MERDEKA: APAKAH IBU PERTIWI BAHAGIA

 

Oleh: Hikmatiar Harahap

 

Indonesia saat ini persis seperti seorang musafir yang menuju tempat persinggahan namun terhalang hujan deras. Bilamana perjalanan dilanjutkan kondisi badan basah dan menggigil kedinginan, akan tetapi menunggu sampai hujan reda menimbulkan ketidakpastian pada akhirnya keresahan, rasa khawatir bercampur cemas akan menghampiri hingga rasa dingin berlahan pasti mendekat juga. Seolah-olah perjalanan Indonesia terkini tidak jauh beda dengan gambaran tersebut. Hal ini tidak terbantahkan sebab Indonesia sedang tidak bahagia, berbagai persoalan yang dihadapi antaranya tentang sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya dan sebagainya dapat tamsilkan seperti hujan yang turun membawa arus penderitaan bukan membawa harapan. Keaktifan pemerintah dalam mengelola potensi bangsa berada pada mood kurang baik atau berjalan di tempat, sehingga setiap kebijakan dan kerja pemerintah memang terlaksana tetapi belum merata hasil pembangunannya sehingga kehidupan rakyat dan bangsa belum ada perubahan secara signifikan. Realitas pembangunan bangsa memang disadari bahwa setiap kerja jangka panjang harus melalui proses demi proses seperti layaknya permainan ular tangga. Apakah kerja pemerintah tepat sasarannya untuk rakyat, maka bolehlah di intip bersama-sama dengan mengedepankan pandangan dan perspektif akal pemikiran yang mencerahkan. Untuk dapat membuktikan bahwa kerja pemerintah benar-benar berjalan mulus melalui keputusan yang bijak dan final, dapat dilihat dari lemparan senyuman manis atau balasan deraian air mata kesedihan yang membuat rakyat bingung hendak kemana mengadukan nasib.

Merdeka pada prinsipnya melahirkan sikap kearifan dan kebijaksanaan dalam mengelola problematika supaya dapat melahirkan harapan dan kebahagian sehingga makna kemerdekaan yang sesungguhnya adalah mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Menyadari hal tersebut, merupakan sebuah upaya yang sungguh-sungguh serta serius, sehingga dapat mengorbitkan kebahagiaan yang ditandai dengan adanya rasa kerinduaan akan kehadiran sosok pemimpin bangsa yang dekat kepada rakyatnya, sembari membisikkan sesuatu secara mesra mengenai pencapaian dan keoptimisan pembangunan kedepan. Begitu juga, sosok Ibu pertiwi dengan lambaian kasih dan sayang yang sedang menyulam robekkan kain kebangsaan sudah mulai bertepi dan sekali-kali larut dalam lamunan yang mengasikkan. Senyum memancarkan kebahagian yang bersatu padu dari sudut Sabang sampai ujung Merauke di bawah kibaran merah putih semangat yang diperoleh dari kekekaran tubuh anak bangsa, salah satu lamunannya. Namun, Ibu pertiwi tersadar dari lamunan mengasikkan disebabkan oleh suara gemuruh dari derasnya penderitaan yang dihadapi Indonesia terkini. Sesungguhnya, makna kemerdekaan sudah didapati yakni terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan dan menjadi bangsa yang berdaulat dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita mengetahui bahwa memang itulah tujuan awal dari kemerdekaan.

Menerjemahkan kemerdekaan dalam konteks kekinian, masih belum terbukti bahwa di depan mata secara nyata terlihat jelas kondisi kehidupan rakyat dan pembangunan bangsa masih jauh dari cita-cita kemerdekaan sesungguhnya. Kemerdekaan pada substansinya menghadirkan kebahagian pada seluruh rakyat Indonesia dan terwujudnya rasa kesejahteraan dan kemajuan yang dikelola dengan konsep kolaborasi. Tetapi yang lebih menonjol adalah Indonesia yang terluka secara sosial, politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya.

Coba kita intip saja dari segi sosial, barangkali membuat kita tersentak melihat perkembangan masyarakat Indonesia belakangan ini, menjelma menjadi masyarakat yang gampang marah, intoleransi seperti yang terjadi beberapa waktu lalu yang menimpa keluarga Habib Segaf al-Jufri di Surakarta Jawa Tengah. Sesungguhnya konsep membangun masyarakat bangsa sudah diwarisi dari pengamalan sila ketiga Pancasila yakni memajukan pergaulan, persahabatan, persaudaraan dari setiap suku, agama, ras dan warna kulit yang di gali dari dasar bhinneka tunggal ika. Seharusnya kebanggaan sebagai anak bangsa harus tercurahkan dengan penuh cinta kasih sayang, saling menghormati nilai-nilai budaya bangsa. Dengan begitu, kehidupan sosial sangat menawarkan agar yang kuat melindungi yang lemah, yang berkuasa melindungi bawahannya, yang kaya melindungi yang miskin, pemilik melindungi kepemilikannya, negara melindungi warganya, dan seterusnya karena hanya dengan sebuah upaya perlindungan alam dan semua kehidupan akan dapat bertahan dan berkembang secara berkesinambungan [Islam Transitif Filsafat Milenial 2019, hal. 29].

Begitu juga dengan perkembangan politik kebangsaan yang menghendaki lahirnya pemimpin bangsa dari rahim substansi untuk mendistribusikan sehingga terwujudnya keadilan, kesejahteraan dan kemajuan demi membangun kekuatan bangsa, bukan semata-mata mekanisme untuk memperoleh kekuasaan belaka. Menuju perhelatan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020, harus diyakini dapat melahirkan pemimpin sejati. Menjaga politik kebangsaan dengan mengedepankan pendidikan politik, pengalaman yang sudah teruji secara permanen dan terus-menerus. Situasi akan bertambah rumit ketika memaksakan diri untuk tampil dan kurang mengkaji diri dari sisi kelebihan maupun kelemahan bahkan terkesan memaksimalkan kekuatan orang-orang yang memiliki pengaruh disekelilingnya tentu sangat mencederai kemurnian dan kesucian dalam pengambilan keputusan untuk menemukan sosok pemimpin yang cerdas dan berbakat. Kemerdekaan politik merupakan hak setiap orang, sehingga siapapun orangnya mempunyai peluang memilih dan dipilih oleh rakyat. Tampilnya para politisi-politisi muda, merupakan sebuah fenomena baru yang berangkat dari keinginan bersama untuk dapat berkontribusi dalam menjamah dan mengangkat harkat martabat bangsa Indonesia agar tampil dan sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Semakin banyak yang memikirkan kondisi dan rasa psikologi kerakyatan merupakan hujan keberkahan yang menumbuhkan semangat dari sudut-sudut negeri. Disadari bersama bahwa Indonesia adalah bangunan rumah yang harus ditata denga konsep kolaborasi yang kreatif, menarik dengan mengikuti perkembangan dunia di era 4.0.

Indonesia yang tidak bahagia hadiah yang pantas di dapatkan, mengingat aktivitas kenegaraan yang diperagakan seolah-olah ugal-ugalan, ogah-ogahan, bahkan main hakim sendiri. Kesakralan empat pilar kebangsaan dikesampingkan demi untuk menuntut dan membuka diri sembari membangun pentas yang meragakan irama kemarahan, kedengkian, fitnahan sesama anak bangsa bahkan yang parahnya lagi sosok yang menganggap bahwa dirinyalah yang tepat untuk menambal keolengan bangsa ini.

Untuk itu, kebahagian sebagai bangsa akan didapati dalam konteks terkini, bilamana lebih mengedepankan keahlian dan kejeniusan dalam mengelola setiap bentuk perbedaan. Dalam hal ini berkompromi dan mengelola politik kebangsaan adalah satu arah yang harus dipikirkan para elit bangsa ini. Semoga Ibu peritiwi bahagia, melalui capaian anak-anak bangsa sebagai kado terindah untuk Indonesia yang Maju. Semoga perayaan kemerdekaan ini, membawa keberkahan dan kebahagian bersama.

Komentar

  1. Indonesia bangunan yang didalamnya kebahagiaan terpancar bukan dengan kondisi terpaksa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer