HOAKS UJARAN KEBENCIAN PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM
Hikmatiar Harahap
Universitas Islam Negeri [UIN] Sum. Utara Medan
A.
Latar Belakang
Masalah
Dewasa ini,
kesadaran terhadap hukum sedang berada pada titik kurang berfungsi bahkan
cenderung di langgar demi kepentingan diri, kelompok untuk mecapai
target-target politik. Hal ini terbukti dalam perkembangan situasi masyarakat
yang tidak mengindahkan produk peraturan-peraturan hukum. Keteraturan sosial
pada dasarnya adalah keteraturan masyarakat yang diatur berdasarkan
peraturan-peraturan moral. Secara sederhana kita dapat membedakan antara
penilaian tentang pakaian apa yang di pakai oleh seseorang dengan penilaian
tentang apa yang seharusnya di pakai.
Pada kenyataannnya pada hal-hal tertentu, keteraturan faktual dan keteraturan
moral mungkin tidak berbeda. Dalam kehidupan sehari, bila ada seorang teman
yang terus-menerus menentang konsepsi kita tentang kenyataan social, yang
selalu curiga terhadap adanya maksud-maksud yang tersembunyi, atau
persekongkolan-persekongkolan disekitarnya, yang memiliki konsepsi diri yang
berbeda dengan kita, akan membuat kita merasa jengkel.[1]
Dalam
menghadapi perkembangan masyarakat, dalam hukum sosiolog di sebutkan bahwa
tidak ada masyarakat yang tidak berkembang, kalimat ini merupakan kesepakatan
para sosiolog klasik sampai zaman modren. Perubahan dan perkembangan masyarakat
iru terjadi karena perubahan lingkungannya; yakni, lingkungan bio-fisik,
lingkungan sosio-kultural, dan lingkungan kehidupan psyichs. Dari sekian banyak
pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat tersebut, ada beberapa yang
menonjol sekali, yaitu: karena agama dan keyakinan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, kemajuan ekonomi, tatanan politik, dan letak geografis.[2]
Perkembangan
masyarakat Indonesia saat ini, lebih cenderung terhadap penentangan konsepsi
yang diperagakan oleh pihak yang
berwenang. Makin hari kehidupan sosial masyarakat Indonesia semakin kurang
bersahabat, kurang sehat bahkan lebih cenderung ke arah potensi perpecahan.
Penyebaran isu-isu hoaks, propaganda, ujaran kebencian dan prasangka dan segala
jenis asumsi buruk lainnya begitu mudahnya dilontarkan oleh pihak-pihak
tertentu yang tidak bertanggungjawab. Tentu saja dengan berbagai alasan yang
melatarbelakanginya, apalagi di saat moment jelang pesta demokrasi seperti,
pileg di pusat maupun di daerah dan pilpres tahun 2019.
Satu sama
lainnya akhirnya mudah saling berpraduga atau berprasangka. Hal ini bisa
terjadi karena tradisi tabayyun (klarifikasi) atas informasi yang berkembang
sudah mulai terkikis dan bahkan mulai dianggap tidak penting. Banyak di antara kita yang
begitu mudahnya mempercayai berita-berita yang berseliweran entah dari manah
sumbernya. Dampaknya tentu saja akan menimbulkan aneka prasangka, yang akan
merugikan keharmonisan, persatuan, kebersamaan kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Sendi-sendi kebersamaan sebagai bangsa akan terganggu karenanya.
Permasalahan
isu-isu hoaks, ujaran kebencian dan propaganda menjadi penyakit sosial dalam
masyarakat Indonesia. Untuk menjawab persoalan-persoalan itu, diperlukan
kesediaan setiap orang untuk mau melihat dunia hukum bukan sebagai keadaan yang
serba tertib dan teratur, melainkan sebagai realitas yang serba kacau.[3] Dari
sinilah teori kekacauan (chaos theory) sebagai bagian dari sosiologi hukum
diperlukan. Keterbatasan dan kegagalan dogmatik hukum dalam menjelaskan
berbagai fenomena dan realistis sosial itu, tidak boleh dibiarkan. Masyarakat
akan terus menuntut adanya penjelasan dan penyesuaian yang memuaskan dan benar
terhadap persoalan-persoalan tersebut. Dengan kehadiran sosiologi hukum, sekalian
persoalan dalam masyarakat itu akan diamati, dicatat dan dijelaskan, dalam
kapasitasnya sebagai pengamat dan teoritisi dan bukan sebagai partisipan.
Kegunaan sosiologi hukum akan masuk ke ranah permasalahan yang timbul di
masyarakat melalui pengkajian dan pengamatan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya
penyakit sosial hoaks dan sebagainya. Seluruh dunia saat ini menghadapi
permasalahan yang sama yaitu, gelombang hoax. Hoax muncul bertubi-tubi dalam
berbagai konteks persebaran informasi, dari politik hingga kesehatan, dari
urusan publik hingga privat seseorang. Keberadaan internet, sepaket dengan
kebudayaan yang terbangun di dalam ruang publik baru membuat masyarakat sulit
membedakan informasi faktual dan hoaks. Banyak ahli yang telah mencoba meneliti
tentang hoax, reproduksi dan persebarannya dengan tujuan mengidentifikasi dan
mendeskripsikan bagaimana hoax bekerja.[4]
B.
Pengertian
Berita
palsu atau berita bohong atau hoaks (bahasa Inggris: hoax)
adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar
adanya. Hal ini tidak sama dengan rumor, ilmu semu, maupun April Mop. Meski baru
mengambil peran utama dalam panggung diskusi publik Indonesia di beberapa
dekade terakhir ini, hoaks sebetulnya punya akar sejarah yang panjang. Meskipun
demikian, kata hoaks sendiri baru mulai digunakan sekitar tahun 1808. Kata
tersebut dipercaya datang dari hocus yang berarti untuk mengelabui.
Kata-kata hocus sendiri merupakan penyingkatan dari hocus pocus, semacam
mantra yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap saat akan terjadi
sebuah punch line dalam
pertunjukan mereka di panggung. Kemunculan internet semakin memperparah
sirkulasi hoaks di dunia. Sama seperti meme, keberadaannya sangat mudah menyebar lewat media-media sosial.
Apalagi biasanya konten hoaks memiliki isu yang tengah ramai di masyarakat dan
menghebohkan, yang membuatnya sangat mudah memancing orang membagikannya.[5]
Ucapan
kebencian atau ujaran kebencian (Inggris: hate
speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau
kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau
kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat,
orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Para kritikus
berpendapat bahwa istilah hate speech merupakan contoh modern dari
novel newspeak, ketika hate
speech dipakai untuk memberikan kritik secara diam-diam kepada kebijakan sosial
yang diimplementasikan dengan buruk dan terburu-buru seakan-akan kebijakan
tersebut terlihat benar secara politik. Sampai saat ini, belum ada pengertian
atau definisi secara hukum mengenai apa yang disebut hate speech dan pencemaran
nama baik dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, pencemaran nama baik
diartikan sebagai sebagai defamation, libel, dan slander yang
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah fitnah (defamation), fitnah
lisan (slander), fitnah tertulis (libel). Dalam bahasa Indonesia, belum ada
istilah yang sah untuk membedakan ketiga kata tersebut.
Sosiolog UGM
Derajad S Widhyharto mengungkapkan alasan kenapa masyarakaat Indonesia suka menyebarkan
berita hoaks, ujaran kebencian dan propaganda. Menurutnya, budaya komunikasi
masyarakat Indonesia yang berkembang selama ini lebih menonjolkan budaya
komunikasi bersifat formal seperti identitas sangat dibutuhkan. Ketika
kemunculan media online, sebagian masyarakat berfikir ketika mengungkapkan
pernyataan, sikap dan sebagainya tanpa harus menunjukkan identitas diri cukup dengan menggunakan media online.
Menurutnya lagi ada dua ciri-ciri kenepa masyarakat Indonesia suka menyebar
atau memproduksi berita hoaks, yaitu: Pertama; adalah mereka yang euforia
terhadap teknologi baru. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan menciptakan isu
itu. Kedua, adalah masyarakat yang well educated, mendapat pendidikan,
sengaja memanfaatkan. Mereka mampu memproduksi sebuah informasi baru yang
notabene tidak jelas, dan tidak didukung data.
C.
Hoaks Ujaran
Kebencian Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Keindonesian
Respon Alquran
tentang Penyebaran Isu-Isu Hoaks
Tentang Hoaks
dalam Alquran, lebih tepatnya dijelaskan dalam Quran Surah al-Hujurat [46]:
ayat 6: adalah sebagai berikut;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ .
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepada mu orang-orang yang fasik membawa
suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasannya agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan
kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”. (QS. al-Hujurat
[49]: 6).[6]
Ayat ini
memberikan peringatan keras sekaligus rambu-rambu bagi orang-orang yang beriman
supaya tidak menerima ketragan sebelah pihak dai sumber yang tidak krdibel,
apalagi dari golongan munafik penebar kericuhan, kerusuhan, permusuhan dan
sebagainya. Ada beberapa poin penting terkait seruan ayat ini pada orang-orang yang
beriman, terkait informasi simpang-siur yang datang kepada mereka. Pertama,
“jika datang kepada mu orang fasik, membawa suatu berita”. Banyak sekali berseliweran yang di terima,
baik melalui person to person maupun melalui berbagai media sosial seperti, WordPress,
Blogger, Facebook, Lindkedin, Twitter, Instagram, Flickr, Kaskus, Quora.
Panyampai beritanya jugaa memiliki latar belakang dan kepentingan yang berbeda.
Ada yang memiliki kredibilitas tinggi dan bahkan banyak yang sama sekali tidak
memiliki kredibilitas.
Inilah
pentingnya melakukan kritik atau penelitian atas kepribadian penyampai berita,
seperti yng di lakukan oleh para ahli hadis melalui konsep al-jarh wa at-ta’dil
(evaluasi negatif dan positif perawi). Bahkan ada juga orang-orang yang
menyampaikan berita dengan niatan yang positif dan banyak dengan niatannya
negatif, seperti berita hoaks. kehatian-hatian ini penting dilakukan oleh
orang-orang beriman, apalagi berita itu muncul dari orang-orang fasik yang
berniat mengadu domba, propaganda, permusuhan dan sebagainya. Kedua,”maka
bersungguh-sungguhlah mencari kebenaran”. Maksudnya, jika orang-orang beriman
menerima informasi dari siapapun, apalagi dari sumber yang patut di curigai
tidak membawa nilai-nilai positif, maka mereka harus melakukan klarifikasi atau
tabayyun, hingga mendapat kejelasan perihal kebenaran atau ketidakbenaran
berita itu. Jika melihat berbagai informasi di berbagai media sosial, maka
betapa banyak berita yang di nilai haq (kebenaran) rupanya hoaks.
Ketiga, “agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang
menyebabkan kamu ats perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal”. Ini
terkait dampak yang ditimbulkan oleh informasi tidak benar atau adu domba. Oleh
karena itu, kehatian-hatian dalam menerima berita semestinya ditingkatkan
beberapa kali lipat. Jangan sampai, mereka menimpakan musibah (bisa tuduhan,
bisa hinaan, bahkan bisa pembunuhan) pada orang yang tidak bersalah, hanya
karena di dasari pengetahuan atau informasi yang keliru. Inilah yang akan
menjadikan orang-orang beriman menyesal. Karena itu, sudah sepatutnya hubungan
sosial-kemasyarakatan di jalani dengan penuh kehatian-hatian.[7]
Untuk itulah,
kewaspadaan terhadap manusia yang menyebar hoaks harus di antisipasi, kiranya
manusia yang menebar hoaks termasuk salah satu ciri-ciri orang munafik,
sebagaimana hadist Nabi SAW:
اية المنافق ثلاث: إذ حدث كذب،
وإذا وعد أخلف، و إذا اؤتمن خان. (رواه
البخارى)
Artinya: “Tanda-tanda
orang munafik itu ada tiga: takkala berkata ia dusta, takkala berjanji ia
menginkari dan takkala dipercaya ia berkhianat”. (HR. Bukhari).[8]
D.
Larangan
Menebar Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Hate Speech
atau ujaran kebencian merupakan unsur yang berasal dari bahasa yang dilontarkan
manusia. Dalam buku Tafsir Kebahagian karya Jalaluddin Rakhmat dikemukakan
bahwa kata-kata yang dilontarkan manusia terkadang membawa kebahagian atau
ketidakbahagian. Pertengkaran suami-isteri, misalnya, bermula dari bahasa dan
cerita-cerita yang mereka bangun masing-maasing. Lalu pertengkaran itu mereda
atau justru memburuk, tergantung bagaimana bahasa-bahasa yang terbangun
ditengah pertengkaran tersebut. Maka, salah satu kiat untuk mengendalikan
amarah adalah dengan cara mengontrol bahasa yang dipergunakan di tengah
kemarahan.[9]
Hal ini
merupakan sebuah penegasan bahwa bagaimana bahaya bahasa seperti ujaran
kebencian dapat mengajaukan keadaan baik tentang persatuan, kebersamaan dalam
bangsa dan negara. Hak yang terpenting dalam ujaran kebencian erat kaitannya
tentang masalah mengontrol lisan dan aspek perbuatannya. Islam merupakan ajaran
yang sarat nilai, moral terutama nilai tentang kemanusiaan. Tindak-tanduk umat
Islam, baik ucapan maupun perbuatan, harus senantiasa terkontrol, demi menjalin
hubungan baik dan apik antara sesama. Dalam mengontrol ujaran kebencian harus
betul-betul diperhatikan, sebab segala kejahatan, kekacauan, kericuhan,
keributan, kebencian, pun kedengkian, berawal darinya. Lebih spesifiknya lagi
ujaran kebencian merupakan biang kerok pertama aneka kekacauan sebelum
perbuatan.
Namun,
bagaimana kaitannya dalam aspek Hak Asasi Manusia (HAM) tentang Hak Kebebasan
Berfikir dan Menyatakan Pendapat. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
pasal 19 berbunyi:
“Setiap
orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini
termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk
mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat
dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas”.
Dalam
hal ini, pandangan seorang Cak Nur, manusia merupakan makhluk berfikir dan
berkata. Tentu, manusia selalu ingin berkomunikasi dan berhasrat untuk
menyampaikan apa yang dipikirkan dan dikehendakinya. Inilah hak mendasar, yang
di miliki setiap manusia. Adalah hak asasi setiap individu untuk menyampaikan
pandangan, ide, dan pendapatnya. Apalagi dalam konteks kebutuhan untuk
menyampaiakn kebaikan dan kemaslahatan bersama. Kendati demikian, untuk
mendapatkan ide dan pandangan yang sehat dan baik, semua gagasan itu mesti
mendapat verifikasi dalam ruang kebebasan publik (publik sphere).[10]
Menebar
ujaran kebencian sesuatu yang harus dihindari dan Alquran melarang hal itu,
dalam Quran Surah al-Hujurat [49]:, 11;
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah suatu kaum tidak menghina suatu
kaum, karena bisa jadi yang di hina lebih baik dari yang menghina. Begitu
hendaklah suatu golongan perempuan tidak menghina golongan perempuan yang lain,
karena bisa golongan yang dihina lebih baik dari pada yang menghina. Dan
janganlah kalian memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruknya panggilan
adalah panggilan fasik sesudah beriman.. Barang siapa tidak bertaubat, mereka
orang-orang yang zalim”. (QS. al-Hujurat [49], 11).
Dalam
tataran sosiologi hukum, sesuatu yang tidak bisa di hindari masyarakat adalah
akan munculnya paham dan sikap monistik, yaitu paham dan sikap yang menganggap
hanya dirinya yang benar, sedangkan orang lain salah. Bukan hanya itu, kadang
kala berkembang menjadi penolakan terhadap keragaman. Sikap tersebut bisa
dilahirkan dari rahim individu dan rahim institusi.
Perbedaan
pendapat amat dijunjung tinggi , tapi perbedaan pandapat yang dibangun atas
kebencian bisa menjurus pada konflik. Karena itu, perbedaan semacam itu sama
sekali tidak dianjurkan oleh Alquran. Disini sekali lagi peran etika sosial
amat pentig untuk membangun masyarakat yang setara. Dalam ayat tersebut Tuhan
memerintahkan dimensi sosial dan kemasyarakatan. Dalam ayat tersebut setidaknya
tiga hal yang perlu mendapat perhatian; Pertama, perintah untuk tidak
menghardik, membenci atau mengolok-olok kaum lain. Alasan yang digunakan Alquran
dalam larangan tersebut, karena bisa jadi kaum yang di hina atau yang di benci
tersebut lebih baik dari pada kaum yang menghina atau membenci. Menurut Imam
al-Razi, kebencian adalah perbuatan seseorang yang didalamnya terdapat unsur
meremehkan orang lain, tidak peduli dan merendahkan derajat orang lain, kendati
pun tidak menyebut aib-aibnya.[11] Kedua,
larangan untuk mencela atau membuka aib orang lain. Menurut imam al-Razi, larangan
yang kedua berbeda dengan larangan yang pertama. Setidaknya selangkah lebih
berat dari yang pertama. Bila yang pertama pada level simbolik, yang amat kecil
menimbulkan amarah, tetapi yang kedua telah mempunyai kemungkinan pada
timbulnya amarah. Karena itu, larangan ini mempunyai penekanan tersendiri
khusunya dalam rangka menghindari pelbagai macam munculnya kemungkinan
terburuk, diantaranya konflik sosial. Ketiga, larangan untuk memberi gelar atau
sebutan yang tidak pantas. Larangan ini merupakan tingkatan yang tertinggi dari
upaya menebar kebencian (hate speech), karena pada tahap ini sudah masuk pada
level personifikasi kebencian.
Untuk
itu, seluruh umat Tuhan di tuntut agar proaktif dalam memkampanyekan toleransi,
persatuan dan kesatuan, persamamaa dan sebagainya. Logika sederhana yang amat
ampuh, bila masyarakat muslim yang mayoritas ini mempraktikkan toleransi yang
bersumber dari teks-teks otoritatif, maka kehidupan toleransi dan harmonis akan
menjadi salah satu pemandangan yang membahagiakan seluruh penghuni negeri ini.
Sebaliknya, bila yang mayoritas ini menebar ujaran kebencian (hate speech),
maka warna yang menonjol adalah intoleransi. Karenanya, keteladannya dari
kalangan mayoritas menjadi penting agar kelompok yang minoritas tidak melakukan
tindakan-tindakan yang bernuansa. Di sini, diperlukan dorongan yang kuat,
khususnyaa dari aspek pemahaman untuk menjadikan toleransi sebagai pijakan yang utama.
Beberapa larangan di atas dapat di jadikan pedoman untuk memahami pihak yang
lain sebagai rahmat, bukan laknat. Toleransi, bukan intoleransi. Kebencian
merupakan panhkal kekerasan. Di masa mendatang umat muslim harus berjuang untuk
menfasirkan kembali pemahaman keagamaan yang berkembang dalam kurun waktu yang cukup
lama, terutama pemahaman yang bernuansa kebencian. Berjuang untuk toleransi,
pada hakikatnya adalah berjuang untuk menghilangkan nalar dan sikap kebencian.[12]
E.
Mencegah Hoaks,
Ujaran Kebencian dan Propaganda perspektif Keindonesiaan
Bahwa
dalam pendekatan keindonesian, cita-cita reformasi memberikan harapan besar
bagi terjadinya perubahan menuju penyelengaraan negara yang lebih demokratis,
transpran, dan memiliki akuntabilitas tinggi serta terwujudnya good governance dan
adanya kebebasan berpendapat. Sehingga, bangsa ini dapat menjunjung tinggi
nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan dan
persaudaraan.[13] Dan dalam
konteks keindonesian yang terdiri dari keragaman suku, agama, dan ras (SARA),
maka kesatuan dan persatuan harus dijaga sungguh-sungguh. Bhinneka Tunggal Ika
harus menjadi perekat kebersamaan bangsa ini, karena berbagai provokasi yang
bertujuan memecah-belah bangsa ini bisa muncul kapan saja dan dalam kesempatan
apa pun. Berita hoaks dengan menjadikan perbedaan SARA sebagai pemicunya sangat
potensial terjadi di negeri ini. Karenanya bangsa yang cerdas adalah bangsa
yang memiliki budaya klarifikasi atau tabayyun. Tidak serta merta membenarkan
berita yang diterimanya. Hanya dengan inilah, potensi perpecahan akan
terhindarkan.
Dalam
idiologi Pancasila untuk memberangus hoaks, ujaran kebencian dan propaganda harus
bercermin pada nilai-nilai Pancasila pasal ke-empat (4). Bahwa cita-cita
permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang
dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat
kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya
“kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.[14] Dalam prinsip
musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas (mayorokrasi),
atau kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha (minorokrasi).
Untuk
itu, idiologi Pancasila merupakan pengejewantahan nilai-nilai agama, nilai
budaya bangsa ini yang sudah lama di praktekkan nenek moyang. Hoaks, ujaran
kebencian dan propoganda merupakan kejahatan yang dapat memecah belah persatuan
dan kesatuan bangsa, untuk itu melalui nilai-nilai Pancasila menawarkan konsep sebagai
upaya untuk menghindari anak bangsa terhindar dari hal-hal yang berpotensi
dapat mengajaukan keadaan barbangsa-bernegara. Pertama, Nilai-nilai agama dan
nilai-nilai budaya bangsa harus di jadikan sebagai sumber etika dalam berbangsa
dan bernegara oleh seluruh elemen masyarakat. Hal ini akan melahirkan moral,
etika akhlak sebagai dasar untuk menegakkan keadilan, kepatuhan terhadap hukum
dan mewujudkan hak asasi manusia.
Kedua,
Meningkatkan kerukunan sosial antar dan antara pemeluk agama, suku,
kelompok-kelompok masyarakat lainnya melalui dialog dan kerja sama dengan
prinsip kebersamaan, kesetaraan, toleransi dan saling menghormati. Intervensi
pemerintah dalam kehidupan sosial budaya perlu dikurangi, sdangkan potensi dan
inisiatif masyarakat perlu ditingkatkan. Ketiga, Meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat, khususnya melalui pembangunan ekonoi yang tertumpu
pada pemberdayaan ekonomi rakyat dan daerah. Keempat, Memberdayakan masyarakat
melalui perbaikan sistem politik yang demokratis sehingga melahirkan pemimpin
yang berkualitas, bertanggungjawab, menjadi panutan masyarakat dan mampu
mempersatukan bangsa dan negara.
Kelima,
Mengembalikan Pancasila sebagai idiologi negara, mengembangkan Pancasila
sebagai idiologi dan sebagai dasar negara. Pancasila yang semula hanya melayani
kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan
horizontal, dan menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Kebebasan
berekpresi di mulai dari kemerdekaan total dalam beragama, berkeyakinan,
berbangsa dan bernegara. Jadi setiap anak bangsa di minta untuk membela
kebenaran dan kebaikan. Tegasnya, anak bangsa di minta untuk menegakkan
keadilan dan kebaikan. Mencapai kebenaran memerlukan interogasi dan kritik
terus dan menerus. Membela tujuan yang adil pula juga memerlukan kritik atas
ketidakadilan. Dan kita hanya bisa menghentikan kejahatan dengan mengecam serta
menentang kejahatan itu. Meskipun kebebasan berekpresi itu suci, Alquran
mengajarkan etika, moral dalam pelaksanaannya. Kaum beriman di minta untuk
berargumen “dengan cara yang baik” dan “cara yang lebih baik”. Membuat asumsi
keliru atau mengungkapkan keburukan tentang orang lain tanpa alasan adalah
tindakan tercela.
Selain
itu, kita tidak boleh memercayai apa yang kita baca di surat kabar atau kabar
kasak-kusuk. Melainkan, kita harus memeriksa fakta-fakta sebelum berpendapat
dan berkomentar. Opini yang jujur, perkatan yang baik yang di dasarkan atas
bukti dan fakta, lalu di ungkapkan dengan tulus. Opini terpuji, sebagaimana
bisa kita duga, adalah yang mengagungkan kebajikan Alquran dan Nabi Muhammad.
Opini tercela seperti hoaks, ujuran kebencian adalah yang di nilai sebagai
penistaan, bi’ah, penghasutan dan sejenisnya.
Alquran
menolak perpecahan, atau opini tanpa isi yang tujuannya malah memicu perpecahan
atau menimbulkan permusuhan. Sebagai contoh, saya berpendapat bahwa ceramah
pengobar kebencian yang disertai hasrat untuk menjelek-jelekkan gagasan atau
kelompok tertentu seraya memancing kekerasan atau kezaliman terhadap kelompok
itu, harusnya masuk dalam kategori disensi. Esensi batasan kebebasan berekpresi
yang tanpa kebebasan itu di nilai etis dan moral Alquran tidak berfungsi harus
ditemukan dan dijamin dengan membangun komunitas yang anggotanya saling
menghormati.[15]
F.
Dalam Kajian
Sosiologi Hukum
Dalam
menghadapi perkembangan masyarakat, dalam hukum sosiolog di sebutkan bahwa
tidak ada masyarakat yang tidak berkembang, kalimat ini merupakan kesepakatan
para sosiolog klasik sampai zaman modren. Perubahan dan perkembangan masyarakat
iru terjadi karena perubahan lingkungannya; yakni, lingkungan bio-fisik, lingkungan
sosio-kultural, dan lingkungan kehidupan psyichs. Dari sekian banyak pendorong
perubahan dan perkembangan masyarakat tersebut, ada beberapa yang menonjol
sekali, yaitu: karena agama dan keyakinan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
kemajuan ekonomi, tatanan politik, dan letak geografis. Kebebasan berekpresi
merupakan hak setiap insan, namun hak berpendapat di iringi ujaran kebencian
untuk memprovokasi, fitnah sesuatu hal yang harus di hindari. Dalam kajian
sosiologi pendekatan kemasyarakatan bertujuan untuk menekan cara berfikir
masyarakat di era modren dengan berpatokan pada kemampuan masyarakat untuk
memverifikasi kebenaran akan informasi yang beredar. Konsep sosiologis
menekankan pada masyarakat pada akurasi informasi dengan tidak meninggalkan
aspek rasionalitas.
E. Kesimpulan
Bahwa berdiri
kokoh dan meraih kemajuan harus berlandaskan pada etika karakter kepribadian
bangsa dan mewujudkan nilai keuniversalan Islam. Bahwa prinsip modal
keindonesia yang tercermin dalam khzanah budaya lokal untuk mencapai
perikehidupan bangsa yang aman, damai, adil makmur serta jauh dari bencana
pelanggaran hukum. Dan begitu juga, mengaplikasikaan nilai keuniversalan Islam
dalam konteks membangun bangsa yang damai, masyarkatnya dituntut agar mampu
mengejentawahkan nilai-nilai tauhid dalam aktivitas dan tingkah laku. Dengan
wawasan tauhid akan memperkuat etos kerja karena kualitas kerja yang
transendensikan dari batasan hasil kerja materilnya. Oleh karenanya, Teologi
kerja akan memberikan nilai tambah spritual untuk memotivasi dan memperbesar
inspirasi dan akan menangkap aspirasi agar dapat menjangkar kepentingan terhadap nilai, etika dalam berbangsa dan
bernegara. Misi dari nilai tauhid dalam konteks barbangsa adalah untuk
menjungjung tinggi dan memuliakan
manusia, persatuan, kerakyatan dan keadilan, yang mendorong masyarakat bangsa
agar mengembangkan nilai-nilai tauhid yang lapang, toleran terbuka dan saling
memahami satu sama lain.
Alquran menolak
perpecahan, atau opini tanpa isi yang tujuannya memicu perpecahan. Yang hal ini
termasuk dalam hasrat untuk menjelek-jelekkan kelompok tertentu seraya
memancing kekerasan dan kezhaliman terhadap kelompok tertentu. Kejadian unik tersebut sering dimainkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mencoba menimbulkan berbagai fitnah
untuk membenturkan masyarakat supaya terjadi kekacauan dan perpecahan sendiri.
Provokasi-provokasi yang dilancarkan terkadang hanya mengangkat isu-isu yang
kecil namun terus dibesarkan untuk menarik masyarakat kearah tertentu. Bahwa
yang perlu kita renungkan kembali, bahwa rasa persaudaraan sebangsa setanah air
dimaknai sebagai bentuk perekat antar anak bangsa.
Sekian dan
semoga bermanfaat..
والله اعلم بالصواب
[1]
David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam
Sosiologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003), h. 47.
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural
(Jakarta: Lantabora Press 2005), h. 108-109.
[4] Gumgum Gumilar, Hoax, Reproduksi dan Persebaran: Suatu Penelusuran
Literatur Direktorat Sumber Daya Akademik dan Perpustakaan (Bandung:
Universitas Padjadjaran Graha Kadaga 2018), t.h.
[7] Nurul H. Maarif, Menjadi Mukmin Kualitas Unggul Cara Praktis dan Efektif
Meraih Kebahagian Sejati (Jakarta: Alifia Books 2018), h. 283.285.
[10] Mohammad Monib dan Islah Bahrawi, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Nurcholish Madjid (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), h.
180-182.
[12] Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi Tafsir Tematik Islam Rahmatan
Lil ‘Alamin (Jakarta: Pustaka Oasis 2010), h. 291-297.
[13]Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Jakarta:
Sekretariat Jinderal MPR RI 2015), h. 5.
[14] Materi Sosialisai Empat Pilar MPR RI, Pancasila sebagai dasar dan
Idiologi UUD NRI tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR, NKRI
sebagai Bentuk Negera, Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI 2015), h. 68.
[15] Ziauddin Sardar, Reading the Quran: the Contemporery Relevance of the
Sacred Text of Islam (English: Oxford University Press 2011), h. 575-580.
Komentar
Posting Komentar