SIYASAH TASRI’IYAH: MASA DEPAN UU ADALAH SEKARANG


Oleh: Hikmatiar Harahap [Sekretaris Eksekutif Transitif Learning Society]                               

         Dalam tulisan ini penulis tidak akan menjangkau terlalu dalam mengenai muatan materi UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Indonesia celakanya UU tersebut pemicu terjadinya amarah dan penolakan berbagai daerah di tanah air oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Disini penulis hanya menguraikan proses terciptanya sebuah UU dalam perspektif siyasah tasri’iyah serta muatan-muatannya. Sepertinya tepat ungkapan Khaled Abou el-Fadl seorang Pakar Hukum Islam dari University of California Los Angeles mengajukan sebuah fakta kekinian bahwa salah satu kelemahan sebuah peraturan adalah hilangnya ketelitian, kesungguhan, kemenyuluruhan, dan kejujuran dalam membedah sebuah persoalan. Akibatnya, yang muncul bukanlah pandangan-pandangan yang otoritatif, melainkan pandangan otoriter. Sehingga, sesungguhnya mereka bukan berbicara tentang UU, akan tetapi mereka berbicara atas nama UU. Makanya tidak mengherankan dengan disahkannya sebuah peraturan justru di debat, ditantang bahkan di tolak oleh perlemen jalanan. Dalam hal ini, mengeluarkan kebijakan peraturan, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan agar tidak terjerumus pada yang dapat mengakibatkan berbagai kemudharatan kepada rakyat dan bangsa.

Mengenai kebijakan yang akan diputuskan seharusnya pemerintah mengkaji sebuah sub pembahasan dalam bidang kaidah fiqh yang terdapat dalam fiqh siyasah dijelaskan bahwa setiap “kebijakan seorang pemerintah terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan”. Kaidah tersebut menghantarkan pesan agar setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat untuk rakyat dan bangsa maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudharatkan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. [H. A. Djazuli h.148]. Dalam hal ini senada juga yang dikemukakan oleh ‘Abdul Wahhab Khallaf bahwa pada prinsipnya Islam ketika meletakkan perumusan sebuah undang-undang adalah adanya jaminan hak asasi manusia setiap unsur masyarakat serta persamaan kedudukan semua orang di depan hukum, tanpa membeda-bedakan stratifikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama. Dengan demikian, perumusan suatu UU harus sesuai dengan kemaslahatan dan kebutuhan rakyatnya sebagai kebutuhan yang paling mendasar untuk terjaminnya kehidupan tentu kemajuan pada aspek ekonomi kerakyatan. Demikian itu juga yang menjadi isu serta fakta kekinian yang menjadi alasan utama munculnya berbagai gerakan dalam menentang serta menolak UU Cipta Kerja.

 Kehadiran UU merupakan jalan menuju terciptanya kehidupan masyarakat bangsa menuju terbebasnya penindasan dan penganiayaan secara konseptual dan metaforis. Perjalanan UU kekiniaan memunculkan problem-problem yang bertentangan dengan gagasan-gagasan kemanusiaan, lingkungan hidup serta tidak terjaminnya masa depan manusia yang penuh kedamaian, egaliter malah lebih mengarah pada munculnya kepesimisan dalam mengelola kemajuan dan peradaban manusia. Berkaitan dalam mengelola masyarakat dan bangsaYusuf al-Qardhawi memberikan komentar bahwa setiap tingkah laku yang bersifat kemasyarakat (rakyat) seharusnya mendatangkan manfaat bahkan tindakan kebijakan yang dapat menghapus air mata seseorang yang sedang dilanda duka, mengurangi penderitaan, membalut luka serta menumbuhkan harapan dan semangat hidup.

Semestinya, pemerintah dalam mensahkan sebuah UU bukan berfikiran sebagai langkah dalam membangun masa depan, melainkan seperti ungkapan pelatih legendaris masa depan adalah sekarang. Kecenderungan-kecenderungan yang diskusikan dalam mewujudkan masa depan lebih banyak di isi sebagai ramalam dalam mensukseskan sebuah kegagalan. Sebab, ketidakberdayaan dalam menangkap realitas kekinian merupakan gangguan daya tarik dan tipu muslihat dalam mengambil berbagai tindakan-tindakan. Pembenaran politik merupakan sebuah bahasa yang mencoba menertawakan lelucon-lelucon yang tidak lucu sebenarnya. Bahkan telah sampai pada titik pemikiran siapa saja yang tidak mau menerima kebijakan-kebijakan pemerintah disalahkan, dianggap memiliki pemikiran buruk serta mengatakannya sesuatu secara tidak benar secara politik. Proses penyusunan, pembahasan, pengesahan sampai pada pengundangan naskah seringkali UU menjadi alat untuk mencari jalan selamat. Pemikiran-pemikiran jernih seringkali dikalahkan oleh nafsu politik demi mencari kepuasaan sesaat tanpa berfikir luas akan akibat. Korban politik dan biaya mahal tidak begitu nampak disebabkan keserakahan, kesempitan berfikir, serta keseriusan dalam mencari jalan-jalan alternatif menuju pembenaran dan kepentingan sesaat. Aroma ketidakbecusan dalam mengelola hajat orang banyak mendapat tawaran serius dari mereka-mereka yang rindu akan keadilan, berjuang bersama dengan cita-cita mulia untuk menumpas kezaliman politik melalui perlemen jalanan.

Muatan-muatan UU meliputi tersahutinya kepentingan ummah, melindungi, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk membangun kehidupan yang baik, pemeliharaan dan penghormatan hak-hak asasi rakyatnya, sehingga rakyat memperoleh perlindungan untuk mengekspresikan sikap dan pendapatnya secara bebas. Memang, hal yang terpenting dalam membangun masyarakat bangsa melalui jalan musyawarah. Alquran sendiri telah menyinggung kejadian ini dalam sebuah firmannya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembuh terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan ketika kamu telah membulatkan tekad”. [QS Ali Imran (3) ayat: 159).

Dengan demikian musyawarah dalam urusan perumusan UU merupakan prinsip utama dalam segala urusan negara. Proses musywarah yang memberikan keabsahan pada otoritas politik. Agar menjadi sah, kekuasaan harus diarahkan pada tujuan-tujuan yang adil. Fungsi seorang pemimpin politik adalah menegakkan keadilan, menjunjung tinggi hukum dan bekerja memenuhi kebutuhan dan tuntutan umat. Sehingga masa depan hukum adalah kesanggupan dalam merespon segala bentuk realitas tuntutan masyarakat bangsa sebagai tujuan dalam menjalani kehidupan berbangsa. Sekian..


Komentar

Postingan Populer