AKU ADA UNTUK MENGKRITIK
Hikmatiar
Harahap
Tulisan
ini hadir semata-mata untuk menyahuti pertanyaan seorang mahasiswa di ruang
kelas saat berlangsungnya perkuliahan mengajukan pertanyaan yang berkaitan
perbedaan antara kritik dengan penghinaan. Dalam hal ini, penulis tidak akan
memasuki point mengenai penghinaan, sehingga tulisan ini hanya berkutat pada
point kritik. Dan, ini penting harus dibedah dan disebarluaskan kepada publik,
mengenai batasan-batasan dari pada wujud kritik, tujuan akan kehadiran kritik, agar
kedepannya mendapat tempat sehingga dapat memudahkan cara berfikir dan bertindak
dalam menyelesaikan persoalan sehinga tidak merembat kesana dan kemari.
Kesalahan terbesar saat berlangsungnya diskusi atau tukar pikiran, sering kali
kita tidak fokus pada substansi persoalan dan pada akhirnya tidak menemukan
solusi-solusi yang baik. Situasi seperti ini sangat membahayakan alur pemikiran,
sehingga membuat mubazzir berbagai bentuk keputusan, peraturan dan kebijakan sehingga
keefektivitasnya tidak dirasakan.
Berkaitan
mengenai kritik sesuatu yang mesti ada dan sangat baik sehingga menandakan
bahwa orang-orang masih peduli dan ingin bersama-sama menuntaskan,
menyelesaikan kondisi-kondisi yang menghambat lajunya capaian-capaian untuk kemajuan
dan kesejahteraan. Bahwa kita sepakat, menyampaikan pendapat, gagasan dimuka
umum baik berupa kritik secara langsung yang ditujukan kepada pemerintah merupakan
bagian dari pada kebebasan berekspresi dan dilindungi oleh UU, kebebasan ini
ada dan melekat dalam jiwa manusia dari semenjak dilahirkan ke dunia. Sehingga
yang patut dikhawatirkan kedepannya adalah ketidakmauan orang-orang
menyampaikan pemikirannya demi untuk kemaslahatan bangsa. Selama, ada yang
bersuara itu menandakan bahwa kita masih ada dan ingin berbuat untuk merubah
keadaan menuju pada capaian-capaian kebaikan bersama.
Sejatinya,
kehadiran kritik menpertegaskan bahwa setiap manusia selalu ingin menemukan kebenaran dan menyebarluaskan
kebenaran. Sebab, dalam berputaran kehidupan selalu disuruh untuk menampilkan
sisi kebaikan, kemasalahatan dengan sesempurna sebagai bagian daripada bentuk
pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan alasan demikian bahwa kritik harus berdampingan
dengan kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh penyelenggara negara. Pada
kenyataannya, pos-pos kebijakan merupakan sarat akan kepentingan pribadi maupun
golongan, bila eksistensi ini yang selalu memberikan warna, maka dapat
dipastikan bangunan sebuah negara akan mengalami ketimpangan dan
berangsur-angsur roboh. Untuk itu, kritik yang santun yang jauh dari bentuk
penghinaan secara person adalah kenyataan yang harus dicapai. Kritik adalah
bagian dari pada ajaran agama dan nilai yang menelusuri sendi-sendi kehidupan
untuk memastikan terciptanya udara kemanusiaan dan pembangunan yang layak dan
bermakna. Sehingga, tujuan dari kritik adalah untuk saling mengingatkan,
menasehati bahkan sebagai ajang silturahmi dalam konteks bertukar pikiran.
Oleh
karena itu, bagian dari perjalanan bangsa ini, tidak terlepaskan dari pondasi
pemikiran hebat. Sehingga, kritik merupakan cikal bakal dari munculnya berbagai
varian-varian baru untuk melihat lebih dekat problematika dari sudut yang
berbeda. Sehingga, memaknai kritik yang lebih tepat dan elegan adalah
semata-mata untuk mencari solusi, mencerahkan keadaan, situasi dengan
pergumulan pemikiran dari waktu ke waktu. Sehingga, pemikiran hebat itu, tidak
hanya ada di area gedung pendidikan atau pengajaran melainkan sampai ke seluruh
sendi kehidupan manusia dan pembangunan nasional. Sehingga, persoalan
selanjutnya, memastikan agar pemikiran hebat itu sampai ke pemerintah.
Sedangkan
dalam konteks demokrasi kritik atau mengutarakan pendapat di muka umum
merupakan kekuatan bahkan demokrasi yang sehat dapat diukur sejauh mana pemerintah
dapat merespon dan menyadarinya. Bahkan menurut Nurcholish Madjid kebebasan
asasi untuk menyatakan pendapat dengan sendirinya berakibat pada adanya dua
kebebasan asasi yang lainnya, yaitu kebebasan berkumpul dan kebebasan
berserikat. Bahkan beliau lebih dalam mengutarakan keinginan luhur untuk
berkumpul dan berserikat ini harus tumbuh dari komitmen para pribadi anggota
masyarakat pada nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu bukan hasil dari mobilisasi ke
arah sistem monolitik. Kalau itu terjadi, saat ketersumbatan itu mendapat ruang
penyalurannya, akan terjadi ledakan sosial politik yang sangat destruktif.
Inilah yang terjadi pada rezim orde baru yang menyumbat dan memobilisasi
aspirasi politik pada sistem tunggal, monolitik, keseragaman dan artificial.
Puncaknya adalah gelombang reformasi yang mengakhiri kekuasaan dan rezim
Soeharto selama 30 tahun. [Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan
Nurcholish Madjid. Hal 206].
Oleh karena itu, sangat berbahaya ketika ruang untuk menyampaikan gagasan telah dipersempit bahkan ditiadakan. Seperti ungkapan Ibn Khaldun bahwa anugerah termulia yang Allah berikan kepada segenap manusia adalah kemampuan berfikir. Sehingga, dalam meletakkan persoalan ini merupakan bagian dari kerangka untuk meneguhkan keberadaan manusia sebagai hamba yang bebas diruang yang terbuka yang jauh dari unsur sinisme dan chauvisme. Oleh karena itu, kritik merupakan puncak dari kebebasan dalam bertukar pikiran, bahkan Alexis de Tocqueville menggambarkan bahwa siapa yang tidak mencintai kebebasan demi kebebasan itu sendiri, maka ia terlahir sebagai budak. Oleh karena itu, keberadaan umat manusia adalah untuk berfikir dan menyampaikan kritik untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Wallahu A’lam bis shawab
BalasHapusmantap unstadz TGT(tuan guru tiar)....teruslah mengkritik untuk membangun bangsa.
Siap bangda.
Hapus