ISTIHSAN (Ushul Fiqh Perbandingan)



Hasil gambar untuk istihsan
HIKMATIAR HARAHAP
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat disebabkan perbedaan dalam memahami dan mendefenisikan istihsan itu. Ulama yang menggunakan metode istihsan dalam berijtihad mendefenisikan istihsan dengan pengertian yang berlainan dengan defenisi orang yang menolak cara istihsan. Sebaliknya ulama yang menolak menggunakan  istihsan penggunaan istihsan mendefenisikan istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefenisikan pihak yang menggunakannya. Seandainya mereka sepakat dalam mengartikan (mendefenisikan) istihsan itu, maka mereka tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai metode ijtihad.[1]
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan perkembangan baru itu sebagai pertimbangan hukum agar hukum tersebut betul-betul mampu merealisasi tujuan syariat dan selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa Alquran dan Hadits. Jadi pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan hukum Islam yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru secara sembarangan tanpa pedoman dan batasan. Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkap jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara dan kaidah-kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat.[2]
Disinilah istihsan dipahami sebagai upaya untuk mencari jiwa hukum berdasarkan pada al-qawaid al-kulliyat (kaidah-kaidah umum) berkaitan dengan maqsid as-syar’iyah. Dalam hal istihsan mengidentifikasi maslahat, istihsan dibagi kepada dua macam yakni istihsan bi al-nash dan istihsan bi al-maslahat.
1.      Istihsan bi al-nash adalah istihsan yang berdasarkan pada nash lain yang menghendaki tidak berlakunya dalil pertama. Dalil pertama bersifat khusus, sedangkan dalil kedua bersifat umum. Jadi lebih sifat pengecualian Contoh jual beli salam berdasarkan hadis “janganlah kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu” maka jual beli salam dilarang. Akan tetapi Nabi sendiri yang melakukan pengecualian ketentuan itu untuk kasus jual beli salam. Adapun hikmah dibenarkan jual beli tersebut adalah untuk membantu pedangang yang tidak memiliki punya modal yang cukup, sehingga dia dapat memperoleh modal tambahan dari si calon pembeli. Hal ini pada gilirannya akan memelihara harta pedangang tersebut sekaligus mengembangkannya. Memelihara harta dalam berbagai peringkat kebutuhannya.
2.      Istihsan bi al-maslahat adalah istihsan yang didasarkan pada maslahat dalam berbagai peringkatnya, padahal qiyas tidak menghendaki demikian. Adakalanya maslahat itu masuk peringkat daruriyat dan adakalanya masuk peringkat hajiyyat. Istihsan tujuannya untuk memperoleh kemaslahatan, hanya saja kemaslahatan dimaksud adakalanya ditentukan oleh nash dan akalanya ditentukan melalui ijtihad. Disinilah para mujtahid untuk mengeksplorasi jenis kemaslahatan sekaligus memperhatikan peringkat kemaslahatannya.[3]
 Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan dengan qiyas, atau dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan berbeda dengan hukum lama yang ditetapkan oleh qiyas. Dari segi inilah istihsan merupakan suatu metode istinbat hukum yang sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekakuan hukum yang dihasilkan qiyas. Salah satu contoh kasus kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsan rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.

Hasil gambar untuk istihsan
B.    Pengertian
Istihsan secara etimologis (lughawi/bahasa) istihsan (استحسان) berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik,” atau “adanya sesuatu itu lebih baik” atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik”, atau “mencari yang lebih baik untuk di ikuti”, atau “mencari yang lebih baik untuk di ikuti, karena memang disuruh untuk itu”.[4]
Dari arti lughawi di atas tergambar adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranay dan menetepkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang dianggapnya lebih baik untuk di amalkan.
Istihsan menurut pengertian umum, ialah menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah ahli ushul, berarti pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jaly kepada qiyas khafy, atau dari qiyas khafy, atau dalil kulli kepada hukum takhshish. Ini disebabkan ada dalil yang menyebabkan mujtahid menyalahkan cara berfikirnya, dan mementingkan perpindahannya.[5]
Adapun pengertian istihsan secara istilahi, ada beberapa defenisi istihsan yang dirumuskan ulama ushul. Diantara defenisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga defenisi yang disepakati oleh semua pihak, namun di nataranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1.      Ibnu Subki mengajukan dua rumusan defenisi, yaitu:
عدول عن قياس الى اقوى منه.
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat daripadanya (qiyas pertama).
عدول عن الدليل ال العادة للمصلحة.
Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan.
2.              Istilah Istihsan di kalangan Ulama Malikiyah di antaranaya adalah sebagaimana yang dikemukanan al- Syatibi (saah satu pakar Malikiyah):
وهو في مذهب مالك الاخذ بمصلحة جزئية في مقابلة دليل كلى.
Istihsan dalam mazhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai penggati dalil yang bersifat kulli.
            Defenisi di atas memberikan arti bahwa seorang mujtahid, semestiny menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dail yang ada yang bersifat umum. Namun karena keadaan tertentu mujahid tersebut melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka ia dalam menetapkan hukum tidak berpedoman terhadap dalil hukum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus.
3.      Di kalangan ulama Hanabilah terdapat tiga defenisi sebagaimana dikemukakan Ibn Qudamah:
العدل بحكم المسئلة عن نظائرهالدليل خاس من كتاب او سنة.
Beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam Alquran atau sunnah.
انه ما يستحسنه المجتهد بعقله.
Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya.
دليل ينقدح في نفس المجتحد لا يقدر علي التعبير عنه.
Dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang tidak mampu menjelaskannya.
Dari defenisi istihsan yang pertama  yang berlaku dikalangan ulama Hambali tersebtu dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaiman yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari Alquran dan Sunnah.
Terhadap defenisi kedua mungkin timbul keberatan dari ulama lain karena apa yang dianggap mujtahid lebih bik menurut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya.
Terhadap defenisi ketiga juga mungkin timbul sanggahana, sebagaimana yang di kemukakan oleh Ibnu Subki yang mengatakan bahwa dalil yang muncul dalam diri mujtahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu; tetapi bila dalil itu tidak betul, maka cara istihsan seperti itu tertolak. [6]
4.      Di kalangan ulama Hanafiyah istihsan itu ada dua macam yang dikemukan dalam dua rumusan seperti di kutip oleh al-Sarkhisi:
العمل بالاجتهد وغالب الرأي في تقدير ما جعله الشرع موكولا الارائنا.
Beramal dengan ijtihad dan  umum pendapat dalam menentukan sesuatu syara’ meyerahkannya pada pendapat kita.
الدليل الذي يكون معارضا للقياس الظاهر الذي تثبق اليه الاوهام قبل انعام التأمل فيه وبعد انعام التأمل في حكم العادة واشباهها من الاصول يظهر ان الدليل الذي عارضه فوقه في القوة فان العمل به هو الواجب.
Dalil yang meyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelum dilakukan pendalaman terhadap dalil itu, namun setelah diadakan penelitian mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang meyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajiba di amalkan.
            Dari penelaahan terhadap dua defenisi yang berlaku dikalangan ulama Hanafiyah tersebut dapat diebrikan penjelasan bahwa arti istihsan dalam defenisi pertama tidak menyalahi aturan apapun, karena pengertian yang terbaik dalam hal ini adalah di antara dua hal yang kita dapat memilih, karena syara’ telah memberikan hak pilih kepada kita. Umpanya penetapan ukuran mut’ah dari suami yang menceraikan isterinya sebelum dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan maharnya. Memberikan mut’ah itu wajib, yang ukurannya menurut kemampun suami dengan syarat harus sesuai dengan kepatutan. Tentang ukuran patut itu sendiri diserahkan kepada apa yang lebih baik erdasarkan pendapat yang umum.
            Dalam defenisi kedua terkandung adanya perbenturan dalil dengan qiyas zhahir. Semula ada prasangka lemah pada dalil itu karena belum di adakan penelitian yang mendalam, namun sesudah di teliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat daripada qiyas. Dalam hal ini di pandang lebih baik menggunakan dalil itu ketimbang menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal dengan qiyas untuk mengamalkan dalil itu di sebut istihsan menurut ulama Hanafiyah.
            Ulama senior ushul fiqh Hanafi al-Bazdawi dalam bukunya Ushul al-Bazdawi tidak merumuskan istihsan secara defenitif, namun menjelaskan apa yang dimaksud dengan istihsan itu, yaitu: istihsan itu salah satu bentuk qiyas. Qiyas ada dua bentuknya. Pertama; qiyas yang kuat illat-nya, namunlemah atsar-nya (atsar berarti maslahat yang ditimbulkannya) yang dinamia qiyas jali. Kedua: qiyas yang lemah illat-nya, namun kuat atsar-nya. Qiyas ini disebut qiyas khafi. Istihsan itu adalah qiyas yang kuat atsar-nya meskipun lemah illat-nya.
            Dari penjelasan tersebut dapat di simpulkan bahwa istihsan itu adalah mendahulukan qiyas khafi atas qiyas jali. Atsar sebuah qiyas didasarkan kepada maslahat yang dihsilkannya, adapun maslahat itu didasarkan kepada pertimbangan akal sedangkan yang menjadi dasar bagi illat adalah nash yang digunakan dalam menetapkan illat pada qiyas itu. Dengan demikian, istihsan yang di gagas oleh Hanafi ini mengandung arti mendahulukan pertimbangan akal daripada pertimbangan nash hukum. Inilah pokok halangan bagi ulama di luar Hanafi untuk menolak istihsan itu.
B.     Jenis-jenis Istihsan
Setelah menganalisis beberapa defenisi istihsan[7] di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu atau dalam bentuk qiyas, dalam bentuk hukum kulli, atau dalam bentuk kaidah umum. Sebagai gantinya ia menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dinilai lebih kuat, atau nash yang ditemukannya, atau ‘uruf yang berlaku, atau keadaan darurat, atau hukum penegcualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah si mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi: dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1.      Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan ada tiga jenis:
a.    Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas-dhahir (qiyas-jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas-khafi. Dalam hal ini, si mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat (tepat).
b.    Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat di gunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum tidak di gunakan , dan sebagai gantinya digunakan dalil khusus. Umpamanya penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Alquran surah al-Maaidah (5): 38:[8]
السارق والسارقة فاقطعوا أيدييهما...
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-tangan keduanya...
            Berdasarkan ayat tersebut, bila sesorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk di kenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun, bila pencuri itu dilakukan pada masa paceklik atau kelaparan, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri (di bebaskan dari hukuman potong tangan), karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum kepada hukum khusus tersebut itu di sebut istihsan.
c.       Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Umpamanya wakaf yang dilakukan oleh orang yang berada di bawah perwalian karena belum dewasa atau muhjur a’laihi li al-safahi (orang di ampu karena belum dewasa). Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli ia tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakuakan kebajikan dengan hartanya (tabarru). Berdasarkan pendekatan istihsan, ketentuan ini dikecualikan bila wakaf itu di lakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya, namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan hartanya sesuai dengan tujuan adanya perwaliana yang hakikatnya adalah melindungi harta orang yang dalam perwaliannya.
2.      Bila di tinjau dariPentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jail (nyata) karena adanya suatu dalil.[9]
Contohnya: Fuqoha Hanafiyah menyebutkan, bahwasanya sisa minuman binatang buas, seperti burung nasar, burung gagak, burung elang, burung rajawali, adalah suci berdasarkan Istihsan, dan najis berdasarkan qiyas. Segi pengqiyasannya ialah bahwasanya ia merupakan sisa minuman binatang yang dagingnya haram dimakan, sebagaimana sisa minuman buas seperti: harimau, macan tutul, singa, dan serigala. Hukum sisa makanan binatang mengikuti hukuman dagingnya.
Sedangkan segi istihsannya adalah bahwasanya jenis burung yang buas, meskipun dagingnya diharamkan, hanya saja air liurnya yang keluar dari dagingnya tidaklah bercampur dengan sisa minumannya, karena ia meminum dengan paruhnya, padahal paruh tersebut termasuk dalam tulang yang suci. Adapun binatang buas, maka ia minum dengan lidahnya yang bercampur dengan air liurnya. Oleh karena inilah sisa minumannya najis. Dari contoh tersebut, terdapat pertentangan pada suatu kasus antara dua qiyas, yang pertama adalah qiyas yang nyata yang mudah dipahami, dan kedua adalah qiyas yang tersembunyi, kemudian ia berpaling dari qiyas yang nyata. Perpalingan ini adalah istihsan. Dan dalil yang menjadi dasarnya adalah segi istihsannya.
3.      Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Contohnya: Syari’ (Pembuat hukum: Allah) melarang terhadap jual beli benda yang tidak ada, namun Dia memberikan kemurahan secara istihsan kepada salam (pemesanan), sewa menyewa, muzara’ah (akad bagi hasil penggarapan tanah, musaqat (akad bagi hasil penyiraman tanaman), dan istishna’ (akad jasa pengerjaan sesuatu). Semuanya itu adalah akad berlangsung. Segi istihsannya adalah kebutuhan manusia dan kebiasaan mereka.
Pada contoh diatas, ada pengecualian kasus dari hukum kulli (umum) karena ada dalil. Inilah yang menurut istilah disebut dengan istihsan.
C.     Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
Dalam hal ini beberapa pandangan yang dikemukan oleh ulama fiqh tentang penggunaan istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam.[10]
1.      Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang di tulis dalam beberapa kitab ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanay istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalah yang menyangkut istihsan.
2.      Ulama Malikiyah
Asy-Syaatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu di anggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Begitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan istihsan.
3.      Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab ushul di sebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, al-Jalal al-Mahalli dalam kitab  Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu di akui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.
4.      Ulama Syafi’iyah
Golongan as-Syafi’i secara mashsyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barangsiapa yang menggukan istihsan berarti ial telah membuat syariat”. Beliau juga berkata. “Segala urusan itu telah di atur oleh Allah swt., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak boleh menggunakan istihsan.
5.              Kalangan Ulama Zhahiriyah menolak penggunaan qiyas secara prinsip, demikian pula ulama Syiah dan sebagian ulama Mu’tazilah. Karena mereka tidak menerima qiyas, maka dengan sendirinya mereka menolak istihsan dalam posisinya sebagai dalil hukum adalah lebih rendah qiyas. Di antara argumen para ulama yang menolak istihsan adalah sebagai berikut:
a.     Yang dituntut dari kaum Muslimin untuk di ikuti adalah hukum yang ditetapkan Allah atau ditetapkan Rasul atau hukum yang di-qiyas-kan kepada hukum Allah dan Rasul itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan hukum syar’i.
b.    Allah swt telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian dari hukum itu ditetapkan dengan nash kitab dan sebagian lagi dengan nash lisan Nabi.
Dalam pandangan para ulama sehingga dalam pandangan Syarkhisi, ulama yang menetapkan istihsan adalah dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, meskipun mereka berbeda dalam memberikan istilah dan rincian macamnya. Dari ketiga kalangan ini, yang lebih banyak menggunakan istihsan adalah Hanafiyah. Bahkan ada ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan lebih baik dari qiyas.[11]


Hasil gambar untuk istihsan

C. Kesimpulan
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang Mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap pada koridor yang semestinya, Ushul Fiqih-lah salah satu penjaganya.
Meskipun demikan, ada satu fakta yang yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para Mujtahid. Salah satu cabang dari ilmu Ushul Fiqih yang dibahas di dalam makalah ini adalah tentang Istihsan, yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
Dengan demikian, dapat disimpulakan bahwa istihsan yaitu ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama. berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan adalah sebagai berikut:
 1. Istihsan adalah sebuah konsep penalaran untuk menggali dan menemukan hukum suatu kejadian yang tidak ditetapkan hukumnya secara jelas oleh nash, di mana posisi istihsan disamakan dengan qiyas namun dengan sandaran yang lebih kuat.
 2. Pada prinsipnya, istihsan tetap bersandar kepada dalil nash, ijma‟, dan qiyas, dengan esensi yang sama, yaitu untuk menghindarkan kesulitan demi sebuah kemaslahatan.
3. Istihsan sebagai salah satu metode istinbat hukum alternatif ternyata akan selalu relevan dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahan New Cordova, Bandung: Sy9ma 2012.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Prenadamedia Kencana 2014.
Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos Publishing Hause, 1995.
M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus 2010.
Nispul Khoiri, Ushul Fikih, Bandung: Citapustaka Media 2015.
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, Depok: Premedia Group 2017.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia 2015.
Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh Akal sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009.
Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana 2015.



[1] Nispul Khoiri, Ushul Fikih (Bandung: Citapustaka Media 2015), h. 110.
[3] Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos Publishing Hause, 1995), h. 51-52.
[4] Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh (Depok: Premedia Group 2017), h. 36.
[5] M. Abdul Mujieb dkk., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus 2010), h. 127.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Prenadamedia Kencana 2014), h. 347-351.
[7] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqh Akal sebagai Sumber Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2009), h. 81.
[8] Alquran dan Terjemahan New Cordova (Bandung: Sy9ma 2012), h. 114.
[9] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 110.
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: CV. Pustaka Setia 2015), h. 112.
[11] Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2015), h. 146-147. 

Komentar

Postingan Populer