Politik Keluarga Sejahtera: Rumah Tangga Bahagia

Gambar mungkin berisi: 1 orang
oleh: Hikmatiar Harahap
“Dan, di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri supaya kamu tenang kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. QS. ar-Rum [30] ayat: 21.
Menurut pasal 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan adalah sebuah ikatan atau perjanjian lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pemaknaan paling mendasar, tentu konsep tentang arti bahagia. Bagaimana pemaknaan keluarga yang bahagia? Apakah ada keluarga yang tidak bahagia ? jawaban inilah yang harus dikemukakan ke permukaan agar terciptanya keluarga yang bahagia. Sebab, tujuan untuk menikah adalah menciptakan kebahagiaan baik secara materi maupun non-materi, serta untuk mengekalkan generasi umat manusia untuk masa depan. Bila bahagia menjadi pondasi utama dari aktivitas kehidupan rumah tangga, maka tentu akan dapat mengekalkan jiwa dan hati sehingga kehidupan pun akan dapat disaksikan untuk masa depan (lebih lama).
Bahwa bahagia merupakan syarat utama dalam membentuk keluarga, kenapa sebab rumah tangga yang akan dijalani butuh perjuangan dan pengorbanan yang didalamnya akan ditemui tawa dan tangisan, bahagia dan kesedihan, bangkit dan terpuruk. Walaupun begitu, belum ada ukuran yang pasti mengenai batasan kebahagian itu. Sebab, setiap manusia pasti berbeda dalam memaknai bahagia baik di lihat dari ukuran dan sudut pandang yang berbeda-beda. Namun, bila merujuk pada buku Komaruddin Hidayat tentang Psikologi Beragama yang dikutip dari A New Eart karya Eckhart Tolle bahwa bahagia tidak hanya ukurannya bersifat kasat mata (tangible), yang terfokus pada pemenuhan unsur jasmani berupa uang, makanan, kenderaan, emas, materi dan sebagainya, melainkan sumber bahagia terkadang bersifat estetika, yakni keindahan, kedamaian, ketenangan, saling menaruh perasaan dalam lambaian jiwa dan hati sehingga akan mengantarkan pada apresiasi tingkat religiusitas.
Dalam kehidupanya nyata, tentu kata-kata sakinah, mawaddah wa rahmah  selalu menghiasi pendengaran di saat menghadiri walimatul ursy. Dari ungkapan tersebut, bahwa rumah tangga yang hendak dijalani bersama, harus dapat mengungkapkannya agar rumah tangga itu bahagia dan kekal sesuai tujuan dari pernikahan. Makna mawaddah wa rahmah dapat dirujuk dalam tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, mawaddah adalah kelapangan dan kekosongan, kaitannya dalam rumah tangga.  Bahwa pemaknaannya adalah kesediaan suami untuk membela istri, begitu juga sebaliknya. Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki, meninggalkan orang tua dan keluarga yang membesarkannya dan mengganti semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki yang menjadi suaminya. Maka mawaddah berarti hadirnya hati antara suami-istri yang hidup harmonis, kapan dan dimanapun mereka berada. Sedangkan, rahmat dimaknai pada suami istri adalah lahirnya seorang anak atau usia pernikahan pasangan suami-isteri telah mencapai lanjut usia.
Dalam buku Membangun Keluarga karya KH. Abdullah Gymnastiar merumuskan empat visi untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Pertama, Menjadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman batin dan ketenangan jiwa. Kedua, menjadikan sebagai pusat keilmuan. Ketiga, mewujudkannya sebagai pusat nasehat. Keempat, rumahnya sebagai pusat kemuliaan.
Bersambung…….

Komentar

Postingan Populer