ISTIHSAN (Ushul Fiqh Perbandingan)
HIKMATIAR HARAHAP
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Istihsan termasuk salah satu metode
ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya,
semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya ulama menggunakan istihsan
dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”.
Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda
pendapat disebabkan perbedaan dalam memahami dan mendefenisikan istihsan itu.
Ulama yang menggunakan metode istihsan dalam berijtihad mendefenisikan
istihsan dengan pengertian yang berlainan dengan defenisi orang yang menolak
cara istihsan. Sebaliknya ulama yang menolak menggunakan istihsan penggunaan istihsan mendefenisikan
istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefenisikan pihak yang
menggunakannya. Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan (mendefenisikan) istihsan
itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai
metode ijtihad.[1]
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan cara menjadikan perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum agar
hukum tersebut betul-betul mampu merealisasi tujuan syariat dan selalu
berpedoman pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa Alquran dan
Hadits. Jadi pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan hukum Islam yang
mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru secara sembarangan tanpa
pedoman dan batasan. Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun
dia menyingkap jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara dan kaidah-kaidahnya
ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang di dalam
masyarakat.[2]
Disinilah istihsan dipahami
sebagai upaya untuk mencari jiwa hukum berdasarkan pada al-qawaid
al-kulliyat (kaidah-kaidah umum) berkaitan dengan maqsid as-syar’iyah.
Dalam hal istihsan mengidentifikasi maslahat, istihsan dibagi kepada dua macam
yakni istihsan bi al-nash dan istihsan bi al-maslahat.
1. Istihsan bi al-nash adalah istihsan yang berdasarkan
pada nash lain yang menghendaki tidak berlakunya dalil pertama. Dalil pertama
bersifat khusus, sedangkan dalil kedua bersifat umum. Jadi lebih sifat pengecualian
Contoh jual beli salam berdasarkan hadis “janganlah kamu menjual sesuatu
yang bukan milikmu” maka jual beli salam dilarang. Akan tetapi Nabi sendiri
yang melakukan pengecualian ketentuan itu untuk kasus jual beli salam. Adapun
hikmah dibenarkan jual beli tersebut adalah untuk membantu pedangang yang tidak
memiliki punya modal yang cukup, sehingga dia dapat memperoleh modal tambahan
dari si calon pembeli. Hal ini pada gilirannya akan memelihara harta pedangang
tersebut sekaligus mengembangkannya. Memelihara harta dalam berbagai peringkat
kebutuhannya.
2. Istihsan bi al-maslahat adalah istihsan yang didasarkan
pada maslahat dalam berbagai peringkatnya, padahal qiyas tidak menghendaki
demikian. Adakalanya maslahat itu masuk peringkat daruriyat dan
adakalanya masuk peringkat hajiyyat. Istihsan tujuannya untuk memperoleh
kemaslahatan, hanya saja kemaslahatan dimaksud adakalanya ditentukan oleh nash
dan akalanya ditentukan melalui ijtihad. Disinilah para mujtahid untuk
mengeksplorasi jenis kemaslahatan sekaligus memperhatikan peringkat
kemaslahatannya.[3]
Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan
dengan qiyas, atau dengan kata lain, hukum
yang ditetapkan dengan istihsan berbeda dengan hukum lama yang ditetapkan oleh qiyas. Dari segi inilah istihsan merupakan suatu metode istinbat
hukum yang sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekakuan hukum yang
dihasilkan qiyas. Salah satu contoh kasus
kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah transplantasi organ tubuh untuk
kepentingan pengobatan. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti
tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk
berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsan
rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.
B. Pengertian
Istihsan secara etimologis (lughawi/bahasa)
istihsan (استحسان) berarti
“memperhitungkan sesuatu lebih baik,” atau “adanya sesuatu itu lebih baik” atau
“mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik untuk di
ikuti”, atau “mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang disuruh
untuk itu”.[4]
Dari arti lughawi di atas
tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun
ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranay dan
menetepkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya
lebih baik untuk di amalkan.
Istihsan menurut pengertian umum, ialah
menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah ahli ushul, berarti
pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jaly kepada qiyas
khafy, atau dari qiyas khafy, atau dalil kulli kepada hukum takhshish.
Ini disebabkan ada dalil yang menyebabkan mujtahid menyalahkan cara
berfikirnya, dan mementingkan perpindahannya.[5]
Adapun pengertian istihsan
secara istilahi, ada beberapa defenisi istihsan yang dirumuskan ulama
ushul. Diantara defenisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik
pandang. Ada juga defenisi yang disepakati oleh semua pihak, namun di nataranya
ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan
defenisi, yaitu:
عدول عن قياس الى اقوى منه.
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada
qiyas yang lebih kuat daripadanya (qiyas pertama).
عدول عن الدليل ال العادة للمصلحة.
Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada
adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
2.
Istilah Istihsan di kalangan Ulama Malikiyah
di antaranaya adalah sebagaimana yang dikemukanan al- Syatibi (saah satu pakar
Malikiyah):
وهو في مذهب مالك الاخذ بمصلحة جزئية في مقابلة
دليل كلى.
Istihsan dalam mazhab Maliki adalah
menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai penggati dalil yang
bersifat kulli.
Defenisi
di atas memberikan arti bahwa seorang mujtahid, semestiny menetapkan hukum
dengan berpedoman kepada dail yang ada yang bersifat umum. Namun karena keadaan
tertentu mujahid tersebut melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus,
maka ia dalam menetapkan hukum tidak berpedoman terhadap dalil hukum yang ada,
tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus.
3. Di kalangan ulama Hanabilah
terdapat tiga defenisi sebagaimana dikemukakan Ibn Qudamah:
العدل بحكم المسئلة عن نظائرهالدليل خاس من
كتاب او سنة.
Beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum
terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil
khusus dalam Alquran atau sunnah.
انه ما يستحسنه المجتهد بعقله.
Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap
lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya.
دليل ينقدح في نفس المجتحد لا يقدر علي التعبير
عنه.
Dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang
tidak mampu menjelaskannya.
Dari defenisi istihsan yang
pertama yang berlaku dikalangan ulama Hambali
tersebtu dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum
sebagaiman yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah
karena ia mengikuti dalil lain dari Alquran dan Sunnah.
Terhadap defenisi kedua mungkin
timbul keberatan dari ulama lain karena apa yang dianggap mujtahid lebih bik
menurut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya.
Terhadap defenisi ketiga juga mungkin
timbul sanggahana, sebagaimana yang di kemukakan oleh Ibnu Subki yang
mengatakan bahwa dalil yang muncul dalam diri mujtahid itu nyata adanya, maka
cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil
itu; tetapi bila dalil itu tidak betul, maka cara istihsan seperti itu
tertolak. [6]
4. Di kalangan ulama Hanafiyah istihsan
itu ada dua macam yang dikemukan dalam dua rumusan seperti di kutip oleh
al-Sarkhisi:
العمل بالاجتهد وغالب الرأي في تقدير ما جعله
الشرع موكولا الارائنا.
Beramal
dengan ijtihad dan umum pendapat dalam
menentukan sesuatu syara’ meyerahkannya pada pendapat kita.
الدليل الذي يكون معارضا للقياس الظاهر الذي تثبق
اليه الاوهام قبل انعام التأمل فيه وبعد انعام التأمل في حكم العادة واشباهها من
الاصول يظهر ان الدليل الذي عارضه فوقه في القوة فان العمل به هو الواجب.
Dalil
yang meyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum dilakukan
pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah diadakan penelitian mendalam
terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan
itu ternyata bahwa dalil yang meyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya
wajiba di amalkan.
Dari
penelaahan terhadap dua defenisi yang berlaku dikalangan ulama Hanafiyah
tersebut dapat diebrikan penjelasan bahwa arti istihsan dalam defenisi
pertama tidak menyalahi aturan apapun, karena pengertian yang terbaik dalam hal
ini adalah di antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara’
telah memberikan hak pilih kepada kita. Umpanya penetapan ukuran mut’ah
dari suami yang menceraikan isterinya sebelum dicampuri dan sebelumnya belum
ditetapkan maharnya. Memberikan mut’ah itu wajib, yang ukurannya menurut
kemampun suami dengan syarat harus sesuai dengan kepatutan. Tentang ukuran
patut itu sendiri diserahkan kepada apa yang lebih baik erdasarkan pendapat
yang umum.
Dalam
defenisi kedua terkandung adanya perbenturan dalil dengan qiyas zhahir.
Semula ada prasangka lemah pada dalil itu karena belum di adakan penelitian
yang mendalam, namun sesudah di teliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih
kuat daripada qiyas. Dalam hal ini di pandang lebih baik menggunakan
dalil itu ketimbang menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat.
Meninggalkan beramal dengan qiyas untuk mengamalkan dalil itu di sebut istihsan
menurut ulama Hanafiyah.
Ulama
senior ushul fiqh Hanafi al-Bazdawi dalam bukunya Ushul al-Bazdawi tidak
merumuskan istihsan secara defenitif, namun menjelaskan apa yang
dimaksud dengan istihsan itu, yaitu: istihsan itu salah satu
bentuk qiyas. Qiyas ada dua bentuknya. Pertama; qiyas yang kuat illat-nya,
namunlemah atsar-nya (atsar berarti maslahat yang ditimbulkannya)
yang dinamia qiyas jali. Kedua: qiyas yang lemah illat-nya,
namun kuat atsar-nya. Qiyas ini disebut qiyas khafi.
Istihsan itu adalah qiyas yang kuat atsar-nya meskipun lemah illat-nya.
Dari
penjelasan tersebut dapat di simpulkan bahwa istihsan itu adalah
mendahulukan qiyas khafi atas qiyas jali. Atsar sebuah qiyas
didasarkan kepada maslahat yang dihsilkannya, adapun maslahat itu didasarkan
kepada pertimbangan akal sedangkan yang menjadi dasar bagi illat adalah nash
yang digunakan dalam menetapkan illat pada qiyas itu. Dengan
demikian, istihsan yang di gagas oleh Hanafi ini mengandung arti
mendahulukan pertimbangan akal daripada pertimbangan nash hukum. Inilah
pokok halangan bagi ulama di luar Hanafi untuk menolak istihsan itu.
B. Jenis-jenis Istihsan
Setelah menganalisis beberapa
defenisi istihsan[7]
di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari istihsan, yaitu
seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu
hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu atau dalam bentuk qiyas,
dalam bentuk hukum kulli, atau dalam bentuk kaidah umum. Sebagai
gantinya ia menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dinilai
lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, atau ‘uruf yang berlaku,
atau keadaan darurat, atau hukum penegcualian. Alasannya adalah karena dengan
cara itulah si mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak
mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Dari uraian di atas, terlihat
bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi:
dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari
segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1. Ditinjau dari segi dalil yang
digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada tiga jenis:
a. Beralih dari apa yang dituntut
oleh qiyas-dhahir (qiyas-jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas-khafi.
Dalam hal ini, si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam
menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut
perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat).
b. Beralih dari apa yang dituntut
oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun
ada dalil umum yang dapat di gunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah,
namun dalam keadaan tertentu dalil umum tidak di gunakan , dan sebagai gantinya
digunakan dalil khusus. Umpamanya penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Alquran
surah al-Maaidah (5): 38:[8]
السارق والسارقة فاقطعوا أيدييهما...
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,
potonglah tangan-tangan keduanya...
Berdasarkan
ayat tersebut, bila sesorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk di
kenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong tangan.
Namun, bila pencuri itu dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan, maka hukum
potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri (di
bebaskan dari hukuman potong tangan), karena dalam kasus ini berlaku hukum
khusus. Beralihnya dari hukum umum kepada hukum khusus tersebut itu di sebut istihsan.
c. Beralih dari tuntutan hukum kulli
kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Umpamanya wakaf yang
dilakukan oleh orang yang berada di bawah perwalian karena belum dewasa atau muhjur
a’laihi li al-safahi (orang di ampu karena belum dewasa). Berdasarkan
ketentuan yang bersifat kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia
tidak berwenang melakuakan kebajikan dengan hartanya (tabarru).
Berdasarkan pendekatan istihsan, ketentuan ini dikecualikan bila wakaf
itu di lakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang
berbuat kebajikan dengan hartanya, namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya
sendiri, ia dapat menyelamatkan hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwaliana
yang hakikatnya adalah melindungi harta orang yang dalam perwaliannya.
2. Bila di tinjau dariPentarjihan qiyas
khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata)
karena adanya suatu dalil.[9]
Contohnya: Fuqoha
Hanafiyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman binatang buas, seperti burung
nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan
Istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah
bahwasanya ia merupakan sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan,
sebagaimana sisa minuman buas seperti: harimau, macan tutul, singa, dan
serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.
Sedangkan segi istihsannya
adalah bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya diharamkan, hanya
saja air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa
minumannya, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk
dalam tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya
yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis. Dari
contoh tersebut, terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas,
yang pertama adalah qiyas yang nyata yang mudah dipahami, dan kedua
adalah qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang
nyata. Perpalingan ini adalah istihsan. Dan dalil yang menjadi dasarnya
adalah segi istihsannya.
3. Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum)
dengan adanya suatu dalil.
Contohnya: Syari’
(Pembuat hukum: Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada, namun
Dia memberikan kemurahan secara istihsan kepada salam (pemesanan), sewa
menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah, musaqat (akad
bagi hasil penyiraman tanaman), dan istishna’ (akad jasa
pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad berlangsung. Segi istihsannya
adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
Pada contoh diatas, ada
pengecualian kasus dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah yang
menurut istilah disebut dengan istihsan.
C. Kehujjahan Istihsan dan Pandangan
Para Ulama
Dalam hal ini beberapa pandangan
yang dikemukan oleh ulama fiqh tentang penggunaan istihsan sebagai salah
satu sumber hukum Islam.[10]
1. Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu
Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan
yang di tulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah
mengakui adanay istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak
sekali terdapat permasalah yang menyangkut istihsan.
2. Ulama Malikiyah
Asy-Syaatibi berkata bahwa
sesungguhnya istihsan itu di anggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagaimana pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu
Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.
3. Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab ushul di
sebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan
oleh Imam al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, al-Jalal al-Mahalli dalam kitab
Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’
mengatakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang
lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.
4. Ulama Syafi’iyah
Golongan as-Syafi’i secara mashsyur
tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk
menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barangsiapa yang menggukan istihsan
berarti ial telah membuat syariat”. Beliau juga berkata. “Segala urusan itu
telah di atur oleh Allah swt., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga
dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak boleh menggunakan istihsan.
5.
Kalangan Ulama Zhahiriyah menolak penggunaan
qiyas secara prinsip, demikian pula ulama Syiah dan sebagian ulama Mu’tazilah.
Karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendirinya mereka
menolak istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah
qiyas. Di antara argumen para ulama yang menolak istihsan adalah
sebagai berikut:
a. Yang dituntut dari kaum Muslimin
untuk di ikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau ditetapkan Rasul atau
hukum yang di-qiyas-kan kepada hukum Allah dan Rasul itu. Sedangkan
hukum yang ditetapkan mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum
syar’i.
b. Allah swt telah menetapkan hukum
untuk suatu kejadian. Sebagian dari hukum itu ditetapkan dengan nash
kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan Nabi.
Dalam pandangan para ulama
sehingga dalam pandangan Syarkhisi, ulama yang menetapkan istihsan adalah
dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, meskipun mereka
berbeda dalam memberikan istilah dan rincian macamnya. Dari ketiga kalangan
ini, yang lebih banyak menggunakan istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada
ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan lebih baik
dari qiyas.[11]
C. Kesimpulan
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu
instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan
mekanisme ijtihad dan istinbath hukum
dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang Mujtahid,
penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk
menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap
pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang
tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta
menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang
dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini adalah tentang Istihsan,
yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu
dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya
lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
Dengan demikian,
dapat disimpulakan bahwa istihsan yaitu
ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum pertama. berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Istihsan adalah sebuah konsep penalaran untuk menggali dan menemukan hukum
suatu kejadian yang tidak ditetapkan hukumnya secara jelas oleh nash, di mana
posisi istihsan disamakan dengan qiyas namun dengan sandaran yang lebih kuat.
2. Pada prinsipnya, istihsan tetap bersandar kepada dalil nash, ijma‟,
dan qiyas, dengan esensi yang sama,
yaitu untuk menghindarkan kesulitan demi sebuah kemaslahatan.
3. Istihsan sebagai salah satu metode istinbat hukum alternatif ternyata akan
selalu relevan dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahan New Cordova, Bandung: Sy9ma
2012.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta:
Prenadamedia Kencana 2014.
Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Tarjih Muhammadiyah,
Jakarta: Logos Publishing Hause, 1995.
M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus 2010.
Nispul Khoiri, Ushul Fikih, Bandung: Citapustaka Media 2015.
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, Depok:
Premedia Group 2017.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV.
Pustaka Setia 2015.
Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh Akal sebagai Sumber Hukum
Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009.
Satria Efendi M. Zein, Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana 2015.
[1] Nispul Khoiri,
Ushul Fikih (Bandung: Citapustaka Media 2015), h. 110.
[2]https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:_kodIzFksecJ:https://khoirulmujahidin95.wordpress.com/2015/05/26/ushul-fiqih-istihsan/+&cd=9&hl=id&ct=clnk&gl=id, di akses Jumat, 22 Maret 2019, pukul 01:11 Wib.
[3] Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Tarjih
Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing Hause, 1995), h. 51-52.
[4] Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh (Depok:
Premedia Group 2017), h. 36.
[5] M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus 2010), h. 127.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta:
Prenadamedia Kencana 2014), h. 347-351.
[7] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh Akal sebagai Sumber Hukum
Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009), h. 81.
[8] Alquran dan Terjemahan New Cordova (Bandung:
Sy9ma 2012), h. 114.
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 110.
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CV.
Pustaka Setia 2015), h. 112.
[11] Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Kencana 2015), h. 146-147.
Komentar
Posting Komentar