ISLAM TRANSITIF: UNTUK KEMANUSIAAN DAN PERADABAN
Oleh: Hikmatiar Harahap
“Dan demikian Kami telah menjadikan
kamu, ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi (patron) atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (patron) atas (perbuatan) kamu”. (QS. al-Baqarah [2] ayat 143).
Dalam ranah sosial, kompetisi merupakan salah satu karakter
utama antarmanusia yang tidak bisa diabaikan. Setiap manusia yang hidup dalam
konteks sosial harus berusaha menjauhkan perbedaan-perbedaan dan
perselisihan-perselisihan dan berupaya serta mendorong untuk ikut bekerja sama. Bagaimana kita menumbuhkan sikap dan berprilaku
yang menghargai antar-manusia dalam kehidupan, sejak awal manusia diciptakan dalam bentuk perbedaan yang
mendasar. Perbedaan yang sejatinya dapat mengarahkan supaya saling memahami,
saling menghargai terbuka antar semua golongan,
menghargai hasil kreatif setiap manusia. Sehingga dari perbedaan itu, menghasilkan gagasan-gagasan kreatif untuk mencari titik
persamaan untuk membangun peradaban manusia. Peradaban yang mempersatukan
generasi millennial, sehingga spirit sejati persamaan, saling menghargai akan
terdapat dimana-mana.
Pada dasarnya Islam
transitif merupakan konsep untuk intropeksi (self reflectioan). Yang diterjemahkan
sebagai sebuah gagasan luas yang mencakup semua aspek kehidupan, pemikiran dan
peradaban, yang tidak boleh menjadi satu-satunya pasar bagi identitas kita,
sebuah obsesi totalitarian yang merusak nilai-nilai kemanusiaan yang sama
akhirnya akan menghancurkan diri sendiri dan peradaban. Dalam kenyataannya
dapat kita melihat disekeliling muslim, bukan ingin menampilkan ‘umat jalan
tengah’ melainkan menampilkan umat yang ekstrim, umat dengan penganut agama
yang fanatik, dan kaum calvinis yang memandang benar diri sendiri, umat dengan
penguasa tiran dan para demagog. Sehingga umat benar-benar di buat bingung;
bagaimana menjadi muslim, bagaimana mengungkapkan dan menunaikan identitas
keislaman di tengah ruwetnya dunia moderen. Bahkan sampai ketingkatan ada
orang-orang yang menjajakkan kekerasan sebagai obat mujarab, perbaikan instan
melalui senjata dan bom, politik permusuhan yang panik, dan pemusnahan orang
yang dianggap musuh, seakan-akan itulah jawaban bagi semakin sulitnya upaya
untuk menjadikan dunia yang lebih baik, lebih damai, dan lebih sejahtera.
Tak diragukan lagi bahwa inti sari peradaban Islam adalah
pengamalan ajaran Islam itu sendiri. Yang memberi identitas peradaban Islam,
yang mengikat semua bagian-bagian, sehingga menjadikan mereka semua badan yang
integral dan organis yang kita sebut peradaban. Tingkat perubahan bervariasi,
dari yang ringan sampai radikal, bergantung pada bagaimana hubungan intisarinya
dengan unsur-unsur yang berbeda dan fungsi-fungsinya. Dalam pemikiran Isma’il R.
al-Faruqi bahwa tiga prinsip yang akan membangun peradaban Islam. Pertama;
unsur kesatuan, tak ada peradaban tanpa kesatuan. Jika unsur-unsur peradaban
tidak bersatu, berjalin, dan selaras satu dengan lainnya, maka unsur-unsur itu
bukan membentuk peradaban, melainkan campur aduk. Dengan demikian aktivitasnya
harus menunjukkan kesatuan pikiran dan kehendaknya, tujuan utama pengabdiannya.
Kedua, unsur rasionalisme; rasionalisme membentuk intisari peradaban
Islam. Rasionalisme terdiri dari tiga aturan. Menolak semua yang tidak
berkaitan dengan realitas; menafikan hal-hal yang sangat bertentangan; terbuka
terhadap bukti baru dan/ atau berlawanan. keterbukaan terhadap bukti
atau yang bertentangan, melindungi manusia dari literalisme, fanatisme, dan
konservatisme yang menyebabkan stagnasi. Ketiga: unsur toleransi; Dalam
hubungan ini, toleransi adalah kepastian bahwa semua manusia dikarunia sensus
communis, yang membuat manusia dapat mengetahui agama yang benar,
mengetahui kehendak dan perintah Tuhannya. Toleransi adalah keyakinan bahwa
keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang
mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktu yang berbeda, prasangka, keinginan,
dan kepentingannya. Toleransi menuntut seorang manusia untuk mempelajari
sejarah-sejarah agama, tujuannya untuk menemukan di dalam setiap agama karunia
awal Tuhan.
Tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat dewasa ini
sangat berat. Tidak bisa dimungkiri membutuhkan alternatif-alterntif pemikiran
yang kreatif dan produktif. Kehidupan muslim kontemporer, dituntut memahami
agar lebih mudah menyayangi, menghormati orang yang terlihat, berbicara,
berfikir, bertindak dan berkeyakinan sama seperti kita. Situasi ini
diberlakukan untuk menciptakan peradaban dan kemanusian yang lebih baik masa kini
maupun masa akan datang. Alquran dengan jelas menuntun kita untuk menerima,
menghargai, dan belajar dari berbagai perbedaan identitas manusia untuk
menjamin eksistensi manusia agar terhindar dari pertikaian, mendominasi, dan
bahkan melenyapkan orang lain. Menciptakan peradaban yang manusiawi, manusia
harus terus berupaya menciptakan keadilan dan kesetaraan yang di dasari
pergaulan yang wajar, bermartabat, dan sikap menghormati semua orang, tak
peduli siapa mereka dan seberapa berbeda mereka.
Dari sinilah sesungguhnya paradigma kemanusiaan dapat di mulai.
Artinya, kebaikan dan kebenaran yang di usung Alquran merupakan sesuatu yang
mengarah kepada kepentingn manusia yang berlandaskan pada asas keadilan,
kesamaan, kedamaian dan kesejahteraan. Maka dari itu, nilai-nilai kemanusiaan
yang terkandung dalam khazanah Islam perlu diteguhkan kembali dalam rangka
menegaskan landasan ideal, teologis, filosofis, bahkan sosiologis. Pada tataran
ini, pandangan Muhammad Thahir bin ‘Asyur menjadi sangat penting, karena mencoba
melihat Alquran sebagai sumber untuk membumikan paradigma kebajikan sosial dalam konteks peradaban dan
keadaban Islam kontemporer.
Islam adalah agama yang
mempunyai semangat toleransi yang tinggi (al-samahah), Islam bersifat
moderat, adil, dan jalan tengah. Bahwa sifat moderat, tidak ekstrem kanan, dan
tidak pula ekstrem kiri, merupakan sifat mulia yang dianjurkan Islam. Dalam
membangun tata kehidupan yang harmonis, baik dalam ranah sosial, maupun intra
dan antaragama. Karena dengan cara itulah Islam akan mampu menjadi ummat yang
memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih mengedepankan cara-cara damai.
Islam Transitif mencoba memberikan
pandangan maju dan luas untuk menghantarkan manusia untuk berlaku adil, menghargai perbedaan, serta saling
memahami baik dalam konteks agama maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks keindonesian bahwa aktualisasi nilai-nilai etis kemanusian telah mengakar
kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan. Wawasan kosmopolitanisme
yang selalu berusaha untuk mencapai titik-temu (jalan tengah), dari segala
nilai-nilai kebangsaan yang terkristalisasi dalam dasar negara (pancasila), UUD
1945, negara persatuan, bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraaan
lainnya. Pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi keaneka ragam
perbedaan. Yang pada akhirnya peradaban dan kemanusian akan tercipta melalui
nilai-nilai kebenaran sikap dan perbuatan yang tidak memihak ke kiri, dan tidak
pula ke kanan. Sehingga tidak
menimbulkan perasaan memiliki hak untuk menilai ummat lain, labih baik lagi
memberikan peran konstruktif bagi semua ummat manusia untuk menangani persoaln
pelik manusia, untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi setiap
orang, terlepas dari apa pun agama mereka.
Komentar
Posting Komentar