonesia, belum ada istilah yang sah untuk membedakan ketiga kata tersebut.
Sosiolog UGM Derajad S Widhyharto mengungkapkan  alasan kenapa masyarakaat Indonesia suka menyebarkan berita hoaks, ujaran kebencian dan propaganda. Menurutnya, budaya komunikasi masyarakat Indonesia yang berkembang selama ini lebih menonjolkan budaya komunikasi bersifat formal seperti identitas sangat dibutuhkan. Ketika kemunculan media online, sebagian masyarakat berfikir ketika mengungkapkan pernyataan, sikap dan sebagainya tanpa harus menunjukkan identitas diri  cukup dengan menggunakan media online. Menurutnya lagi ada dua ciri-ciri kenepa masyarakat Indonesia suka menyebar atau memproduksi berita hoaks, yaitu: Pertama; adalah mereka yang euforia terhadap teknologi baru. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan menciptakan isu itu. Kedua, adalah masyarakat yang well educated, mendapat pendidikan, sengaja memanfaatkan. Mereka mampu memproduksi sebuah informasi baru yang notabene tidak jelas, dan tidak didukung data.

C.     Hoaks Ujaran Kebencian Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Keindonesian

Respon Alquran tentang Penyebaran Isu-Isu Hoaks

Tentang Hoaks dalam Alquran, lebih tepatnya dijelaskan dalam Quran Surah al-Hujurat [46]: ayat 6: adalah sebagai berikut;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ .
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada mu orang-orang yang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasannya agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”. (QS. al-Hujurat [49]: 6).[6]
Ayat ini memberikan peringatan keras sekaligus rambu-rambu bagi orang-orang yang beriman supaya tidak menerima ketragan sebelah pihak dai sumber yang tidak krdibel, apalagi dari golongan munafik penebar kericuhan, kerusuhan, permusuhan dan sebagainya. Ada beberapa poin penting terkait seruan ayat ini pada orang-orang yang beriman, terkait informasi simpang-siur yang datang kepada mereka. Pertama, “jika datang kepada mu orang fasik, membawa suatu berita”.  Banyak sekali berseliweran yang di terima, baik melalui person to person maupun melalui berbagai media sosial seperti, WordPress, Blogger, Facebook, Lindkedin, Twitter, Instagram, Flickr, Kaskus, Quora. Panyampai beritanya jugaa memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda. Ada yang memiliki kredibilitas tinggi dan bahkan banyak yang sama sekali tidak memiliki kredibilitas.
Inilah pentingnya melakukan kritik atau penelitian atas kepribadian penyampai berita, seperti yng di lakukan oleh para ahli hadis melalui konsep al-jarh wa at-ta’dil (evaluasi negatif dan positif perawi). Bahkan ada juga orang-orang yang menyampaikan berita dengan niatan yang positif dan banyak dengan niatannya negatif, seperti berita hoaks. kehatian-hatian ini penting dilakukan oleh orang-orang beriman, apalagi berita itu muncul dari orang-orang fasik yang berniat mengadu domba, propaganda, permusuhan dan sebagainya. Kedua,”maka bersungguh-sungguhlah mencari kebenaran”. Maksudnya, jika orang-orang beriman menerima informasi dari siapapun, apalagi dari sumber yang patut di curigai tidak membawa nilai-nilai positif, maka mereka harus melakukan klarifikasi atau tabayyun, hingga mendapat kejelasan perihal kebenaran atau ketidakbenaran berita itu. Jika melihat berbagai informasi di berbagai media sosial, maka betapa banyak berita yang di nilai haq (kebenaran) rupanya hoaks.
Ketiga, “agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu ats perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”. Ini terkait dampak yang ditimbulkan oleh informasi tidak benar atau adu domba. Oleh karena itu, kehatian-hatian dalam menerima berita semestinya ditingkatkan beberapa kali lipat. Jangan sampai, mereka menimpakan musibah (bisa tuduhan, bisa hinaan, bahkan bisa pembunuhan) pada orang yang tidak bersalah, hanya karena di dasari pengetahuan atau informasi yang keliru. Inilah yang akan menjadikan orang-orang beriman menyesal. Karena itu, sudah sepatutnya hubungan sosial-kemasyarakatan di jalani dengan penuh kehatian-hatian.[7]
Untuk itulah, kewaspadaan terhadap manusia yang menyebar hoaks harus di antisipasi, kiranya manusia yang menebar hoaks termasuk salah satu ciri-ciri orang munafik, sebagaimana hadist Nabi SAW:
اية المنافق ثلاث: إذ حدث كذب، وإذا وعد أخلف، و إذا اؤتمن خان. (رواه البخارى)
Artinya: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: takkala berkata ia dusta, takkala berjanji ia menginkari dan takkala dipercaya ia berkhianat”. (HR. Bukhari).[8]



D.    Larangan Menebar Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Hate Speech atau ujaran kebencian merupakan unsur yang berasal dari bahasa yang dilontarkan manusia. Dalam buku Tafsir Kebahagian karya Jalaluddin Rakhmat dikemukakan bahwa kata-kata yang dilontarkan manusia terkadang membawa kebahagian atau ketidakbahagian. Pertengkaran suami-isteri, misalnya, bermula dari bahasa dan cerita-cerita yang mereka bangun masing-maasing. Lalu pertengkaran itu mereda atau justru memburuk, tergantung bagaimana bahasa-bahasa yang terbangun ditengah pertengkaran tersebut. Maka, salah satu kiat untuk mengendalikan amarah adalah dengan cara mengontrol bahasa yang dipergunakan di tengah kemarahan.[9]
Hal ini merupakan sebuah penegasan bahwa bagaimana bahaya bahasa seperti ujaran kebencian dapat mengajaukan keadaan baik tentang persatuan, kebersamaan dalam bangsa dan negara. Hak yang terpenting dalam ujaran kebencian erat kaitannya tentang masalah mengontrol lisan dan aspek perbuatannya. Islam merupakan ajaran yang sarat nilai, moral terutama nilai tentang kemanusiaan. Tindak-tanduk umat Islam, baik ucapan maupun perbuatan, harus senantiasa terkontrol, demi menjalin hubungan baik dan apik antara sesama. Dalam mengontrol ujaran kebencian harus betul-betul diperhatikan, sebab segala kejahatan, kekacauan, kericuhan, keributan, kebencian, pun kedengkian, berawal darinya. Lebih spesifiknya lagi ujaran kebencian merupakan biang kerok pertama aneka kekacauan sebelum perbuatan.
Namun, bagaimana kaitannya dalam aspek Hak Asasi Manusia (HAM) tentang Hak Kebebasan Berfikir dan Menyatakan Pendapat. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia pasal 19 berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas”.
Dalam hal ini, pandangan seorang Cak Nur, manusia merupakan makhluk berfikir dan berkata. Tentu, manusia selalu ingin berkomunikasi dan berhasrat untuk menyampaikan apa yang dipikirkan dan dikehendakinya. Inilah hak mendasar, yang di miliki setiap manusia. Adalah hak asasi setiap individu untuk menyampaikan pandangan, ide, dan pendapatnya. Apalagi dalam konteks kebutuhan untuk menyampaiakn kebaikan dan kemaslahatan bersama. Kendati demikian, untuk mendapatkan ide dan pandangan yang sehat dan baik, semua gagasan itu mesti mendapat verifikasi dalam ruang kebebasan publik (publik sphere).[10]
Menebar ujaran kebencian sesuatu yang harus dihindari dan Alquran melarang hal itu, dalam Quran Surah al-Hujurat [49]:, 11;
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah suatu kaum tidak menghina suatu kaum, karena bisa jadi yang di hina lebih baik dari yang menghina. Begitu hendaklah suatu golongan perempuan tidak menghina golongan perempuan yang lain, karena bisa golongan yang dihina lebih baik dari pada yang menghina. Dan janganlah kalian memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan adalah panggilan fasik sesudah beriman.. Barang siapa tidak bertaubat, mereka orang-orang yang zalim”. (QS. al-Hujurat [49], 11).
Dalam tataran sosiologi hukum, sesuatu yang tidak bisa di hindari masyarakat adalah akan munculnya paham dan sikap monistik, yaitu paham dan sikap yang menganggap hanya dirinya yang benar, sedangkan orang lain salah. Bukan hanya itu, kadang kala berkembang menjadi penolakan terhadap keragaman. Sikap tersebut bisa dilahirkan dari rahim individu dan rahim institusi.
Perbedaan pendapat amat dijunjung tinggi , tapi perbedaan pandapat yang dibangun atas kebencian bisa menjurus pada konflik. Karena itu, perbedaan semacam itu sama sekali tidak dianjurkan oleh Alquran. Disini sekali lagi peran etika sosial amat pentig untuk membangun masyarakat yang setara. Dalam ayat tersebut Tuhan memerintahkan dimensi sosial dan kemasyarakatan. Dalam ayat tersebut setidaknya tiga hal yang perlu mendapat perhatian; Pertama, perintah untuk tidak menghardik, membenci atau mengolok-olok kaum lain. Alasan yang digunakan Alquran dalam larangan tersebut, karena bisa jadi kaum yang di hina atau yang di benci tersebut lebih baik dari pada kaum yang menghina atau membenci. Menurut Imam al-Razi, kebencian adalah perbuatan seseorang yang didalamnya terdapat unsur meremehkan orang lain, tidak peduli dan merendahkan derajat orang lain, kendati pun tidak menyebut aib-aibnya.[11] Kedua, larangan untuk mencela atau membuka aib orang lain. Menurut imam al-Razi, larangan yang kedua berbeda dengan larangan yang pertama. Setidaknya selangkah lebih berat dari yang pertama. Bila yang pertama pada level simbolik, yang amat kecil menimbulkan amarah, tetapi yang kedua telah mempunyai kemungkinan pada timbulnya amarah. Karena itu, larangan ini mempunyai penekanan tersendiri khusunya dalam rangka menghindari pelbagai macam munculnya kemungkinan terburuk, diantaranya konflik sosial. Ketiga, larangan untuk memberi gelar atau sebutan yang tidak pantas. Larangan ini merupakan tingkatan yang tertinggi dari upaya menebar kebencian (hate speech), karena pada tahap ini sudah masuk pada level personifikasi kebencian.
Untuk itu, seluruh umat Tuhan di tuntut agar proaktif dalam memkampanyekan toleransi, persatuan dan kesatuan, persamamaa dan sebagainya. Logika sederhana yang amat ampuh, bila masyarakat muslim yang mayoritas ini mempraktikkan toleransi yang bersumber dari teks-teks otoritatif, maka kehidupan toleransi dan harmonis akan menjadi salah satu pemandangan yang membahagiakan seluruh penghuni negeri ini. Sebaliknya, bila yang mayoritas ini menebar ujaran kebencian (hate speech), maka warna yang menonjol adalah intoleransi. Karenanya, keteladannya dari kalangan mayoritas menjadi penting agar kelompok yang minoritas tidak melakukan tindakan-tindakan yang bernuansa. Di sini, diperlukan dorongan yang kuat, khususnyaa dari aspek pemahaman untuk menjadikan  toleransi sebagai pijakan yang utama. Beberapa larangan di atas dapat di jadikan pedoman untuk memahami pihak yang lain sebagai rahmat, bukan laknat. Toleransi, bukan intoleransi. Kebencian merupakan panhkal kekerasan. Di masa mendatang umat muslim harus berjuang untuk menfasirkan kembali pemahaman keagamaan yang berkembang dalam kurun waktu yang cukup lama, terutama pemahaman yang bernuansa kebencian. Berjuang untuk toleransi, pada hakikatnya adalah berjuang untuk menghilangkan nalar dan sikap kebencian.[12]

E.     Mencegah Hoaks, Ujaran Kebencian dan Propaganda perspektif Keindonesiaan

Bahwa dalam pendekatan keindonesian, cita-cita reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan menuju penyelengaraan negara yang lebih demokratis, transpran, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Sehingga, bangsa ini dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan dan persaudaraan.[13] Dan dalam konteks keindonesian yang terdiri dari keragaman suku, agama, dan ras (SARA), maka kesatuan dan persatuan harus dijaga sungguh-sungguh. Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi perekat kebersamaan bangsa ini, karena berbagai provokasi yang bertujuan memecah-belah bangsa ini bisa muncul kapan saja dan dalam kesempatan apa pun. Berita hoaks dengan menjadikan perbedaan SARA sebagai pemicunya sangat potensial terjadi di negeri ini. Karenanya bangsa yang cerdas adalah bangsa yang memiliki budaya klarifikasi atau tabayyun. Tidak serta merta membenarkan berita yang diterimanya. Hanya dengan inilah, potensi perpecahan akan terhindarkan.
Dalam idiologi Pancasila untuk memberangus hoaks, ujaran kebencian dan propaganda harus bercermin pada nilai-nilai Pancasila pasal ke-empat (4). Bahwa cita-cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.[14] Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi), atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi).
Untuk itu, idiologi Pancasila merupakan pengejewantahan nilai-nilai agama, nilai budaya bangsa ini yang sudah lama di praktekkan nenek moyang. Hoaks, ujaran kebencian dan propoganda merupakan kejahatan yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, untuk itu melalui nilai-nilai Pancasila menawarkan konsep sebagai upaya untuk menghindari anak bangsa terhindar dari hal-hal yang berpotensi dapat mengajaukan keadaan barbangsa-bernegara. Pertama, Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa harus di jadikan sebagai sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh seluruh elemen masyarakat. Hal ini akan melahirkan moral, etika akhlak sebagai dasar untuk menegakkan keadilan, kepatuhan terhadap hukum dan mewujudkan hak asasi manusia.
Kedua, Meningkatkan kerukunan sosial antar dan antara pemeluk agama, suku, kelompok-kelompok masyarakat lainnya melalui dialog dan kerja sama dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan, toleransi dan saling menghormati. Intervensi pemerintah dalam kehidupan sosial budaya perlu dikurangi, sdangkan potensi dan inisiatif masyarakat perlu ditingkatkan. Ketiga, Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, khususnya melalui pembangunan ekonoi yang tertumpu pada pemberdayaan ekonomi rakyat dan daerah. Keempat, Memberdayakan masyarakat melalui perbaikan sistem politik yang demokratis sehingga melahirkan pemimpin yang berkualitas, bertanggungjawab, menjadi panutan masyarakat dan mampu mempersatukan bangsa dan negara.
Kelima, Mengembalikan Pancasila sebagai idiologi negara, mengembangkan Pancasila sebagai idiologi dan sebagai dasar negara. Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal, dan menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Kebebasan berekpresi di mulai dari kemerdekaan total dalam beragama, berkeyakinan, berbangsa dan bernegara. Jadi setiap anak bangsa di minta untuk membela kebenaran dan kebaikan. Tegasnya, anak bangsa di minta untuk menegakkan keadilan dan kebaikan. Mencapai kebenaran memerlukan interogasi dan kritik terus dan menerus. Membela tujuan yang adil pula juga memerlukan kritik atas ketidakadilan. Dan kita hanya bisa menghentikan kejahatan dengan mengecam serta menentang kejahatan itu. Meskipun kebebasan berekpresi itu suci, Alquran mengajarkan etika, moral dalam pelaksanaannya. Kaum beriman di minta untuk berargumen “dengan cara yang baik” dan “cara yang lebih baik”. Membuat asumsi keliru atau mengungkapkan keburukan tentang orang lain tanpa alasan adalah tindakan tercela.
Selain itu, kita tidak boleh memercayai apa yang kita baca di surat kabar atau kabar kasak-kusuk. Melainkan, kita harus memeriksa fakta-fakta sebelum berpendapat dan berkomentar. Opini yang jujur, perkatan yang baik yang di dasarkan atas bukti dan fakta, lalu di ungkapkan dengan tulus. Opini terpuji, sebagaimana bisa kita duga, adalah yang mengagungkan kebajikan Alquran dan Nabi Muhammad. Opini tercela seperti hoaks, ujuran kebencian adalah yang di nilai sebagai penistaan, bi’ah, penghasutan dan sejenisnya.
Alquran menolak perpecahan, atau opini tanpa isi yang tujuannya malah memicu perpecahan atau menimbulkan permusuhan. Sebagai contoh, saya berpendapat bahwa ceramah pengobar kebencian yang disertai hasrat untuk menjelek-jelekkan gagasan atau kelompok tertentu seraya memancing kekerasan atau kezaliman terhadap kelompok itu, harusnya masuk dalam kategori disensi. Esensi batasan kebebasan berekpresi yang tanpa kebebasan itu di nilai etis dan moral Alquran tidak berfungsi harus ditemukan dan dijamin dengan membangun komunitas yang anggotanya saling menghormati.[15]
F.      Dalam Kajian Sosiologi Hukum
Dalam menghadapi perkembangan masyarakat, dalam hukum sosiolog di sebutkan bahwa tidak ada masyarakat yang tidak berkembang, kalimat ini merupakan kesepakatan para sosiolog klasik sampai zaman modren. Perubahan dan perkembangan masyarakat iru terjadi karena perubahan lingkungannya; yakni, lingkungan bio-fisik, lingkungan sosio-kultural, dan lingkungan kehidupan psyichs. Dari sekian banyak pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat tersebut, ada beberapa yang menonjol sekali, yaitu: karena agama dan keyakinan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan ekonomi, tatanan politik, dan letak geografis. Kebebasan berekpresi merupakan hak setiap insan, namun hak berpendapat di iringi ujaran kebencian untuk memprovokasi, fitnah sesuatu hal yang harus di hindari. Dalam kajian sosiologi pendekatan kemasyarakatan bertujuan untuk menekan cara berfikir masyarakat di era modren dengan berpatokan pada kemampuan masyarakat untuk memverifikasi kebenaran akan informasi yang beredar. Konsep sosiologis menekankan pada masyarakat pada akurasi informasi dengan tidak meninggalkan aspek rasionalitas.
E. Kesimpulan
Bahwa berdiri kokoh dan meraih kemajuan harus berlandaskan pada etika karakter kepribadian bangsa dan mewujudkan nilai keuniversalan Islam. Bahwa prinsip modal keindonesia yang tercermin dalam khzanah budaya lokal untuk mencapai perikehidupan bangsa yang aman, damai, adil makmur serta jauh dari bencana pelanggaran hukum. Dan begitu juga, mengaplikasikaan nilai keuniversalan Islam dalam konteks membangun bangsa yang damai, masyarkatnya dituntut agar mampu mengejentawahkan nilai-nilai tauhid dalam aktivitas dan tingkah laku. Dengan wawasan tauhid akan memperkuat etos kerja karena kualitas kerja yang transendensikan dari batasan hasil kerja materilnya. Oleh karenanya, Teologi kerja akan memberikan nilai tambah spritual untuk memotivasi dan memperbesar inspirasi dan akan menangkap aspirasi agar dapat menjangkar kepentingan  terhadap nilai, etika dalam berbangsa dan bernegara. Misi dari nilai tauhid dalam konteks barbangsa adalah untuk menjungjung tinggi  dan memuliakan manusia, persatuan, kerakyatan dan keadilan, yang mendorong masyarakat bangsa agar mengembangkan nilai-nilai tauhid yang lapang, toleran terbuka dan saling memahami satu sama lain.
Alquran menolak perpecahan, atau opini tanpa isi yang tujuannya memicu perpecahan. Yang hal ini termasuk dalam hasrat untuk menjelek-jelekkan kelompok tertentu seraya memancing kekerasan dan kezhaliman terhadap kelompok tertentu. Kejadian  unik tersebut sering dimainkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mencoba menimbulkan berbagai fitnah untuk membenturkan masyarakat supaya terjadi kekacauan dan perpecahan sendiri. Provokasi-provokasi yang dilancarkan terkadang hanya mengangkat isu-isu yang kecil namun terus dibesarkan untuk menarik masyarakat kearah tertentu. Bahwa yang perlu kita renungkan kembali, bahwa rasa persaudaraan sebangsa setanah air dimaknai sebagai bentuk perekat antar anak bangsa.
Sekian dan semoga bermanfaat..

والله اعلم بالصواب



[1] David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003), h. 47.
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta: Lantabora Press 2005), h. 108-109.
[3] Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum  (Bandung: Alumni 1983), h. 11.
[4] Gumgum Gumilar, Hoax, Reproduksi dan Persebaran: Suatu Penelusuran Literatur Direktorat Sumber Daya Akademik dan Perpustakaan (Bandung: Universitas Padjadjaran Graha Kadaga 2018), t.h.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Berita_bohong, di akses Kamis, 11 April 2019 pukul 03:37 Wib.
[6] Alquran dan Terjemahan, Syamil Quran Cordova (Bandung: Sy9ma 2012), h. 516.
[7] Nurul H. Maarif, Menjadi Mukmin Kualitas Unggul Cara Praktis dan Efektif Meraih Kebahagian Sejati (Jakarta: Alifia Books 2018), h. 283.285.
[8] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Kairo: Mu’asssh Qurthubbag t.th), h. 16.
[9] Jalaluddin Rakhmat, Tafsir Kebahagian (Jakarta: PT . Serambi Ilmu Semesta 2011), h. 139.
[10] Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), h. 180-182.
[11] Imam al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb,(Beirut: Dar al-Fikr 1993), h, 132.
[12] Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis 2010), h. 291-297.
[13]Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jinderal MPR RI 2015), h. 5.
[14] Materi Sosialisai Empat Pilar MPR RI, Pancasila sebagai dasar dan Idiologi UUD NRI tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR, NKRI sebagai Bentuk Negera, Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI 2015), h. 68.
[15] Ziauddin Sardar, Reading the Quran: the Contemporery Relevance of the Sacred Text of Islam (English: Oxford University Press 2011), h.  575-580.

Komentar

Postingan Populer